Friday, October 10, 2025

2025

Khotbah Minggu XVIII Setelah Pentakosta - 12 Oktober 2025

Khotbah Minggu 12 Oktober 2025 - Minggu XVIII Setelah Pentakosta

 

 BERSYUKUR DAN IMAN YANG MENYELAMATKAN (Luk. 17:11-19)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Ye.r 29:1, 4-7; 2Tim. 2:8-15

 

atau 2Ra.j 5:1-3, 7-15c; Mzm. 66:1-12 atau Mzm. 111

 

 

 

Pendahuluan

 

Minggu ini kembali kita diberikan nats yang berhubungan dengan iman. Kalau dalam dua minggu lalu tentang buah iman yakni Lazarus diselamatkan dan dipangku Abraham, dan minggu lalu tentang pertambahan iman serta iman yang memindahkan pohon, maka minggu ini kita diberikan tentang iman yang dikaitkan dengan kerendahan hati dan keselamatan kekal. Kisahnya tentang perjalanan Tuhan Yesus menuju Yerusalem, Ia menyembuhkan sepuluh orang kusta namun hanya satu yang kembali tersungkur untuk menyatakan syukur dan terima kasihnya atas kesembuhan yang diberikan, dan dia justru orang Samaria. Melalui nats tersebut, kita diberikan pelajaran hidup sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: mencari dan datang di saat perlu (ayat 11-13)

 

 

 

Tuhan itu ada dan berkuasa atas ciptaan-Nya, alam semesta beserta seluruh isinya. Keberadaan dan kuasa-Nya tidak tergantung kepada pengakuan manusia. Ia adalah pemilik, pengatur dan pemelihara semuanya. Kejatuhan manusia pada dosa membuat manusia tidak lagi sempurna bahkan penuh kelemahan, termasuk penyakit dan kelemahan fisik. Penyakit kadang dianggap sebagai kutukan yang kemudian menjelalah tubuh manusia dan sering membuat manusia itu menderita dan putus asa. Salah satu penyakit yang dianggap kutukan adalah kusta, jenis penyakit yang menggerogoti tubuh manusia dengan membusuk dan sangat menular. Di era itu perkembangan metode pengobatan belum sebaik saat ini sehingga sangat sulit disembuhkan. Karena itu juga oleh para imam, penderita penyakit ini harus dikucilkan dari lingkungan, dan hanya boleh dianggap sembuh dan tahir dengan pengesahan imam untuk bisa kembali bergaul dengan penduduk lainnya (Im. 14).

 

 

 

Sebagai orang-orang yang dikucilkan dan harus berdiri cukup jauh dari Tuhan Yesus yang lewat di daerah itu, mereka harus berteriak untuk meminta perhatian-Nya (band. Im. 13:45; Bil. 5:2). Tuhan Yesus yang penuh dengan belas kasih hati-Nya tergerak melihat permohonan mereka ini. Tanpa berpikir dua kali dan juga tidak memerlukan obat, media atau sentuhan, kuasa Tuhan Yesus mampu menyembuhkan penyakit mereka dan langsung tahir. Ini adalah kuasa “Firman” yang dilandasi oleh iman yang memohon, bekerja dengan seketika dan inilah yang disebut dengan mukjizat. Tuhan senang memberi mukjizat bagi mereka yang membutuhkan meski Ia tidak mempertanyakan bahwa hasil pekerjaan-Nya berupa kesembuhan (penyakit atau penderitaan) itu akan menghasilkan keselamatan yang kekal bagi orang yang menerimanya.

 

 

 

Pertanyaan yang cukup menggoda kemudian adalah: apakah kita semua mengharapkan mukjizat dari Tuhan saat ini? Mungkin segala upaya dan usaha sudah kita lakukan dalam membebaskan dan memulihkan kita dari belenggu penyakit, hutang piutang, hubungan keluarga, hukuman dan penindasan, dan lainnya, dan kita tidak melihat lagi dengan penglihatan mata dan akal pikiran bahwa usaha dan upaya itu akan berhasil. Apakah kita seperti sepuluh orang kusta itu terus berteriak memohon kepada Tuhan Yesus untuk mendapatkan pertolongannya? Atau hal yang lebih prinsip lagi, apakah kita selama ini memang sudah mengandalkan Dia dalam hidup kita, atau berteriak memohon hanya karena terdesak dan putus asa? Namun, percayalah, walau sudah taat selama ini atau baru dan kepepet untuk memohon pertolongan-Nya, Ia adalah Allah yang Mahabaik dan penuh dengan belas kasihan. Kuncinya adalah: apakah kita tetap percaya kepada perkataan Tuhan Yesus meski itu tidak masuk akal pikiran dan firman itu belum bekerja serta kita melihat buktinya? Maka teruslah berteriak dan memohon, hingga melalui kuasa Firman-Nya kita dipulihkan dan disembuhkan dari penderitaan kita saat ini. Mukjizat pasti terjadi.

