Thursday, November 21, 2024

2022

Khotbah Minggu 13 Maret 2022

 

Khotbah Minggu Kedua Pra-Paskah

 

 

YERUSALEM, ENGKAU YANG MEMBUNUH NABI-NABI (Luk 13:31-35)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kej 15:1-12, 17-18; Mzm 27; Flp 3:17-4:1

 

 

 

Pendahuluan

 

Pada minggu kedua pra-paskah ini perjalanan Tuhan Yesus menuju Yerusalem semakin mendekat. Semenjak Tuhan Yesus menubuatkan bahwa Ia akan dibunuh dan mati namun akan bangkit pada hari ketiga tampaknya tidak ada lagi kekuatiran dalam diri Yesus akan apa yang terjadi pada-Nya dalam menggenapi nubuatan tersebut. Dalam nats ini juga Yesus menubuatkan bahwa Ia akan mati di Yerusalem. Yesus percaya bahwa jalan itu harus Ia tempuh, meski Ia tahu bahwa jalan itu tidak mudah sebab akan penuh dengan penderitaan.

 

 

 

Bagaimana persis detail jalan penderitaan itu mungkin Yesus belum mengetahuinya. Akan tetapi suatu kali Yesus sempat "mengeluhkan" beratnya jalan itu sehingga berdoa kepada Bapa-Nya: Jikalau Engkau mau, Ambillah cawan ini dari pada-Ku (Luk 22:42).

 

 

 

Pertama: Jangan menyamaratakan (ayat 31)

 

Dalam nats ini diceritakan beberapa orang Farisi mengingatkan Yesus agar pergi meninggalkan daerah (Galilea) itu karena Herodes bermaksud akan membunuhnya. Ia tidak disukai Herodes karena dianggap membuat keonaran dan permusuhan khususnya dengan para imam dan orang Farisi lainnya. Hal menarik yang mengingatkan Yesus adalah beberapa orang Farisi yang kita ketahui secara umum mereka tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Meski ada kemungkinan pemikiran bahwa beberapa orang Farisi ini meminta Yesus pergi agar mereka tidak pusing, tetapi kita lebih menafsirkannya sebagai rasa kesetujuan mereka terhadap Tuhan Yesus atas langkah-langkah pemberitaan-Nya tentang pertobatan dan kerajaan sorga yang sudah dekat. Kisah ini sama kejadiannya dengan Nikodemus yang datang bertanya diam-diam kepada Yesus tentang lahir baru, yang memperlihatkan simpatinya kepada Tuhan Yesus (Yoh 3:1-dab).

 

 

 

Pelajaran yang dapat kita tarik dari peristiwa ini adalah jangan kita mudah menyamaratakan segala hal dan menarik kesimpulan yang salah. Kalau selama ini kita ketahui betapa jahatnya kaum Farisi dan para Imam kepada Yesus, tetapi fakta-fakta cerita di atas memperlihatkan adanya beberapa orang atau sekelompok orang yang sebenarnya mendukung atau bersimpati terhadap Yesus. Menyamaratakan berarti berpotensi berbuat kesalahan dan dosa. Kira tidak mungkin mengatakan semua pegawai negeri atau pejabat itu koruptor, sebab banyak yang tidak melakukannya. Hal inilah yang harus kita hindari dalam pergaulan dengan lingkungan dan masyarakat. Kita tidak boleh membuat stereotype penghakiman bagi seseorang atas sifat-sifat sekelompok orang atau suku, terlebih hal itu menyangkut sifat-sifat yang kurang baik. Bahkan kita harus mencari pola yang umum dari kebaikan suatu kelompok atau suku sehingga menimbulkan simpati dan damai sejahtera dalam pergaulan, yang secara otomatis kita menjadi garam dan terang.

 

 

 

Secara umum dapat dikatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik, meski ia memiliki kecendrungan berbuat dosa. Namun kecendrungan “jahat” tersebut bisa dikalahkan dengan kebaikan dan pendekatan sehingga hasilnya tetap kebaikan. Menilai buku dari cover adalah sebuah kesalahan. Menilai rasa makanan dari bungkusnya jelas bisa fatal. Maka dengan itu kita diminta untuk lebih berhati-hati dalam membuat kesimpulan penilaian terhadap seseorang berdasarkan pendekatan stereotype tersebut. Untuk menghindarinya hanya bisa dilakukan dengan hikmat yakni membersihkan pikiran kita dari prasangka-prasangka, dan terus berusaha menarik kesimpulan dari pembuktian yang kuat dan sah.

 

 

 

Kedua: Ancaman dan sikap yang teguh (ayat 32-33)

 

Perjuangan selalu membutuhkan keberanian. Tuhan Yesus menyadari perjuangan-Nya bukanlah jalan yang mudah melainkan via dolorosa, jalan penderitaan. Oleh karena itu informasi dan saran yang diberikan oleh orang Farisi tersebut ditanggapi-Nya dengan sikap yang konsisten atas jalan itu. Ancaman pembunuhan atau pengusiran tidak digubris-Nya. Sikap Yesus tersebut juga berdasar karena mengetahui tidak mungkin Ia terbunuh di Galilea, melainkan harus di Yerusalem sebagaimana disebutkan dalam ayat 35. Oleh karena itu Ia tidak takut.

 

 

 

Ia juga tidak mengambil jalan kompromi dengan berusaha menyenangkan hati Herodes. Ia mengambil sikap tegas. Yesus mengetahui cara berfikir Herodes yang lebih kepada safety player - bermain aman - tidak mau mengambil resiko. Herodes juga berpikiran bahwa mungkin saja Yesus adalah Yohanes Pembaptis yang bangkit (band. Luk 9:7). Oleh karena itu Yesus menjawab orang Farisi tersebut dengan menyebut Herodes adalah serigala. Binatang serigala adalah gambaran kelicikan dan kepengecutan. Yesus tidak perlu memenuhi ancamannya. Sebab bisa saja informasi itu sengaja disebarkan Herodes dengan tujuan agar Yesus menyingkir dari wilayahnya. Membunuh Yesus secara langsung juga tidak mudah bagi Herodes karena akan menimbulkan kericuhan.

