Thursday, November 21, 2024

2022

Kabar dari Bukit 11 September 2022

Kabar dari Bukit

PINTAR BERBUAT JAHAT (Yer. 4:11-12, 22-28)

Sekarang Aku sendiri akan menjatuhkan hukuman atas mereka (Yer. 4:12b)

 

Salam dalam kasih Kristus.

Saya sangat suka ayat Alkitab Yak. 4:17, dan sedikit ragu, apakah semua orang Kristen tahu dan menyadari maknanya? “Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Ngeri-ngeri sedap ya ayatnya…, sebab situasi ini sering kita hadapi, dan kita agaknya lebih cenderung berpaling atau berkelit.

 

Inilah yang dihadapi oleh Nabi Yeremia ketika harus menyampaikan kenyataan pahit, bahwa Allah sedang marah besar dan menghukum bangsa Israel. Kisah itulah nas bacaan kita di hari Minggu ini, Yer. 4:11-12, 22-28, tentang pesan Allah agar bangsa Israel bertobat. Pesannya pun sangat keras! "Sungguh, bodohlah umat-Ku itu, mereka tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol, dan tidak mempunyai pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik mereka tidak tahu" (ayat 22).

 

Nabi Yeremia kemudian menjabarkan hukuman yang dilakukan Allah terhadap bangsa itu. “Angin panas dari bukit-bukit gundul di padang gurun bertiup ke arah puteri umat-Ku; bukan untuk menampi dan bukan untuk membersihkan, melainkan angin yang keras datang atas perintah-Ku” (ay. 11). “Aku melihat bumi, ternyata campur baur dan kosong, dan melihat kepada langit, tidak ada terangnya…, kepada gunung-gunung, ternyata goncang; dan seluruh bukitpun goyah. Aku melihat, ternyata tidak ada manusia, dan semua burung di udara sudah lari terbang. Aku melihat, ternyata tanah subur sudah menjadi padang gurun, dan segala kotanya sudah runtuh di hadapan TUHAN, di hadapan murka-Nya yang menyala-nyala! (ay. 23-26).

 

Hukuman berat ini masih dilanjutkan. "Seluruh negeri ini akan menjadi sunyi sepi, tetapi Aku tidak akan membuatnya habis lenyap. Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu" (ay. 27-28).

 

Tidak terbayangkan dan ini menjadi salah satu gambaran pemusnahan di akhir zaman; bukan saja untuk dunia, tetapi juga untuk bangsa dan pribadi!!

 

Dua hari lalu dalam renungan di Radio Heartline, saya menyampaikan bahwa sebagai orang percaya, kita tidak boleh hanya bersyukur bahwa anugerah keselamatan telah diberikan, sola gratia. Bayangan masuk sorga pun timbul dengan percaya kepada Tuhan Yesus; dosa-dosa kita telah ditebus dengan Yesus mati tersalib. Tetapi, janganlah lupa, doktrin Kekritenan dan isi Alkitab menegaskan, ada ujian tiap hari yang mesti kita lalui, yang disebut sebagai ketekunan orang percaya. Percaya hanyalah sebuah awal proses, dan ujian ketaatan dan ketekunan akan berlangsung terus sepanjang hidup.

 

Ketekunan orang percaya inilah mesti kita jalani dan lewati, agar keselamatan berdasar anugerah dapat kita terima; kita jaga, pertahankan dan lulus. Dalam hal ini, ada beberapa ukuran yang perlu kita lihat dan pakai secara mudah dalam kehidupan sehari-hari:

 

1.       Apakah kita hidup bukan lagi untuk diri kita, tetapi untuk Tuhan? Ini bukan berarti kita harus menjadi hamba Tuhan dan aktif di gereja, tetapi tujuan hidup kita sudah fokus menjadi alat kemuliaan Tuhan. Kita bisa saja menjadi pekerja, pengusaha, petani, dan lainnya, tapi hidup kita telah dipakai oleh-Nya.

2.      Apakah kita hidup selalu mengandalkan Tuhan dan dalam kebenaran Alkitab?

3.      Apakah kita hidup selalu penuh kasih, kerendahan hati, selalu mengalah?

4.      Apakah dalam hidup kita, tidak lagi ada kebencian, permusuhan, bahkan ingin menyakiti orang lain?

5.      Apakah kita sudah suka berbagi dan terbaik yang kita berikan?

6.      Apakah kita merasa tidak diberkati, bahkan “dihukum” Tuhan, seperti ayat 12b di atas?

 

Bagaimana dengan kita tentang semua itu? Janganlah kita pintar berbuat jahat, dan tidak tahu berbuat baik. Janganlah hati kita menjadi tumpul, tidak peduli dan peka. Bila kita percaya diselamatkan, isilah penuh tanggungjawab. Semoga tidak seorang pun berkata: au ah gelap, EGP.

