Thursday, November 21, 2024

2022

Khotbah Minggu 28 Agustus 2022

Minggu Keduabelas Setelah Pentakosta Tahun 2022

YANG MERENDAHKAN DIRI AKAN DITINGGIKAN (Luk. 14:1, 7-14)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 2:4-13 atau Ams. 25:6-7; Mzm. 81:1,10-16; Ibr. 13:1-8, 15-16

Pendahuluan

Nats yang kita baca minggu ini bercerita tentang Tuhan Yesus saat berbicara di rumah seorang pemimpin Farisi, dan Dia memberi pengajaran kepada tamu maupun kepada tuan rumah. Ada dua perumpamaan yang disampaikan dan keduanya saling berkaitan. Keduanya memperingatkan tentang kecendrungan manusia untuk mencari dan meninggikan status, sebab kedudukan sosial sangat penting bagi masyarakat baik pada waktu itu maupun masa kini. Setiap orang ingin menduduki tempat yang terhormat. Namun, di lain pihak ada kecendrungan untuk melupakan mereka yang miskin, orang catat dan yang berkekurangan. Nats ini terkait juga dengan Luk. 18:14 dan. Mat 23:12. Dari nats ini, kita diberikan pelajaran kehidupan sebagai berikut.

 

Pertama: merendahkan diri (ayat 1, 7-8, 10a)

Kata “rendah” dapat berkonotasi ganda ketika digabung dengan kata lainnya. Pertama, kata rendah memiliki arti negatip ketika kata itu dipadukan menjadi rendah diri. Pengertian rendah diri yakni perasaan yang tidak sesuai dengan hakekat dan kodratnya, merasa inferior atau memiliki derajat kehidupan yang jauh lebih rendah dari orang lain. Menurut pemikiran psikologis, munculnya perasaan rendah diri dapat diakibatkan oleh latar belakang "penindasan" mental pada masa kecil, mungkin sering dilecehkan, dipinggirkan, atau adanya kelemahan atau “cacat” fisik, atau karena peristiwa tertentu yang membuat "harga dirinya" seolah-olah hilang dan terhempas ke titik nadir. Namun kata kerja merendahkan diri dapat juga diartikan positip ketika bermakna sama dengan merendahkan hati.

 

Arti kedua menjadi positip ketika kata “rendah” dipadukan dengan kata “hati” dan menjadi rendah hati. Pengertian ini menjadi positip karena meski ia bersikap merendah (hati), namun kenyataannya kerendahan itu hanyalah di hati, bukan realitas yang sesungguhnya. Artinya, kerendahan hati yang diekspresikan melalui sikap hati, tubuh dan penampilan, itu tidak mencerminkan yang sebenarnya atas dirinya. Ia melakukan itu juga bukan dalam sikap berpura-pura, melainkan didasari perasaan bahwa apa yang dia "capai dan miliki" sebenarnya bukanlah miliknya, melainkan titipan atau amanah, sehingga tidak perlu diperlihatkan, apalagi dibanggakan dan dipertontonkan. Ia juga berpikiran bahwa prestasi atau pencapaiannya saat ini, masih akan ada yang lebih banyak dan lebih baik dari dirinya. Ia menganggap sikap rendah hati itu lebih baik, mencerminkan yang sebenarnya dan menempatkan pihak lain di atasnya, tidak egosentris. Pihak lain itu bisa Allah-nya, pimpinannya, koleganya, ataupun keluarganya.

 

Maka dari kedua itu Allah lebih berkenan kepada arti kedua. Allah menciptakan manusia dalam derajat yang sama dan setara (1Kor. 16:11a). Kalaupun seseorang memiliki kelebihan tertentu maka biasanya selalu ada kekurangan yang menyertainya. Tidak ada manusia yang sempurna, sebab hanya Allah yang sempurna. Maka kita janganlah memiliki perasaan rendah diri, merasa dari kelas yang berbeda, merasa kita tidak mampu berbuat apa-apa, karena Allah tidak menginginkan demikian. Kita semua menerima mandat yang sama, dan hanya mereka yang mengenal dirinya dengan baik dan dapat mengembangkan pribadinya menjadi "seseorang" yang berguna atau berkarya, melalui kegiatan fisik atau rohani, itulah yang berkenan kepada Allah.

