Tuesday, December 03, 2024

2022

Khotbah Jumat Agung 15 April 2022

 

Khotbah Jumat Agung 2022

 

 

DARI PERJAMUAN MALAM HINGGA GOLGOTA - VIA DOLOROSA (Yoh. 18:1-19:42)

 

 

 

Pendahuluan

 

Perjalanan penderitaan Tuhan Yesus menuju bukit Golgota merupakan rangkaian beberapa peristiwa yang sangat mengharukan dimulai sejak perjamuan pada hari Kamis malam hingga kematian-Nya di Jumat senja hari. Jumat Agung memang mengingatkan kita tentang sejarah penyelamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus, dan kematian-Nya merupakan bagian penting dalam sejarah orang percaya. Oleh karena itu, bacaan kita pada hari peringatan kematian ini sangat panjang dan kita bebas memilih tema yang lebih spesifik untuk masing-masing jemaat kita.

 

 

 

Kisah pendahuluan menjelang malam terakhir di Yerusalem, yaitu Yesus sudah menyadari akan akhir pelayanan-Nya, ketika Ia berkata kepada murid-Nya: : "Pergilah ke kota kepada si Anu dan katakan kepadanya: Pesan Guru: waktu-Ku hampir tiba; di dalam rumahmulah Aku mau merayakan Paskah bersama-sama dengan murid-murid-Ku (Mat. 26:18; band. Yoh. 13:1;16:16). Ia kemudian bersama-sama murid-murid melakukan perjamuan paskah yakni makan roti yang tidak beragi dan minum anggur (Mat. 26:26-29; Luk. 22:14-20). Pada kesempatan inilah Yesus menyampaikan kepada murid-murid-Nya bahwa perjamuan malam itu harus diingat oleh umat percaya selamanya, melalui perjamuan kudus yang kita lakukan pada hari Jumat Agung ini.

 

 

 

Pada perjamuan malam itu Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa" (Mat. 26:26-28). Setelah perjamuan malam selesai, Yesus berbicara kepada murid-murid-Nya di kamar atas. Banyak sekali pesan-pesan akhir yang diberikan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid kesayangan-Nya itu untuk menguatkan mereka, sebab Yesus sudah berulangkali mengatakan saat-Nya sudah akan tiba (Yoh. 13-17).

 

 

 

Yesus juga bergumul secara pribadi akan hal itu sehingga Ia memutuskan untuk naik ke Bukit Zaitun dan berdoa di taman Getsemani. Yesus berdoa bagi semua orang percaya yang telah diberikan Bapa kepada-Nya (Yoh. 17:9). Hati-Nya terus ada pada kita sehingga meminta agar Bapa memelihara kita orang percaya (Yoh. 17:11). Ia juga berdoa agar kita dikuduskan dalam kebenaran (Yoh. 17:17), dan juga secara khusus berdoa bagi yang memberitakan Dia. Hal yang utama lainnya Yesus berdoa agar kita semua menjadi satu, sama seperti Yesus satu dengan Bapa (Yoh. 17:21). Ut omnes unum sint. Yesus membenci perpecahan, apalagi perpecahan karena pertikaian terhadap hal yang tidak benar.

 

 

 

Yesus menyadari beratnya penderitaan yang akan Dia tanggung, sehingga dalam doa terakhir-Nya, Ia sujud dan berkata: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mat. 26:39). Bahkan untuk kedua kalinya Yesus berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu! (Mat. 26:42).

 

 

 

Kisah yang diberikan di bawah ini merupakan tahapan dan poin penting dari rangkaian 18 jam perjalanan menuju bukit Golgota tersebut, dan dari situ kita mendapatkan hikmat dan pelajaran sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Penghianatan yang Berakhir dengan Penyesalan

 

Kisah penangkapan Tuhan Yesus terjadi karena penghianatan Yudas, yakni salah satu murid-Nya. Sebenarnya Yesus sudah mengetahui hal tersebut, ketika pada perjamuan malam yang diceritakan di atas, Yesus memberi tanda bahwa dia yang bersama-sama dengan Yesus mencelupkan tangannya ke dalam pinggan saat itu, dialah yang akan menyerahkan Yesus (Mat. 26:21-23). Ternyata, itulah Yudas Iskariot yang telah menerima uang sogok sebanyak tiga puluh uang perak dari imam-imam kepala (Mat. 26:14-16). Sejak menerima uang perak itu, Yudas mencari-cari kesempatan untuk menyerahkan Yesus.

 

 

 

Tatkala Yesus berdoa di taman Getsemani itu, Yudas mengetahui tempat itu karena Yesus sering berkumpul di situ dengan murid-murid-Nya. Maka datanglah Yudas dengan prajurit dan penjaga-penjaga Bait Allah yang disuruh oleh imam-imam kepala dan orang-orang Farisi lengkap dengan lentera, suluh dan senjata, lalu mereka menangkap Dia. Yesus dengan tegar memperkenalkan diri-Nya dan tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan, meski Petrus sempat menarik pedangnya dan memotong kuping salah satu prajurit itu.

 

 

 

Yudas yang kemudian menyadari kesalahannya dan melihat akibat kejahatannya itu, bagaimana Yesus yang sebenarnya Ia kasihi juga, harus menderita sedemikian berat. Akhirnya Yudas berusaha mengembalikan tiga puluh uang perak itu kepada imam-imam kepala. Ia menyesal. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Penyesalannya tidak membuahkan apa-apa, sebab tindak lanjut penyesalan Yudas itu ia akhiri dengan bunuh diri. Mengenaskan. Yudas berbeda dengan Petrus yang menyangkal Tuhan Yesus tiga kali, tetapi Petrus bertobat dan mengabdikan dirinya bagi Tuhan Yesus. Yudas Iskaritot tidak bertobat, penyesalannya menerima uang suap tidak ditindaklanjuti dengan pertobatan dan berbuah, selain penghukuman terhadap diri sendiri. Ini sungguh suatu pelajaran penting bagi kita, ketika menyadari kesalahan yang kita perbuat, penyesalan harus diikuti oleh pertobatan dan permohonan ampun, kemudian memberikan yang terbaik dari hidup kita kepada Tuhan dan orang lain sebagai “persembahan” atas penyesalan yang sudah kita lakukan.

 

 

 

Kedua: Penderitaan Selama 18 Jam

 

Setelah Yesus ditangkap, pemimpin Yahudi sejak awal tidak berniat memberikan pengadilan yang layak kepada Yesus. Dalam pikiran mereka yang utama adalah: Yesus harus mati. Kebencian dan emosi seperti ini membuat hati nurani mereka buta dan tertutup. Mereka juga tidak memperdulikan proses yang layak dan adil bagi Yesus. Oleh karena itu, di tengah dingin dan pekatnya malam, mereka langsung membawa Yesus dari taman itu dan mengadili-Nya melalui tahapan-tahapan yang melelahkan, serta diselingi siksaan dan penderitaan pada tubuh-Nya.