 

 

 

Kedua: sikap tersungkur dalam mengucap syukur (ayat 14-16)

 

Dari bacaan nats yang ada tampaknya kesepuluh orang kusta itu percaya dan pergi kepada imam tanpa disembuhkan terlebih dahulu. Artinya, penyembuhan terjadi ketika mereka berjalan menuju imam untuk memperlihatkan dirinya masing-masing. Memang akhirnya kesepuluh orang kusta itu menerima kesembuhan dan disahkan oleh para imam serta dapat kembali hidup normal bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah mukjizat yang nyata telah melepaskan mereka dari penderitaan dan pengucilan yang membuat putus asa. Bagi siapa saja, kesembuhan seperti ini pantas untuk disyukuri dan berterima kasih khususnya kepada yang memberi kelepasan itu.

 

 

 

Namun ternyata hanya satu orang yang kembali dan tersungkur untuk menyatakan syukur dan terima kasihnya kepada Tuhan Yesus, sementara sembilan orang lainnya tidak kembali dan melupakannya. Mereka mungkin langsung berkumpul dengan keluarga dan lingkungannya. Memang Tuhan Yesus tidak menuntut rasa syukur dan pujian dari kita, meski Ia mempertanyakan dan pasti merasa senang apabila kita melakukannya. Kunci jawabannya adalah, apabila kita melakukannya dengan mengucap syukur, maka kita akan semakin diberkati dan semakin mengenal Dia yang memberi semua dalam kehidupan kita ini. Hanya orang yang rendah hati dan mau berterima kasih dan belajar bahwa imannya yang bekerja sehingga anugerah kesembuhan (serta berkat) dan lainnya ia terima dari Allah yang tidak terlihat.

 

 

 

Tuhan Yesus melalui nats ini mengajarkan pentingnya mengucap syukur dan berterima kasih kepada mereka yang memberi kebaikan. Sikap itu harus kita perlihatkan nyata dan tidak dalam hati saja selagi memang ada kesempatan. Kita harus melihat bahwa ucapan terima kasih adalah hutang yang perlu dibayar. Melalui rasa syukur dan terima kasih itu kemudian orang percaya menyadari betapa baiknya Tuhan dalam kehidupan kita. Pujilah Dia dan jangan lupakan kebaikan-Nya (Mzm. 103:2). Ini juga dapat kita perbandingkan dengan ucapan terima kasih pada orangtua, atau ucapan terima kasih kepada sesama yang pernah berbuat baik dalam kehidupan kita. Perlu kita renungkan, apakah mungkin suatu saat mereka yang berbuat kebaikan ini (termasuk orang tua) akan kita anggap sebagai pengganggu kenyamanan kehidupan kita, ketika mereka membutuhkan pertolongan kita?

 

 

 

Ketiga: kita dan orang asing (ayat 17-18)

 

Dari sepuluh orang yang disembuhkan, satu-satunya orang yang kembali mengucapkan terima kasih dan rasa syukur justru orang Samaria. Padahal, mereka adalah bangsa yang direndahkan yang dibenci oleh orang Yahudi dan sama sekali tidak dihargai karena dianggap sudah tidak "asli dan murni" Yahudi, akibat perkawinan campuran. Tetapi mengapa justru mereka yang berterima kasih? Mengapa bukan sembilan orang Yahudi itu? Semua ini tentu karena adanya kesombongan rohani, mereka mau menerima kebaikan Allah tetapi tidak merespons dengan iman dan ucapan syukur. Hati mereka tidak tersentuh dan mungkin dalam hatinya malah membenci Yesus sebab ikut menyembuhkan orang Samaria itu. Apakah kita juga bersikap demikian?

 

 

 

Memang memungkinkan seseorang menerima anugerah dari Allah yang Mahakuasa tanpa perlu merasa bersyukur atau berterima kasih. Banyak orang melakukan hal itu, yang beranggapan "nothing to do with God", gak ada urusan sama Tuhan. Semua adalah proses alam atau usaha sendiri. Ini sama seperti sembilan orang tadi yang tidak memperlihatkan sikap rendah hati melalui perbuatan dan tindakan yang memuliakan Allah, seperti yang didemonstrasikan oleh orang Samaria itu. Ini merupakan tantangan bagi kita, sebab firman Tuhan berkata bahwa hal yang harus kita lakukan justru harus melebihi mereka yang tidak mengenal dan menerima kasih Tuhan Yesus (band. Mat. 5:20, 47).