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 11 September 2022

 Minggu Keempat Belas Setelah Pentakosta Tahun 2022

ADA SUKACITA KARENA SATU ORANG BERTOBAT (Luk. 15:1-10)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 4:11-12, 22-28 atau Kel. 32:7-14; Mzm. 14 atau Mzm. 51:1-10; 1Tim. 1:12-17

 

Pendahuluan

Minggu ini bacaan kita tentang kisah orang-orang berdosa yang sangat senang berkumpul dengan Tuhan Yesus. Mereka rajin mendengar pengajaran-Nya, bahkan sering makan bersama-Nya. Perbuatan Tuhan ini tidak ditanggapi secara positip dan sukacita oleh kaum Farisi dan ahli Taurat. Mereka bahkan mencela dan bersungut-sungut atas kejadian itu. Namun bagi Tuhan Yesus, kasih Allah dinyatakan bagi mereka yang tersisihkan ini, untuk dipanggil dan masuk dalam pertobatan. Hal ini karena ada sukacita besar yang terjadi di sorga tatkala satu orang bertobat.

Dari nats yang kita baca minggu ini ada beberapa menjadi pokok pengajaran sebagai berikut.

 

Pertama: bersungut-sungut (ayat 1-2a)

Bersungut-sungut itu padanannya adalah mengomel (mencomel) atau menggerutu. Sikap itu timbul karena ketidak-puasan atau gusar terhadap sesuatu, yang bersumber dari dirinya sendiri maupun respon atas orang atau hal lain. Biasanya ekspresinya adalah dengan mengeluarkan kata-kata kekesalan dan cenderung tidak runtut dan jelas. Sikap ini bisanya muncul sebab merasa dirinya hebat dan berbeda, utama, dan fokus kepada dirinya sendiri. Fokus dalam pengertian lebih melihat kepentingan dan manfaat bagi diri sendiri dan bukan kepentingan orang lain, atau melihat kemungkinan adanya pandangan dan sikap yang berbeda dari pihak lain. Sikap bersungut-sungut atau menggerutu juga bisa terjadi karena terlalu membesar-besarkan masalah atau kesulitan yang ada. Orang-orang seperti ini tidak melihat sisi lain dari rencana Allah yang baik untuk mereka.

 

Sikap bersungut-sungut ini tampak dalam Alkitab ketika umat Israel keluar dari Mesir. Ketika mereka mulai menemukan kesulitan dalam perjalanan kembali ke tanah perjanjian, mereka mulai bersungut-sungut kepada Musa. Tiadanya air minum (Kel. 15:24; 17:3), kurangnya makanan (Kel. 16:2) dan adanya ancaman (Bil. 14:2) membuat mereka bersungut-sungut. Pikiran mereka menjadi picik dan buta untuk melihat apa yang telah Tuhan berikan yang terbaik. Mereka lupa dan tidak bersyukur sebab telah dibebaskan dari perbudakan yang demikian lama. Hambatan atau kesulitan sedikit saja, langsung mengomel dan memperlihatkan sikap yang tidak suka, bahkan ingin berpaling dari Allah.

 

Allah kadang bersabar terhadap orang yang bersungut-sungut sebagaimana Ia perlihatkan kepada bangsa Israel. Kadang Allah langsung memberi respon atas keluhan mereka. Tetapi Allah juga kadang langsung murka atas sikap yang demikian (Bil. 11:1; 14:27; 21:5), sebab Allah telah melihat bahwa mereka tidak memandang dan menghargai apa yang sudah Allah berikan. Oleh karena itu, perjanjian baru mengajarkan agar kita jangan bersungut-sungut dan menggerutu (Flp 2:14), melainkan mampu mengendalikan sikap kesal dan keluhan atau perasaan tidak puas, sebab dengan demikian kita berarti melihat berkat-berkat lainnya yang sudah diberikan dan layak dinikmati dan syukuri (band. Mzm. 106:25; 1Kor. 10:6-10).

 

Kedua: akibat bersungut-sungut (ayat 2b)

Dalam nats minggu ini disebutkan bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bersungut-sungut karena Tuhan Yesus makan bersama dengan orang yang mereka pandang sebagai orang-orang berdosa. Mereka ini adalah para pemungut cukai, perempuan sundal, orang-orang di jalanan yang dianggap “rendah”, termasuk mereka yang dianggap tidak memahami hukum Taurat. Sikap orang Farisi yang menjauh karena tidak mau "tercemar" dengan bergaul bersama mereka. Mereka tidak mau repot karena adanya ritual-ritual "penyucian" yang harus dilakukan ketika kaum Farisi dan ahli Taurat ini bersentuhan dengan mereka. Penghargaan kepada sesama manusia memang cenderung bukan berdasarkan hakikat manusia yang memiliki harkat, melainkan lebih melihat status. Sebaliknya Yesus memperlihatkan sikap yang berbeda. Bagi Tuhan Yesus mereka adalah sasaran misi kedatangan-Nya ke dunia. Orang-orang Farisi menggerutu sebab mereka tidak mengerti tujuan sesungguhnya dari Yesus, yakni Ia ingin memperoleh kembali orang-orang yang disisihkan itu.