 

 

 

Adapun tahapan-tahapan pengadilannya mulai dari tangah malam itu adalah sebagai berikut.

 

 

 

1.       Mereka membawa Yesus kepada Hanas, mantan Imam Besar tetapi masih berkuasa dan dihormati oleh orang Yahudi (Yoh. 18:12-24). Hanas adalah mertua Kayafas, yang pada tahun itu telah menjadi Imam Besar, tetapi karena menurut ketentuan Imam Besar adalah jabatan seumur hidup, mereka menghormati dan tetap membawa kepada Hanas.

 

2.      Hanas menolak untuk mengadilinya sehingga prajurit dan penjaga-penjaga itu kemudian membawa Yesus kepada Kayafas, yang baru ditetapkan dan berkuasa sebagai Imam Besar. Dalam pengadilan di depan Hanas tengah malam itulah mulai didengarkan kesaksian-kesaksian palsu dari Sanhedrin (Yoh. 18:24; Mat. 26:57-68; Mrk. 14:53-65; Luk. 22:54, 63-65).

 

3.      Yesus dibawa ke depan sidang Sanhedrin yakni para pemimpin formal umat Yahudi. Ada sekitar 70 anggota Sanhedrin hadir menjelang fajar itu. Kelompok Sanhedrin ini  terdiri dari para tua-tua bangsa Yahudi dan imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat yang merupakan Mahkamah Agama Yahudi. Mereka ini sebenarnya sejak awal sudah memutuskan agar Yesus dihukum mati, sehingga pengadilan di subuh hari ini merupakan formalitas saja untuk justifikasi bahwa Yesus telah dihadapkan pada Mahkamah Agama. Dalam sidang formalitas ini kemudian Yesus ditetapkan dihukum mati (Mat. 27:1; Mrk 14:15:1; Luk. 22:66-71).

 

4.      Namun hukuman mati hanya boleh atas persetujuan penguasa Romawi. Oleh karena itu Yesus dibawa ke Pilatus, Gubernur Yudea, penguasa Romawi. Tetapi Pilatus melihat Yesus tidak bersalah sehingga ia menolak untuk menyetujui hukuman mati, dan menawarkan hukuman cambuk saja. Tetapi pemimpin Yahudi ngotot dan akhirnya Pilatus berusaha untuk menghindar, dan berdalih bahwa itu bukan wewenangnya. Pilatus tahu bahwa Yesus dari wilayah Galilea dan penguasanya adalah Herodes, yang pada waktu itu sedang berada di Yerusalem, maka Pilatus mengatakan agar Yesus dihadapkan saja pada Herodes, (Yoh. 18:28-38; Mat. 27:2,11-14; Luk. 23:1-6).

 

5.      Herodes pada mulanya sangat senang melihat Yesus, karena ia sering mendengar tentang Yesus, lagipula ia mengharapkan melihat bagaimana Yesus mengadakan suatu tanda mukjizat. Tetapi dalam sidang dihadapan Herodes, Yesus diam dan tidak mau berkata apapun. Lalu Herodes dan pasukannya menista dan mengolok-olok Dia, mengenakan jubah kebesaran kepada-Nya lalu mengirim Dia kembali kepada Pilatus (Luk. 23:7-12)

 

6.      Akhirnya Yesus dibawa kembali ke Pilatus (Yoh. 18:38-39;19:16), tetapi Pilatus cuci tangan dan tidak berkeinginan untuk menyatakan kebenaran. Ucapannya yang sangat terkenal adalah: “apakah kebenaran itu?” (Yoh. 18:38). Kesalahan Pilatus dalam hal ini ialah, menyerah pada permintaan orang banyak untuk kegunaan politiknya, tanpa memperdulikan keadilan dan kebenaran yang hakiki.

 

 

 

Pasukan dan penjaga Bait Allah serta orang Yahudi selama proses itu membelenggu dan banyak yang memukuli-Nya, meludahi-Nya, mengolok-olok, dan bahkan memukul di kepala-Nya. Setelah selesai pengadilan, bahkan Yesus masih dipaksa memikul salib-Nya via dolorosa, meski kemudian digantikan oleh Simon dari Kirene karena tubuh-Nya sudah lemah. Akhirnya, tubuh-Nya dipakukan di kayu salib di antara dua penjahat. Betapa tragis dan menyayat hati kita membayangkan hal itu.

 

 

 

Demikianlah drama rangkaian penangkapan dari tangah malam sampai pengadilan berlangsung hingga Jumat senja hari, sehingga diperkirakan berlangsung selama 18 jam. Proses yang panjang dan menyakitkan.

 

 

 

Ketiga: Pengadilan Yesus tidak sah dan adil

 

Dari catatan para murid dan rasul yang dituliskan di Alkitab, banyak pihak berkesimpulan bahwa pengadilan terhadap Yesus berlangsung secara tidak sah dan tidak memenuhi ketentuan "demi keadilan dan kebenaran" sebagaimana layaknya sebuah pengadilan. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa hal di bawah ini:

 

 

 

1.       Yesus sudah dinyatakan harus mati sebelum diadili (Mrk. 14:1; Yoh. 11:50). Dengan demikiam tidak ada asas praduga tak bersalah, yakni tidak bersalah sebelum dibuktikan di depan hukum.

 

2.      Banyaknya kesaksian palsu yang diberikan kepada Yesus (Mat. 26:59). Para pemimpin Yahudi memprovokasi dan menyaring saksi-saksi yang tampil dalam pengadilan itu. Oleh karena itu Pilatus melihatnya tidak bersalah.

 

3.      Pemimpin Yahudi menjebak Yesus atas ucapan-ucapan-Nya, kemudian mengkriminalisasi apa yang dikatakan-Nya itu (Mat. 26:63-66).

 

4.      Tidak ada pembelaan bagi Yesus selama proses pengadilan (Luk 22:67-71).

 

5.      Pengadilan berlangsung malam hari (Mrk. 14:53-65; 15:1) yang sebenarnya tidak diperbolehkan menurut hukum Yahudi.

 

6.      Pengadilan berlangsung di tempat pertemuan Sanhedrin, bukan di tempat kaum Farisi sebagaimana biasanya (Mrk. 14:53-65).

 

 

 

Tetapi itu adalah proses yang harus dilalui dan dialami oleh Tuhan Yesus. Cawan penderitaan itu harus diminum-Nya untuk dapat menyelesaikan misi-Nya yang agung dari Bapa, demi untuk menyatakan kasih-Nya kepada kita yang penuh dosa ini.

 

 

 

Keempat: Tujuh ucapan Yesus dari kayu salib

 

Yohanes menyatakan bahwa pengadilan Yesus berakhir "kira-kira jam dua belas" (band. Kitab Markus yang menyebutkan Yesus disalibkan pada "jam sembilan" – Mrk. 15:25). Perbedaan ini terjadi karena Yohanes menggunakan jam perhitungan Romawi sementara Markus menggunakan jam Palestina. Keputusan hukuman mati di siang hari itu membawa konsekuensi Yesus harus langsung dieksekusi, dan sebagaimana kebiasaan mereka dihukum mati dengan cara disalibkan. Ini adalah cara mati yang bagi pandangan umat Yahudi adalah sebuah kutukan.