 

 

 

Penyembuhan orang Samaria ini juga membuktikan kasih Allah ada pada semua orang dan semua bangsa (band. Mat. 5:45). Yesus tidak memilih bahwa yang menerima anugerah-Nya adalah mereka yang berbangsa Yahudi saja. Ia datang bagi semua orang. Hal lain yang perlu dilihat secara khusus di sini yakni terjadinya persamaan kepentingan orang Yahudi dan orang Samaria. Mereka jadi bersatu dalam memohonkan kepentingan mereka yang sama. Pertentangan yang ada selama ini dalam hati mereka menjadi cair.  Memang penderitaan dan kemalangan bersama dapat meruntuhkan batas-batas perbedaan itu, baik itu perbedaan pandangan politik atau SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Itu bisa kita lihat saat terjadi bencana alam, maka perbedaan menjadi hilang dan justru yang terjadi saling membantu. Namun sikap itu seharusnya tidak hanya terjadi pada saat kepepet dan insidentil saja, melainkan sudah harus menjadi pandangan hidup yang melekat dalam sikap dan perbuatan setiap hari. Sebab Allah baik bagi semua orang maka kita pun haruslah demikian.

 

 

 

Keempat: imanmu telah menyelamatkan engkau (ayat 19)

 

Kesembuhan pada sepuluh orang itu terjadi karena iman. Mereka percaya bahwa Yesus sanggup menyembuhkan meski belum melihat dan kemudian pergi kepada imam dan akhirnya terjadi kesembuhan. Keyakinan mereka akan kuasa Yesus sungguh besar. Itulah iman. Akan tetapi bagi sembilan orang yang tidak kembali, kesembuhan fisik adalah hal yang utama, bukan Tuhan Yesus yang telah menyembuhkannya. Mereka menerima kasih ilahi akan tetapi tidak menganggap sentuhan ilahi. Mereka kehilangan kepekaan rohani dan lebih mengutamakan hasil yang diperoleh bagi dirinya sendiri, bukan fokus pada pemberi karunia itu untuk kepentingan yang lebih panjang. Di sinilah bedanya diselamatkan dari persoalan (penyakit, beban pikiran, dan lainnya) tetapi tidak diselamatkan dalam kehidupan yang kekal.

 

 

 

Kita kemudian dapat melihat siapa yang sungguh-sungguh beriman dan diselamatkan. Iman adalah segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1), yakni menyangkut keyakinan akan hal-hal yang belum terjadi dan terlihat. Seseorang dapat mengatakan bahwa ia percaya dan beriman hidupnya suatu saat akan menjadi pilot yang berhasil, pengusaha yang sukses, memiliki karir hingga puncak, dan sebagainya. Allah juga kadang memberikan kebaikan pada orang seperti itu. Akan tetapi ia melihat semua itu terjadi karena usaha kerja keras dan kerja cerdasnya. Maka perlu kita catat bahwa ini adalah iman duniawi, iman yang berlandaskan dan berasal dari kekuatan dirinya sendiri atau pertolongan keluarga atau kerabat lainnya.

 

 

 

Berbeda dengan iman yang berasal dari Allah dan berdasar kepada Allah. Ia bisa mempercayai sesuatu yang belum terjadi dan kelihatan, dan itu akan terjadi dalam hidupnya, akan tetapi ia mengandalkan Tuhan yang bekerja dalam hidupnya untuk mewujudkannya. Ia hanyalah sebagai alat dan Allah yang bekerja dalam dirinya untuk membuatnya demikian. Ia akan bersyukur apabila hal itu terjadi dan tetap bersyukur apabila itu juga tidak terjadi, sebab baginya Allah selalu memberikan yang terbaik. Kesembuhan atau keberhasilan bukan yang terutama akan tetapi melihat Allah bekerja dalam hidupnya dan akan memberikan kepadanya kehidupan kekal selamanya. Itulah iman yang menyelamatkan dan itulah yang terjadi pada orang Samaria itu, sebab imannya telah menyelamatkannya.

 

 

 

Kesimpulan

 

Dalam kelemahan dan kekurangan bahkan keputus-asaan kita, biasanya kita datang kepada Allah untuk meminta pertolongan-Nya. Sering kemudian Allah memberi pertolongan namun kita melupakan kebaikan-Nya itu dengan tidak menyatakan syukur dan terima kasih kepada-Nya. Kalaupun kita melakukannya mungkin hanya sekejap dan lupa dalam langkah berikutnya. Untuk itu kita jangan datang hanya saat perlu saja, melainkan menjadikan Allah sebagai sumber kekuatan dan pedoman hidup kita. Kita diminta melihat kebaikan-Nya dan terus bersyukur melalui doa dan sikap perbuatan sehari-hari. Kita harus lebih baik dari mereka yang tidak mengenal Tuhan Yesus dan harus menjadi saksi untuk memuliakan-Nya. Dengan demikian itu membuktikan bahwa iman kita adalah iman yang menyelamatkan, bukan saja di dunia ini tetapi kekal selama-lamanya.