 

Kedua: yang meninggikan diri akan direndahkan (ayat 9, 11)

Kerendahan hati mencerminkan pengenalan akan status diri sendiri, baik di hadapan Allah maupun sesama. Kerendahan hati bukan karena kita tidak menghargai diri sendiri, melainkan kita mengenal dan tahu menempatkan diri dalam status sebagai anak-anak Allah, khususnya dalam tugas panggilan pelayanan. Tidak dapat disangkal bahwa secara manusiawi semua orang ingin dihargai dan ditinggikan. Memang manusia saat ini cenderung mengejar status sosial. Hal itu bisa diraih dengan mengejar harta atau kedudukan, atau berusaha bergaul dan dekat mereka-mereka yang memiliki hal tersebut. Kadang juga dipaksakan dengan memiliki barang-barang berharga, berupa mobil, perhiasan, gadget, dan lainnya. Akan tetapi persoalannya adalah: apakah penghargaan itu berasal dari penilaiannya sendiri atau penilaian orang lain? Apabila itu berdasarkan penilaian diri sendiri, apalagi yang tidak sesuai dengan hakekatnya, maka itu akan beresiko dipermalukan dan direndahkan kembali.

 

Ini yang terjadi pada kisah perumpamaan Tuhan Yesus. Seseorang yang “merasa” dirinya cukup terhormat dan diundang dalam suatu acara, kemudian mengambil tempat duduk yang paling bagus atau paling depan. Namun tak lama kemudian, tuan rumah memberitahukannya bahwa tempat duduk itu adalah untuk orang lain yang lebih terhormat menurut tuan rumah. Bukankah itu menjadi sesuatu yang memalukan? Apalagi, kemudian, sisa tempat duduk yang tersedia sudah di posisi paling belakang atau paling ujung, maka itu akan memperlihatkan status yang sebenarnya. Hal itu akan berbeda apabila kita menempatkan diri pada posisi yang rendah hati dan mencari tempat duduk yang “bisa-biasa” saja, dan lantas tuan rumah mengatakan kita tidak seharusnya disitu, melainkan harus di depan di tempat terhormat, maka alangkah sukacita dan bangganya kita menerima hal itu. Kerendahan hati memang milik orang-orang besar, meski orang besar ada juga yang tinggi hati, namun biasanya akan berakhir dengan kesedihan.

 

Kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan rasa percaya diri. Itu dua hal yang berbeda. Percaya diri berhubungan dengan pengenalan kemampuan diri yang terbatas namun dikuatkan dengan kemampuan Allah yang tidak terbatas. Percaya diri tidak membuat kita menjadi sombong, sebab kita tahu Allah memakai diri kita untuk melakukan tugas-tugas tententu bagi kemuliaan-Nya. Apabila peran dan tugas itu membawa keberhasilan, maka disadari Allah turut bekerja dalam peran dan tugas itu, sehingga tidak ada yang perlu disombongkan atau ditinggikan. Prestasi tidak selalu berhubungan dengan gengsi pribadi. Gambaran inilah yang dipakai Tuhan Yesus dalam kerajaan Allah. Oleh karena itu Tuhan Yesus berkata, siapa yang merendahkan diri maka ia akan ditinggikan, dan siapa yang meninggikan diri maka akan direndahkan (band. Mat. 23:12). Ini peringatan yang memiliki nilai rohani yang dalam.

 

Ketiga: mengundang yang miskin (ayat 12-13)

Kadang kala untuk memperlihatkan bahwa status dan kedudukan “tinggi” dan “orang penting”, maka apabila seseorang mengadakan pesta atau hajatan, maka biasanya dia akan mengundang teman-teman yang memiliki kedudukan yang tinggi juga, seperti pejabat-pejabat tinggi atau pengusaha kaya. Ini adalah usaha untuk menaikkan citra diri. Apabila mereka hadir maka akan merupakan suatu kebanggaan bagi tuan rumah. Sebenarnya mengundang teman-teman yang berkedudukan “tinggi” tidaklah salah dan merupakan hal yang lumrah. Namun Tuhan Yesus mengingatkan agar kita tidak melupakan teman-teman atau saudara-saudara yang miskin dan berkekurangan, berkedudukan “rendah”, teman-teman biasa, bahkan mereka yang belum beruntung dalam arti kata memiliki keterbatasan.

 

Peristiwa hajatan atau pesta adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah dan juga kepada sesama, karena kita diberi kesempatan mendapatkan suatu berkat dan anugerah pencapaian dalam kehidupan ini. Pemberian itu jelas bukan atas kemampuan diri kita semata, melainkan ada berkat dan perkenaan Tuhan yang menyertainya. Pengingkaran peran Allah dalam keberhasilan dan pencapaian jelas merupakan hal yang tidak benar dan tidak berkenan kepada Allah. Allah kita melalui Tuhan Yesus adalah Allah yang hidup dan berkuasa aktif dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila dalam ungkapan rasa syukur dan terima kasih itu, kita jangan melupakan Tuhan yang diekspresikan melalui mereka yang belum beruntung, mereka yang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta, janda-janda, mereka yang tinggal di panti asuhan atau panti jompo, sebab itulah pesan Tuhan bagi kita.