 

 

 

Alkitab mencatat ada tujuh kalimat yang Tuhan Yesus ucapkan saat disalibkan. Urutannya adalah sebagai berikut.

 

 

 

1.       Ketika menghadapi para pembenci dan penghukum-Nya, ucapan Yesus yang pertama: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Luk. 23:34).

 

2.      Yesus berkata kepada penjahat disebelah-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus" (Luk. 23:43).

 

3.      Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" (Yoh. 19:26-27).

 

4.      Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat. 27:46; Mrk. 15:34).

 

5.      Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia: "Aku haus!" (Yoh. 19:28).

 

6.      Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: "Sudah selesai" (Yoh. 19:30).

 

7.      Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya (Luk. 23:46).

 

 

 

Bukankah semua itu pernyataan yang dahsyat? Betapa hebatnya Yesus, yakni pada saat Dia disalib setelah disiksa dan dianiaya, Ia bahkan berdoa agar Bapa-Nya di sorga mengampuni mereka! Dalam situasi yang lemah, Ia malah memberkati penjahat disebelah-Nya, memberi petunjuk kepada murid-murid-Nya, dan puncaknya adalah, Ia menyerahkan semua kepada Bapa-Nya. Sungguh mulia Tuhan kita, yang harus menjadi teladan dalam hidup kita.

 

 

 

Kelima: Arti dan Makna Kematian Yesus Bagi Kita

 

Kematian Kristus di kayu salib bagaikan korban anak domba sembelihan. Yesus tidak bersalah tetapi harus menanggung hukuman demikian berat. Kini, apa arti dan makna kematian Yesus Kristus itu bagi kita? Berikut diberikan gambaran artinya bagi kita:

 

 

 

1.       Kematian Kristus merupakan penggenapan janji Tuhan (Kej. 3:15; Yes. 53:3, 7b; Za. 9:9; Mzm. 41:10; 22:7-dab.).

 

2.      Kematian Kristus membuka pintu perdamaian bagi kita dengan Allah (2Kor 5:18-21). Kita seharusnya mendapat murka Allah karena dosa-dosa kita, tetapi Allah memperdamaikan (Rm. 1:18; band. Rm. 11:28).

 

3.      Kematian Kristus membuat kita dibenarkan (Rm. 3:24; 4:2-3; 5:9-10).

 

4.      Kematian Kristus sebagai pengganti bagi kita orang-orang berdosa. Allah membuka jalan penebusan melalui Kristus yang seharusnya Dia tidak alami dan tidak lalui, tetapi demi untuk dosa-dosa kita, Ia rela berkorban (Rm. 5:5-8; 5:24; Kol. 1:14).

 

5.      Kematian Kristus memberi kita keselamatan dan hidup yang kekal (Rm. 5:12-18). Upah dosa adalah maut (Rm. 6:23) dan kita pasti akan mengalaminya. Tetapi maut yang dimaksudkan disini adalah kematian sementara, sebab kebangkitan dan kehidupan kekal telah menanti sebagaimana Kristus telah bangkit, mengalahkan maut, maka kita pun orang percaya akan dibangkitkan dan menang atas maut kematian itu. Kita menerima rahmat itu di dalam kematian Kristus, untuk dibangkitkan bersama-sama dengan Dia dan memiliki kehidupan yang baru bersama-Nya (Rm. 6:1-4).

 

6.      Kematian Kristus membuka kesadaran kita, betapa besarnya kasih Allah untuk kita yang rindu selalu dekat dengan Dia. Allah ingin membangun hubungan yang baru (2Kor. 5:17), dan melalui kematian-Nya itu sekaligus menggerakkan dan menghidupkan kita (2Kor. 5:14; Gal. 2:20).

 

7.      Kematian Kristus membuat kita lebih kuat dalam menanggung penderitaan, mendewasakan dan menjadikan kita lebih utuh dan sempurna (2Kor. 12:10).

 

Kini, bagaimana kita meresponi pengorbanan Kristus itu? Semua itu tidak lain tidak bukan, Allah menginginkan kita menyesali segala dosa dan kesalahan kita, bertobat, tidak mengulangi lagi dosa-dosa yang pernah kita perbuat, serta mempersembahkan yang terbaik dari hidup kita bagi kerajaan dan kemuliaan-Nya.

 

 

 

Kesimpulan

 

Penderitaan dan kematian Yesus menunjukan kesetian-Nya pada Allah dan kasih-Nya pada manusia. Kesetiaan dengan meminum cawan penderitaan yang sungguh amat berat itu, dan menyerahkan sesuai dengan kehendak Bapa-Nya. KasihNya kepada kita dengan menanggung jalan panjang via dolorosa yang seharusnya Dia tidak tanggung, tetapi rela berkorban bagi penebusan dosa-dosa kita. Tuhan Yesus menginginkan kita untuk memahami hal itu, bersedia mengingat pengorbanan tubuh-Nya dan tumpahnya darah-Nya melalui perjamuan kudus yang kita ikuti pada Jumat Agung itu.

 

 

 

Apakah kita sudah memahami arti dan makna kematian Tuhan kita itu bagi kita? Apakah kita sudah siap untuk berubah dan memberikan yang terbaik, sehingga kita justru tidak menyalibkan Dia lagi melalui dosa-dosa perbuatan kita.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 10 April 2022

 

Kabar dari Bukit

 

 

LIDAH MURID (Yes. 50:2-9a)

 

 

Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu (Yes. 50:4a)

 

 

Ada dua tujuan hukuman termasuk penjara. Pertama, manusia yang telah terbukti menyusahkan dan merugikan orang lain, layak dihukum demi keadilan dan ketertiban. Kedua, dalam masa dihukum tersebut, manusia yang bersalah dapat merenungkan kembali perbuatannya, berefleksi, menyadari dan berpaling dari kesalahannya.

 

 

Itulah pesan nas firman untuk kita di hari minggu ini, Yes. 50:2-9a. Bangsa Israel pada kondisi lemah lesu setelah mereka dibuang ke Babel; itu hukuman Allah karena mereka tidak taat. Namun Allah menegaskan kembali kasih-Nya, kuasa-Nya dan pertolongan yang telah Allah berikan sebelumnya kepada mereka, saat Allah “mengeringkan laut, membuat sungai-sungai menjadi padang gurun; ikan-ikannya berbau amis karena tidak ada air dan mati kehausan” (ayat 2-3; lihat Kel. 7:20-21; 14:21-22; 10:21-22).