Selamat beribadah dan selamat melayani.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

 

Khotbah (2) Minggu XVIII Setelah Pentakosta - 12 Oktober 2025

Khotbah Minggu 12 Oktober 2025 Minggu XVIII Setelah Pentakosta (Opsi 2)

 

 KEKUATAN BERFIKIR POSITIF (Yer. 29:1, 4-7)

 

 “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yer. 29:11)

 

 

 

 

Salam dalam kasih Kristus.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu berbahagia ini adalah Yer. 29:1, 4-7. Ini tentang pesan Nabi Yeremia kepada umat Israel yang sedang dalam pembuangan (ay. 1). Minggu lalu kita diberitahu, bahwa penderitaan umat semasa diangkut dari Yerusalem dan dibuang ke Babel, sangatlah berat, mengingatkan kembali ke era perbudakan di Mesir (lihat renungan sebelumnya).

 

 

 

Ada beberapa hal yang disampaikan Nabi Yeremia pada umat dan menjadi pelajaran bagi kita juga. Pertama, tidak perlu menangisi apa yang sudah terjadi, tetapi lanjutkanlah hidup. Nabi Yeremia mengatakan, “Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya” (ay. 25). Artinya, tidak ada gunanya meratapi kenahasan nasib, tetapi lebih baik menghadapi realitas dan melihat tantangan ke depan, mempersiapkan diri dengan tegak kepala.

 

 

 

Kedua, perlu fleksibilitas terhadap aturan yang ada, apalagi jika aturan itu membuat situasi lebih buruk. Memang kadang aturan dibuat dalam konteks kecil, sesaat, padahal kenyataan dan situasi terkini tidak selalu sama. Maka perlu melihat secara luas, meski hati-hati sebab bisa berbahaya. Oleh karenanya hikmat perlu digunakan. Orang Israel pada prinsipnya tidak menyukai kawin campur dengan suku lainnya, tetapi Nabi Yeremia malah mengatakan, “ambillah isteri untuk memperanakkan anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah isteri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan, agar di sana kamu bertambah banyak dan jangan berkurang!” (ay. 26).

 

 

 

Memang ada alasannya. Ada nabi lain yang mengatakan, mereka tidak lama dibuang dan akan kembali. Namun pembelokan aturan ini dilakukan oleh nabi Yeremia, mengingat mereka yang dibuang kebanyakan adalah laki-laki. Daripada menimbulkan masalah, lebih baik berpikir panjang; aturan dimaknai kembali. Ada anomali, boleh pengecualian, bila memang tidak terhindarkan lagi dan prinsipnya adalah kasih serta kepentingan yang lebih besar. Kita ingat Tuhan Yesus ketika memetik gandum di hari Sabat (Mat. 12:1-8). Tuhan akan maklum hal itu.

 

 

 

Ketiga, nabi Yeremia menganjurkan mereka berpikiran positif dan terbuka. Ia menuliskan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (ay. 7). Jadi, jangan menunggu atau merusak yang ada untuk bermimpi mendapatkan yang baru. Manfaatkan dan syukuri dahulu situasi yang ada, dan lanjut wujudkan mimpimu. Dimana pun kita berada, ada peluang untuk menjadi berkat dan mengenalkan Tuhan kita.

 

 

 

Ini dapat kita lihat pada beberapa suku "pendatang" di Indonesia. Mereka sebagian bahkan orang pelarian. Tetapi mereka bekerja keras, berkembang dengan baik dan pesat, membawa pengaruh besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Oleh karena itu, berpikir positif dalam situasi buruk adalah kunci untuk kemajuan.

 

 

 

Ada sebuah buku terkenal, Kekuatan Berpikir Positif. Penulisnya Norman Vincent Peale. Ia seorang pendeta, namun bukunya tidak melulu pendekatan Alkitab dalam memberikan solusi. Menurutnya ada 17 jalan untuk berpikir positif. Yang pertama adalah percaya diri, dan yang terakhir adalah bagaimana memanfaatkan Kuasa yang lebih tinggi.

 

 

 

Jadi menghadapi sesuatu yang buruk terjadi, kuncinya adalah dimulai dari diri sendiri. Tuhan memberikan rancangan damai sejahtera yang indah (ay. 11). Kita perlu mengoptimalkan upaya yang bisa dilakukan dengan tetap dalam doa. Tetapi ada kalanya kemampuan kita mentok, seolah buntu. Oleh karena itu, perlu pertolongan dari “Yang Maha Kuasa”. Kuasa itu nyata dan ingin menolong kita keluar dari kesulitan.

 

 

 

Maka beranilah datang, panggillah, “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui" (Yer. 33:3). Memang hidup ini misteri, tetapi iman kita penting mengakui bahwa Allah tidak akan membiarkan kita sendiri. Ia ingin kita sebagai pemenang dalam segala perkara. Allah tetap peduli dengan kasih-Nya yang besar.