 

 

 

Hikmat yang bisa kita tarik dari nats ini adalah bahwa dalam memperjuangkan sesuatu, tantangan dan ancaman selalu ada. Ancaman tersebut bahkan dapat menyangkut nyawa kehidupan. Akan tetapi, Yesus tidak takut. Abraham tidak takut karena memegang janji Allah (Kej 15:1-12). Hal yang membuat Yesus tidak takut adalah karena Ia sudah mengetahui akhirnya. Ia tidak kuatir karena arahnya sudah jelas. Ini bisa diibaratkan dengan nasehat Stephen Covey dalam bukunya yang terkenal tentang Seven Habit, begin from the end. Kalau kita sudah tahu ujung kepastiannya maka kita biasanya lebih kuat dan semangat dan tidak takut. Hal demikian juga bagi seseorang yang menderita sakit parah, dengan iman yang kuat kepada Yesus, orang tersebut tidak akan takut lagi pada kematian, sebab ia sudah mengetahui bahwa ia akan menuju sorga kekekalan bersama Yesus. Oleh karena itu, usahakanlah mengetahui konsekuensi akhir jalan atau perbuatan kita, maka kita lebih dikuatkan dan akan teguh konsisten menuju tujuan kita. Sebagaimana Yesus memperlihatkan sikapnya, Ia tidak mau pergi dan tetap menyelesaikan tugas-Nya.

 

 

 

Ketiga: Penyesalan yang menyedihkan (ayat 34)

 

Tuhan Yesus selama hidup dan pelayanan-Nya sudah beberapa kali mengunjungi Yerusalem. Sebagai orang Yahudi, Yesus selalu merindukan Yerusalem dan melihat kota itu sebagai lambang kota suci dan Bait Allah ada disana. Ia juga mengetahui dari sejarah bahwa nabi-nabi besar zaman perjanjian lama banyak dibunuh di Yerusalem. Namun Yesus tidak menghindari bahwa Allah Bapa telah memintanya untuk ke Yerusalem menuntaskan pelayanan-Nya. Oleh karena itu Yesus meratap menangisi kota tersebut dengan rasa sedih yang dalam. Mengapa sejarah buruk mesti berulang? Mengapa tempat yang kita sayangi dan kasihi itu kembali dikotori oleh perbuatan jahat dengan mengorbankan para nabi dan diri-Nya sendiri?

 

 

 

Kita jadi ingat beberapa peristiwa di zaman sekarang terjadinya pertikaian massal karena sekelompok orang mencemari tempat suci, apakah itu gereja, kuil, kelenteng, mesjid dan lainnya. Bahkan kejadian menamai restoran dengan tokoh Buddha tentu sangat disesalkan. Itulah sifat-sifat yang perlu kita hilangkan dalam bermasyarakat. Kita harus saling menghormati dan tidak melecehkan pihak lain. Semua Tuhan keragaman berikan demi keunikan dari persaudaraan. Keberhasilan dalam mempertahankan damai dan sukacita bersama itu yang diminta dari kita sekalian.

 

 

 

Tuhan Yesus sangat memberikan kasih-Nya kepada bangsa Israel. Tapi umat Israel tidak menerima-Nya. Ada pepatah Batak yang mengatakan: Hancit tangan mulak manedek, humacittan dope tangan mulak mangalean. Artinya, kurang lebih, menyakitkan hati apabila tangan meminta kembali hampa, tetapi lebih menyakitkan lagi kalau tangan kembali karena pemberian ditolak. Inilah yang dialami Yesus sehingga ratapan-Nya demikian menyedihkan. Bahkan Yesus menyatakan telah berkali-kali Ia rindu untuk mengumpulkan anak-anakNya, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi tidak mau (ayat 34). Kasih Yesus kepada Yerusalem hanyalah melambangkan kasih-Nya kepada Israel. Ratapan Yesus adalah ratapan buat umat Yahudi. Sayangnya, hanya sedikit yang dapat diselamatkan. Inilah pesan yang diberikan melalui ayat ini yang sejalan dengan bacaan lain yakni Flp 3:17-4:1, bagaimana kita bisa terus mengikuti keteladanan Yesus dalam perbuatan kasih.

 

 

 

Keempat: Hukuman bagi Yerusalem (ayat 35)

 

Kasih yang diberikan Tuhan kepada umat Israel tidak secara otomatis menghilangkan Maha Adilnya Allah, sehingga segala hal yang tidak berkenan kepada Allah akan dikenai hukuman. Ayat 35 jelas merupakan hukuman yang diberikan bagi Yerusalem atas semua yang terjadi di kota tersebut. Tuhan Yesus berkata: "Sesungguhnya rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi."

 

 

 

Dan itulah memang yang terjadi. Hanya sekitar 40 tahun setelah ucapan Tuhan Yesus tersebut, pada tahun 70M kota Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan oleh Kaisar Titus dan Nero serta dilanjutkan dengan pengusiran umat Yahudi dari kota tersebut pada tahun 135 M oleh Kaisar Hadrian. Kota Yerusalem akhirnya diluluh-lantakkan beserta seluruh keberadaan umat Yahudi di tanah kecintaan mereka.

 

 

 

Namun Tuhan Yesus mengutip Mzm 118:26 dalam nats ini: "Kamu tidak akan melihat Aku lagi hingga pada saat kamu berkata: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!" Apa yang dimaksudkan-Nya adalah bahwa Ia adalah Mesias dan akan kembali ke Yerusalem dengan penuh berkat kemuliaan, dan Yerusalem menjadi Yerusalem baru dengan semua orang menyambut kedatangan-Nya.

 

 

 

Allah kita adalah Allah yang Maha Perkasa yang kerajaan-Nya tidak tergoyahkan. Sebagaimana Mazmur 27 yang juga bacaan kita minggu ini mengatakan: Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!