 

 

Saat bangsa Israel kehilangan motivasi, dan lari mempersalahkan Tuhan atas penderitaan yang mereka alami, Allah kemudian meminta mereka taat menjalankan tugas panggilan dipakai Tuhan. Allah berkehendak mereka bangkit. Nabi Yesaya menjadi contoh yang dipakai Tuhan, model kebangkitan baru. “Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu,” ungkap Yesaya pada ayat 4a.

 

 

Ketaatan murid diperlihatkan dengan cara memanfaatkan lidah dalam nas ini. Pada era digital saat ini, lidah juga berarti sesuatu yang dituliskan. Postingan di WA/FB merupakan ekspresi yang keluar dari hati, meski bentuknya dalam tulisan. Menjaga ekspresi hati terlebih di wilayah publik, itu sangat penting. Masih ada kita lihat postingan yang tidak berhikmat, dengan merasa paling tahu, tidak adil dan berimbang, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan. Semua ini merupakan bentuk belum bersihnya hati nurani kita. “Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya” (Luk. 6:45b).

 

 

Jangan biarkan "lidah atau tulisan" kita menjadi "lidah yang tak bertulang", yang tidak bisa dikendalikan. Kitab Yakobus telah mengingatkan hal ini dengan menuliskan: Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapa pun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidah pun adalah api”(Yak. 3:5-6).

 

 

Untuk menjaga lidah, menurut nas ini, perlu selalu menyendengkan telinga kepada firman Tuhan. “Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan ALLAH telah membuka telingaku” (ay. 4b-5a). Panggilan dipakai Tuhan untuk menjadi berkat melalui perkataan, diingatkan juga oleh penulis Ibrani, “marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” (Ibr. 10:25b). Pakai karunia menasihati dalam hidup, terutama dalam kerendahan hati (Rm. 12:8)

 

 

Namun meski kita melakukannya dengan baik sesuai firman Tuhan, kadang hasilnya dapat juga hal yang buruk. Nas minggu ini mengingatkan, agar kita tidak mudah menyerah dan tetap menghadapi dengan kesabaran (ay. 6). Nabi Yesaya memiliki iman bahwa Tuhan menolongnya, tidak akan memberi malu, dan selalu menang (ay. 7-8). Inilah juga gambaran yang dialami Tuhan Yesus dalam kita memasuki minggu sengsara yang berpuncak di Jumat Agung. Ia hanya berkata-kata yang baik, tapi dihukum. “Sesungguhnya, Tuhan ALLAH menolong aku; siapakah yang berani menyatakan aku bersalah?” (ay.9a). Haleluya, Yesaya, Yesus, dan kita adalah pemenang.

 

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 3 April 2022

 

Kabar dari Bukit

 

AKU MANUSIA BARU (Yes. 43:16-21)

 

 

Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? (Yes. 43:19)

 

 

Firman Tuhan di hari Minggu ini bagi kita, Yes. 43:16-21. Ini nas kesaksian pemazmur tentang kemahabesaran Allah, dalam karya tangan-Nya sejak zaman purbakala bumi diciptakan dan Israel dibentuk dan dipilih-Nya. Allah kemudian menghukum demi keadilan dan kuasa-Nya, tetapi Ia Maha Pengampun, melupakan kesalahan umat di masa lalu atas dasar kasih-Nya.

 

 

Firman-Nya, "Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” (ay. 18-19a). Pemazmur berkeyakinan, Allah akan melakukan perkara-perkara besar ke depan bagi yang sudah berbalik kepada-Nya, menjadi manusia baru. “Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara” (ay. 19b).

 

 

Bagaimana dengan kita? Semua kita pasti tidak ada yang sempurna. Kita mungkin masih terbelenggu dengan sifat manusia biasa yang berdosa. Ketika saya diminta menjadi pendeta, saya juga masih orang yang mudah jatuh ke dalam dosa. Saya belum siap. Tapi setelah diyakinkan, saya bersedia. Kunci jawabannya: jangan fokus melihat diri sendiri, tetapi membuka kesempatan kita menjadi berkat bagi orang lain.

 

 

Menjadi manusia baru tidak perlu menjadi sempurna. Menjadi manusia baru hanya perlu pengakuan, tekad dan keyakinan, siap menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan Yesus, percaya kepada Allah yang hidup di dalam Roh Kudus, yang akan terus menolong dan memimpin kita semakin serupa dengan Dia. Itu titik mulainya. Susah? Tentu tidak.

 

 

Kedua, tangggalkanlah semua bebanmu. Jangan dosa lampau terus membayangi. Bebaskan dan selesaikan persoalan dengan saudara dan teman. Tidak perlu berjumpa minta-minta maaf. Pikiran kita saja yang perlu distel. Kalau ketemu, ya sapa dan salam, senyum. Menjadi manusia ciptaan baru: yang lama sudah berlalu (2Kor. 5:17a). Oleh karena itu ada ungkapan, kebahagiaan kita tidak tergantung kepada orang lain. Jika ingin tahu siapa yang dapat melakukan itu, lihatlah cermin. Wajah di cermin itulah yang dapat membuat kita bahagia. Susah? Ya sedikit. Pelan-pelan pasti bisa.

 

 

Ketika datang kepada Tuhan Yesus, pengampunan tidak terjadi besoknya atau seminggu, atau tahun depannya. Pertobatan adalah menyadari Tuhan baik, dan bertekad untuk siap terus dibarui. Tentu setelah bertobat, kita masih akan berdosa, dan itulah kemanusiaan kita. Tetapi roh kita, semangat kita, terus siap dibaharui. Alkitab mengajarkan, pengudusan kita sebagai anak-anak Tuhan berlangsung terus menerus seumur hidup (2Kor. 3:18; Ef. 4:13; 2Pet. 3:18). Puncak pengudusan adalah kesempurnaan yakni kelak di sorga (Fil. 1:6; 1Tes. 5:23)

 

 

Ketiga, mulailah menjalani hidup yang sesuai dengan dua hukum utama umat Kristen. Kasihilah Allah dan kasihilah sesamamu. Mengasihi Allah, bagian besarnya adalah menyukai firman-Nya. Rajin berdoa dan berserah, tidak memaksa mengikuti pikiran sendiri. Mencintai sesama, pun tidak harus memberi, tapi melakukan sesuai ajaran Yesus: Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat. 7:12). Simpel kan? Jadi sebelum bertindak, berbuat, atau menulis sesuatu di WA, pikirkan dahulu, apakah hal itu mengikuti prinsip di atas. Jika ada yang senang membuat orang lain susah, saya kira mereka terjerat iblis!! Iblis memang terus mengganggu dengan pikiran sesat.

 

 

Yang terakhir, teruslah berbuah, menjadi berkat. Mulai dari hal kecil, berdoa bagi semua yang telah menolong kita, berdoa bagi semua keluarga, pengurus gereja dan perkumpulan. Ringan tangan dalam membantu, rajin ikut berperan. Bila diberi Tuhan berkat, berbagi. Menjadi manusia baru: sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor. 5:17b).