Selamat beribadah dan selamat melayani.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Kabar dari Bukit, Minggu 5 Oktober 2025

Kabar dari Bukit

 MENGUBAH CARA PANDANG (Mzm. 37:1-9)

 ”Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, tinggallah di tanah ini dan berlakulah setia” (Mzm. 37:2)

Ada banyak kejadian dalam kehidupan yang membuat hati kita tidak nyaman, terganggu, timbul kesal hingga rasa marah; dari orang yang menyalib antrian hingga melihat ketidakadilan dalam peradilan kita. Apalagi kenyataan hidup, kita tidak selalu dapat mengendalikan situasi. Sementara inti buah kehidupan adalah memperoleh kebahagiaan, dunia dan kekekalan. Maka daripada frustasi, jalan terbaik adalah mengubah sudut pandang kita.

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Mzm. 37:1-9; sebuah pengajaran, menekankan kebahagiaan orang fasik semu. “Mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau” (ay. 2).

 

Oleh karena itu ketika melihat ada orang berbuat curang, tipu daya, jahat - meski mereka kelihatan berhasil, kita diajar meresponnya dengan bijak.

Pertama, jangan geram apalagi irihati (ay. 1). Untuk memahaminya, nasihat jitu orang bijak berkata, lihatlah dari sudut pandang mereka. Mungkin ada alasan yang kita tidak tahu. Memahami orang lain, caranya tidak melihat sesuatu sebagaimana adanya, tetapi melihat sesuatu sebagaimana adanya kita. Tempatkan diri kita pada posisinya, maka sudut pandangnya akan berbeda.

 

Kedua, jangan sampai terpengaruh. Kita boleh kecewa, kesal, tapi jangan panas hati. Bahayanya, ini mendorong emosi dan amarah berupa mengutuk atau menyumpah, memukul dan membalasnya. Semuanya membawa kepada kejahatan dan dosa (ay. 8). Bahkan, memelihara kebencian dan sakit hati, tidak akan mempengaruhi orang lain, malah merusak diri sendiri. Irihati membusukkan tulang (Ams. 14.30).

 

Ketiga, percayalah kepada TUHAN..., tinggallah.... dan berlakulah setia..., serahkan jalanmu kepada-Nya (ay. 3, 5). Tuhan Mahaadil. Ada hukum alam sebab akibat, hukum tabur tuai (Gal. 6:7). Ini bukti kita beriman, percaya kuasa Allah yang mengendalikan semesta. Tidak seorang pun lepas dari hukum itu. Bila tidak di dunia ini, maka kelak di penghakiman.

 

Bagian ketiga ini juga menasihatkan, lakukanlah yang baik. Artinya, kita diajar agar tidak berkawan dengan orang-orang jahat dan suka curang. Jangan sampai pergaulan mempengaruhi. Kendali ada pada diri kita. Seperti menonton film, bagi saya misalnya, jika kisahnya horror dan tentang penganiayaan anak, saya langsung ganti saluran. Tidak perlu saya melihatnya, sebab tahu itu akan merusak pikiran dan membuat tidak bahagia. Jangan coba-coba yang tidak perlu dan tidak berguna. Perbedaan antara gunung dan bukit kecil, hanyalah sudut pandang.

 

Keempat, berdiam dirilah di hadapan Tuhan dan nantikanlah Dia (ay. 7). Semua ada waktunya. Bersukacitalah dalam Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu hasrat hatimu (ay. 4). Ia akan bertindak; Ia menerbitkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang (ay. 5-6). Ingat saja dengan mengubah cara pandang, maka kita akan melihat dunia dengan perspektif yang berbeda. Orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan akan mewarisi negeri ini (ay. 9).

 

Pengajarannya sederhana. Tapi tidak mudah. Untuk itu perlu berlatih, cara yang efektif untuk mengubah kebiasaan (buruk). Terapkan disiplin, kemauan dan bertekun agar perubahan yang diinginkan berhasil. Mudah tidaknya mengubah cara pandang yang sesuai Alkitab, semua bergantung kepada kita, bukan orang lain. Tentunya berdoalah, agar Roh Kudus terus yang menuntun.

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (3) Minggu XVIII Setelah Pentakosta - 12 Oktober 2025

Khotbah Minggu 12 Oktober 2025 -  Minggu XVIII Setelah Pentakosta (Opsi 3)

 

PANGGILAN DAN KELAYAKAN (2Tim. 2:8-15)

 

            Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XVIII setelah Pentakosta ini diambil dari 2Tim. 2:8-15. Nas ini merupakan renungan tentang peneguhan panggilan bagi kita orang percaya. Perjanjian Baru atau Injil berbicara dan fokus tentang Yesus Kristus. Pekabaran Injil (PI) berarti pemberitaan tentang Tuhan Yesus. Dia adalah pusat pemberitaan dan sekaligus pengenalan kita terhadap Allah beserta janji baru bagi orang yang percaya dan taat.