 

Kalau kita mengaku bahwa Tuhan yang memberikan berkat bagi kita dan dengan sadar dan sengaja melupakan pesan-Nya, maka sebenarnya kita sudah bersikap munafik. Hati kita tidak sesuai dengan kenyataannya. Tuhan Yesus mengingatkan agar kemunafikan diganti dengan kepedulian kepada mereka yang perlu mendapatkan kasih dan perhatian. Itu bisa dilakukan secara paralel, tidak harus bertentangan, sukacita yang bersamaan. Demikian juga sikap merendahkan hati jangan dipakai untuk memanipulasi demi mendapatkan perhatian orang lain. Bersikap apa adanya saja. Yang penting kita sadari, Kerajaan Allah dengan damai sejahteranya itu harus dihadirkan bagi semua orang.

 

Keempat: menerima hormat dan buahnya (ayat 10b, 14)

Penghargaan bukanlah sesuatu yang perlu dicari atau dipertontonkan. Itu melekat dan akan datang sendiri dan akan diperlihatkan apabila tiba waktunya yang pas sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya orang yang picik dan miskin hikmat dan pengalaman yang menganggap dirinya hebat, penting dan perlu dipertontonkan. Mereka yang memiliki hikmat dan berjiwa besar menyadari kenyataan bahwa di atas langit masih ada langit. Pengetahuan dan roda pencapaian dalam kehidupan akan berkembang terus. Mereka menyadari karya manusia tidak sebanding dengan karya Tuhan dan buah ciptaan tangan-Nya? Kita harus selalu membandingkan kesempurnaan dan kebesaran-Nya yang abadi dengan apa yang kita raih yang suatu saat mungkin tidak akan berharga.

 

Maka sebaiknya janganlah kita mencari puji-pujian atau kepentingan sendiri yang sia-sia. Alkitab berkata hendaklah setiap orang rendah hati dan menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri (Flp. 2:3; Ef. 5:21). Sebagaimana digambarkan dalam nats minggu ini, Tuhan Yesus kelak akan bertindak sebagai tuan rumah bagi kita anak-anak-Nya dalam masa penghakiman (band. Luk. 1:51-53). Kita diadili berdasarkan sikap kita terhadap orang lain, khususnya mereka yang berkekurangan dan membutuhkan. Sebab firman Tuhan berkata, barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (Mat. 18:4).

 

Hukum rohani memang menyatakan bahwa memberi dengan berharap kembali lebih banyak itu salah. Kita memberi harus dengan motif yang baik dan benar. Pemberian sebagai rasa syukur atau hanya kompensasi pengakuan atau memperlihatkan kesombongan? Janganlah membalas kebaikan karena kebaikan (band. Luk. 6:32-35). Berbuat kebaikan bagi mereka yang lemah jelas tidak akan mengharapkan balas jasa, sebagaimana dipesankan pada ayat 14 (band. Luk. 6:20-23). Akan tetapi, ayat ini juga tidak boleh ditafsirkan, bahwa seolah-olah hanya orang benar saja yang akan dibangkitkan. Mereka yang hidup sesuai kehendak Allah dan dibenarkan, mereka akan berhak atas kebangkitan itu. Maka carilah tempat kedudukan untuk melayani yang lebih besar dan luas bagi kerajaan-Nya dengan rendah hati, maka kita akan mendapatkan kehormatan dan kebesaran itu.

 

Kesimpulan

Tuhan Yesus melalui contoh kehidupan sehari- hari telah memberikan gambaran tentang kehidupan rohani dan kerajaan sorga kelak. Kita tidak perlu mengejar status dan pengakuan yang tinggi di dunia ini. Mereka yang mencoba meninggikan diri maka akan direndahkan. Kerendahan hati sangatlah penting di mata Tuhan, dan jangan menjadi munafik. Sikap Kristiani kita haruslah sejalan dengan sikap dan tindakan kita kepada sesama khususnya mereka yang lemah, berkekurangan dan membutuhkan kasih lebih besar. Orang masuk ke dalam Kerajaan Allah bukan dinilai karena tingginya status, melainkan dari sikap keseluruhan dalam kaitannya dengan tugas pelayanan yang diberikan Tuhan bagi kita. Hanya dengan itu kita menjadi orang benar dan mendapatkan kebangkitan kembali untuk menerima segala mahkota kebesaran yang disediakan-Nya.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit 21 Agustus 2022

Kabar dari Bukit

JALAN HIDUP (Yer. 1:4-10)

 

Ketahuilah, pada hari ini Aku mengangkat engkau atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam (Yer. 1:10)

 

Salam dalam kasih Kristus.