 

 

Oleh karena itu, ketika orang bertanya kepada kita, apakah kita sudah menjadi manusia baru? Jawablah: Aku manusia baru. Ada keinginan untuk meninggalkan yang lama, rindu yang baru datang. Peganglah, semua akan menjadi sempurna hanya ketika kita meninggalkan dunia ini dengan iman yang teguh kepada Dia.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 10 April 2022

 

Khotbah Minggu Keenam Pra Paskah – Masa Sengsara

 

YANG TERBESAR DI SORGA (Luk. 22:24-34)

 

 

Pendahuluan

 

Minggu ini kita memasuki minggu sengsara menjelang peringatan kematian Tuhan kita Yesus Kristus di kayu salib, yakni pada hari Jumat Agung nanti. Bacaan minggu ini berupa dua peristiwa, yakni pertengkaran para murid tentang siapa yang terbesar dan terutama di antara mereka; dan kedua, tentang pemberitahuan penyangkalan Petrus akan Tuhan Yesus. Dari dua peristiwa ini kita dapat mengambil hikmat dan petunjuk hidup sebagai berikut.

 

 

Pertama: Dipanggil untuk melayani ( ayat 24-25)

 

Kalau kita baca dari awal pelayanan-Nya, para murid ini dipanggil untuk melayani Tuhan Yesus dan sesama manusia. Mereka diminta rela meninggalkan kehidupan awal pribadinya dan menyerahkan seluruh hidup mereka bagi Tuhan Yesus. Mereka bersedia karena percaya Ia adalah Mesias. Namun dalam perjalanan waktu yang singkat, mereka mulai menyadari bahwa pelayanan Yesus akan berakhir sebab perlawanan para Imam dan orang Farisi terhadap-Nya sudah semakin besar. Demikian juga penguasa Romawi tetap keras karena tidak mau mengambil resiko untuk memberikan perlindungan khusus kepada-Nya. Maka ketika Tuhan Yesus mengadakan perjamuan malam menjelang paskah, mereka sadar mungkin itulah adalah saat-saat akhir, dan ketika duduk dalam perjamuan itu, mereka mempersoalkan posisi duduk masing-masing murid dalam perjamuan tersebut.

 

 

Sebagaimana diketahui, posisi duduk dalam adat istiadat Yahudi yang di sebelah kanan tuan rumah adalah yang paling utama dan kemudian yang duduk di sebelah kirinya. Urutan kedudukan berikutnya adaalah duduk kedua di sebelah kanan dan yang berikutnya duduk kedua di sebelah kiri. Demikian seterusnya hirarki posisi duduk dalam adat-adat Yahudi tersebut. Yohanes, murid yang paling muda tampaknya duduk di sebelah kanan Tuhan Yesus dan hal ini menimbulkan kecemburuan dan protes para murid. Mengapa Yohanes yang masih muda duduk pada posisi yang paling terhormat itu?

 

 

Dalam hal ini tampaknya para murid melupakan bahwa yang utama tugas mereka adalah pelayanan, bukan mempersoalkan kebesaran dan keutamaan dari masing-masing orang. Mereka dipanggil untuk melayani dan harus fokus pada pelayanan itu sendiri. Apabila mereka mempersoalkan kedudukan dan kebesaran, maka itu tidak sesuai dengan panggilan awal dan itu adalah pikiran duniawi. Pikiran duniawi dan manusiawi selalu memperhitungkan posisi dan kedudukan, imbal jasa, untung rugi dan upah jerih payah dari pelayanan atau pekerjaan yang dilakukan. Mungkin kita berpikir bahwa itu wajar, manusiawi, tetapi apa yang disampaikan Tuhan Yesus pada murid saat itu, jelas hal itu salah dan bukan cara pandang rohani yang benar.

 

 

Tidak jarang kita pun acapkali berpikir dan bersikap demikian. Ketika kita memberi lebih banyak kepada gereja, atau ketika kita sangat aktif di pelayanan, maka kita akan menuntut posisi yang lebih dihormati, seperti selalu duduk di depan atau tempat istimewa. Ketika kita memiliki "jabatan” yang lebih "tinggi" maka kita ingin diperlakukan lebih terhormat dan utama dalam setiap kegiatan. Sikap inilah yang dicela Tuhan Yesus. Kalau kita memang sudah merasa dipanggil untuk melayani atau memberi, maka rendahkanlah hati kita. Kita harus mengikuti Tuhan Yesus, sebagaimana dinyatakan dalam bacaan lain minggu ini, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:6-7). Kita juga harus bercermin pada petunjuk Alkitab, apabila kita dalam suatu acara pesta perkawinan atau acara lainnya, maka duduklah terlebih dahulu di tempat yang kurang terhormat, kalau memang "jatah" kita di tempat yang lebih terhormat, maka tuan rumah akan menempatkan di sana nantinya (Luk. 14: 7-11).

 

 

Kedua: Yang terbesar adalah yang paling melayani (ayat 26-27)

 

Melayani berbeda dengan bekerja, walau bekerja dapat juga sebagai pelayanan. Melayani tidak mengharapkan imbalan, sementara bekerja wajar mengejar upah atau imbalan yang besar. Kalau melayani tidak mengenal jam kerja atau batas minimum 160 jam kerja dalam sebulan, sementara dalam bekerja di kantoran, kriteria itu dipakai kecuali dia bekerja paruh waktu. Apabila bekerja lebih dari yang ditetapkan, misalnya menjadi 180 jam, maka pekerja mengharapkan lembur, dan kalau tidak ada lembur biasanya diberikan tunjangan khusus atau tunjangan jabatan. Tapi itu adalah hitungan atau prinsip duniawi. Kalau dalam pelayanan tidak ada istilah lembur. Bahkan seorang hamba Tuhan harus siap bila perlu melayani 24 jam sehari meski harus memperhatikam kesehatan tubuhnya.

 

 

Pengalaman di kantor memperlihatkan justru orang-orang yang bekerja tanpa berpikir lembur ini yang disukai pimpinan. Mereka bekerja secara sungguh-sungguh dan apabila situasi menghendaki kerja lembur, mereka tidak keberatan dan bahkan siap setiap saat. Mereka ini bukan orang-orang yang justru membuat pekerjaan lambat-lambat di jam kerja normal, sehingga berharap nanti bisa lembur dan penghasilan bertambah. Tidak sedikit yang berpikir dan bertindak demikian. Sejatinya bersikap demikian justru yang terjadi adalah kita mengasihi diri sendiri dan bukan mengasihi orang lain. Ini bertentangan dengan hakekat pelayanan.