 

(27:13-14)

 

 

 

Penutup

 

Firman Tuhan Minggu ini menyampaikan beberapa pesan penting, agar kita tidak menyamaratakan seseorang dengan anggapan umum atau berpikir stereotype yang dapat membuat kesalahan dan berakibat dosa. Kita juga diingatkan bahwa dalam memperjuangkan sesuatu ancaman selalu ada dan untuk itu kita diminta untuk tetap teguh dengan langkah yang sudah diambil. Mengetahui akhir dari perjuangan berikut konsekuensinya merupakan alat yang ampuh untuk memegang konsistensi tersebut.

 

 

 

Meski keinginan kita berbuat kasih namun tidak selamanya itu ditanggapi atau diterima dengan baik. Hati kita mungkin menjadi sedih. Meratap. Namun kesabaran Allah terhadap Yerusalem sebagai lambang umat Israel tetap menerima kemahaadilan Allah sehingga Yerusalem (umat Israel) dihukum, sampai tiba nanti Tuhan Yesus datang dengan berkat kemuliaan-Nya. Itulah pengharapan Kristiani kita.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin

 

 

 

Pdt. Em. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

 

Kabar dari Bukit Minggu 6 Maret 2022

 

Kabar dari Bukit

 

PERSEMBAHAN SULUNG (Ul. 26:1-11)

 

 

Maka haruslah engkau membawa hasil pertama dari bumi yang telah kaukumpulkan dari tanahmu yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu (Ul. 26:2a)

 

 

 

Firman Tuhan hari Minggu ini dari Ul. 26:1-11, berpesan tentang mempersembahkan hasil pertama. Bagi kita warga gereja, ini sama dengan persembahan sulung. Biasanya dijalankan saat sidi, pernikahan, ditahbis/diteguhkan, dan saat lain yang dianggap memulai tahapan kehidupan baru.

 

 

Persembahan Sulung atau Buah Sulung hanya diatur dalam PL, dan sejatinya merupakan persembahan anak sulung dari ternak yang dilahirkan (Kej. 4:4) atau dari hasil pertama buah pohon (Im. 2:12; Neh. 10:35). Oleh karena itu dalam PL, hakekat persembahan sulung selain rasa syukur dan terima kasih, Tuhan berhak atas berkat hasil tangan pertama.

 

 

Ada banyak persembahan yang dipakai dalam PL dan kadang disebut korban. Ada korban bakaran (Ola), korban sajian (Minkha), korban penghapus dosa (Khatta’t) atau penebus salah (‘Asyam), dan korban perdamaian atau korban keselamatan (Zevakh dan Selamin). Selain itu ada persembahan lain, seperti unjukan, persepuluhan, dan persembahan sulung yang menjadi nas minggu ini.

 

 

Perjanjian Baru tidak berbicara banyak persembahan di atas. Hal yang utama dan ditekankan, persembahan tidak lagi sebagai penghapus dosa. Darah hewan yang dipercikkan tidak lagi menjadi simbol, sebab "persembahan" kita adalah tubuh Yesus Kristus yang tersalib, satu kali dan untuk selama-lamanya. Apabila itu kita imani, Dia adalah Penebus, Tuhan dan Juruselamat, maka kita layak menjadi anak-anak-Nya dan menerima semua janji-Nya.

 

 

Persembahan sebagai rasa syukur menurut PB, bentuknya berupa kekudusan tubuh (Rm. 12:1; 1Kor 6:15, 19; Yak. 1:27b; 3:5-10), persembahan hati dan mulut (Ibr. 13:15; Mzm. 28:7; Ef 5:19-20), persembahan waktu dan tenaga (Yak. 1:27; Mat. 25:31-46), persembahan uang dan materi (1Kor. 16:1-2; 2Kor. 9:6-9). Terakhir, persembahan nyawa kita, dalam arti kerelaan berkorban dan tetap setia hingga akhir hayat (Yoh. 15:13; 1Yoh. 3:16).

 

 

 

Ketika memberi persembahan, ada empat prinsip. Pertama, “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak akan menabur banyak juga” (2Kor. 9:6). Prinsip kedua, setia menyisihkan sesuai penghasilan (1Kor. 16:1-2). Tujuannya, membangun komitmen, ketaatan, tanggungjawab bagi gereja dan sesama, serta selalu hidup dalam pengucapan syukur.

 

 

 

Prinsip ketiga, yang memperoleh penghasilan besar maka memberi jumlah yang besar; dan yang memperoleh penghasilan kecil, memberi lebih kecil (Luk. 12:48b). Prinsip keempat, memberi dengan hati sukacita dan sukarela, bukan sedih hati atau karena paksaan (2Kor. 9:7). Dasar memberi persembahan adalah iman (Ibr. 11:4; 10:6), rasa kasih dan tanggungjawab sosial dan imamat (Ul. 14:22-29; 2Kor. 8:13-14), dan tujuan persembahan sebagai batu hidup untuk pembangunan rumah rohani dan imamat kudus (1Pet. 2:5).

 

 

 

Hal terakhir, ukuran persembahan yang baik dan hebat adalah, kita merasakan sakitnya saat memberi. Mari kita jadikan persembahan sebagai hal yang sulung dalam hidup kita dan ucapan syukur terbaik bagi-Nya dan berkat bagi sesama.

 

 

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 27 Februari 2022

 

Kabar dari Bukit

 

 

TRANSFIGURASI DAN TRANSFORMASI (Kel. 34:29-35)

 

Apabila orang Israel melihat muka Musa, bahwa kulit muka Musa bercahaya, maka Musa menyelubungi mukanya kembali sampai ia masuk menghadap untuk berbicara dengan TUHAN (Kel. 34:35)

 

 

Hari ini minggu terakhir rangkaian Efipani, masuk ke Minggu Transfigurasi, yakni 40 hari sebelum Yesus disalibkan. Kita akan tiba hari Rabu Abu dan Pra-Paskah minggu depan. Perayaan Minggu Transfigurasi dilakukan untuk mengingat Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung, saat bertemu dengan Musa dan Elia. Saat itu muka Yesus bercahaya, seperti matahari penuh dengan kemuliaan. Murid yang hadir yakni Petrus, Yakobus dan Yohanes terkesima, dan langsung tersungkur (Mat. 17:1-5).