 

Tuhan Yesus mencari orang berdosa dan yang hilang dari kerajaan-Nya. Inilah kerinduan-Nya dan Ia ingin membawa mereka kembali untuk masuk dalam kerajaan damai sejahtera dan keselamatan abadi. Perasaan belas kasihan Allah selalu muncul tatkala bersua dengan mereka ini. Berkumpul dan bercakap-cakap dengan mereka yang direndahkan seperti ini, akan timbul perasaan bangga dan naiknya harga diri bahwa mereka bukanlah orang yang terlupakan. Mereka adalah sama penting dan berharganya di mata Tuhan. Yesus suka blusukan bergaul bersama yang direndahkan ini. Ia tidak jaim (jaga image), jaga reputasi, justru mengambil resiko atas sikapnya itu.

 

Inilah yang harus kita perlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Justru bagaimana kita bisa memberikan yang terbaik bagi mereka yang terpinggirkan oleh dunia ini. Apakah itu karena pendidikan, kemiskinan, penyakit atau kekuasaan, sehingga mereka merasa terabaikan. Sikap kurang mau bersyukur dan membagikan rasa syukur itu kepada mereka justru akan menghilangkan potensi sukacita yang disediakan oleh Allah bagi kita. Kalau ada yang tidak kita puas, maka sebenarnya kita justru harus semakin gigih untuk berdoa dan memohon kepada Allah agar kita semakin dipakai-Nya.

 

Ketiga: mencari domba dan dirham yang hilang (ayat 3-5, 7-8)

Dalam bagian ini Tuhan Yesus menekankan pentingnya mencari mereka yang hilang. Ia menggambarkan seekor domba yang tersesat dari kumpulannya dan tidak kembali ke kandang, harus dicari hingga dapat. Tugas gembala tidak ringan. Medan mencari rerumputan yang berat dan petanggungjawaban atas jumlah domba-domba sesuatu yang mutlak, sebab biasanya domba-domba milik beberapa orang yang digembalakan satu atau dua orang secara bersamaan. Ada kemungkinan domba tersebut tidak hanya tersesat hilang arah jalan, akan tetapi juga terperosok masuk dalam lobang sehingga hanya orang lain yang bisa menyelamatkannya. Seekor domba tidak bisa menemukan jalan pulang, seseorang harus menuntunnya. Perhatian kepada domba yang sesat dan hilang itu melebihi dari yang sudah masuk kandang dan selamat. Itu cara berpikir yang sederhana dan jelas, tetapi itulah cara berpikir kristiani. Mungkin bagi sebagian orang itu cara berpikir yang "bodoh", mengorbankan 99 domba oleh karena mencari satu domba yang tersesat, yang mungkin dengan tuduhan domba itu mbalelo, kemauannya sendiri, biar saja dia tersesat atau masuk jurang. Cara berpikir inilah yang dilawan oleh Tuhan Yesus.

 

Demikian juga gambaran tentang dirham yang hilang di dalam rumah. Dirham disini berarti coin yang berharga karena nilainya (perhatikan rumahnya gelap jadi mungkin dari kalangan miskin),  atau mungkin karena nilai kenangannya (Dirham juga sering dijadikan hadiah dan dipakai sebagai hiasan kepala saat pernikahan). Mencari dirham yang hilang di lantai tanah  dan gelap, pasti membutuhkan usaha yang sangat keras. Ia bisa saja terselip di antara barang atau sampah jerami. Sebagaimana perempuan dalam kisah ini, ia akan menyalakan pelita dan mondar-mandir mencari di setiap sudut dan pelosok rumah. Usaha yang tidak mudah. Maka ketika perempuan itu menemukan dirham yang hilang, maka ia akan bersorak-sorai kegirangan.

 

Kalau orang Farisi dan ahli Taurat justru melecehkan mereka yang dianggap berdosa, rendah dan terhilang, maka kita justru orang-orang yang dipanggil untuk mengangkat mereka. Cara berpikir kristiani adalah, lebih baik seorang penjahat ditobatkan dan kembali ke jalan yang besar dibanding dia dihukum dan dimatikan. Sukacita kristiani adalah sukacita yang lebih menekankan pertobatan. Ini bukan berarti bahwa Yesus mengabaikan yang 99 domba (atau murid/pengikut) yang sudah "dikandang"), melainkan Yesus ingin menekankan bahwa kita harus terus mencari mereka yang hilang. Domba yang tersesat akan mati kehausan dan kelaparan, atau mudah dimangsa binatang jahat. Demikian pula mereka yang jauh dari Allah, mereka haus dan lapar rohani, dan sangat mudah dijerat oleh iblis yang jahat. Ini adalah kasih yang paling besar dari Allah melalui Tuhan Yesus.

 

Keempat: bersukacita karena menemukan yang hilang (ayat 6, 9-10)

Konsep orang Farisi dan ahli Taurat adalah manusia yang mencari Allah. Pandangan ini juga muncul di beberapa kalangan. Akan tetapi dalam Perjanjian Baru, konsep ini justru terbalik, sebab Allah yang mencari manusia. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk. 19:10)." Ia menawarkan jalan dan kehidupan baru sebagai bukti kasih-Nya kepada mereka. Secara tidak langsung Tuhan Yesus juga “mencela” orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang menganggap dirinya paling benar dan suci, merasa hebat dan penting dari pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya.