 

            Setiap orang percaya dipanggil untuk ikut dalam pemberitaan itu. Tidak ada alasan berkelit, mengelak. Bagaimana dan di mana pun kita ditempatkan oleh Tuhan, jalan untuk pembawa misi dan menjadi berkat bagi orang lain itu tersedia lebar dan luas. Kadang kala perlu berkorban dan menderita, maka itu harus dijalani dan diimani sebagai bagian rencana Tuhan. Injil tidak untuk diterima dan dinikmati semata, tetapi juga dikumandangkan sebagai kabar baik. Oleh karena memberitakan Injil Rasul Paulus dibelenggu seperti penjahat, tetapi firman Allah tidak terbelenggu (ayat 9).

 

            Oleh karenanya setiap kita akan diuji, apakah kita layak disebut sebagai orang percaya pemegang panggilan yang telah ikut berkorban dalam PI. Pegangan kebenaran dalam nas ini adalah: “Jika kita mati dengan Dia, kita pun akan hidup dengan Dia; jika kita bertekun, kita pun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Dia pun akan menyangkal kita; jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (ayat 11-13). Jelas dan tegas!

 

            Tantangan lain yang juga sering muncul adalah, ketika fokus PI tidak lagi Kristus tetapi pikiran duniawi seperti doktrin denominasi dan masuk terjebak dalam diskusi perdebatan yang malah bersilat lidah (ayat 14). Yang terjadi malah penonjolan diri dan orientasi menang, sehingga Yesus Kristus malah hilang terkaburkan. Tujuan PI adalah memberitakan Dia yang Putra Daud, yang terbukti bangkit dari mati, supaya yang mendengarnya mengaku percaya, dan ikut dibangkitkan dalam keselamatan kekal.

 

            Untuk itu mari kita menguji diri kita sendiri, apakah kita telah layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang terpanggil, tidak malu atau berkelit, dan terus memberitakan kebenaran itu (ayat 15). Merasa tidak mampu itu bukan alasan, karena Tuhan akan memampukan sepanjang kita memiliki motivasi baik dan tanggungjawab. Firman-Nya, "sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah (1Kor. 3:13-14). Semoga kita sudah ikut serta.

Selamat beribadah dan selamat melayani.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah Minggu XVII Setelah Pentakosta - 5 Oktober 2025

Khotbah Minggu 5 Oktober 2025 - Minggu XVII Setelah Pentakosta

 

 HAMBA-HAMBA YANG TIDAK BERGUNA (Luk. 17:5-10)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: 2Tim. 1:1-14; Rat. 1:1-6 atau Rat. 3:19-26 atau Hab. 1:1-4, 2:1-4; Mzm. 37:1-9 atau Mzm. 137

 

 

Pendahuluan

 

Mungkin kita pernah diperlakukan oleh orang lain tidak sepantasnya atau bahkan menimbulkan kerugian atau penderitaan, maka melalui nats yang kita baca minggu ini kita belajar tentang hubungan iman dengan pengampunan dosa. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kita tersesat oleh karena tergoda untuk melakukan pembalasan. Ajaran perjanjian lama mengatakan bahwa mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Cara berpikir seperti ini memang ada pada orang Yahudi (Mat. 5:38-44). Akan tetapi apakah untuk memberikan pengampunan diperlukan iman yang besar? Dan bagaimana iman tersebut menghasilkan sesuatu yang besar, serta hubungannya dengan penggunaannya yang tidak membuat kita sombong rohani. Maka melalui bacaan minggu ini, kita diajarkan oleh Tuhan Yesus beberapa hal sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Menambah iman (ayat 5)

 

Pada ayat 1-4 sebelumnya Tuhan Yesus mengingatkan pentingnya pengampunan dosa bagi sesama, agar jangan sampai ada orang percaya yang jatuh ke dalam dosa karena menyimpan beban sakit hati atau dendam. Namun untuk bisa memberi pengampunan dosa, menurut para murid waktu itu, dibutuhkan iman yang besar sehingga kekuatiran tidak terjadi sebaliknya, malah iman yang memberi pengampunan justru yang tergerus menghilang. Oleh karena itu, para murid kemudian meminta kepada Tuhan Yesus: "Tambahkanlah iman kami". Mereka berpikir polos dan sederhana, pertambahan iman itulah yang dibutuhkan dalam memberi pengampunan.

 

 

 

 Menjawab hal ini Tuhan Yesus menjelaskan bahwa yang diperlukan dan utama dalam memberi pengampunan bukanlah ukuran besar-kecilnya iman, akan tetapi bagaimana iman itu diyakini dan dilaksanakan. Oleh karena itu Tuhan Yesus memberi kiasan iman itu seperti biji sesawi. Biji sesawi sangat kecil (bayangkan sebesar gula pasir) sehingga melalui yang dikatakan-Nya, iman yang kecil pun sebenarnya memiliki kuasa untuk memberi pengampunan dan tidak memerlukan iman yang besar. Justru melalui pemberian pengampunan itu, iman orang percaya berkarya dan bertumbuh semakin besar serta dikuatkan. Jadi, bukan sebaliknya yang terjadi, yakni perlu iman besar untuk pengampunan melainkan dengan iman kecil kita memberi pengampunan dan menghasilkan pertumbuhan iman yang semakin besar.