 

 

Apakah kita di kantor bersiasat membuat seolah-olah kita tampak sibuk dan mengharapkan "lemburan", atau kita dengan tulus melakukan kewajiban pekerjaan dan pelayanan itu dengan sukacita. Kita lakoni pekerjaan dan pelayanan itu dengan penuh tanggungjawab dan bahkan tidak pernah mengeluh dan menuntut. Sikap demikian yang seharusnya tampak dalam pekerjaan kita di kantor. Inilah yang diharapkan bos kita dan menyenangkan hatinya. Pemimpin dalam pelayanan kita adalah Tuhan Yesus. Sikap hitung-hitungan jelas dicela Tuhan Yesus. Oleh karena itu Tuhan Yesus berkata,  justru yang paling besar di antara mereka adalah mereka yang merasa paling muda, dalam arti masih merasa perlu terus belajar dan merasa belum banyak berbuat; bukan perasaan sok tahu banyak pengalaman dan sudah berbuat banyak. Demikian juga mereka yang menjadi pemimpin dalam pelayanan, menurut Tuhan Yesus adalah mereka yang paling banyak dan bersungguh-sungguh melayani.

 

 

Kebesaran dan keutamaan seseorang dalam pelayanan bukanlah karena jabatan,  kuasa, gelar, ketenaran, atau prestasi yang besar. Justru sikap kita terhadap pelayanan atas apa yang kita kerjakan bagi Allah serta pandangan rohani kita di hadapan Dia, itulah yang menentukan kebesaran kita di hadapan-Nya (band. Mat. 18:3-4; 20:25-28).

 

 

Ketiga: Kehormatan sudah diberikan (28-30)

 

Tuhan Yesus mengatakan dalam nats tersebut kita sudah memiliki keutamaan. Kita sebagai orang-orang yang dipanggil dan diselamatkan telah memiliki keutamaan menjadi bagian dalam kerajaan-Nya, baik saat ini maupun nanti. Kita sudah masuk dalam kerajaan damai sejantera itu dan memjadi warga sorgawi. Para murid telah bersama-sama dengan Yesus dalam perjamuan makan minum semeja dan ikut serta dalam pencobaan menghadapi umat Israel dan penderitaan yang akan dialami-Nya, merupakan kehormatan yang tidak terhingga. Ini yang seharusnya menjadi sikap mereka, sebagaimana dimaksudkan oleh Raja Daud dalam mazmurnya, "Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik" (Mzm. 84:10).

 

Tuhan Yesus menegaskan posisi-Nya bahwa Ia yang menetapkan hak-hak Kerajaan itu bagi kita orang percaya. Bapa telah menyerahkan hak itu kepada Yesus dan apabila kita percaya dan mengikuti-Nya, maka kita akan mendapat bagian yang indah dalam Kerajaan itu, baik saat ini maupun penggenapannya nanti. Tuhan Yesus telah menyediakan suatu "Kerajaan" yang didirikan-Nya dan para murid jangan mengharapkan kemuliaan dan kuasa duniawi tersebut pada masa ini. Keutamaan bagi kita bahkan digambarkan dalam kerajaan-Nya kelak dengan ikut menjadi hakim atas bangsa-bangsa yang tidak taat. Kita akan duduk bersama Tuhan Yesus di atas takhta dengan kekuasaan dan kemuliaan tersebut.

 

 

Sebagai orang yang berdosa yang hukumannya neraka dan kematian kekal, sebenarnya apa yang kita peroleh itu sudah lebih dari cukup dan sangat berharga. Kita tidak perlu mendapat gambaran bagaimana kelak situasi itu akan terjadi dan bagaimana wujud rupanya. Itu sudah terlalu jauh dan bahkan mungkin tidak bisa terbayangkan oleh mata dan pikiran (1Kor 2:9). Kita tidak perlu menuntut itu saat ini. Semuanya justru kita sikapi dengan rasa syukur dan hormat atas pemberian anugerah itu dan bukan pula menjadi alasan sombong atau sesumbar. Tuhan Yesus secara tidak langsung juga mengatakan bahwa mengikuti-Nya berarti akan masuk dalam pencobaan-pencobaan dan hanya yang bertahan yang akan tetap masuk dalam Kerajaan itu. Hati- hatilah, iblis akan memanfaatkan hal ini.

 

 

Keempat: Jangan sesumbar (ayat 31-34)

 

Apa yang kemudian terjadi pada Simon atau Petrus merupakan peringatan Tuhan Yesus yang menjadi kenyataan. Yesus sudah mengetahui bahwa Petrus sedang diincar oleh iblis sehingga ia diperingatkan. Tetapi Petrus sesumbar dan berkata: "Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau!" (ayat 33).

 

 

Petrus pada dasarnya adalah seorang yg berani (Yoh. 18:15). Kita tahu ia memotong telinga serdadu Romawi yang ingin menangkap Yesus. Petrus juga ikut sampai ke halaman rumah Imam Besar saat Yesus dibawa untuk diadili. Ini merupakan resiko bagi Petrus dan ia tidak takut. Namun apa yang terjadi, Yesus tahu oleh karena itu berkata: "Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu" (ayat 31-32). Pengertian menampi adalah melihat apakah memang Petrus memiliki iman yang kuat. Dalam hal ini Yesus mengizinkan iblis mencobai Petrus tetapi hanya sampai batas-batas tertentu dan dengan izin Allah (band. Ayub 1:10,12).

 

 

Iblis tahu dan menggunakan "kelemahan" Petrus yakni emosi dan kesombongannya. Iblis sudah menduga bahwa Petrus akan sesumbar dan mengatakan ia siap mati demi Yesus. Kenyataannya, Petrus memang tiga kali menyangkal Yesus. Tetapi Yesus juga menetapkan bahwa Ia akan berdoa bagi Petrus dengan mengatakan: Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu" (ayat 32).

 

 

Maka kita pun demikian agar jangan sesumbar. Jangan sombong rohani, meras sudah memberi dan berbuat pada Tuhan Yesus sangat banyak dan besar. Iblis akan mencobai kita meski ia tidak leluasa melakukan apa saja yang ia inginkan, sebab harus perkenan Allah. Kita berharap Allah berdoa bagi kita yang dikasihi-Nya. Itu juga sebabnya Yesus mengajar kita berdoa dalam Doa Bapa Kami, agar jangan membawa kita ke dalam pencobaan dan melepaskan dari yang jahat. Iblis itu jahat, begitu kita lepas dari iman dan kuasa Yesus, maka kita akan jatuh dan menjadi hamba iblis. Pesan ini juga disampaikan dalam bacaan lain minggu ini,

 

 

Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid (Yes. 50:4). Ini yang dimaksudkan Tuhan Yesus agar Petrus, jikalau dia sudah insaf, dia menguatkan saudara-saudaranya (Luk. 22:32).