 

Orang benar yang sudah diselamatkan tidak memerlukan pertobatan. Orang sehat tidak membutuhkan obat. Usaha mencari domba dan anak yang hilang memang tidaklah mudah. Sama seperti gembala yang harus mengarungi medan lapangan gelap dan jalan berbukit serta berbatu untuk menemukan domba yang hilang, demikian jugalah kiranya menemukan anak-anak Tuhan yang tersesat. Doa kita bersama adalah langkah awal untuk menemukan gembala yang siap terjun ke medan perjuangan penginjilan. Menemukan si anak hilang bukanlah di tempat-tempat yang mudah. Akan tetapi mereka yang terus mencari dan menemukan mereka yang hilang, akan memiliki sukacita yang besar termasuk sukacita di sorga. Tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk mencari yang hilang dan membawanya kembali kepada Yesus, meski hanya satu orang. Semua itu tidak bisa diukur dengan nilai uang. Rasul Paulus adalah contoh orang berdosa yang diselamatkan dan Tuhan pakai sebagai alat kemuliaan-Nya (Gal. 1:24).

 

Nats minggu ini bahkan menyebutkan akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah. Ada kesukaan besar ketika seorang penjahat bertobat dibanding dengan ia diberantas dan dimatikan. Allah dan sorga bersama-sama bersukacita apabila seorang berdosa bertobat (band. Luk. 4:18-19; Mat. 10:6; 15:24). Tuhan Yesus lebih berbelas-kasihan kepada mereka ini dan inilah sikap yang harus kita teladani. Gambaran sukacita ketika ditemukannya domba yang tersesat dan dirham yang hilang merupakan gambaran sikap Allah atas pertobatan seseorang. Kegembiraan seisi rumah dan tetangga digambarkan bagaikan kegembiraan Allah. Pertobatan anak yang hilang dan orang berdosa akan memiliki pengharapan kepada Allah, memiliki rasa harga diri, bahkan dengan penuh kepercayaan kembali kepada Bapa yang penuh kasih.

 

Kesimpulan

Minggu ini kita diajarkan tentang tidak baiknya bersingut-sungut. Itu berarti melupakan berkat dan rasa syukur kepada Allah. Tuhan Yesus ditegaskan datang untuk mencari manusia yang hilang dan tersesat. Ia sangat bersuka cita apabila menemukan mereka yang hilang. Tidak ada manusia yang tidak berharga untuk diselamatkan. Setiap orang adalah anak-anak-Nya yang menjadi obyek Kasih-Nya. Maka kita, murid-murid-Nya, seharusnya memiliki belas kasih yang sama seperti yang Ia miliki. Kita harus terus berdoa supaya Roh Kudus memenuhi hati kita dan dipanggil untuk membawa orang berdosa kepada keselamatan.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 4 September 2022

 Minggu Ketiga Belas Setelah Pentakosta

 MEMIKUL SALIB DAN MENGIKUT DIA (Luk. 14:25-33)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 18:1-11 atau Ul. 30:15-20; Mzm. 139:1-6, 13-18 atau Mzm. 1; Fil. 1-21

 

Pendahuluan

Sering sekali gambaran yang diperoleh bahwa mengikut Yesus akan mendapatkan jalan yang mudah dan mulus serta penuh dengan kemuliaan dan kekuasaan. Akan tetapi Tuhan Yesus dalam nats minggu ini memberikan pengajaran yang berbeda total. Kadang kala jalan mengikut Dia itu tidak penuh dengan damai dan bahkan perlu dengan kebencian. Demikian pula gambaran “kehormatan dan kemuliaan” yang harus dibayar terlebih dahulu dengan memikul kuk dan kesediaan berkorban untuk menderita demi kemuliaan Bapa di sorga. Dari bacaan minggu ini kita memperoleh pengajaran beberapa hal sebagai berikut.

 

Pertama: membenci keluarga dan diri sendiri (ayat 25-26a)

Benci atau kebencian merupakan kata yang sangat negative dan buruk bagi jiwa kita. Perasaan benci atau kebencian timbul karena ketidaksukaan terhadap sesuatu (seperti makanan/minuman, seni atau lukisan tertentu, atau barang/benda lain) atau seseorang yang timbul karena perbedaan pandangan dan sikap terhadap hal-hal tertentu. Tingkat kebencian juga memiliki gradasi, dari benci dalam pengertian tidak suka saja sampai kepada kebencian yang menghasilkan dampak fisik dan psikis, seperti amarah, tangisan, mual dan dampak negative lainnya. Menyimpan atau memendam kebencian dalam waktu lama bahkan akan menimbulkan dampak pada kesehatan dan secara langsung akan mengurangi sukacita dalam kehidupan sehari-hari.