 

 

 

Maka kesusahan atau penderitaan sebesar apa pun yang kita alami karena perlakuan orang lain, baik oleh pihak yang kita tidak kenal maupun oleh orang yang kita kenal, maka semua itu tidak perlu kita balaskan secara langsung (apalagi bila itu terjadi bukan karena kesengajaan). Penderitaan yang kita tanggung karena perbuatan orang lain itu sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan, agar kita mampu untuk mengatasinya dan melewatinya, tanpa ada dampak dan efek lanjutannya yang merugikan diri sendiri. Justru dengan iman kecil yang kuat kepada Tuhan, dengan penderitaan itu iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan. Penderitaan dan tantangan sebesar apa pun pada prinsipnya bisa kita lalui selama kita berjalan bersama Tuhan dalam mengatasi dan melewatinya (Flp. 4:13).

 

 

 

Kedua: Iman yang memindahkan pohon (ayat 6)

 

Sebagaimana biji sesawi, iman (yang dalam bahasa Yunani disebut dengan pistis) memang merupakan kata benda. Akan tetapi meski kata benda, iman adalah hidup dan sesuatu yang bisa bertumbuh serta berbuah sebagaimana biji sesawi yang asalnya juga sangat kecil. Dalam hal ini sebagaimana biji, maka iman yang bertumbuh haruslah berakar pada sesuatu, yakni dalam hal ini berakar pada Tuhan. Jadi inti dari iman adalah ketergantungan total pada Allah dan menempatkan-Nya sebagai sumber pertumbuhan yang diperkuat dengan keinginan untuk melakukan kehendak-Nya sebagai buah. Maka dalam hal ini ukuran besarnya iman tidaklah menjadi penting sebab yang diperlukan adalah dasar dan sikap ketergantungan tadi kepada Allah.

 

 

 

Kalau iman diberi kiasan sebagai biji sesawi, maka sama halnya dengan perpindahan pohon ara yang terbantun dan tertanam di dalam lautan, itu juga hanya kiasan. Jelas terbantunnya itu sebuah peristiwa “besar dan ajaib”, tidak masuk akal. Akan tetapi apa yang ingin disampaikan oleh Yesus adalah melalui iman kita bisa melakukan hal yang besar dan ajaib dan tidak masuk akal pikiran manusia. Jadi iman membuat hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Ini yang dikatakan-Nya bahwa jika orang percaya memiliki iman, maka “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk. 9:3; Mat. 9:23). Inilah yang yang ditekankan-Nya bahwa iman tidak mengenal hal yang mustahil.

 

 

 

Sebagaimana biji sesawi maka biji itu bertumbuh terus dan kemudian berbuah. Iman yang bertumbuh akan menghasilkan buah dan buahnya semakin lebat, yang tadinya impossible menjadi possible. Semua itu terjadi bukan karena kehebatan manusia, akan tetapi karena pertolongan dan kuasa Allah yang tidak terbatas. Biji sesawi yang kecil itu awalnya juga kecil dan tidak tampak, akan tetapi melalui pertumbuhan dengan buah-buah yang kelihatan, maka iman itu semakin kelihatan dan kuat teruji. Jadi kita tidak membutuhkan iman yang besar melainkan iman yang sehat dan kuat dan siap untuk bertumbuh. Semua itu hanya mungkin apabila iman itu berdasar dan kokoh ketergantungannya kepada Tuhan Yesus.

 

 

 

Ketiga: Kedudukan hamba di hadapan Tuan (ayat 7-9)

 

Pada awalnya sangat sulit bagi kita untuk memahami mengapa ayat tentang iman yang dapat memindahkan pohon ini dikaitkan dengan kedudukan hamba. Akan tetapi hubungan itu menjadi jelas, sebab umumnya para hamba Tuhan memiliki iman yang lebih besar dibandingkan dengan orang percaya lainnya. Melalui iman mereka, karya Allah diwujud-nyatakan kepada anggota jemaat dalam pendampingan maupun keteladanan diri mereka mengarungi permasalahan kehidupan sehari-hari. Para hamba Tuhan ini diminta memperlihatkan bahwa dengan iman yang kecil dan kuat, semua permasalahan kehidupan apapun akan dapat dilewati dengan kemenangan, sebab dengan iman kita tidak berjalan sendirian melainkan beserta dengan Allah.

 

 

 

Akan tetapi poin lainnya para hamba Tuhan ini melakukan itu semua karena memang itu tugas dan panggilannya. Tidak ada alasan bagi para hamba Tuhan untuk menganggap bahwa Allah berhutang atas semua karya iman yang dilakukannya itu. Semua pekerja dalam ladang Tuhan dan orang percaya memiliki kedudukan hamba dan melayani Tuhan dengan tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan, sebab itu memang kewajibannya. Sama seperti dalam ayat di atas, ketika hambanya pulang dari ladang dan berkata kepada hamba itu: “Mari segera makan. Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum…”. Artinya secapek apapun hamba, tetap tujuannya adalah melayani Tuannya.