 

 

Bacaan Firman Tuhan bagi kita dari Kel. 34:29-35. Nas ini bercerita tentang penampakan Allah kepada Musa di atas Gunung Sinai. Kita tahu loh batu pertama berisi Hukum Taurat telah hancur. Musa melemparkannya ke anak lembu mas yang disembah umat Israel (Kel. 32:19). Lalu Musa membuat dua loh batu baru, dan kembali naik ke gunung. Ia menyerukan nama TUHAN, berlutut memohon pengampunan atas dosa yang dilakukan. Allah mengampuni, kemudian berfirman, memberi janji dan petunjuk hidup yang harus dipenuhi oleh bangsa Israel (ay. 10-27).

 

 

Ketika Musa turun dari gunung Sinai – kedua loh hukum Allah ada di tangan Musa – tidaklah ia tahu, bahwa kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan TUHAN (ay. 29).  Musa tinggal selama 40 hari di atas, bersekutu dengan Tuhan (ay. 28). Ia tidak makan minum, dan ini meneguhkan kuasa Allah dan pemeliharaan-Nya yang luar biasa, sekaligus membenarkan “bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa (Yoh. 6:27), dan hidup tidak semata-mata urusan roti (Mat. 4:4).

 

 

Kini bagi kita, apakah ada kerinduan untuk “berjumpa” dengan Allah? Pernahkah kita merasakan, Allah hadir dalam hidup kita? Tentu tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama. Ada yang merasakan Allah hadir saat berdoa pribadi, atau ketika menyanyikan pujian, atau saat beribadah di tengah jemaat. Semua itu adalah momen spesial bagi kita orang percaya, yang perlu memilikinya. Transfigurasi Roh Yesus menjadi aliran kuasa baru, perasaan membeludak, tanda-tanda dalam tubuh, dan hal lainnya yang dapat “dilihat” oleh mata rohani. Kita tidak dapat membatasi cara Allah menyentuh hati kita; Dia memungkinkan segalanya.

 

 

Pesan nas minggu ini, sesuai makna Minggu Transfigurasi, yakni agar hidup kita semakin berubah dan dibaharui menjadi serupa dengan Dia. Transfigurasi Tuhan Yesus perlu diikuti oleh transformasi diri kita. Untuk itu mari berupaya membuka selubung yang menutupi mata rohani kita, ingin “bertemu dan merasakan kehadiran” Allah. Rajinlah berdoa khusus, seperti Tuhan Yesus berdoa di bukit. Jaga kekudusan hidup, mohonkan ampun sebagaimana disampaikan Musa, dan meminta Tuhan memimpin dan menyerahkan hidup kita kepada-Nya” (ay. 9). Ingatlah, perubahan itu sulit, tapi tiada yang mustahil bagi orang percaya, dan tidak ada yang mustahil bagi Allah (Mrk. 9:23; 14:36). Inisiatif seringnya bukan dari Allah, tetapi dari kita anak-anak-Nya yang rindu akan jamahan-Nya. Maukah kita?

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 6 Maret 2022

 

Khotbah Minggu Pertama Pra-Paskah


 

MENANG MELAWAN PENCOBAAN IBLIS (Luk 4:1-13)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Ul 26:1-11; Mzm 91:1-2, 9-16;Rm 10:8b-13

 

 

Pendahuluan

 

Nats minggu ini masuk ke dalam tema pra-paskah yakni masa sebelum Tuhan Yesus mengalami penderitaan yang sudah dinubuatkan-Nya. Sebelum semua itu terjadi dan bahkan sebelum Tuhan Yesus masuk ke dalam pelayanan-Nya yang singkat itu, Tuhan Yesus terlebih dahulu diuji dan dicobai oleh iblis sebagaimana dalam nats yang kita baca dan renungkan pada minggu ini.

 

 

Kisah pencobaan ini terjadi setelah Yesus dibaptis oleh Yohanes yang meneguhkan dari langit melalui suara yang berkata: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan." Pencobaan ini diawali dengan kemampuan Tuhan Yesus melewati puasa yang sangat panjang yakni tidak makan selama 40 hari di tengah padang gurun yang terpencil dari sekitarnya. Akan tetapi Yesus yang sejak semula telah penuh Roh, dapat mengatasi semua itu dengan kemenangan. Nats minggu ini memberikan pengajaran kepada kita beberapa hal yakni sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Manusia hidup bukan dari roti saja (ayat 3-4)

 

Hal yang sangat mudah dibayangkan ketika seseorang tidak makan selama 40 hari, maka yang terjadi adalah pasti lapar berat!!! Maka tawaran pertama dari iblis kepada Yesus adalah agar Dia merubah batu menjadi roti, yang sangat dibutuhkan oleh Tuhan Yesus saat itu, tentu sangat menggoda. Iblis mengetahui dan juga Yesus sudah menyadari kedudukan-Nya sebagai Anak Allah sehingga sebenarnya Ia memiliki kuasa untuk merubah batu tersebut menjadi roti. Namun, Yesus tidak menuruti permintaan iblis tersebut dengan tiga alasan: Pertama, Ia menyadari mengikuti permintaan iblis akan masuk dalam jebakan Iblis. Kedua, Yesus tidak mementingkan dirinya sendiri, sebab apa yang perlu dan terbaik bagi diri-Nya adalah sesuai dengan kehendak Allah. Apalagi untuk makanan, Yesus memiliki prinsip: "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Ketiga, Yesus juga menyadari bahwa saat itu sebenarnya belum tiba waktunya untuk memperlihatkan kuasa-Nya, sebagaimana Ia menyampaikan tatkala ibu-Nya meminta untuk menyelesaikan masalah anggur yang habis di Kana.