 

Firman Tuhan minggu ini seolah-olah Tuhan Yesus memerintahkan kita membenci ibu-bapa, istri dan keluarga. Tentu menjadi pertanyaan mengapa Tuhan Yesus berkata demikian dalam pengajaran-Nya. Hal pertama adalah, Yesus ingin menekankan bahwa membangun hubungan dan kesetiaan kepada Kristus haruslah di atas segalanya. Kasih dan pengabdian kepada Kristus harus mengalahkan kasih dan pengabdian kepada semua termasuk keluarga. Kasih kepada Tuhan Yesus itu harus dilakukan dengan sepenuh hati dan bukan setengah hati atau kompromi terhadap nilai-nilai dasar kristiani. Yesus adalah nomor satu dan tidak boleh menjadi nomor dua.

 

Hal kedua yakni Tuhan Yesus menggunakan kata yang keras dan tegas dalam hal prasyarat mengikut Dia. Penggunaan kata membenci muncul ketika nilai-nilai yang kita anut dan sesuai dengan ajaran Kristus sudah berbeda jauh dengan nilai-nilai yang dipegang oleh keluarga kita. Ketika nilai-nilai yang menyimpang itu dipegang oleh ibu-bapa kita, istri atau keluarga lainnya, maka kita harus membencinya. Demikian juga ketika memegang teguh nilai-nilai itu kita pegang, maka mungkin ada yang tidak menyukai bahkan membenci kita. Namun perlu dijelaskan di sini bahwa kita tidak membenci pribadi mereka, melainkan membenci nilai-nilai yang mereka anut dan tampak dalam perbuatan dan sikap sehari-hari.

 

Kedua: memikul salib untuk mengikut Dia (ayat 26b-27)

Pesan Tuhan Yesus sangat jelas pada bagian kedua ini bahwa mencintai Yesus itu harus melebihi mencintai nyawanya sendiri. Semua orang percaya umumnya menghafal ayat penting dalam Yoh. 3:16, yakni bahwa begitu besar kasih Allah kepada manusia sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita. Tetapi baiklah juga kita mengingat firman Tuhan dalam 1Yoh. 3:16 (perhatikan hanya menambah angka 1 di depan) yang mengatakan, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa perlu kesiapan menyerahkan nyawa untuk berkorban bagi saudara-saudara kita. Ini tentu harus juga ditafsirkan dalam pengertian positip yakni kalau situasi dan kondisi tertentu meminta demikian, yakni dalam hal pembelaan iman, menyelamatkan hidup seseorang, dan sejenisnya.

 

Ini juga yang dimaksudkan dengan memikul salib untuk mengikut Dia. Memikul salib adalah lambang kesiapan dalam penderitaan sebagaimana saat Tuhan Yesus dalam keadaan yang sudah demikian terluka disiksa tetap memikul salib menuju Golgota. Salib awalnya adalah lambang kutuk dan penistaan. Memikul salib berarti bersedia hidup di dalam “pengorbanan”, meski tidak harus dalam bentuk asketisme atau pengucilan diri. Memikul salib adalah kesediaan dan kesiapan dalam melepaskan kepentingan diri sendiri dan berkorban untuk kepentingan orang lain. Memikul salib berarti meningkatkan kepekaan akan adanya penderitaan orang lain dan untuk itu kita siap untuk berbagi baik secara emosi, kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani.

 

Ini juga yang dimaksudkan agar ketika mengikut Tuhan Yesus, sudah harus mengetahui harga yang harus dibayar untuk mempertahankan dan meningkatkan iman dan kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak dapat berbangga dan berbesar hati menjadi pengikut Tuhan Yesus, tetapi tidak mau menjadi murid yang sejati. Kita tidak dapat mengambil hak namun melupakan kewajiban. Atau hanya mengambil “yang manisnya” tetapi tidak mau menerima “yang pahitnya”. Seorang pengikut dan murid harus membayar semua harga itu, baik dalam pandangan dan nilai-nilai etika dan moral yang dianut, pergaulan dan sikap pribadi, sampai kepada perbuatan dan kasih yang harus diperlihatkan dalam hubungan dengan pihak lain. Atau sebagaimana digambarkan dalam bagian pertama di atas, sikap kita yang berbeda menjadi alasan dibenci oleh keluarga atau kelompok, namun itu adalah harga yang harus kita bayar, dan kita harus siap dengan harga itu.

 

Ketiga: pentingnya perencanaan dalam kehidupan (ayat 28-32)

Dalam bagian ini Tuhan Yesus menggambarkan untuk mengikut Yesus dan memikul salib mengambil contoh dengan membangun menara. Pengertian menara dalam hal ini sebenarnya adalah menara tempat penjaga kebun anggur yang dipakai untuk mengawasi kebun sehingga tidak ada pencuri atau perusak kebun yang datang. Membangun menara jelas membutuhkan bahan, peralatan, ketrampilan dan khususnya biaya. Maka jangan sampai ketika menara yang cukup tinggi untuk dipakai tempat mengawasi, saat membangun tidak selesai atau terkatung-katung, karena tidak adanya bahan, peralatan dan biaya. Bukankah itu menjadi mubazir dan bahkan memalukan?