Diri kita saat ini berasal dari kemarin, bahkan dari dulu-dulu. Sebuah jalan yang panjang. Dan iman kita mengajarkan bahwa perjalanan hidup manusia ditentukan oleh Tuhan Yesus YMK. Ada rencana indah-Nya ketika kita hadir berada di dunia ini, dan akan berhasil mengikutinya dengan berupaya taat menjalani perintah-Nya sesuai Alkitab dan suara hati yang murni.

 

Selain ada yang berhasil dan hebat dipakai-Nya, tentu ada yang gagal. Rencana Tuhan dalam hidup mereka berantakan. Ini disebabkan tidak mau mendekatkan diri dan mendengar suara Tuhan; memilih lebih mengikut suara sekitar dan diri sendiri serta kedagingan. Roh manusia yang memiliki kehendak, pikiran, emosi, dan nafsu, lebih dominan diikuti. Ini tidak terlepas dari manusia tetap memiliki kehendak bebas (freewill), yang di kalangan teolog kuat perdebatannya. Martin Luther bahkan mengatakan, kehendak bebas adalah omong kosong. Semua adalah kedaulatan Tuhan.

 

Firman Tuhan bagi kita di Minggu yang berbahagia ini dari Yer. 1:4-10. Ini kisah panggilan Tuhan kepada Nabi Yeremia. Dari nas tersebut, kita tahu riwayat nabi Yeremia telah dipersiapkan oleh-Nya: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa" (ay. 5). Hal yang sama pengakuan Raja Daud, bahwa Tuhan “membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku” (Mzm. 139:13). Artinya, awal jalan hidup manusia telah ada campur tangan Tuhan.

 

Namun Alkitab juga mengajarkan, ada faktor lain yang ikut mempengaruhi jalan hidup seseorang yakni dari keturunan, bukan saja perihal genetika kepintaran atau sisi emosional semata, tetapi juga dosa asal yang terbawa-bawa dari orangtua dan nenek moyang. Soal dosa asal ini, memang terjadi pendapat berbeda meski tidak jauh hakekatnya: Dosa asal adalah kecendrungan atau natur berdosa (Mzm. 51:5), tetapi juga “kutuk” hukuman dari pendahulu sebagaimana Tuhan sampaikan melalui hukum Taurat kedua: “membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku” (Kel. 20:5).

 

Tentu kita tidak mengabaikan roh jahat atau iblis si penggoda, sebagaimana kisah jatuhnya Hawa yang membawa manusia ke dalam dosa dan terlempar dari Taman Eden. Dunia ini memang penuh tawaran, tetapi pikiran manusia tetap yang menentukan, dan melalui pertolongan Roh Kudus, kita dapat dituntun untuk tidak jatuh ke dalam jerat iblis yang kesudahannya adalah buruk, jahat dan penderitaan.

 

Oleh karena itu jalan hidup manusia ditentukan oleh keempat faktor tersebut. Pertama, rencana Tuhan dan sekaligus kedaulatan-Nya; kedaulatan dapat diartikan juga sebagai pemeliharaan-Nya. Kedua, ada dosa asal dan natur berdosa yang ikut mempengaruhi. Faktor ketiga, yakni kemampuan diri sendiri, roh kehendak bebas tadi, dalam wujud kendali dan kemauan serta ketaatan dalam memahami keberadaan di dunia, sebagai ciptaan Tuhan dengan misi khusus di dunia. Alkitab dipenuhi pegangan dan nasihat agar manusia membentuk dirinya dengan bertekun dan rajin (Ams. 6:6-8; 12:24; Pkh 11:6), bekerja keras (Ef. 4:28; 2Tes. 3:7-8), cerdik dan cerdas (Mat. 10:16; Ams. 1:7; 22:29). Kekuatan roh manusia untuk membawa dirinya lebih baik dan lebih tinggi sesuai dengan kemampuan (level of competence) dirinya. Terakhir, keberadaan iblis si penggoda.

 

Kini, dimana kita kini berada? Akankah kita sama seperti nabi Yeremia yang mengikuti rencana indah Tuhan? Untuk itu tidak perlu takut, sebab bila ada kelemahan atau kekurangan yang kita rasakan, seperti nabi Yeremia merasa tidak pandai berbicara dan masih muda, Yeremia meminta pertolongan Tuhan untuk menutupi dan memulihkannya (ay. 6-9). Dosa asal pun, mari kita bereskan kepada Tuhan yang Mahabaik, dengan mengakui dan bertobat.