 

 

Kesimpulan

 

Minggu ini kita diajarkan tentang kelemahan manusia yang mengutamakan kedudukan dan kebesaran di masa kini. Sudut dan cara pandang demikian adalah duniawi. Justru bagi kita yang memberi dan melayani harus merasa kitalah yang paling muda dan masih sedikit serta terus belajar untuk yang lebih baik. Pemimpin adalah mereka yang paling merasa sebagai pelayan dan melayani lebih banyak tanpa memperhitungkan imbalan. Bagi kita yang sudah dipanggil masuk dalam Kerajaan-Nya, bagian kita sudah jelas tersedia yang paling baik. Kita tidak perlu sesumbar, sebab iblis dapat dengan memudah mencobai kita dan kalau tidak berpegang erat pada Allah, maka kita bisa jatuh. Mari kita rendahkan hati kita dalam memberi dan melayani sesuai yang Tuhan sediakan bagi kita.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 3 April 2022

 

 

 Khotbah Minggu Kelima Pra-Paskah 2022

 

 

MEMBERI DENGAN TULUS DAN PENUH SYUKUR (Yoh. 12:1-8)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yes. 43:16-21; Mzm. 126; Flp. 3:4b-14

 

 

Pendahuluan

 

Perjalanan Tuhan Yesus menuju Yerusalem tinggal beberapa hari lagi. Meski Ia sudah dinyatakan lepas dari perlindungan hukum (Yoh. 11:57) namun Yesus tetap dalam langkah-Nya yang berani untuk menyelesaikan misi-Nya yang agung. Sebelum masuk kota Ia singgah di Betania pinggiran Yerusalem, bertemu dan dijamu oleh sahabat-sahabat-Nya. Di situ ada Simon (band. Mat 26:6-13; Mrk 14:3-9) dan juga hadir Marta dan Maria saudara Lazarus yang dibangkitkan oleh-Nya dari kematian. Kejadian dalam rumah itulah yang merupakan bacaan nats kita minggu ini, dan memberi kita pelajaran penting sebagai berikut.

 

 

Pertama: Memberi dengan tulus dan penuh syukur (ayat 1-3)

 

Marta yang hadir sangat sigap melayani Tuhan Yesus karena talenta paling berharga yang ia miliki adalah melayani. Ia tidak kecil hati dengan perannya itu meski hanya menyiapkan makanan dan minuman, sebab yang utama adalah hati dalam melayani tersebut. Berbeda dengan Maria, yang memiliki simpanan berupa minyak Narwastu, parfum mahal yang biasanya diimpor dari India. Jumlahnya pun tidak kecil yakni setengah kati, kurang lebih seperempat kilogram dan disimpan dalam buli-buli (semacam gelas kaca).

 

 

 

Ketika ia melihat Yesus ada dalam rumah itu, maka ia masuk dan tersungkur menuangkan minyak mahal itu ke kaki Tuhan Yesus. Kemudian ia mengusap kaki Tuhan Yesus itu dengan rambutnya yang tergerai panjang. Kita bisa bayangkan bahwa kaki Tuhan pada saat itu mungkin kotor karena baru dari perjalanan. Tetapi itulah yang dilakukan Maria, memberikan hatinya dengan minyak mahal dan mengusap kaki Tuhan Yesus dengan mahkota tubuhnya. Ia tidak peduli dengan pikiran orang, bahwa mengusap dan memperlihatkan rambut pada masa itu tentu dapat dikonotasikan dengan perempuan tercela, tetapi ia tidak peduli, karena yang terpenting baginya adalah memberi kasihnya dengan tulus dan sepenuh hati kepada Yesus.

 

 

 

Hal lainnya yang perlu kita amati adalah Maria sengaja memberi minyak narwastu tersebut di kaki Tuhan Yesus. Ini melambangkan bagaimana kerendahan hatinya dalam memberi itu. Ia tidak mengusapkan minyak mahal itu di kepala Tuhan Yesus atau dijubah-Nya, tetapi justru pada bagian yang paling "kotor" saat itu karena debu jalanan. Tetapi itulah sikap kita seharusnya dalam memberi kepada Tuhan, harus dengan rendah hati. Jangan pernah berpikir bahwa pemberian kita yang berharga kemudian kita bisa berbangga bahkan menyombongkan. Meski banyak yang menafsirkan bahwa pemberian minyak tersebut merupakan "urapan" sebelum Tuhan Yesus mati di kayu salib, tetapi bagi Maria, ia melihat hanya layak mengoleskannya di kaki Tuhan Yesus. Demikian juga, ia mengusap kaki Tuhan kita itu dengan rambutnya yang merupakan mahkota dirinya.

 

 

 

Bagi Maria, bertemu dan mengasihi Tuhan Yesus adalah hal yang utama, sebagaimana dinyatakan dalam bacaan lain pada minggu ini dari Flp 3:4b-14, "Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus" (ayat 8).

 

 

 

Kedua: Jangan berpura-pura dalam memberi (ayat 4-6)

 

Sikap lainnya yang diperlihatkan oleh Maria adalah tidak hitung-hitungan dalam memberi. Maria tampaknya mengetahui bahwa itulah kesempatan yang dia miliki untuk mengungkapkan kasihnya kepada Tuhan Yesus. Apa yang menjadi miliknya paling berharga itulah yang dia berikan kepada Tuhan Yesus. Baginya tidak ada kemunafikan atau kepura-puraan bahkan terlebih lagi mengharapkan imbalan dari pemberian itu. Tidak ada yang tersembunyi sehingga tidak membuat ada ketakutan (nothing to hide, nothing to fear).

 

Ini berbeda dengan sikap Yudas yang mencela pemberian minyak mahal itu. Yudas menyebut nilai minyak itu 300 dinar (setara dengan upah pekerja setahun saat itu atau kurang lebih Rp. 20 - 30 juta). Di sini Yudas sudah mulai menghitung-hitung pemberian kepada Tuhan, dan hal itu bukan ungkapan kasih. Kasih sejati melepaskan hitung-hitungan. Demikian juga Yudas berpura-pura mengatakan bahwa lebih baik minyak itu dan hasilnya diberikan kepada orang miskin. Padahal, sebenarnya ia berpikir minyak itu kalau dijual seharga 300 dinar maka ia sebagai bendahara akan memegangnya dan dapat mencuri dari kas sebagaimana ia biasa melakukannya (ayat 6; band. Yoh 2:24-25; 6:64-70). Yudas memakai topeng dalam sikapnya. 

 

 

 

Itulah contoh buruk dalam memberi, ada maksud dan motif tersembunyi. Ada topeng untuk ingin dipuji, topeng dengan kata-kata manis bahkan berlabel rohani. Ada yang terselubungi oleh iblis dengan pikiran jahat dan menipu. Lain di mulut lain di hati. Kalau pikiran kita sudah bengkok maka pandangan kita juga akan bengkok sehingga apa yang sebetulnya bagus menjadi buruk. Jangan-jangan pikiran kita yang buruk atau ada lapisan penghalang yang membuat pandangan kita kemudian melihatnya kotor. Ada kisah orang yang melihat pakaian tetangga yang dijemur menurutnya selalu kotor, padahal jendela kaca rumahnya yang kotor, sehingga pakaian yang dijemur itu selalu tampak kotor. Hikmatnya, apabila kita melihat sesuatu itu buruk, maka sebaiknya kita renungkan terlebih dahulu, apakah cara melihat kita ada yang salah?