 

Demikian pula kiasan Tuhan Yesus ketika hendak pergi berperang. Seorang raja atau perwira harus memperhitungkan dengan cermat kekuatan lawan dan juga kelebihan atau keunggulan pasukannya. Meski jumlah yang disebut dalam ayat ini kekuatan lawan lebih besar, namun harus dicari peluang untuk memenangkan peperangan. Tanpa memperhatikan hal tersebut maka dengan mudah kita akan menjadi pasukan yang kalah. Hasilnya akan membuat banyak korban dan kerusakan yang parah bagi diri sendiri. Ini karena kurangnya perhitungan dan perencanaan dan jelas sangat merugikan dan memalukan.

 

Perencanaan dalam mengikut Tuhan Yesus juga demikian halnya. Ada iman, pengharapan dan kasih yang akan dibangun. Kekuatan pikiran dan diri sendiri tidak akan mampu melawan tantangan dan godaan iblis dan dunia ini. Demikian juga kelihaian iblis dalam memanipulasi kelemahan daging membuat kita mudah jatuh. Maka kita harus melepaskan diri dari ambisi-ambisi pribadi yang lepas dari kehendak Allah. Memang betul, semua harus diupayakan mendapatkan yang terbaik dalam hidup kita, tetapi biarlah itu semua dengan tahapan dan jalan yang berkenan kepada Tuhan. Dengan demikian kita terhindar dari sikap munafik yakni mau mengambil manisnya tetapi tidak siap dengan yang pahitnya. Hukuman dari Tuhan akan lebih besar bagi mereka yang bersikap seperti ini.

 

Keempat: melepaskan diri dari harta milik (ayat 33)

Kepemilikan memang membuat seseorang menjadi egoistis. Banyak pihak merasa bahwa apabila ia memiliki “sesuatu” maka itu adalah hasil kerja atau karyanya. Apalagi yang dimiliki itu menjadi sesuatu yang banyak, melimpah dan bernilai, maka sikap egoistis akan semakin menonjol, seolah-olah semua hasil capaiannya itu adalah hasil kerja kerasnya. Sikap ini bahkan sering terjadi dalam kelompok, dengan menganggap pemimpin atau seseorang dalam posisi tertentu yang membuat keberhasilan itu terjadi. Inilah efek samping dari rasa kepemilikan.

 

Namun Tuhan Yesus mengatakan bahwa seseorang yang mengikut Dia harus melepaskan semua itu. Melepaskan bukan dalam arti kata harus menjual/melepas apa yang kita miliki dan memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Konteks ini berlaku kepada pemuda kaya yang hatinya terus pada hartanya. Akan tetapi Tuhan Yesus maksudkan adalah bahwa memiliki sesuatu yang sangat kita kasihi atau berharga menurut ukuran duniawi, semua itu semata-mata adalah titipan pemberian Allah. Kita hanya pemegang amanah. Tanggung jawab itu akan diminta kelak bagaimana kita melihat dan memperlakukan amanah (harta) milik itu, apakah itu untuk kepentingan diri semata, atau memang untuk kemulian nama Allah.

 

Keselamatan memang gratis karena telah dibayar lunas oleh darah Yesus. Tetapi bukan berarti keselamatan itu murah dan gampang. Ini jelas berbeda. Menerima keselamatan kekal sejak di dunia ini memerlukan kesungguhan hati dan kesiapan melepaskan sesuatu. Mengikut Tuhan Yesus harus melihat jauh yakni kepada kekekalan, bukan hanya kepentingan saat ini saja yang dapat menipu. Kalau kita melihat ayat lanjutan dari nats minggu ini (ayat 34-35), maka Tuhan Yesus mengumpakan seperti garam yang tidak punya rasa asin, maka akan hambar dan pasti akan dibuang. Demikian jugalah kiranya gambaran hidup orang yang mengutamakan kepemilikan dalam hidupnya, merasa hebat dan berguna padahal sebenarnya siap untuk dibuang.

 Kesimpulan

Mengikut Tuhan Yesus berarti siap untuk membenci dan juga dibenci (dalam pengertian tujuan positip) oleh keluarga, yakni ketika pandangan dan pegangan nilai-nilai Kristiani harus dipertahankan. Untuk mengikut Dia memang tidak mudah dan murah. Ada harga yang harus dibayar yakni dengan kesediaan untuk berkorban. Semua itu memerlukan perencanaan dan pengetahuan tentang jalan mengikut Tuhan Yesus. Sebab kalau tidak, maka perjalanan iman akan menjadi sia-sia. Tuhan Yesus juga menekankan pentingnya melepaskan diri dari sikap kepemilikan (harta), sebab segala sesuatu itu diberikan oleh Tuhan, sebagaimana garam yang harus asin, semua itu adalah untuk menjadi berkat bagi orang lain.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit 4 September 2022

Kabar dari Bukit

BEJANA YANG SEMPURNA (Yer. 1:4-10)

Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya (Yer. 18:4)

 

Salam dalam kasih Kristus.

