Friday, October 10, 2025

2025

Kabar dari Bukit, Minggu 14 September 2025

Kabar dari Bukit

 MENGIKIS KEBEBALAN MANUSIA (Mzm. 14:1-7)

 ”Tuhan memandang ke bawah dari surga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah” (Mzm. 14:2)

Ada perbedaan bebal dengan bodoh. Bebal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran); bodoh. Tetapi “bodoh” lebih merujuk pada kurang tahu, kurang pengetahuan, atau kurang cerdas, sementara bebal lebih merujuk pada hati dan sikap yang menolak pengetahuan, kebijaksanaan dan nasihat; mirip keras kepala, tegar tengkuk. Alkitab menuliskan, “kefasikan itu kebodohan dan kebebalan itu kegilaan” (Pkh. 7:25).

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Mzm. 14, ada tujuh ayat. Judul perikopnya: Kebebalan manusia. Raja Daud membukanya dengan mengatakan, orang bebal berkata dalam hatinya, ”Tidak ada Allah” (ay. 1a). Biasanya yang berkata demikian sudah terkungkung dalam dosa, termasuk kesombongan diri. Bagi mereka ini akan “ditimpa kegentaran, sebab Allah menyertai angkatan yang benar” (ay. 5).

 

Selanjutnya disebutkan mereka telah menyeleweng, bejat, busuk, dan keji perbuatannya (ay. 1b, 3a). Menurut Matthew Henry dalam buku tafsir Mazmur, ada empat kejahatan yang mereka lakukan. Pertama, mereka merancang, menjalankan sikap bebal tersebut dan mendapatkan kesenangan dengannya. Tidak berakal budi dan tidak mencari Allah (ay. 2b). Kedua, bersifat rakus “memakan habis umat-Ku seperti memakan roti” (ay. 4). Ini bagaikan saudara-saudara Yusuf yang melemparkan dia ke sumur, lantas duduk makan (Kej. 37:24-25). Mereka tidak peduli perasaan dan penderitaan orang lain. Ketiga, tidak berseru kepada Tuhan. Ditambahkannya, kebaikan apa yang dapat diharapkan dari orang-orang yang hidup tanpa doa? Keempat, mereka mengolok-olok orang yang tertindas (ay. 6).

 

Kebebalan manusia dengan berkata tidak ada Allah, datang dari sikap atheis (tidak percaya adanya Allah). Tetapi dapat juga bersifat agnostik yakni berpikiran Allah tidak dapat dimengerti dan didekati, serta tidak berhubungan dengan keseharian kehidupan. Ini mirip dengan panteisme, yang berpikir alam semesta sendiri adalah allah dan hukum alam yang berkuasa. Umumnya mereka ini mentuhankan perbuatan baik atau humanisme, tidak perlu kasih karunia Allah.

 

Tetapi ada juga yang menggeser tuhannya kepada pikiran dan dunia, seperti materialisme dan kepraktisan. Alkitab mengingatkan, mereka ini adalah orang-orang yang “mengaku mengenal Allah, tetapi dengan perbuatan mereka, mereka menyangkal Dia. Mereka keji dan tidak taat dan tidak sanggup berbuat sesuatu yang baik (Tit. 1:16). Ini juga berbahaya, memberi contoh buruk bagi orang lain.

 

Di sekeliling kita pasti ada orang yang bebal. Maka sikap kita perlu bijak. Ada beberapa langkah mengikis kebebalan mereka.

Pertama, hadapilah dengan sabar dan berempati, yakni membayangkan dirinya seperti diri kita;

Kedua, rendah hati, dengarkan penjelasannya dan carilah alasannya. Jangan cepat menyerang, menghakimi, sebab mereka akan bertahan dan bahkan menolak;

Ketiga, berilah contoh yang baik, sadarkanlah.