 

Keempat kekuatan itu akan terus saling tarik-manarik membentuk jalan hidup kita. Satu atau dua faktor boleh lebih menentukan, tetapi tidak dapat mengabaikan faktor lainnya. Kitalah yang memilih, menentukan, kekuatan mana yang akan lebih kita ikuti dan kembangkan dalam menjalani hidup kita ke depan. Setiap piihan tentu membawa buah konsekuensi. Janganlah salah sampai menyesalinya kelak, sebab tidak lagi berguna. Tidak ada istilah terlambat, apalagi demi anak cucu kita, agar diberkati dan terus menjadi berkat; sebuah kerinduan seperti ayat pembuka di atas.

 

Selamat hari Minggu

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit 14 Agustus 2022

Kabar dari Bukit

KEBUN ANGGUR (Yes. 5:1-7)

Aku hendak menyanyikan nyanyian tentang kekasihku, nyanyian kekasihku tentang kebun anggurnya (Yes. 5:1a)

Salam dalam kasih Kristus.

Nas minggu ini sangat puitis, sebuah nyanyian. Biasanya manusia lebih puitis jika jatuh cinta, tapi kadang juga akibat penderitaan. Sangat jarang berpuisi di saat marah. Kalau suasana hati biasa-biasa aja, tidak akan timbul gejolak jiwa dan emosi, maka ekspresi juga akan biasa saja. Kata-kata indah hanya bisa keluar jika jatuh cinta kepada kekasih; dan jika menderita, biasanya kepada Tuhan pengendali hidup kita.

Firman Tuhan bagi kita di Minggu berbahagia ini dari Yes. 5:1-7, dengan judul perikop: Nyanyian tentang kebun anggur. Ini pertama sekali Alkitab PL berbicara tentang kebun anggur, yang kemudian diikuti kitab lain: Yeremia, Hosea, Yehezkiel, Mazmur dan kemudian populer di Perjanjian Baru. Memang ada metafora lain selain kebun anggur yang dipakai Tuhan untuk umat-Nya, seperti kumpulan orang kudus (Mzm. 146:1), kawanan domba Kristus (Yoh. 10:16), Israel baru (Gal. 6:10), umat Allah (1Pet. 2:9-10), kawanan Allah (1Pet. 5:2), dan lainnya.

Tetapi nada puitis tidaklah membuat pesan kabur. Allah memperlihatkan sikap kecewa berat melihat umat kesayangan-Nya, umat pilihan yang diharapkan menjadi teladan dan umat yang berbuah lebat. Allah wajar sangat kecewa, mengingat telah begitu banyak Tuhan berikan: kasih, kesabaran, dan pertolongan-Nya kepada umat-Nya. "Apakah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menanti supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?" (ay. 4).

Murka Allah kepada umat Israel sangatlah keras. "Aku akan menebang pagar durinya, sehingga kebun itu dimakan habis, dan melanda temboknya, sehingga kebun itu diinjak-injak; Aku akan membuatnya ditumbuhi semak-semak, tidak dirantingi dan tidak disiangi, sehingga tumbuh puteri malu dan rumput; Aku akan memerintahkan awan-awan, supaya jangan diturunkannya hujan ke atasnya" (ay. 5-6). Ngeri juga….

Yesus Kristus telah menggantikan Israel lama sebagai pokok anggur. Pesan Allah yang dahulu kepada umat Israel, kini diberikan kepada kita. Yesus pun kemudian berkata: "Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:4, selengkapnya ay. 1-8). Pesan untuk berbuah dan menjadi teladan, kini ada di pundak kita. Bila kita sebagai ranting terus melekat, maka "Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku" (Yoh. 15:8).

Amarah Allah kepada Israel janganlah sampai kepada kita. Namun pertanyaan pokoknya adalah: apa yang menghalangi kita berbuah; bukan apa yang membuat kita tidak berbuah. Sebab siapa pun yang di dalam Kristus, pastilah berbuah, baik berbentuk buah Roh (Gal. 5:22-23) maupun buah Terang (Ef. 5:9).

Mari kita periksa diri. Yoh. 15:1-8 meneruskan, kita tidak berbuah bila kita sudah kehilangan kasih (ay. 9-17), hidup dalam kebencian (ay. 18-25) dan Roh Kudus Sang Penghibur tidak lagi diam dan berkuasa dalam hidup kita (ay. 26-27). Kita bahkan tidak lagi menjadi kawan sekerja Allah (1Kor. 3:9). Padahal, dari buahnya pohon itu dikenal (Mat. 12:33; 7:20).

Sebagai bagian kebun anggur-Nya, mari terus menabur (Mat. 13:1-23), memangkas dan membersihkan (Yoh. 15:2), menghilangkan ilalang, memupuk dan membabat (Luk.13:6; Yoh. 15:6). Maka kita pun akan ikut menuai (Mat. 9:37-38). Itulah yang diharapkan dan dinantikan Tuhan dari kita anak-anak-Nya.