 

 

 

Jadi tidak ada alasan untuk sombong apalagi bermegah atas pelayanan iman yang diberikan. Pekerjaan hamba sebagaimana kita di hadapan Allah adalah hal yang selayaknya kita lakukan dan justru diminta ketaatan, termasuk taat dalam memberi pengampunan tadi. Kalau pun semua itu kita lakukan maka tidak ada keistimewaan yang layak kita terima. Ketaatan dan tunduk pada perintah-Nya bukanlah sesuatu yang istimewa melainkan suatu kewajiban dasar saja. Jangan kita berpikir adanya hak atau imbalan khusus untuk itu. Seperti ayat yang kita baca: “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” Maka semua sikap ini akan membuktikan karakter kita sebagai orang percaya (dan hamba Tuhan) sehingga menjadi berkat bagi orang lain.

 

 

 

Keempat: hamba yang rendah hati (ayat 10)

 

Akan tetapi Tuhan Yesus juga tidak mengatakan bahwa yang kita perbuat itu sia-sia dan tanpa arti, atau beranggapan itu tidak berguna dan bermanfaat, melainkan Ia mengecam mereka-mereka yang menonjolkan diri sendiri dan membuat itu sebagai kesombongan rohani. Tuhan Yesus menekankan agar kita jangan merekam dan berhitung apalagi bermegah dan menyombongkan diri untuk itu. Anugerah iman dan kuasanya yang besar sangat mudah menimbulkan kesombongan rohani, dan itulah yang Tuhan tidak inginkan. Kuasa iman juga bukan sesuatu yang perlu kita tonjolkan dan pamerkan, apalagi obral, melainkan semua itu hanyalah ketaatan dalam meninggikan dan memuliakan Dia.

 

 

 

Oleh karena itu Tuhan Yesus mengajarkan hubungan iman ini dengan kerendahan hati. Iman tidak dipakai dengan kesombongan apalagi menguji Allah membuktikan Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Memang Allah mampu melakukan segala sesuatu dan tidak ada yang mustahil bagi Dia (Luk. 1:37; Mrk. 14:36) akan tetapi itu semua sesuai kehendak-Nya. Allah sanggup dan orang percaya menjadi sanggup melalui kuasa-Nya, akan tetapi itu tidak dipakai untuk bermegah apalagi untuk mengharapkan kedudukan yang istimewa di hadapan Allah. Justru sebagai orang percaya apalagi hamba Tuhan, kita semakin dipanggil untuk melakukan semua itu dengan kerendahan hati dan hasrat yang kuat dan berakar pada Kristus, ketergantungan total dalam meninggikan Dia sehingga perbuatan kita hanya untuk menyenangkan hati-Nya.

 

 

 

Bagian terakhir dari pesan Tuhan Yesus adalah iman yang kita miliki harus dipakai untuk berkarya melalui perbuatan-perbuatan kasih. Untuk itu tidak dipersoalkan besarnya dan bentuknya iman yang kita miliki, akan tetapi yang utama adalah keinginan untuk berbuah nyata dalam tindakan kasih kepada sesama terutama yang membutuhkan. Sebab jikalau tidak demikian, iman yang dianugerahkan kepada kita itu tidak berbuah nyata, maka Allah akan menganggap kita sebagai hamba yang tidak berguna. Kalau soal kekuatiran akan tidak cukupnya iman adalah sesuatu yang wajar, sebagaimana kisah seorang ayah yang membawa anaknya untuk disembuhkan karena kerasukan roh yang membisukan anaknya: “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mrk. 9:14-27). Maka tetaplah berdoa agar iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan.

 

 

 

Kesimpulan

 

Melalui nats minggu ini kita diajarkan pentingnya iman bagi orang percaya (band. Ibr. 11:6; Rm. 14:23). Pelayanan kita dalam berhadapan dengan orang lain mungkin akan berhadapan dengan tantangan yang berat namun semua itu harus kita siapkan dengan iman. Dalam hal ini tidak masalah soal besar kecilnya iman sepanjang itu bertumbuh dengan berakar pada Tuhan dan kokoh di dalam Dia. Dalam melaksanakan iman itu haruslah kita ingat kedudukan kita adalah tetap sebagai hamba, dan diajarkan untuk tidak berhitung dengan Tuhan. Pelayanan adalah kewajiban kita yang sudah diselamatkan melalui darah Tuhan Yesus. Dalam pelayanan itu hendaklah kita melakukannya dengan kerendahan hati, sebab apabila diri kita yang ditonjolkan, maka kita akan dianggap hamba yang tidak berguna.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 37 guests and no members online

Statistik Pengunjung

12878707
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
2163
3598
27091
0
44665
152208
12878707

IP Anda: 216.73.216.14
2025-10-10 11:26

Login Form