 

Perlu hati-hati menghadapi orang bebal. Jangan sampai terlibat dalam perdebatan yang melelahkan, tidak membangun. Kendalikan diri kita sesuai tujuan mengubahnya. Tentukan batasan agar tidak berlarut-larut, apalagi sampai membuat kita malah frustasi, stres, dan hubungan pribadi rusak. Selain berdoa bagi mereka, kita juga bisa mencari dukungan dan menyerahkannya kepada pihak yang lebih berpengaruh termasuk ke majelis jemaat (bdk. Mat. 18:15-17).

 

Tetapi yang utama, sebagai murid Kristus janganlah bersikap EGP: Emang gua pikirin? Keselamatan dan pemulihan datang dari Tuhan (ay. 7).

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah Minggu XIV Setelah Pentakosta - 14 September 2025

Khotbah Minggu 14 September 2025 - Minggu XIV Setelah Pentakosta

 

 ADA SUKACITA KARENA SATU ORANG BERTOBAT (Luk. 15:1-10)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 4:11-12, 22-28 atau Kel. 32:7-14; Mzm. 14 atau Mzm. 51:1-10; 1Tim. 1:12-17

 

 

Pendahuluan

 

Minggu ini bacaan kita tentang kisah orang-orang berdosa yang sangat senang berkumpul dengan Tuhan Yesus. Mereka rajin mendengar pengajaran-Nya, bahkan sering makan bersama-Nya. Perbuatan Tuhan ini tidak ditanggapi secara positip dan sukacita oleh kaum Farisi dan ahli Taurat. Mereka bahkan mencela dan bersungut-sungut atas kejadian itu. Namun bagi Tuhan Yesus, kasih Allah dinyatakan bagi mereka yang tersisihkan ini, untuk dipanggil dan masuk dalam pertobatan. Hal ini karena ada sukacita besar yang terjadi di sorga tatkala satu orang bertobat.

 

 

Dari nats yang kita baca minggu ini ada beberapa menjadi pokok pengajaran sebagai berikut.

 

 

Pertama: bersungut-sungut (ayat 1-2a)

 

Bersungut-sungut itu padanannya adalah mengomel (mencomel) atau menggerutu. Sikap itu timbul karena ketidak-puasan atau gusar terhadap sesuatu, yang bersumber dari dirinya sendiri maupun respon atas orang atau hal lain. Biasanya ekspresinya adalah dengan mengeluarkan kata-kata kekesalan dan cenderung tidak runtut dan jelas. Sikap ini bisanya muncul sebab merasa dirinya hebat dan berbeda, utama, dan fokus kepada dirinya sendiri. Fokus dalam pengertian lebih melihat kepentingan dan manfaat bagi diri sendiri dan bukan kepentingan orang lain, atau melihat kemungkinan adanya pandangan dan sikap yang berbeda dari pihak lain. Sikap bersungut-sungut atau menggerutu juga bisa terjadi karena terlalu membesar-besarkan masalah atau kesulitan yang ada. Orang-orang seperti ini tidak melihat sisi lain dari rencana Allah yang baik untuk mereka.

 

 

 

Sikap bersungut-sungut ini tampak dalam Alkitab ketika umat Israel keluar dari Mesir. Ketika mereka mulai menemukan kesulitan dalam perjalanan kembali ke tanah perjanjian, mereka mulai bersungut-sungut kepada Musa. Tiadanya air minum (Kel. 15:24; 17:3), kurangnya makanan (Kel. 16:2) dan adanya ancaman (Bil. 14:2) membuat mereka bersungut-sungut. Pikiran mereka menjadi picik dan buta untuk melihat apa yang telah Tuhan berikan yang terbaik. Mereka lupa dan tidak bersyukur sebab telah dibebaskan dari perbudakan yang demikian lama. Hambatan atau kesulitan sedikit saja, langsung mengomel dan memperlihatkan sikap yang tidak suka, bahkan ingin berpaling dari Allah.