 

 

Hal yang juga penting untuk diperhatikan ketika Yesus menjawab iblis, Ia menggunakan firman Tuhan sebagai dasar: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja" (Ul 8:3).  Artinya, hanya kekuatan dari firman Tuhan dan iman yang menyertainya yang mampu mengalahkan iblis dengan godaannya. Godaan iblis selalu tidak tanggung-tanggung, sesuatu yang sangat dibutuhkan seseorang dan bahkan kadang kala tidak ada pengganti, sehingga yang diperlukan hanyalah keteguhan iman dan kesabaran. Yesus sudah tidak makan 40 hari dan berada di padang gurun yang jauh dari kehidupan sekitar, sehingga tidak mudah mendapatkan roti dan makanan. Tetapi Yesus berhasil menguasai diri-Nya dan tidak jatuh dalam jebakan dan godaan iblis dengan kekuatan firman dari Bapa-Nya serta iman yang teguh bahwa Allah memberikan lebih baik lagi pada saatnya nanti.

 

 

Demikian jugalah kiranya kita dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita sering masuk dalam kondisi yang seolah-olah sangat-sangat-sangat membutuhkan, yakni ketika kita lapar, ketika kehabisan uang, ketika membutuhkan kasih sayang, ketika merasa tidak sembuh-sembuh dari penyakit, maka iblis akan dengan agresif menawarkan pilihan yang lebih mudah dan cepat, bahkan mengiming-imingi dengan perasaan tidak perlu merasa berdosa, sehingga seseorang akan jatuh dalam kuasanya. Ketika kita memiliki perasaan “butuh” akan sesuatu dan seolah-olah mendesak, maka haruslah kita ingat bahwa Tuhan mengkondisikan demikian dengan maksud agar kita lolos dan menang dari ujian “kebutuhan” tersebut dengan memegang firman Tuhan yang mengatakan: Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan (Mat 5:6).

 

 

 

Kedua: Hanya kepada Allah sajalah kita menyembah (ayat 5-8)

 

Tawaran kedua iblis kepada Yesus juga tidak tanggung-tanggung, yakni menyerahkan kerajaan dunia berikut segala kuasa serta kemuliaannya, yang akan diberikan kepada Yesus dengan satu syarat: Dia menyembah iblis. Alasan iblis sangat masuk akal, sebab “kerajaan dunia” ini telah diserahkan kepadanya dan iblis berhak memberikannya kepada siapa saja yang dikehendakinya, untuk menjadi miliknya.  Jelas itu tawaran yang sangat menggoda dan tidak “susah” untuk mewujudkannya cukup dengan menyembah iblis.

 

 

Tetapi sekali lagi Yesus menjawab dengan firman Tuhan dari Ulangan 6:13: "Ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" (ayat 8).  Adapun yang dimaksud Tuhan Yesus adalah tidak mungkin Dia menyembah iblis walau tawarannya demikian menggiurkan, sebab Ia datang sebagai Utusan Bapa untuk menguasai “kerajaan dunia” tetapi hanya kepada Bapa di sorga saja Ia akan menyembah. Yesus sangat mengandalkan dan tergantung kepada Bapa-Nya. Selain itu, kerajaan Yesus bukanlah kerajaan fisik dengan kemegahan duniawinya, melainkan kerajaan Yesus adalah kerajaan rohani yang bersemayam di dalam hati setiap orang percaya. Itulah tujuan utamanya, sasaran akhir dari misi Yesus datang ke dunia ini.

 

 

Demikian jugalah dalam kehidupan kita sehari-hari. Ada beberapa orang mungkin berburu jabatan dalam karirnya dengan mengorbankan integritas bahkan imannya. Mereka mengambil jalan kompromi dengan menyuap atasan atau pihak mediator lainnya untuk sebuah kedudukan atau jabatan. Bahkan ada pula yang bersedia mengganti imannya dengan melepaskan keselamatan dari Yesus demi mendapatkan peluang jabatan di kantornya. Mereka lebih berorientasi pada masa kini, kekinian dibanding dengan ketaatan kepada integitas dan khususnya iman yang memberikan kehidupan kekal. Mereka sering lupa bahwa memburu kesuksesan dan perkara-perkara duniawi di luar jalan dan kehendak Allah justru akan menimbulkan kekecewaan dan ujung-ujungnya berakhir dengan kegagalan.

 

Yesus tidak memilih jalan yang mudah dengan menerima kuasa dunia ini dari iblis dan dengan demikian Ia akan memiliki banyak pengikut yang terkagum-kagum pada-Nya. Ia tetap taat dan percaya bahwa jalan-Nya bukanlah jalan itu melainkan melalui jalan penderitaan. Demikianlah juga kita, firman Tuhan menekankan bahwa kita harus mencari dan mengutamakan dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepada kita (Mat 6:33). Kerajaan Allah dalam hidup kita berarti menempatkan kuasa dan pemerintahan Allah di dalam setiap langkah dan pilihan hidup kita tanpa kompromi dengan iblis dan dunia ini. Kita terus belajar menghindari jalan “mudah” yang tidak berkenan kepada Allah dalam mencapai keinginan kita.

 

 

 

Ketiga: Janganlah mencobai Tuhan (ayat 9-12)

 

Seringkali orang berfikir bahwa Allah itu tidak lagi mencampuri urusan dunia ini bahkan mencampuri kehidupan pribadi orang-seorang. Banyak orang berfikir bahwa semua sudah diatur dalam hukum alam sehingga semua harus berjalan sesuai dengan hukum alam tersebut yang dapat dijelaskan dan dicerna dengan akal pikiran manusia. Oleh karena itu mungkin kita sering mendengar perkataan: “Coba saja, apakah Tuhan bisa merubah daun-daun ini menjadi uang?” Atau juga pikiran-pikiran aneh yang muncul, seperti seorang pernah bertanya: Apakah Tuhan dapat menciptakan batu yang sangat besar sehingga Ia sendiri tidak dapat mengangkatnya?