 

 

 

Yudas sadar ada kesempatan untuk mencuri. Ini pelajaran yang penting: Jangan membenarkan diri karena alasan rohani seperti Yudas. Kita mungkin tergoda untuk memberi yang berharga, tetapi jangan tergoda memberi untuk mendapat pujian. Kita mungkin tergoda untuk sebuah jabatan atau kedudukan, tetapi jangan untuk maksud bisa mencuri seperti Yudas. Itu sama semua dengan penghianat. Dalam kisah ini Yesus juga tidak perlu menghentikan perbuatan Yudas, karena saatnya akan tiba Tuhan yang mengatur semua buah perbuatan jahatnya.

 

 

 

Ketiga: Memberi untuk menjadi berkat bagi yang lain (ayat 3 dan 7)

 

Maria mungkin sadar bahwa kesempatan untuk mengungkapkan pengabdian kepada Yesus segera akan berakhir, karena itu dia memanfaatkan kesempatan yang tersedia. Ia berpikir ini adalah saat yang sukar ditemukan bisa bertemu dan memberikan yang terbaik bagi Tuhannya. Karena itu, ia ingin pemberian itu menjadi ingatan baginya tanpa memperhitungkan nilai dan pengorbanan yang harus dia bayar untuk itu. Walau tidak dijelaskan bahwa Maria mengetahui itulah saat-saat terakhir Tuhan Yesus, namun insting wanitanya bekerja dan memutuskan pemberian itu.

 

 

 

Memberi sesuatu yang berharga dalam hidup kita kepada Tuhan dan dapat menjadi ingatan atau kenangan indah, jelas merupakan pilihan dan keputusan yang baik. Maria memberi parfum mahal dan menumpahkan semuanya. Kita tidak dapat mengatakan hal itu sebagai pemborosan, sebab arti pemborosan tergantung kepada makna rohani bagi yang memberi dan nilai apa yang kita anut sebagai paling berharga diberikan kepada Allah kita. Maria telah melihat bagaimana Yesus telah membangkitkan saudaranya Lazarus dari kematian. Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa apa yang diperbuat Maria itu akan disebut dalam setiap pemberitaan Injil.

 

 

 

Hal itu terjadi karena pemberian itu bukan saja menyenangkan hati Tuhan sebagaimana respon Tuhan Yesus, tetapi apa yang dilakukan Maria juga menjadi berkat bagi semua yang hadir saat itu, tatkala ruangan menjadi harum dari parfum mahal itu. Itulah yang membuat pemberian Maria itu menjadi kesan sendiri bagi Tuhan Yesus sehingga Ia mengatakan bahwa kejadian itu akan selalu menjadi ingatan. Pemberian seperti itulah yang diinginkan oleh Tuhan Yesus.

 

Pernahkah kita terpikir untuk memberi yang terbaik milik kita dengan tulus dan ekspresif seperti yang dilakukan oleh Maria? Pemberian tidak harus dalam bentuk materi. Sebagaimana Simon dari Kirene memberi yang terbaik kepada Yesus tenaganya untuk memanggul salib bagi Yesus. Mungkin juga kita pernah diberi kesempatan terbaik seperti itu, tetapi mungkin kita menundanya. Mungkin kita tidak menyadarinya. Mungkin kita berhitung sehingga kesempatan itu hilang. Mungkin saja dan untuk itu kita perlu merenungkannya. Apa yang sudah terbaik kita berikan kepada Tuhan Yesus dari hidup kita? Ingatlah janji Tuhan dalam bacaan lain minggu ini Mzm 126, "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai" (ayat 5).

 

 

 

Keempat: Tanggungjawab kepada orang miskin (ayat 8)

 

Apa yang disampaikan Tuhan Yesus kepada Yudas bahwa tidak masalah Maria memberikan minyak narwastu yang mahal itu itu, dan mengatakan orang miskin masih tetap ada, bukan berarti Tuhan Yesus mengabaikan mereka. Maksud Tuhan Yesus adalah persoalan orang miskin akan ada terus menerus dan itu tetap menjadi tanggungjawab kita orang percaya. Penekanan tanggungjawab pemeliharaan orang miskin ini sudah sejak perjanjian lama dan itu merupakan keharusan.

 

 

 

Apa yang lebih ditekankan Tuhan Yesus adalah sikap responsip dan tulus dari Maria atas keinginannya memberi yang terbaik, sekaligus Tuhan Yesus juga menyadari bahwa sikap itu merupakan pengurapan atas dirinya menjelang kematian-Nya. Iman dan pengabdian Maria kepada Tuhan Yesus merupakan teladan yang sangat baik yang diinginkan Allah dari orang percaya. Itu jelas perbuatan iman dan kesiapan berkorban demi Tuhan. Kesiapan berkorban sebagai pemberian yang terbaik kepada Tuhan Yesus dapat berupa kesetiaan, di kala kita sakit berat, terjerat hutang, tergoda cepat kaya dengan cara menipu atau mencuri, dan sebagainya. Itulah pemberian dan pengorbanan kita.

 

 

 

Yesus telah naik ke sorga. Pesan itu diberikan kepada kita orang percaya dan kepada gereja agar terus memperhatikan mereka yang miskin. Memberi kepada Tuhan dan menjadi berkat bagi yang miskin, merupakan jalan dan cara yang berkenan kepada Tuhan. Sering kali orang percaya memberi kepada hamba Tuhan dan gereja yang  sudah berkelimpahan, dan kadang gereja atau hamba Tuhan ini tidak menyalurkannya bagi orang miskin. Inilah pergumulan kita. Banyak jemaat tidak mepunyai gedung gereja yang tidak layak. Apabila kita jalan ke wilayah-wilayah kemiskinan tempat orang percaya sebagai mayoritas (Tapanuli, Mentawai, Nias, NTT, Kalbar, Papua, dan lainnya) kita akan melihat bangunan gereja yang sederhana dan jemaat miskin yang perlu diberdayakan. Kesanalah mestinya hati kita arahkan, agar nama Tuhan Yesus semakin dimuliakan. Seperti firman Tuhan melalui Rasul Paulus, "Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku (Flp 3:13).

 

 

 

Kesimpulan

 

Minggu ini kita mempelajari kisah yang sangat hebat, ketika Maria memberikan yang paling berharga dari miliknya kepada Tuhan Yesus. Ia memberi dengan merendahkan diri tersungkur dan hati yang tulus. Tidak ada kepura-puraan, tidak ada yang tersembunyi dari kasihnya. Maria meggunakan kesempatan yang bagus untuk menjadi kenangan indah bagi semua orang, tanpa kita melupakan tanggungjawab kepada mereka yang masih berkekurangan. Mereka banyak sekali di desa-desa. Kesanalah hati kita diarahkan minggu ini.

 

Tuhan Yesus memberkati kita semua, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 661 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8029938
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
1996
80866
181223
7546890
181223
883577
8029938

IP Anda: 162.158.190.55
2024-12-04 00:43

Login Form