Tuhan memberkati, amin.

Khotbah Minggu 21 Agustus 2022

Minggu Kesebelas Setelah Pentakosta Tahun 2022

BERSUKACITA KARENA PERKARA MULIA (Luk. 13:10-17) 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 1:4-10 atau Yes. 58:9b-14; Mzm. 71:1-6 atau Mzm. 103:1-8; Ibr. 12:18-29

Pendahuluan

Tuhan Yesus kembali mengajar di sinagoge. Rumah ibadat Yahudi ini biasanya dipimpin oleh seorang kepala.. Pada saat mengajar itu, ada seorang perempuan yang sakit punggung selama 18 tahun sehingga tidak dapat berdiri tegak. Sungguh penderitaan yang menyiksa. Atas dasar belas kasihan, Tuhan Yesus menyembuhkan sakitnya. Namun, kepala rumah ibadat mencelanya karena melakukan penyembuhan di hari Sabat. Mereka ini terus berusaha untuk menguji dan menjebak Yesus agar dapat menyingkirkan-Nya Itulah yang menjadi pokok kisah firman bagi kita minggu ini. Dari bacaan tersebut, kita memperoleh pengajaran hidup sebagai berikut.

Pertama: Yesus yang penuh kuasa (ayat 10-13)

Perjalanan Tuhan Yesus dalam mengabarkan jalan baru keselamatan kepada umat Yahudi bukanlah pekerjaan mudah. Mereka telah hidup selama ribuan tahun dengan iman kepercayaan kepada Allahnya Abraham, Ishak dan Yakub yang membebaskan mereka dari berbagai ancaman. Untuk itu mereka berusaha berpegang teguh kepada aturan-aturan tertulis dalam kitab perjanjian lama. Itu bukan sesuatu yang buruk. Namun oleh para imam dan ahli-ahli kitab Taurat, firman PL ini ditambah dengan aturan-aturan yang lebih rinci sehingga justru kehilangan maknanya. Penafsiran dalam praktek kehidupan oleh para imam dan ahli kitab itulah yang sering menjadi masalah. Para ahli kitab PL ini tidak lagi memperdulikan hakekat hubungan hakiki Allah dengan manusia yakni KASIH, melainkan lebih mementingkan penafsiran yang lebih menguntungkan bagi diri mereka sendiri.

Allah Bapa menyadari hal itu yakni kebenaran firman saja tidak cukup untuk melunakkan hati mereka. Para ahli kitab PL juga cukup ahli berdebat dan berusaha menjebak Yesus dengan berbagai pertanyaan agar orang-orang tidak percaya kepada-Nya. Kelahiran Tuhan Yesus yang sungguh ajaib tidak dapat meyakinkan mereka bahwa Ia adalah utusan Allah Bapa dengan penawaran perjanjian baru. Maka pilihan Allah adalah Yesus diberi kuasa istimewa yang tidak dimiliki oleh banyak nabi-nabi sebelumnya, untuk memperlihatkan bahwa Ia adalah Anak Allah yang memiliki kuasa sebagaimana Allah Bapa memiliki-Nya.

Inilah yang diperlihatkan oleh Tuhan Yesus ketika seorang perempuan yang menderita selama 18 tahun ikut hadir dalam pengajaran-Nya. Perempuan itu sebagaimana dalam tradisi Yahudi mungkin duduk di belakang, namun Tuhan Yesus dengan rasa kasih melihatnya menderita dan memanggilnya. Kemudian hanya dengan kata dan tumpang tangan di atas punggung yang bengkok itu, perempuan itu lantas berdiri tegak sehat. Sungguh kuasa yang dahsyat yang diberikan oleh Tuhan kita, untuk meneguhkan bahwa Ia adalah Anak Allah dan kuasa-Nya itu terus hadir bersama kita saat ini. Sebagaimana perempuan itu yang langsung memuliakan Allah, demikian jugalah kitanya kita dalam menerima berkat kasih-Nya.

Kedua: jangan munafik (ayat 14-15)

Tuhan Yesus sendiri tidak pertama kali melakukan penyembuhan dalam hari Sabat dalam kisah ini. Alkitab mencatat ada tujuh kali Ia melakukan mujizat di hari Sabat, yakni:

