Thursday, November 21, 2024

2024

Khotbah (2) Minggu XIV Setelah Pentakosta – 25 Agustus 2024

Khotbah Minggu 25 Agustus 2024 Minggu XIV Setelah Pentakosta (2)

 

 MURID SEJATI (Yoh. 6:60-71)

 

 "Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup" (Yoh. 6:63).

 

 

 

Firman Tuhan hari Minggu ini, Yoh. 6:60-71, masih dalam rangkaian Yesus adalah Roti Hidup dan perlunya memakan daging dan meminum darah-Nya. Respon murid pun banyak yang bersungut-sungut, yang berharap terus dapat roti makanan gratis tanpa harus berpikir berat dan susah. Pernyataan Yesus mereka anggap keras; sulit dipahami. Respon Yesus juga out of the box, tidak menjelaskan tetapi malah lebih "menggoda pikiran": "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu? (ayat 61). "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" (ayat 67). Akhirnya, banyak murid-murid mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia (ayat 66).

 

 

 

Tidak sedikit di antara kita juga sering iman dan ketaatannya kendor jika mendengar atau membaca firman yang seolah "tidak masuk akal". Misalnya, membandingkan ayat "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku" dengan kemanusiaan Yesus termasuk membuat patung-Nya (Kel. 20:3-4). Demikian juga dengan ayat-ayat sulit, seperti perkataan Yesus: "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka" (Mat 8:22). Kok, orang mati menguburkan orang mati? Padahal maksud-Nya saat itu, biarlah mereka yang mati (rohaninya), mengurus orang yang mati (jasmaninya), sebab urgensi seorang murid mengikut Yesus sangat prinsip, mengabarkan kerajaan Allah daripada hal keduniawian lainnya (band. Luk. 9:59–62).

 

 

 

Persoalan bisa mudah ketika ada kerinduan untuk lebih memahaminya dengan rendah hati, mencari nara sumber yang kompeten berdiskusi. Tetapi, tidak jarang juga yang merasa dirinya "hebat", mengklaim Roh Kudus telah menuntunnya menafsir, meski sebenarnya yang terjadi ia berputar pada pikirannya sendiri, atau terjebak pada pandangan yang dangkal. Persoalan lain bisa menjadi lebih berat, karena merasa tidak masuk akal, atau berat untuk ditaati, kemudian frustasi, bahkan mundur dan berpaling. Perlu hati-hati.

 

 

 

Nas minggu ini menekankan tidak perlu kita memahami secara akal semua firman-Nya, atau melihat karya mukjizat Tuhan dahulu untuk menjadi percaya dan beroleh keselamatan. Itulah "godaan" Yesus dengan mengatakan: “Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada?” (ayat 62).

 

 

 

Yesus menekankan, "Rohlah yang memberi hidup.... Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup" (ayat 63). Selanjutnya ditegaskan-Nya: "Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya" (ayat 65). Arti sederhananya, keselamatan itu karena iman, pemberian Allah, kasih karunia, bukan hasil usaha manusia (Ef 2:8). Jadi jangan terlalu banyak bertanya, tapi sedikit berbuat dan bersaksi. Sikap kita semestinya sama seperti Simon Petrus, yang percaya dan berespon mengaku: "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (ayat 68); "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Mat. 16:16). Itu utamanya. Berserah, berespon iman: Allah itu baik. Seperti lirik lagu dengan berpegang: "‘Ku berserah kepada Allahku... Bapa sorgawi t’rus menjagaku....” (NKB 128).

 

 

 

Mungkin ada yang penasaran pada ayat 64 dan 70-71 dan bertanya: Yesus kan sudah tahu ada satu iblis di antara 12 murid yang akan menyerahkan-Nya, yakni Yudas Iskariot. Mengapa Yesus tidak menyelamatkannya? Lantas, apakah keselamatan itu bisa hilang? Nah, jawabannya mungkin sederhana: rasanya, lebih cocok dia masuk sekolah teologia, atau minimal ikut kursus singkat Alkitab. Agar, utamanya: sedikit bertanya, banyak berbuat dan bersaksi. Itulah ciri murid sejati.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

Kabar dari Bukit Minggu 18 Agustus 2024

Kabar dari Bukit

 