 

 

 

Pikiran seperti itu jelas merendahkan kuasa Tuhan dalam kehidupan ini. Allah tidak memerlukan sensasi untuk menunjukkan kekuasaan-Nya. Demikian juga yang diharapkan iblis dalam nats ini, agar Yesus memperlihatkan sensasi dengan melompat dari ketinggian dan dengan janji Tuhan, Ia takkan jatuh tergeletak melainkan malaikat-malaikat sorgawi akan menatangnya. Iblis memanipulasi firman Allah (Mzm 91:11-12) sebagaimana iblis memanipulasi Hawa di Taman Eden. Sensasi itulah yang diminta iblis, dengan tujuan bahwa apabila Yesus mengikutinya maka jalan sensasi itu akan memudahkan Ia mendapatkan banyak pengikut dan percaya kepada-Nya. Tetapi Yesus mengutip Ulangan 6:16 yang mengatakan: “Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!"

 

 

 

Kita hidup dari firman Allah dan harus berpegang pada firman tersebut. Kehadiran dan pertolongan Tuhan dalam hidup kita tidak harus melalui sensasi dan mukjijat yang kasat mata bagi orang lain. Kehadiran dan pertolongan Tuhan bagi kita harus dirasakan melalui hati dan iman yang tampak melalui mata rohani. Mukjijat telah diberikan melalui kehidupan di dunia ini dan penebusan atas segala kesalahan dan dosa yang kita lakukan, sehingga akhir hidup kita bukan neraka melainkan sorga kekekalan. Itu sudah mukjijat paling besar dalam hidup kita. Itu yang harus kita syukuri sehingga tidak perlu percaya dan masuk jebakan iblis untuk mengandalkan kekuatan lain dalam memperjuangkan hidup ini. Percaya kepada Allah dan tergantung sepenuhnya kepada-Nya.

 

 

 

Keempat: Iblis selalu menunggu waktu yang baik (ayat 13)

 

Hal yang paling penting kita perlu sadari adalah ayat terakhir ini bahwa iblis takluk dalam menguji Yesus, tetapi dikatakan: ia mundur dan menunggu waktu yang baik. Artinya iblis tidak pernah menyerah. Iblis yang disebut sebagai “penguasa dunia” (Yoh 12:31; 14:30; 16:11) ini akan terus menerus menawarkan dan menggoda kita orang percaya untuk mau mengikuti dan tunduk kepadanya. Iblis dengan kepintarannya menawarkan kepada kita justru pada saat kita merasa membutuhkan, kepepet, terdesak tanpa pilihan, sehingga kita mudah jatuh terikat kepada tawarannya.

 

 

 

Akan tetapi Allah tidak membiarkan kita sendirian dalam melawan godaan dan tawaran itu. Allah memberikan firman-Nya yang dapat kita pakai sebagai tameng perisai dalam melawan serangan tersebut, sebagaimana Tuhan Yesus mengalahkan godaan iblis di padang gurun tersebut. Firman yang diberikan Tuhan kepada kita bukan sekedar kata-kata, melainkan firman yang memiliki kuasa melalui kesadaran dan urapan dari Roh yang bekerja dalam diri kita. Jadi tatkala kita lemah, tatkala kita rentan mudah jatuh, maka ingatlah firman Tuhan yang menjadi sumber kekuatan kita. Iblis akan terus menerus mencoba membuat keraguan akan kuasa Allah dalam hidup kita. Sebab, timbulnya benih keraguan akan kuasa Allah merupakan titik lemah bagi serangan iblis untuk menundukkan kita. Iblis pintar menggunakan dan melihat titik lemah tersebut.

 

 

 

Kita perlu membangun iman yang lebih kokoh dalam ketergantungan dan mengandalkan hidup kita kepada Tuhan Yesus. Iman yang kokoh berarti tidak goyang sedikit pun tatkala ada ujian atau cobaan hidup baik dalam keadaan susah maupun dalam tawaran godaan oleh kegelimangan dunia ini. Sikap ketergantungan dan pengandalan berarti kita sadar dan menjiwai bahwa apapun yang kita peroleh saat ini adalah merupakan yang terbaik dari Tuhan, dan apabila kita memerlukan sesuatu yang lebih “baik” maka Tuhan mempunyai waktu dan cara yang terbaik untuk kita, sepanjang kita bertekun dalam doa dan usaha yang sesuai dengan jalan dan petunjuk Tuhan melalui firman-Nya.

 

 

 

Kesimpulan

 

Dalam hal umum adakalanya ketiga godaan iblis kepada Tuhan Yesus dalam nats minggu ini disamakan dengan godaan tiga TA dalam kehidupan sehari-hari, yakni harTa, tahTA dan waniTa. Harta mewakili roti dalam kebutuhan hidup, tahta mewakili cobaan kedudukan atau jabatan, dan wanita mewakili sensasi kenikmatan atau pujian-pujian duniawi yang kosong. Tetapi nats minggu ini memberikan pelajaran yang berharga bagi hidup kita yakni keteladanan Tuhan Yesus dalam mengalahkan iblis dengan segala godaannya. Semua itu terjadi karena Yesus menggunakan firman sebagai tameng perisai dalam melawan godaan tersebut, sekaligus memperlihatkan bahwa sikap percaya kepada Allah haruslah diikuti dengan taat kepada kehendak-Nya. Ketaatan tersebut akan lahir melalui kecintaan untuk belajar dan mengingat firman Tuhan yang selalu kita gunakan dalam melawan iblis. Inilah pelajaran yang diberikan kepada kita dalam mengarungi kehidupan yang penuh tantangan ini, sehingga kita tetap sebagai pemenang.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati. amin.

Khotbah Minggu 27 Februari 2022

 KHOTBAH MINGGU TRANSFIGURASI – TUHAN YESUS DIMULIAKAN

 IMAN DAN MUKJIZAT DOA SYAFAAT (Luk. 7:1-10)

Pendahuluan

 

Kita telah banyak mendapatkan kisah dan renungan tentang pelayanan Tuhan Yesus, termasuk berbagai mukjizat yang dilakukan-Nya. Selain itu, diberikan juga tentang pengajaran dalam menghadapi kehidupan ini, agar setiap orang percaya dapat meneladani Dia dan berbuat nyata bagi orang lain. Melalui nats yang kita baca, minggu ini kita diberi kisah tentang seorang perwira Yahudi yang hambanya sakit, meski ia bukan pengikut Tuhan Yesus, tetapi percaya akan kuasa-Nya dan sangat menghormati Yesus. Dari kisah ini kita mendapatkan pengajaran sebagai berikut.