Kita pasti pernah mendengar dan suka dengan lagu ini.

 

Bagaikan bejana siap dibentuk, demikian hidupku di tangan-Mu

Dengan urapan kuasa Roh-Mu, Ku dibaharui selalu

 

Lagu indah ini di utube sudah mencapai 1,4 juta penonton. Liriknya, ungkapan berserah kepada Tuhan, dan kerinduan untuk dibentuk dan disempurnakan, agar sama seperti Tuhan Yesus. Sebuah kutipan dari 1Yoh. 2:5-6, senada lagu NKB 138: Makin serupa Yesus, Tuhanku, inilah sungguh kerinduanku….

 

Allah sebagai Bapa dan sebagai Gembala telah kita tahu. Gambaran lain sebagai Tukang Periuk, dituliskan dalam Yer. 18:1-11 yang menjadi bacaan kita di hari Minggu berbahagia ini (untuk bacaan lengkap, klik https://alkitab.app/v/447b14b1267a ). Penegasan Allah sebagai Tukang Periuk juga diberikan dalam Rm. 9:20: “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: “Mengapakah engkau membentuk aku demikian?” (band. Yes. 29:16).

 

Dalam renungan dua minggu lalu dari Yer. 1:4-10, dijelaskan bahwa jalan hidup manusia ditentukan oleh empat kekuatan yang tarik-menarik. Pertama, rencana Tuhan dengan kedaulatan sekaligus pemeliharaan-Nya. Kedua, adanya dosa asal dan natur berdosa manusia. Ketiga, kemauan dan kemampuan diri sendiri, yakni roh kehendak bebas, dalam ketaatan dan memahami keberadaan dan panggilannya di dunia ini. Dan terakhir, keberadaan iblis si jahat.

 

Allah sebagai Tukang Periuk menegaskan kembali kedaulatan Allah melalui nas ini. Kita tidak dapat menolak menjadi anak ayah-ibu kita, atau terlahir tidak jenius, kaya atau tidak terlalu rupawan, bahkan dengan tubuh tidak sempurna. Jangan juga menyesali terlahir bukan anaknya Presiden RI. Alkitab mengingatkan, “Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya; dia tidak lain dari beling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: "Apakah yang kaubuat?" atau yang telah dibuatnya: "Engkau tidak punya tangan!" (Yes. 45:9).

 

Jalan kehidupan kita pun, bisa saja tidak sesuai dengan harapan. Atau merasa tidak tahu jalan mana yang terbaik ditempuh. Bahkan mungkin kita sedang terjatuh, hancur menjadi puing, kotor tidak berdaya dan melihat jalan saat ini buntu dan gelap. Untuk itu tetaplah dalam kerendahan hati dan bersyukur atas kehidupan yang diberi. Datanglah kepada Tuhan Yesus, Allah kita, Tukang Periuk yang hidup dan baik, memohon pertolongan-Nya agar mengasihi dan membentuk diri kita kembali, menjadi pribadi yang lebih baik, utuh, dan lebih dipakai sesuai dengan pengharapan baru.

 

Jangan merasa terlambat melakukan sesuatu yang baru, terlebih untuk kemuliaan Tuhan. Tidak ada salahnya hidup berputar, bahkan berbalik ke awal. Banyak contoh kehidupan yang berpindah jalur, atau memulai pilihan baru yang tidak terpikirkan sebelumnya; dan ternyata sangat sukses. Kita hanya perlu mengikuti petunjuk Alkitab, yakni bertekun dan rajin (Ams. 6:6-8; 12:24), bekerja keras (Ef. 4:28; 2Tes. 3:7-8), cerdik, cerdas dan berihikmat (Mat. 10:16; Ams. 1:7).

 

Tetapi landasan utamanya adalah tetap setia dalam iman (Mat. 24:13), menjalani hidup dengan kekuatan Roh dan bukan lagi oleh keinginan daging (Gal. 5:16-17; Rm. 8:1-11). Selalu siap berkorban dan memikul salib. Dengarkanlah panggilan-Nya, dan dendangkanlah lagu di bawah: “Inilah hidupku di tangan-Mu, bentuklah s'turut kehendak-Mu, Pakailah sesuai rencana-Mu….” Maka, kita akan menjadi bejana yang sempurna kelak di hadapan Yesus Kristus (1Kor. 1:8-9).

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit 28 Agustus 2022

Kabar dari Bukit

SUNATLAH DIRIMU (Yer. 4:4-13)

 

Sunatlah dirimu bagi TUHAN, dan jauhkanlah kulit khatan hatimu, hai orang Yehuda dan penduduk Yerusalem, supaya jangan murka-Ku mengamuk seperti api, dan menyala-nyala dengan tidak ada yang memadamkan, oleh karena perbuatan-perbuatanmu yang jahat! (Yer. 4:4)

 

Salam dalam kasih Kristus.

Saya kira semua kita pernah merasa kecewa bahkan marah kepada orang yang kita kasihi; terhadap anak, istri/suami, atau kakak/adik. Kita semula berharap mereka menunjukkan kasih, setia dan tanggungjawab, tapi kenyataan sebaliknya; wajarlah kita kecewa bahkan marah.