 

HIDUP ARIF BUKAN BEBAL (Ef. 5:15-20)

 

"Janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif” (Ef. 5:15b)

 

 

Dipastikan semua orang tidak mau disebut orang bodoh, apalagi bebal. Jika orang bodoh masih ada peluang belajar untuk menjadi pintar, namun orang bebal memiliki hambatan lebih besar, sebab merasa dirinya sudah benar dan pintar sehingga tidak mau belajar dan membuka diri melihat hal lebih baik dari yang dipikirkannya.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu berbahagia ini adalah Ef. 5:15-20. Ini lanjutan dari perikop sebelumnya, yakni agar kita orang percaya hidup sebagai anak-anak terang. Hidup sebagai anak-anak terang berarti tidak hidup dalam kegelapan, tidak terjebak dalam situasi yang menjerat dirinya. Orang dalam kegelapan tidak hanya kehilangan orientasi keberadaannya, tetapi juga arah pengharapan yang benar akan langkah tujuan hidupnya.

 

 

 

Melalui nas minggu ini ada empat sikap perilaku yang diminta dari kita. Pertama, memperhatikan bagaimana kita hidup, “janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif” (ay. 15). Orang arif hidup dalam kebijaksanaan, hidup menggunakan waktu dengan baik sesuai kehendak Tuhan. Bersikap bebal berarti tidak cepat menanggapi sesuatu dan bersikap masa bodoh (Ams. 1:32), tidak memakai akal budi dan pengetahuan (Mzm. 94:8; Ams. 1:22), berpikiran bahwa Allah tidak ada (Mzm. 53:1).

 

 

 

Sikap kedua, jangan bodoh, tidak memahami maksud dan rencana Tuhan dalam hidup kita (ay. 17). Orang bodoh tidak mau belajar, sementara orang arif bijaksana akan terus belajar dengan hikmat termasuk dari kebodohan orang lain. Dan kunci menjadi arif adalah mengenal Kristus sebagai Pribadi yang berkuasa atas hidup semua orang, mencintai Firman-Nya dan mau terus belajar. Takut akan Tuhan permulaan hikmat (Ams. 1:7), membuat kita bijak dalam mengarungi kehidupan dengan segala mosaik tantangan dan pengharapan yang ada.

 

 

 

Sikap ketiga, kita diingatkan tentang hidup yang tidak terkendali dan terkontrol yakni mabuk oleh anggur. Saat ini bukan hanya anggur yang memabukkan, tetapi juga kecanduan hal yang buruk termasuk mengkonsumsi narkoba. Hidup yang terkendali adalah bila kita terus dituntun oleh Roh-Nya (ay. 19). Oleh karena itu, kita perlu terus mendekatkan diri dan hubungan yang erat dengan-Nya.

 

 

 

Salah satu kunci diberikan pada awal perikop, yakni jangan berkawan dengan orang bebal dan hidup di dalam kegelapan (ay. 7). Bergaul dengan orang dalam kegelapan tanpa tujuan untuk mengubah mereka, sementara kita sendiri belum memiliki dasar yang kokoh, membuat hidup akan sia-sia. Maka kita perlu memeriksa diri, dengan siapa kita berkawan saat ini; apakah memberikan dampak baik atau malah buruk.

 

 

 

Sikap keempat, hidup arif diperlihatkan dengan kesukaan berkata-kata dalam nuansa mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Selalu memuji Tuhan dan senantiasa mengucap atas segala sesuatu kepada Allah dan Bapa kita dan merendahkan diri terhadap yang lain di dalam takut akan Kristus” (ay. 19-21).