 

 

Pertama: rajin mendengar dan mengasihi pekerja (ayat 1-2)

 

 

Salah satu kunci dalam keberhasilan hidup adalah mengetahui banyak informasi. Terlebih dalam era media dan teknologi yang semakin berkembang cepat saat ini, maka informasi semakin mudah diperoleh. Memang informasi yang diperoleh perlu dipilah-pilah, apa saja yang bermanfaat bagi kita dan diuji kebenarannya. Sering informasi tidak bermanfaat (junk) dan malah palsu (hoax). Informasi adalah pengetahuan dan pengetahuan jelas salah satu kunci dalam memyelesaikan masalah dalam kehidupan. Iman jelas diperlukan, tetapi keduanya sangat berhubungan dan saling mendukung. Sebagaimana dikatakan Einstein, iman tanpa ilmu akan buta, dan ilmu tanpa iman akan pincang.

 

 

Perwira Yahudi yang cukup tinggi kedudukannya memiliki seorang hamba yang sakit. Dalam kehidupan saat ini, hamba zaman dahulu bisa kita sejajarkan dengan orang upahan baik di tempat kerja maupun di rumah tangga. Memang zaman dahulu  hamba diperlakukan sebagai orang "upahan saja", dan tidak perduli dengan keadaan dan terjalinnya hubungan pribadi yang baik.  Bahkan dalam bahasa Yunani, kata yang dipakai sebenarnya adalah budak (duolos) yang bisa diperjual-belikan. Tetapi hamba ini sangat disayang dan dihargai oleh perwira tersebut, sehingga tatkala ia sakit, perwira ini berusaha keras untuk mencari pengobatan dan penyembuhannya. Oleh karena itu, ada yang berkata bahwa untuk mengetahui pribadi yang sejati dari seseorang, maka tanyakanlah pembantu atau bawahannya, bagaimana mereka diperlakukan. Sebab dari merekalah informasi yang lebih akurat a kita dapatkan tentang pribadinya, bukan sekedar tampak dari luar atau pencitraan saja.

 

 

 

Sikap perwira ini jelas sesuatu yang harus kita teladani. Siapapun yang bekerja untuk kita, maka kita harus mengajarkan dan mendidik mereka untuk bekerja dengan baik dan sungguh-sungguh. Ketika kita mendapatkan hasil yang baik, maka mestinya otomatis kita memiliki tanggungjawab dan memperlakukan mereka sebagai bagian dari diri kita. Apabila mereka dalam kesulitan dan kesusahan, ada tanggungjawab kita untuk menolong dan membantu, tanpa melihat iman dan agama mereka, sebab hal itu akan menjadi garam dan terang bagi kehidupan mereka. Dengan demikian, melalui kehidupan kita, nama Tuhan Yesus ditinggikan dan dimuliakan oleh setiap orang. Dari perlakuan perwira ini, dapat kita belajar tentang banyak hal dan pergunakanlah itu untuk jalan mengasihi orang lain, sehingga nama Tuhan Yesus dipermuliakan.

 

 

 

Kedua: perantara permohonan (ayat 3-5)

 

 

 

Perwira ini tidak meminta langsung kepada Tuhan Yesus untuk kesembuhan hambanya. Mungkin karena faktor politis, perwira ini tidak bisa secara terbuka menyatakan diri sebagai pengikut atau percaya kepada Yesus, sebab akan menjadi hambatan bagi karir dan hidupnya. Namun, ia mengetahui bahwa Yesus adalah Pribadi yang istimewa, khusus, yang memiliki kuasa untuk menyembuhkan penyakit (band. Yoh. 4:46-54; Mat. 8:5-13). Kuasa penyembuhan Yesus memang sangat istimewa, tidak perlu memberi obat-obatan, cukup dengan kata-kata saja sudah memiliki kuasa yang dahsyat. Perwira itu tahu, apabila sepatah kata saja dinyatakan sembuh saja oleh Yesus, tanpa perlu melihatnya, hambanya pasti sembuh.

 

 

 

Ia juga tidak mengenal langsung Tuhan Yesus, tetapi ia mempunyai hubungan yang baik dengan para tua-tua Yahudi, sehingga ia meminta lewat para tua-tua sahabatnya itu. Sebagai orang yang banyak memberikan kebaikan kepada umat Yahudi, termasuk memberi bantuan untuk pembangunan rumah ibadat (sinagoge), maka para tua-tua ini tidak keberatan untuk menolong menyampaikan permohonan perwira ini kepada Yesus. Kebaikan menghasilkan kebaikan. Pertolongan berbalas pertolongan. Itulah kehidupan yang diatur oleh Allah dengan cara yang misterius. Meski tidak diminta oleh perwira tersebut melainkan oleh perantara, Yesus mengabulkan permintaan perwira tersebut. Hambanya sembuh dari penyakitnya. Haleluya.

 

 

 

Hal yang kita lihat dari peristiwa ini adalah makna dan pentingnya doa syafaat. Memang masih banyak yang kurang memahami arti syafaat, yang arti harafiahnya adalah perantara. Jadi, doa syafaat adalah kita mendoakan orang lain, bukan diri sendiri. Oleh karena itu, doa syafaat biasanya panjang dan luas lingkupnya, karena banyak yang perlu didoakan. Sebagaimana dilihat dari peristiwa perwira dan hambanya di atas, doa syafaat akan lebih dahsyat kuasanya apabila permohonan itu datang dari yang berkepentingan dengan sungguh-sungguh, dan disampaikan (=didoakan) oleh "hamba Tuhan" yang mengetahui dan mengenal yang memohonkan kepada Tuhan Yesus. Memang tidak mutlak oleh hamba Tuhan, tetapi mengambil dari peristiwa perwira di atas, alangkah lebih baik kalau prosesnya demikian (band. Yak. 5:14).