 

Respon manusia terhadap kekecewaan memang beragam, mulai bersikap diam, meski biasanya disertai rasa sakit terpendam, seperti jengkel, marah, kepahitan, benci atau dengki. Namun bagi yang tempramental sumbu pendek, respon kemarahan seringnya bersuara keras membentak, kadang disertai memukul atau melemparkan sesuatu, atau membanting pintu. Hanya sedikit yang melakukan hal unik, seperti anekdot, masuk ke kamar mandi dan menggunakan sikat gigi orang yang mengecewakannya untuk dipakai membersihkan kloset hehehe. Namun, itu kepuasan semu yang sia-sia.

 

Rasa kecewa dan marah yang terjadi berulang-ulang, biasanya menimbulkan sikap putus asa. Jika mengikuti lagu Trio Ambisi Jangan Sampai Tiga Kali: Dua kali kau sakiti hati ini juga kumaafkan, tapi jangan kau coba tiga kali. Terlalu, kata penyanyi lain. Dan puncaknya, manusia kadang menghukum langsung, tidak jarang menyakiti dan merusak jiwanya.

 

Itulah kisah yang diceritakan dalam nas firman Tuhan bagi kita minggu ini, dalam Yer. 4:4-13. Allah kecewa berat terhadap bangsa Israel. Kerajaan Israel telah terpecah dua akibat dosa Raja Salomo: bagian Utara dan bagian Selatan atau Yehuda. Israel Utara telah dihukum terlebih dahulu, jatuh ke tangan penjajah bangsa Asyur. Hampir seabad Kerajaan Israel Selatan masih bertahan, namun setelah kematian Raja Yosia, warga kerajaan ini pun ikut menyembah berhala dan ilah-ilah palsu. Tuhan pun menyampaikan peringatan keras melalui Nabi Yeremia (untuk membaca nas lengkap, klik link  https://alkitab.app/v/2df690dbd1d2

 

Seperti manusia juga, Allah adalah Pribadi, yang memiliki pikiran, hati, perasaan, emosi, dan amarah. Bedanya, kekecewaan dan kemarahan Allah lebih terkendali dan memiliki visi jauh ke depan. Amarah Allah dilandasi kasih untuk pemulihan dan pertobatan, agar kembali sesuai perjanjian yang dibuat dengan umat pilihan-Nya (ay. 2, 4). Hukuman Allah bertujuan umat-Nya kembali ke jalan-Nya dan bukan untuk menghancurkan (Ams. 3:11-12; 23:13-14).

 

Ini yang perlu kita pahami dan ikuti jika terjadi pada diri kita. Bisa saja kita kecewa dan marah terhadap seseorang, dan itu manusiawi. Tetapi kita perlu menjaga agar tindakan kita terus dibungkus kasih, tidak didasari oleh emosi, rasa benci, iri hati, dendam, atau ingin merusak tidak terkendali. Apalagi, penyebabnya bisa saja karena kesalahan pemahaman dan miskomunikasi. Menghukum dengan menghakimi, apalagi tanpa ada keinginan untuk mengampuni, bukanlah ajaran Kristiani.

 

Kini saudaraku, apakah kita saat ini sedang marah dan menghukum seseorang dengan kata-kata, sikap, atau tindak perbuatan? Mungkin kita merasa bersikap diam cukup baik, menjauh dari mereka yang kita rasakan membuat persoalan. Namun, pintu pengampunan haruslah terus terbuka. Janganlah kita setiap minggu mengucapkan Doa Bapa Kami, “ampunilah kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah terhadap kami” (Mat. 6:12), namun pintunya kita tutup. Tuhan pun tentu tidak akan membuka pengampunan sebagaimana doa kita itu.

 

Jika itu yang terjadi, pertobatan yang perlu bukanlah dari orang lain, tetapi justru dari diri kita sendiri. Merasa terus benar, memperlakukan yang lain salah sebagai orang berdosa, itu hukuman yang tidak benar. Lihat diri kita dan sekeliling, mungkin Allah telah memberi tanda, sebagaimana kepada umat Yehuda (ay. 5-13), tetapi mereka tidak peduli, tetap bebal, tinggi hati, tidak berubah dan bertobat. Allah pun kemudian menghukum dan merendahkan mereka. Zedekia, raja terakhir digulingkan pasukan Babel yang dipimpin Nebukadnezar, Yerusalem dan bait Allah dihancurkan.

 

Sesal kemudian memang tidak berguna. Maka, sunatlah hatimu, penuhlah oleh kasih, abaikan hasutan si jahat, rendahkan hati, dan berhentilah melakukan yang Tuhan tidak sukai, apapun itu, sebelum kita dihukum oleh Allah dengan harga pemulihan yang mahal sekali. 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 699 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7398561
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
41676
61324
151327
7204198
433423
1386923
7398561

IP Anda: 172.70.188.155
2024-11-21 17:03

Login Form