 

 

 

Hidup arif bukan berarti tidak pernah berbuat kesalahan atau tersandung. Namun orang arif tetap terkendali, tahu mengkoreksi dan meminta maaf dan mohon pengampunan. Nasihat jitu untuk hidup arif adalah sadar untuk terus melakukan pembaruan budi agar tidak serupa dengan dunia ini (Rm. 12:2). Menjadi arif dan tidak bebal merupakan penerapan firman-Nya, dan untuk menjadi taat merupakan penerapan kebijaksanaan siap dipimpin Roh-Nya. Tidak mudah, tapi harus terus diupayakan.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

Khotbah (2) Minggu XIII Setelah Pentakosta – 18 Agustus 2024

Khotbah (2) Minggu XIII Setelah Pentakosta – 18 Agustus 2024

 

 MENIKMATI HIDUP (Mzm. 34:10-16)

 

 Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong (Mzm. 34:16)

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu ini adalah Mzm. 34:10-16. Ini lanjutan firman minggu lalu, ayat 2-9, dengan judul perikop “Dalam perlindungan Tuhan.” Perlindungan diberikan secara total dalam segala situasi, bukan hanya saat kita sehat dan sukacita, tetapi juga dalam keseharian saat adanya pergumulan dan pengharapan, bahkan ketika kita mati dipanggil pulang ke pangkuan Bapa di sorga. Syaratnya, kita meletakkan iman kepada-Nya.

 

Ayat 10 – 16 minggu ini memberikan tambahan, yakni pegangan untuk menikmati hidup yang kita jalani. “Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik?” (ay. 13).

 

 

 

Petunjuk pertama dalam nas dikatakan, takutlah akan Tuhan dan carilah Dia (ayat 10, 12). Pada pasal dan kitab lain dijelaskan lebih lanjut, “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan, semua yang melakukannya berakal budi yang baik” (Mzm. 111.10) dan “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7).

 

 

 

Dengan takut akan Tuhan, dapat dikatakan kita tidak akan berkekurangan. Tentu yang dimaksud dalam hal ini adalah tidak kekurangan akan sesuatu yang baik (ay. 11). Kita mesti hati-hati, agar tidak membenarkan filsuf Nietsche yang mengatakan, manusia adalah binatang yang kekurangan, yang tidak pernah puas dan merasa selesai. Tuhan menyediakan dalam arti kecukupan yang diperlukan, meski sering diberi bonus berupa terkabulnya keinginan dan kelimpahan, tentu dengan maksud untuk menjadi berkat bagi orang lain.

 

 

 

Pegangan kedua adalah untuk menikmati hidup, disebutkan dalam ayat 14: “Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu.” Penting mengingat yang dikatakan filsuf Plautus dan Thomas Hobbes, bahwa manusia adalah homo homini lupus, yakni manusia adalah serigala bagi sesama manusia lainnya. Sifat itu muncul karena adanya nafsu predator termasuk untuk mempertahankan diri. Untuk ini kitab Yakobus mengingatkan, lidah anggota tubuh yang kecil tetapi bagaikan api yang dapat membakar dan menodai seluruh kehidupan kita (Yak. 3:5-6).

 

 

 

Prinsip ketiga adalah untuk dapat menikmati hidup, “jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik” (ay. 15a). Ini kebalikan pendapat manusia sebagai serigala, justru kita adalah makhluk sosial (homo homini socius). Manusia diciptakan Tuhan untuk tujuan baik (Kej. 1:31; Ef. 5:9). Dan prinsip hidup Kristiani adalah kasih, kerelaan berkorban, membalas kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12:21; 1Pet. 2:12). Bahkan diingatkan, “jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak. 4:17). Ya, memang berat, tapi bukan berarti tidak bisa.

 

 

 

Kunci terakhir adalah pegangan keempat, yakni agar kita mencari perdamaian dan berusahalah mendapatkannya! (ay. 15b; Mat. 5:25). Sadarilah, tidak ada manfaat permusuhan. Apalagi pertentangan dan kekerasan, yang buah akhirnya: menang menjadi arang, kalah menjadi abu-abu. Semua sia-sia.

 

 

 

Mereka yang membawa damai adalah anak-anak Allah (Mat. 5:9). Jika ada yang tidak memuaskan hati, misalnya orang lain berlaku jahat, maka serahkan semua kepada Tuhan, sebab Dia yang akan menjadi hakim yang adil dan membalaskannya (Ibr. 10:30; Ul. 32:35-36). Ingatlah ayat penutup nas minggu ini, “Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong” (ay. 16). Mari, kita arahkan hati terus kepada-Nya dan nikmatilah hidupmu.