 

 

 

Allah kadang bersabar terhadap orang yang bersungut-sungut sebagaimana Ia perlihatkan kepada bangsa Israel. Kadang Allah langsung memberi respon atas keluhan mereka. Tetapi Allah juga kadang langsung murka atas sikap yang demikian (Bil. 11:1; 14:27; 21:5), sebab Allah telah melihat bahwa mereka tidak memandang dan menghargai apa yang sudah Allah berikan. Oleh karena itu, perjanjian baru mengajarkan agar kita jangan bersungut-sungut dan menggerutu (Flp. 2:14), melainkan mampu mengendalikan sikap kesal dan keluhan atau perasaan tidak puas, sebab dengan demikian kita berarti melihat berkat-berkat lainnya yang sudah diberikan dan layak dinikmati dan syukuri (band. Mzm. 106:25; 1Kor. 10:6-10).

 

 

 

Kedua: akibat bersungut-sungut (ayat 2b)

 

Dalam nats minggu ini disebutkan bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bersungut-sungut karena Tuhan Yesus makan bersama dengan orang yang mereka pandang sebagai orang-orang berdosa. Mereka ini adalah para pemungut cukai, perempuan sundal, orang-orang di jalanan yang dianggap “rendah”, termasuk mereka yang dianggap tidak memahami hukum Taurat. Sikap orang Farisi yang menjauh karena tidak mau "tercemar" dengan bergaul bersama mereka. Mereka tidak mau repot karena adanya ritual-ritual "penyucian" yang harus dilakukan ketika kaum Farisi dan ahli Taurat ini bersentuhan dengan mereka. Penghargaan kepada sesama manusia memang cenderung bukan berdasarkan hakikat manusia yang memiliki harkat, melainkan lebih melihat status. Sebaliknya Yesus memperlihatkan sikap yang berbeda. Bagi Tuhan Yesus mereka adalah sasaran misi kedatangan-Nya ke dunia. Orang-orang Farisi menggerutu sebab mereka tidak mengerti tujuan sesungguhnya dari Yesus, yakni Ia ingin memperoleh kembali orang-orang yang disisihkan itu.

 

 

 

Tuhan Yesus mencari orang berdosa dan yang hilang dari kerajaan-Nya. Inilah kerinduan-Nya dan Ia ingin membawa mereka kembali untuk masuk dalam kerajaan damai sejahtera dan keselamatan abadi. Perasaan belas kasihan Allah selalu muncul tatkala bersua dengan mereka ini. Berkumpul dan bercakap-cakap dengan mereka yang direndahkan seperti ini, akan timbul perasaan bangga dan naiknya harga diri bahwa mereka bukanlah orang yang terlupakan. Mereka adalah sama penting dan berharganya di mata Tuhan. Yesus suka blusukan bergaul bersama yang direndahkan ini. Ia tidak jaim (jaga image), jaga reputasi, justru mengambil resiko atas sikapnya itu.

 

 

 

Inilah yang harus kita perlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Justru bagaimana kita bisa memberikan yang terbaik bagi mereka yang terpinggirkan oleh dunia ini. Apakah itu karena pendidikan, kemiskinan, penyakit atau kekuasaan, sehingga mereka merasa terabaikan. Sikap kurang mau bersyukur dan membagikan rasa syukur itu kepada mereka justru akan menghilangkan potensi sukacita yang disediakan oleh Allah bagi kita. Kalau ada yang tidak kita puas, maka sebenarnya kita justru harus semakin gigih untuk berdoa dan memohon kepada Allah agar kita semakin dipakai-Nya.

 

 

 

Ketiga: mencari domba dan dirham yang hilang (ayat 3-5, 7-8)

 