 

 

 

Ketiga: meminta dengan kerendahan hati (ayat 6-7a)

 

 

 

Perwira ini memiliki pola pikir militer untuk urusan pribadi. Seorang atasan tidak layak mengunjungi rumah bawahan. Seorang atasan cukup memerintah dengan kata-kata saja, maka semua akan terjadi dan menjadi kenyataan. Semua bawahan akan berusaha mewujudkan apa yang disampaikan oleh atasan. Bahkan, pada zaman dahulu, ketika hukum belum dijalankan secara benar, seorang atasan memiliki wewenang penuh atas hidup - mati bawahannya.

 

 

 

Pola pikir militeristik ini memang mengandung kerendahan hati, meski kadang dapat menjadi kecongkakan juga. Namun dalam peristiwa sakitnya hamba perwira ini, tidaklah demikian. Ia bahkan mengetahui Yesus memiliki otoritas yang melebihi kewenangan seorang atasan. Ia tahu Yesus memiliki kuasa khusus, sehingga apapun yang dikatakan-Nya, pasti terjadi. Itulah yang membuat dia mengutus beberapa orang untuk meminta Yesus tidak perlu datang ke rumahnya, cukup memerintahkan penyembuhan saja atas hambanya yang sakit. Ia berpikir Yesus tidak layak untuk datang ke rumahnya, bukan karena ia enggan menerima Yesus, akan tetapi lebih kepada upaya untuk menghormati Tuhan Yesus, agar tidak merepotkan Yesus yang dia anggap utusan Allah. Ia berpikir bahwa sebagai perwira, ia memiliki kuasa dari Raja di Roma, maka Yesus juga memiliki kuasa dari sorga untuk melaksanakan-Nya termasuk penyembuhan jarak jauh.

 

 

 

Sikap merendahkan hati dalam memohonkan kepada Tuhan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam berdoa. Alkitab berkata, barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (Mat. 23:12). Orang yang sombong akan dikecewakan, sebab Allah tidak berkenan kepada mereka yang sombong. Dalam Perjanjian Lama, sikap kerendahan hati di hadapan Tuhan biasanya diperlihatkan dengan meratap menangis, berpuasa, berjalan dengan perlahan, memakai baju robek-robek. Maka dalam Perjanjian Baru sebagaimana Yesus, sikap kerendahan hati diekspresikan dengan tidak mempertahankan kedudukan (Flp. 2:8-9). Perwira ini memperlihatkannya. Orang yang rendah hati, Allah sangat mengasihaninya (Yak. 4:6) dan berkenan kepada Allah (Ef. 4:2).

 

 

 

 

 

Keempat: iman yang kuat dalam meminta (ayat 7b-10)

 

 

 

Keutamaan kisah perwira dan hambanya ini sebenarnya bukan kisah tentang penyembuhan semata, melainkan lebih kepada iman. Tuhan Yesus tidak melihat kebaikan yang dilakukan oleh perwira tersebut, dan Ia juga tidak melihat kebaikan yang dilakukan oleh tua-tua Yahudi dalam meminta kesembuhan hambanya itu. Tetapi Tuhan Yesus lebih melihat keutamaan iman perwira tersebut, yang begitu kuat percaya bahwa Yesus memiliki kuasa dan otoritas atas hidupnya dan juga hidup hambanya, termasuk kesembuhan dari sakitnya.

 

 

 

Tuhan Yesus mengabulkan permohonan perwira tersebut didasarkan oleh imannya sehingga Yesus berkata, "Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!" (ayat 9). Iman ini didasarkan kepada sikap berserah dan ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah yang ia hadapi. Sikap itu kemudian dilanjutkan dengan prinsip bahwa seluruh hidupnya benar-benar ada di dalam kuasa dan tangan Tuhan. Artinya, ada pengakuan, kuasa di luar dirinya yang mengatur segala kehidupannya, baik atau buruk. Maka ketika ia tidak sanggup lagi, sikap totalitas berserah memperlihatkan iman yang menggantungkan diri pada kuasa tersebut. Dalam bahasa lain sering disebutkan, ketika kita angkat tangan, maka Tuhan akan turun tangan.

 

 

 

Iman akan diperkuat dengan sikap pengakuan ketidaklayakan di hadapan Tuhan. Yesus melihat sikap hormat dari perwira ini. Oleh karena itu Tuhan Yesus memuji (dalam Alkitab Yesus sangat jarang memuji) secara terbuka iman perwira itu, dan akhirnya Yesus mengabulkan permohonannya. Bahkan, secara tidak langsung Tuhan Yesus menyindir para tua-tua dan orang Yahudi yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenal Yesus, dan memiliki respons aktif atas situasi yang kita hadapi setiap saat. Apabila kita tidak mengenal-Nya, maka sikap kita juga dapat berbeda, dan acap kali kemudian doa permohonan kita tidak dikabulkan.

 

 

 

 

 

Penutup

 

 

 

Dalam minggu ini kita diberi pengajaran pentingnya untuk memiliki pengetahuan dan informasi. Belajar adalah kunci dari keberhasilan. Tidak selamanya kita harus meminta sendiri. Nats minggu ini menjelaskan tentang kuasa doa syafaat, yang bukan fokus untuk diri kita sendiri, tetapi bagi orang lain. Doa yang dipanjatkan dengan kerendahan hati, maka peluang dikabulkan akan sangat besar. Terlebih, apabila doa itu didasari oleh iman yang mengenal Tuhan Yesus dan percaya bahwa hidup kita seluruhnya tergantung kepada-Nya. Seberapa jauh dan dalam pengenalan kita akan Yesus? Ayo melihat seberapa besar iman kita kepada-Nya sehingga kita siap diberi atau menjadi saluran berkat. 

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 730 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7404208
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
47323
61324
156974
7204198
439070
1386923
7404208

IP Anda: 162.158.170.118
2024-11-21 19:29

Login Form