Selamat beribadah dan selamat melayani.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ramles Manampang Silalahi

 

Khotbah Minggu 18 Agustus 2024 - MInggu XIII Setelah Pentakosta

Khotbah Minggu XIII Setelah Pentakosta – 18 Agustus 2024

 

 HIDUP OLEH DIA (Yoh. 6:51-58)

 

 "Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku" (Yoh. 6:56-57).

 

 

 

Firman Tuhan hari Minggu ini Yoh. 6:51-58 masih dalam rangkaian tema Yesus adalah Roti Hidup, tetapi dengan penekanan yang berbeda, termasuk perbedaan makanan jasmani manna yang diberikan Tuhan di padang gurun, dengan "makanan" rohani melalui kemanusiaan Yesus. Dalam nas ini Yesus menjelaskan lebih nyata: roti hidup yang dimaksud-Nya adalah daging-Nya (dan juga darah-Nya). Ini lebih gamblang dari kata tubuh yang dipakai Rasul Paulus dan Injil Sinoptik (band. Yoh. 1:14; Luk. 22:19). Oleh karena itu, respon pemimpin Yahudi yang mendengar pun semakin benci dan menentang-Nya (ayat 52).

 

Pesan pertama nas minggu ini, jika tidak makan daging-Nya (dan juga minum darah-Nya, manusia tidak mempunyai hidup di dalam dirinya (ayat 53). Arti hidup di sini adalah pengakuan Yesus sebagai sumber kehidupan. Hidup bukan dalam pengertian robotik, asal-asalan dan terlalu "nrimo", tetapi hidup yang penuh roh menyala-nyala. Allah memberi hidup, sekaligus sumber kekuatan dalam menjelajah kehidupan padang gurun yang kita disain sebagai tantangan untuk dimenangkan. Bukan hidup yang bagaimana nanti saja, kumaha engke, que sera-sera, tetapi hidup dengan visi misi yang jelas dan penuh optimisme serta sesuai kehendak Tuhan.

 

 

 

Kedua, melalui makan dan minum dalam sakramen Perjamuan Kudus, metafora bagi iman, janji kehidupan kekal menjadi pasti (ayat 54, 58). Sebagai pemberi hidup, Allah tentu akan meminta pertanggungjawaban tugas misi kita berada di dunia ini. Hidup di dunia ini tidak berhenti dan titik, tetapi tanda koma, untuk berlanjut dalam masa pasca kematian tubuh fana. Bagi yang percaya, taat, dan rindu untuk disegarkan melalui sakramen perjamuan roti dan anggur, akan dibangkitkan dan kehidupan kekal menanti dengan penuh gambaran yang sangat indah menyenangkan.

 

 

 

Ketiga, melalui sakramen makan daging dan darah-Nya, sebuah pengakuan hidup kita bukan lagi milik kita (ayat 56-57). Firman-Nya meneguhkan: "namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku" (Gal. 2:20). Makan (dan minum) adalah ekspresi percaya akan penebusan dosa-dosa kita melalui kematian Yesus, dan sekaligus peneguhan kehadiran dan penyertaan Tuhan Yesus dalam hidup kita. Sebuah tindakan iman, ekspresi kerinduan, tubuh dan darah Yesus meresap dalam tubuh dan hidup kita, dengan pengharapan roh kita dibarui dan dikuatkan oleh Roh-Nya.

 

 

 

Terakhir, hidup oleh Dia berarti mengisi hidup yang bermakna bagi Dia dan berkat bagi sesama. Makna kehidupan bukan lagi di pusat diri yang diukur oleh kepuasan jasmani, mewah dan enaknya makan minum serta benda duniawi, atau kemegahan dan rasa iba terhadap diri, tetapi pada kemampuan berbagi pada sesama sebagai bagian dari tugas memberitakan Dia (1Kor. 11:26). Dengan demikian, kita pun sah sebagai alat dan utusan yang meneguhkan Dia yang datang untuk dunia (ayat 51). Tetaplah berkarya.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ramles Manampang Silalahi

 

Kabar dari Bukit Minggu 11 Agustus 2024

Kabar dari Bukit

 

 MEMBUANG SIFAT BURUK (Ef. 4:25-5:2)

 

 "Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih" (Ef. 5:1)