Dalam bagian ini Tuhan Yesus menekankan pentingnya mencari mereka yang hilang. Ia menggambarkan seekor domba yang tersesat dari kumpulannya dan tidak kembali ke kandang, harus dicari hingga dapat. Tugas gembala tidak ringan. Medan mencari rerumputan yang berat dan petanggungjawaban atas jumlah domba-domba sesuatu yang mutlak, sebab biasanya domba-domba milik beberapa orang yang digembalakan satu atau dua orang secara bersamaan. Ada kemungkinan domba tersebut tidak hanya tersesat hilang arah jalan, akan tetapi juga terperosok masuk dalam lobang sehingga hanya orang lain yang bisa menyelamatkannya. Seekor domba tidak bisa menemukan jalan pulang, seseorang harus menuntunnya. Perhatian kepada domba yang sesat dan hilang itu melebihi dari yang sudah masuk kandang dan selamat. Itu cara berpikir yang sederhana dan jelas, tetapi itulah cara berpikir kristiani. Mungkin bagi sebagian orang itu cara berpikir yang "bodoh", mengorbankan 99 domba oleh karena mencari satu domba yang tersesat, yang mungkin dengan tuduhan domba itu mbalelo, kemauannya sendiri, biar saja dia tersesat atau masuk jurang. Cara berpikir inilah yang dilawan oleh Tuhan Yesus.

 

 

 

Demikian juga gambaran tentang dirham yang hilang di dalam rumah. Dirham disini berarti coin yang berharga karena nilainya (perhatikan rumahnya gelap jadi mungkin dari kalangan miskin),  atau mungkin karena nilai kenangannya (Dirham juga sering dijadikan hadiah dan dipakai sebagai hiasan kepala saat pernikahan). Mencari dirham yang hilang di lantai tanah  dan gelap, pasti membutuhkan usaha yang sangat keras. Ia bisa saja terselip di antara barang atau sampah jerami. Sebagaimana perempuan dalam kisah ini, ia akan menyalakan pelita dan mondar-mandir mencari di setiap sudut dan pelosok rumah. Usaha yang tidak mudah. Maka ketika perempuan itu menemukan dirham yang hilang, maka ia akan bersorak-sorai kegirangan.

 

 

 

Kalau orang Farisi dan ahli Taurat justru melecehkan mereka yang dianggap berdosa, rendah dan terhilang, maka kita justru orang-orang yang dipanggil untuk mengangkat mereka. Cara berpikir kristiani adalah, lebih baik seorang penjahat ditobatkan dan kembali ke jalan yang besar dibanding dia dihukum dan dimatikan. Sukacita kristiani adalah sukacita yang lebih menekankan pertobatan. Ini bukan berarti bahwa Yesus mengabaikan yang 99 domba (atau murid/pengikut) yang sudah "dikandang"), melainkan Yesus ingin menekankan bahwa kita harus terus mencari mereka yang hilang. Domba yang tersesat akan mati kehausan dan kelaparan, atau mudah dimangsa binatang jahat. Demikian pula mereka yang jauh dari Allah, mereka haus dan lapar rohani, dan sangat mudah dijerat oleh iblis yang jahat. Ini adalah kasih yang paling besar dari Allah melalui Tuhan Yesus.

 

 

 

Keempat: bersukacita karena menemukan yang hilang (ayat 6, 9-10)

 

Konsep orang Farisi dan ahli Taurat adalah manusia yang mencari Allah. Pandangan ini juga muncul di beberapa kalangan. Akan tetapi dalam Perjanjian Baru, konsep ini justru terbalik, sebab Allah yang mencari manusia. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk. 19:10)." Ia menawarkan jalan dan kehidupan baru sebagai bukti kasih-Nya kepada mereka. Secara tidak langsung Tuhan Yesus juga “mencela” orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang menganggap dirinya paling benar dan suci, merasa hebat dan penting dari pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya.

 

 

 

Orang benar yang sudah diselamatkan tidak memerlukan pertobatan. Orang sehat tidak membutuhkan obat. Usaha mencari domba dan anak yang hilang memang tidaklah mudah. Sama seperti gembala yang harus mengarungi medan lapangan gelap dan jalan berbukit serta berbatu untuk menemukan domba yang hilang, demikian jugalah kiranya menemukan anak-anak Tuhan yang tersesat. Doa kita bersama adalah langkah awal untuk menemukan gembala yang siap terjun ke medan perjuangan penginjilan. Menemukan si anak hilang bukanlah di tempat-tempat yang mudah. Akan tetapi mereka yang terus mencari dan menemukan mereka yang hilang, akan memiliki sukacita yang besar termasuk sukacita di sorga. Tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk mencari yang hilang dan membawanya kembali kepada Yesus, meski hanya satu orang. Semua itu tidak bisa diukur dengan nilai uang. Rasul Paulus adalah contoh orang berdosa yang diselamatkan dan Tuhan pakai sebagai alat kemuliaan-Nya (Gal. 1:24).