1.         Yesus mengusir roh jahat yang merasuki seseorang (Mrk. 1:21-28).

2.         Yesus menyembuhkan mertua Petrus (Mrk. 1:29-31)

3.         Yesus menyembuhkan orang mati sebelah tangannya (Mrk. 3:1-6)

4.         Yesus menyembuhkan orang lumpuh di kolam Bethesda (Yoh. 5:1-18)

5.         Yesus menyembuhkan orang yang lahir buta (Yoh. 9:1-12)

6.         Yesus memulihkan wanita yang bungkuk (Luk. 13:10-17) sesuai nats ini.

7.         Yesus menyembuhkan orang yang sakit busung air (Luk. 14:1-6)

Kepala rumah ibadat itu takut dan marah karena Yesus memperlihatkan kuasa-Nya sehingga semakin banyak orang percaya kepada-Nya. Ia juga menyalahkan Yesus atas perbuatan-Nya itu. Dalam sudut pandangannya, Yesus telah melakukan “pekerjaan” di hari suci itu dengan menyembuhkan. Ia mencela dengan berfikir bahwa itu sama dengan pekerjaan profesi tabib atau dokter, yang jelas dilarang dilakukan pada hari Sabat. Akan tetapi Tuhan Yesus memandang kepala rumah ibadat ini munafik. Yesus menjawab bahwa mereka juga melepaskan lembu dan hewan peliharaannya untuk minum di hari Sabat, dan itu adalah pekerjaan, serta melepaskan hewan tersebut dari kehausan dan penderitaan. Maka, jika kepada ternak saja mereka memberi perhatian pada hari Sabat, bukankah sesama mereka jauh lebih layak seperti wanita ini mendapatkan setelah 18 tahun menderita?

Sikap munafik kepala rumah ibadat ini yang dicela Yesus. Mereka mengutamakan penafsiran hukum yang kaku dengan mengabaikan kasih kepada sesama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, munafik dijelaskan sebagai bermuka dua, suka mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; berpura-pura setia tetapi sebenarnya hatinya tidak demikian. Mereka seolah-olah mengutamakan kasih kepada Allah tetapi justru mengabaikan penderitaan orang lain. Padahal, kasih harus lebih besar dari aturan yang dibuat manusia. Penderitaan harus dikalahkan melalui kasih. Pertolongan harus diberikan tanpa harus melalui mekanisme persetujuan sistem dalam kelompok atau gereja. Kasih harus di atas segalanya. Jangan menunda esok sementara seseorang butuh pertolongan untuk lepas dari penderitaannya. Kita harus jujur dan jangan bersikap mendua atau munafik dalam melaksanakan kasih.

Ketiga: hari Sabat untuk siapa? (ayat 16)

Di zaman modern ini jenis penyakit semakin bertambah. Sebagian berasal dari pengetahuan manusia yang terus berkembang dan “menemukan” penyakit baru, akan tetapi sebagian besar akibat polusi alam dan pola hidup manusia yang tidak sehat: melalui makanan, kemalasan beraktifitas fisik, merokok dan lainnya. Hal ini merupakan pekerjaan setan yang semakin giat. Kita bisa katakan bahwa semua penyakit memang sumber awalnya adalah setan, yang dalam ayat 16 ini disebut dengan diikat oleh Iblis, termasuk keisengan setan untuk menguji anak-anak Tuhan (band. Kisah Ayub). Dari bacaan kita ini juga diperlihatkan bahwa penderitaan seseorang dapat terjadi dan berkepanjangan karena kesalahan sistem yang dibuat manusia, dan itu jelas bukan kehendak Allah.

Dunia modern juga memang membuat kita kurang peka terhadap penderitaan orang lain. Individualisme yang dibumbui dengan kebebasan media dalam mempertontonkan penindasan dan tindak kekerasan membuat kita semakin kebal atau immune atas penderitaan orang lain, seolah menganggap itu adalah sesuatu yang “biasa-biasa” saja. Tapi perlu diingatkan, kekristenan menempatkan individu di atas sistem yang tidak mengutamakan kasih. Individu harus memiliki tempat yang istimewa dalam sistim kemasyarakatan. Sistem yang kurang demokratis memang cenderung mematikan individu dengan segala dinamika perbedaannya, termasuk kadang kala muncul dalam kehidupan gereja. Sistem lebih menyukai aturan daripada kasih. Etika dan prosedur menjadi lebih utama dibandingkan urgensi pertolongan. Menjadi tragis dan berbahaya apabila masyarakat, negara, atau gereja kemudian terbelenggu oleh sistem yang demikian.

Di hadapan Allah, seorang manusia atau sebuah nama bukan hanya bagian dari angka statistik. Situasi ini bisa kita lihat ketika seseorang mau percaya tetapi tidak ada hamba Tuhan yang mau melayani untuk membaptis, padahal orang tersebut dalam keadaan sakit kritis. Atau seorang anak bayi yang belum dibaptis tapi sakit kritis? Akankah kita berdebat bahwa dalam kedua situasi itu harus pendeta yang membaptis? Oleh karena itu Yesus berkata: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat" (Mrk. 2:27-28). Sabat, sistem, aturan dan etika, dibuat bertujuan untuk melepaskan penderitaan. Sabat justru merupakan hari yang tepat untuk melepaskan ikatan dari yang jahat sekaligus menyatakan kehadiran kuasa Allah yang membebaskan. Dalam hal ini, perempuan itu telah menerimanya dengan sukacita.