 

 

 

Berbicara tentang sifat atau karakter manusia, akan timbul banyak ragam dan definisi. Namun semua bisa dikatagorikan sebagai hal positif, dan hal negatif. Sebuah ulasan psikologi menyebutkan ada 45 sifat manusia: 29 sifat positif dan 16 sifat negatif. Pandangan teologis meminta kita menjadi serupa dengan Dia, dan perlu memiliki karakter yang sama.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu berbahagia ini adalah Ef. 4:25-5:2. Nas sebelumnya menjelaskan bahwa bagi yang menerima Tuhan Yesus haruslah menanggalkan manusia lama, "supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu" (ay. 22-23). Untuk itu perlu dibuang sifat dan predikat lama yang buruk, sebab manusia baru di dalam Kristus diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (ay. 24).

 

 

 

Perintah pertama yakni membuang dusta; dari kebiasaan "bohong kecil" hingga kebohongan besar. Pengikut Kristus harus memiliki karakter berkata benar. Berdusta dengan sikap diam berkelit juga tidak menyelesaikan masalah, malah menjadi beban pikiran yang terus dibawa hingga ke alam tidur.

 

 

 

Perintah kedua tentang marah. Perlu kita fahami, Alkitab tidak "melarang" marah. Tuhan Yesus beberapa kali memperlihatkan amarah-Nya, baik terhadap kaum Farisi dan ahli Taurat yang ingin menguji dan menjebaknya. Bahkan Ia marah besar terhadap para pedagang di Bait Allah, dengan membalikkan meja mereka, Namun firman-Nya memberi batasan, "apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu." Marah yang tidak beralasan kuat dan berkepanjangan, memberi kesempatan Iblis menjerumuskan kita ke dalam dosa (ay. 26-27).

 

 

 

Perintah ketiga, jangan mengeluarkan perkataan kotor, melainkan perkataan yang baik dan membangun. Biasanya orang lebih menerima mendengarnya dan beroleh kasih karunia (ay. 29). Perkataan kotor akan mendukakan Roh Kudus (ay. 30).

 

 

 

Perintah terakhir, jangan mencuri (lagi). Bekerjalah dengan tangan sendiri, lakukan pekerjaan yang baik, justru supaya dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan (ay. 28). Jadi bekerja untuk menjadi berkat, tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi memiliki empati berbagi.

 

 

 

Sifat buruk umumnya berasal dari akar kepahitan, kegeraman, suka bertikai dan memfitnah. Buang dan kubur. Segala niat kejahatan membuat orang lain susah (ay. 31), bukanlah ciri Kristiani. Hati yang bersih membuat kita banyak sukacita, bersikap ramah dan penuh kasih serta mengampuni (ay. 32); hidup serasa enteng, tanpa beban, mudah menjadi penurut-(penurut Allah).

 

 

 

Pertanyaannya kemudian, mengapa manusia sulit berubah? Para ahli menyebutkan ada faktor pola pikir, sikap mental yang dipengaruhi oleh kebiasaan dibangun oleh lingkungan. Oleh karena itu untuk dapat berubah, perlu dimulai dengan kesadaran sendiri. “Berubahlah oleh pembaharuan budimu” (Rm. 12:2).

 

 

 

Selain kesadaran sendiri tentu perlu pertolongan Roh Penolong yang benar dan kudus. “Ya Allah, perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! (Mzm. 51:10). Hanya Allah yang dapat menuntun kita kepada perubahan dan pertobatan (Rm. 2:4). Tidak bisa manusia sendiri. “Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang" (Mat. 15:14).

 

 

 

Oleh karena itu rajinlah “mengenal Kitab Suci, yang dapat memberi hikmat dan menuntun” (2Tim. 3:15). Milikilah tujuan hidup menjadi manusia baru, pelihara komitmen, terus mencoba, jangan mudah tawar hati, mintalah kemurahan Allah sebab prosesnya tidak seperti membalik tangan, tetapi “terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya (Kol. 3:10).

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ramles Manampang Silalahi

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 491 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7387910
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
31025
61324
140676
7204198
422772
1386923
7387910

IP Anda: 162.158.190.66
2024-11-21 13:40

Login Form