 

 

 

Nats minggu ini bahkan menyebutkan akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah. Ada kesukaan besar ketika seorang penjahat bertobat dibanding dengan ia diberantas dan dimatikan. Allah dan sorga bersama-sama bersukacita apabila seorang berdosa bertobat (band. Luk. 4:18-19; Mat. 10:6; 15:24). Tuhan Yesus lebih berbelas-kasihan kepada mereka ini dan inilah sikap yang harus kita teladani. Gambaran sukacita ketika ditemukannya domba yang tersesat dan dirham yang hilang merupakan gambaran sikap Allah atas pertobatan seseorang. Kegembiraan seisi rumah dan tetangga digambarkan bagaikan kegembiraan Allah. Pertobatan anak yang hilang dan orang berdosa akan memiliki pengharapan kepada Allah, memiliki rasa harga diri, bahkan dengan penuh kepercayaan kembali kepada Bapa yang penuh kasih.

 

 

 

Kesimpulan

 

Minggu ini kita diajarkan tentang tidak baiknya bersingut-sungut. Itu berarti melupakan berkat dan rasa syukur kepada Allah. Tuhan Yesus ditegaskan datang untuk mencari manusia yang hilang dan tersesat. Ia sangat bersuka cita apabila menemukan mereka yang hilang. Tidak ada manusia yang tidak berharga untuk diselamatkan. Setiap orang adalah anak-anak-Nya yang menjadi obyek Kasih-Nya. Maka kita, murid-murid-Nya, seharusnya memiliki belas kasih yang sama seperti yang Ia miliki. Kita harus terus berdoa supaya Roh Kudus memenuhi hati kita dan dipanggil untuk membawa orang berdosa kepada keselamatan.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

  

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (3) Minggu XIV Setelah Pentakosta - 14 September 2025

Khotbah Minggu 14 September 2025

 

Minggu XIV Setelah Pentakosta (Opsi 3)

 

ANUGERAH DAN KESAKSIAN (1Tim. 1:12-17)

 

"Meski tak layak diriku, tetapi kar'na darahMu, dan kar'na kau memanggilku, 'ku datang, Yesus, padaMu; Sebagaimana adanya jiwaku sungguh bercela, darahMu-lah pembasuhnya; 'ku datang, Tuhan, padaMu" (KJ. 27:1-2).

 

 

            Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XV setelah Pentakosta ini diambil dari 1Tim. 1:12-17. Nas ini tentang pengakuan Rasul Paulus atas kebaikan Tuhan dalam hidupnya. Ia menyadari sebenarnya tidak layak memperoleh anugerah yang sedemikian besar, sebab masa lalunya kelam, penuh dengan dosa dan kebencian. Ia menghujat Allah, dan menganiaya jemaat dengan ganas (ayat 13; Kis. 8:1-3; 9:1-2). Tetapi ternyata ia merasakan Allah telah mengasihaninya, dan menguatkannya, menganggapnya setia, dan memberinya kepercayaan untuk masuk dalam pelayanan (ayat 12).

 

 

 

            Ia bersyukur atas semua itu. Kasih karunia Tuhan sungguh berlimpah. Anugerah melahirkan rasa syukur. Gratia membuahkan Gratude. Paulus semakin meyakini bahwa “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa." Dan, semua dilakukan Yesus dengan kesabaran-Nya, dengan tujuan agar orang yang merasa paling berdosa sekali pun, tidak akan berputus asa meminta belas kasihan Allah. Mereka yang percaya dan taat pasti menerima hidup kekal dan bukan hukuman kekal.

 

 

 

            Hidup jangan sekedar dijalani tetapi juga harus diisi. Hidup bukan hanya menikmati anugerah keselamatan Allah melalui penebusan Tuhan Yesus, tetapi juga meresponnya dengan membagi hidup kita dalam pelayanan. Kita mesti ikut bertanggungjawab. Janganlah anugerah keselamatan diterima dengan sukacita, tetapi hubungan dan tanggungjawab terhadap Allah dihindari. Kebaikan Tuhan yang tidak layak bagi kita, mesti menjadi dasar penguatan iman dan berbuah dalam pelayanan kasih di dalam Yesus Kristus (ayat 14).

 

 

 

            Kesadaran keberdosaan membawa kita kepada kerendahan hati. Rasul Paulus mengakuinya, dan menyebut dirinya "yang paling berdosa." Adanya pertobatan membuka kesadaran bahwa Allah itu baik. Jangan hati kita menjadi tumpul, tidak peka, dan merasa biasa-biasa saja.  Perjalanan hidup yang diwarnai hidup baru akan menghasilkan rasa syukur dan ingin terus melekat dengan Allah (2Kor. 4:1). Mungkin kadang-kadang kita dibiarkan jatuh bahkan sangat dalam, tetapi di baliknya pasti ada rencana Allah, termasuk pengampunan dan pembentukan sebagai manusia baru.

 

 

 

            Pesan terakhir nas ini, agar kita menempatkan Allah sebagai Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang esa! Selalu ada rasa rindu untuk dipakai-Nya, dan percaya Allah menempatkan dan memampukan setiap orang untuk melakukan pelayanan (Kis. 26:16-17). Melalui pelayanan, kita menjadi berkat bagi sesama. Pelayanan membuat kita semakin bersyukur tentang kebaikan dan kebesaran Allah. Sudahkah yang terbaik kita berikan? Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi-Nya.

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (2) Minggu XIV Setelah Pentakosta - 14 September 2025

Khotbah Minggu 14 September 2025

Minggu XIV Setelah Pentakosta (Opsi 2)

 

PINTAR BERBUAT JAHAT (Yer. 4:11-12, 22-28)

 

“Sekarang Aku sendiri akan menjatuhkan hukuman atas mereka” (Yer. 4:12b)

 

Salam dalam kasih Kristus.

 

Saya sangat suka ayat Alkitab Yak. 4:17, dan sedikit ragu apakah semua orang Kristen tahu dan menyadari maknanya? “Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Ngeri-ngeri sedap ya ayatnya…, sebab situasi ini sering kita hadapi, dan kita agaknya lebih cenderung berpaling atau berkelit meski ada kesempatan.

 

Inilah yang dihadapi oleh Nabi Yeremia ketika harus menyampaikan kenyataan pahit, bahwa Allah sedang marah besar dan menghukum bangsa Israel. Kisah itulah nas bacaan kita di hari Minggu ini, Yer. 4:11-12, 22-28, tentang pesan Allah agar bangsa Israel bertobat. Pesannya pun sangat keras! "Sungguh, bodohlah umat-Ku itu, mereka tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol, dan tidak mempunyai pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik mereka tidak tahu" (ayat 22).

 

Nabi Yeremia kemudian menjabarkan hukuman yang dilakukan Allah terhadap bangsa itu. “Angin panas dari bukit-bukit gundul di padang gurun bertiup ke arah puteri umat-Ku; bukan untuk menampi dan bukan untuk membersihkan, melainkan angin yang keras datang atas perintah-Ku” (ay. 11). “Aku melihat bumi, ternyata campur baur dan kosong, dan melihat kepada langit, tidak ada terangnya…, kepada gunung-gunung, ternyata goncang; dan seluruh bukitpun goyah. Aku melihat, ternyata tidak ada manusia, dan semua burung di udara sudah lari terbang. Aku melihat, ternyata tanah subur sudah menjadi padang gurun, dan segala kotanya sudah runtuh di hadapan TUHAN, di hadapan murka-Nya yang menyala-nyala!” (ay. 23-26).

 

Hukuman berat ini masih dilanjutkan. "Seluruh negeri ini akan menjadi sunyi sepi, tetapi Aku tidak akan membuatnya habis lenyap. Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu" (ay. 27-28).

 

Tidak terbayangkan. Dan ini menjadi salah satu gambaran pemusnahan di akhir zaman; bukan saja untuk dunia, tetapi dapat juga untuk bangsa dan pribadi!

 

Dua hari lalu dalam renungan di Radio Heartline, saya menyampaikan bahwa sebagai orang percaya, kita tidak boleh hanya bersyukur atas anugerah keselamatan yang telah diberikan, sola gratia. Bayangan masuk sorga muncul dengan percaya kepada Tuhan Yesus; dosa-dosa kita telah ditebus dengan Yesus mati tersalib. Tetapi, janganlah lupa, doktrin Kekristenan dan isi Alkitab menegaskan, ada ujian tiap hari yang mesti kita lalui, yang disebut sebagai ketekunan orang percaya. Percaya hanyalah sebuah awal proses, namun ujian ketaatan dan ketekunan akan berlangsung terus sepanjang hidup.

 

Ketekunan orang percaya inilah mesti kita jalani dan lewati, agar keselamatan berdasar anugerah dapat kita terima; kita jaga, pertahankan dan lulus. Dalam hal ini, ada beberapa ukuran yang perlu kita lihat dan pakai secara mudah dalam kehidupan sehari-hari:

 

1.     -  Apakah kita hidup bukan lagi untuk diri kita, tetapi untuk Tuhan? Ini bukan berarti kita harus menjadi hamba Tuhan dan aktif di gereja, tetapi tujuan hidup kita sudah fokus menjadi alat kemuliaan Tuhan. Kita bisa saja menjadi pekerja, pengusaha, petani, dan lainnya, tapi menyadari hidup kita dipakai oleh-Nya.

2.      -  Apakah kita hidup selalu mengandalkan Tuhan dan dalam kebenaran Alkitab?

3.      -  Apakah kita hidup selalu penuh kasih, kerendahan hati, selalu mengalah?

4.     -   Apakah dalam hidup kita, tidak lagi ada kebencian, permusuhan, bahkan ingin menyakiti orang lain?

5.      -  Apakah kita sudah suka berbagi dan memiliki hal terbaik yang bisa kita berikan?

6.      -  Apakah kita merasa tidak diberkati, bahkan “dihukum” Tuhan, seperti ayat 12b di atas?

 

Bagaimana dengan kita tentang semua itu? Lakukanlah evaluasi diri. Janganlah jadinya kita pintar berbuat jahat, dan tidak tahu berbuat baik. Janganlah hati kita menjadi tumpul, tidak peduli dan peka. Bila kita percaya diselamatkan, isilah hidup dengan penuh tanggung jawab. Semoga tidak seorang pun berkata: au ah gelap, EGP....

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Kabar dari Bukit, Minggu 7 September 2025

Kabar dari Bukit

 

 MENJAGA CITRA DIRI (Ams. 25:6-7)

 

 ”Jangan berlagak di hadapan raja, atau berdiri di tempat para pembesar” (Ams. 25:6a)

 

 

Tuhan Yesus mengajarkan, ketika diundang ke suatu acara, janganlah langsung duduk di tempat kehormatan. Ambillah tempat biasa, mungkin ada tamu yang lebih terhormat dan kita disuruh pindah. Malunya...! Lebih elegan, tuan rumah justru memanggil kita duduk di depan. Firman-Nya: “Sebab, siapa yang meninggikan diri, akan direndahkan dan siapa yang merendahkan diri, akan ditinggikan” (Luk. 14:7-11).

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Ams. 25:6-7; pesannya mirip dengan Luk. 14 di atas: selalulah rendah hati. Memang ada perbedaan penekanan kedua nas, Luk. 14 lebih berprinsip rohani, nas Amsal ini lebih kepada aspek/etika sosial.

 

 

 

Kunci memenangkan situasi ini adalah mengenal diri sendiri (self awareness). Joel Osteen dalam bukunya yang terkenal Your Best Life Now menanyakan: Apakah Citra Diri Anda? Dijelaskannya, "citra diri adalah suatu perasaan jauh di dalam diri Anda tentang diri sendiri, pendapat atau penghakiman Anda tentang nilai sendiri, meluas sampai di mana Anda menganggap Anda berarti dalam kehidupan."

 

 

 

Citra diri memiliki dua aspek seperti dua nas tadi, yakni mengenal diri sendiri dan mengenal identitas diri, keduanya sedikit berbeda. Mengenal diri sendiri berarti sadar dan tahu kekuatan dan talenta yang dimiliki; tentunya kelemahan dan keterbatasan juga, sebab setiap manusia pasti punya kelemahan.

 

 

 

Joel Osteen selanjutnya menekankan, "Anda tidak akan pernah naik ke atas citra yang Anda miliki tentang diri Anda sendiri dalam pikiran Anda sendiri." Untuk itu disarankannya, pertama, jalanilah citra diri yang positif yakni percaya kita diciptakan sesuai dengan gambar Tuhan, yang memberi kehidupan hakiki. Kedua, kembangkan citra diri yang sehat. Ini berarti, Anda harus mendasarkan citra diri pada apa yang Tuhan katakan tentang Anda, daripada standar-standar palsu yang dibuat manusia.

 

 

 

Mengenal diri sendiri berarti  mempunyai peluang untuk memaksimalkannya, agar hidup menjadi lebih baik, lebih merasa aman dan sejahtera. Langkah yang kita lakukan tentunya bisa bervariasi, seperti terimalah diri apa adanya, kenali kekuatan dan kelemahan - tetapi jangan fokus pada kelemahan melainkan kekuatan. Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Bangun hubungan yang sehat dan tulus. Latih kemampuan dengan sistematis dan mulailah dengan langkah kecil. Terakhir, bergaullah dengan orang-orang yang dapat membangun.

 

 

 

Mengenal identitas diri maknanya lebih dalam, berkaitan dengan kesadaran keberadaan kita di hadapan Tuhan. Status sosial kita mungkin tinggi dengan kekayaan dan jabatan, latar belakang keluarga, tetapi semua tidak berarti di hadapan Tuhan. Identitas diri yang sejati berasal dari-Nya, bukan dari prestasi atau pengakuan manusia (1 Ptr. 2:9). Utamanya, kita adalah ciptaan-Nya (Kej. 1:27), menjadi anak-anak-Nya (Yoh. 1:12), diutus Tuhan untuk misi di dunia (Kej. 12:2-3; Mat. 5:13-14; 28:19-20) yang memiliki tujuan hidup, panggilan dan pertanggungjawaban kelak di hadapan Tuhan (Gal. 6:5).

 

 

 

Citra diri berupa kemampuan dan status, bukanlah untuk dipertontonkan apalagi dengan kesombongan, seperti pesan nas ini. Sia-sia berpamer apalagi membandingkan diri dengan orang lain. Sebaliknya, tetaplah rendah hati, pegang jati diri, dan tidak merasa rendah diri atau minder. Kerendahan hati berarti menempatkan orang lain lebih utama, tanpa mengabaikan diri sendiri (Flp. 2:3). Mengenal diri sendiri akan menolong kita rendah hati dan menggunakan berkat-Nya untuk kebaikan; mengenal identitas diri memberi kita dasar yang kokoh untuk tidak mencari-cari kehormatan palsu. Itulah citra diri sejati.

 

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

  

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 33 guests and no members online

Statistik Pengunjung

12879705
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
3161
3598
28089
0
45663
152208
12879705

IP Anda: 216.73.216.14
2025-10-10 17:54

Login Form