Keempat: semua bersukacita karena perkara mulia (ayat 17)

Setiap penampakan karya Allah berupa pembebasan dari penderitaan seharusnya disambut dengan sukacita. Hal itu menandakan bahwa Allah terus peduli pada anak-anak-Nya dan ingin memberikan kelepasan penderitaan duniawi dan akhir zaman bagi yang rindu mendapatkannya. Perempuan itu memperlihatkannya yakni dalam keadaan sakit 18 tahun masih tetap ikut dalam pengajaran di sinagoga dan ingin mendengar perkataan Tuhan Yesus. Akan tetapi sebaliknya yang terjadi pada kepala rumah ibadat itu. Ia justru tidak melihat karya Yesus sebagai mukjizat dan bersukacita atas penyembuhan yang terjadi, malah memakai hal itu sebagai alat untuk menjatuhkan-Nya.

Hal seperti ini perlu kita hindari. Janganlah tidak percaya akan karya mukjizat Tuhan Yesus yang terus bekerja sampai dengan saat ini, apalagi mencoba menghalanginya. Karya dan kasih Allah akan nyata dan senantiasa tampak bagi mereka yang terus rindu akan jamahan-Nya. Tidak ada seorang pun atau kuasa lain yang bisa menghalanginya. Kita tidak perlu berputus asa akan penyakit atau permasalahan yang kita hadapi saat ini, sebab Ia adalah Tabib Agung kita. Meski penderitaan masih membelenggu dalam kehidupan, janganlah berputus asa sebab campur tangan Allah masih terbuka dan nyata bila kita berserah kepada-Nya.

Justru kita diminta menjadi anak-anak-Nya yang terus bercahaya bagi kegelapan orang lain. Kerajaan-Nya harus diperluas dan ditinggikan, sehingga semakin banyak yang masuk dan merasakannya melalui Pribadi Yesus. Pertolongan atau pemberian kelepasan yang cepat bagi yang membutuhkan tanpa menunggu prosedur kelembagaan bukanlah suatu yang buruk. Ada peribahasa latin mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan dua kali lipat bagi yang memberikan lebih cepat. Jangan kita menjadi serupa dengan kepala rumah ibadat itu, yang akhirnya menanggung malu, sementara banyak orang yang melihat karya Allah bersuka cita. Marilah kita terus melakukan perkara-perkara yang mulia sebagaimana dilakukan oleh Kristus bagi perempuan itu.

Kesimpulan

Minggu ini kita dikuatkan kembali dengan kenyataan bahwa Allah kita masih terus bekerja dan berkarya bagi anak-anak-Nya yang rindu dengan jamahan-Nya. Ia tetap memberikan kelepasan sepanjang kita ekspresikan kerinduan kita dengan datang kepada-Nya. Jangan kita menjadi munafik melainkan kita diminta agar tetap peduli terhadap kebutuhan orang lain, bukan memanfaatkan demi kepentingan kita. Sikap yang terlalu mengutamakan ritual dan prosedur dan menghalangi hakekat kasih dan perbuatan nyata tidak akan membantu menghadirkan kerajaan Allah di sekitar kita. Mari terus berkarya dengan meluruskan semua yang bengkok dan bungkuk. Kita terus berkarya sehingga semakin banyak yang bersuka cita karena perkara-perkara mulia telah dinyatakan melalui kehidupan kita.

Tuhan memberkati, amin.

Khotbah Minggu 14 Agustus 2022

Minggu Kesepuluh Setelah Pentakosta

MEMBACA TANDA-TANDA ZAMAN (Luk. 12:49-56)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yes. 5:1-7 atau Yer. 23:23-29; Mzm. 80:1-2, 8-19 atau Mzm. 82; Ibr. 11:29-12:2

Pendahuluan

Minggu ini bacaan kita masih merupakan rangkaian kewaspadaan. Kalau dalam minggu sebelumnya diingatkan agar kita terus bekerja dan berkarya sambil membawa pelita dalam menanti kedatangan-Nya, maka dalam minggu ini kita diberikan pengajaran tentang perlunya membaca tanda-tanda zaman, sebagaimana layaknya kita bisa membaca tanda-tanda musim ketika mau bercocok tanam. Pemisahan dan pertentangan antar keluarga mungkin akan terjadi. Dari bacaan tersebut, kita memperoleh pelajaran hidup sebagai berikut.

Pertama: melemparkan api ke bumi (ayat 49)

alam Alkitab pengertian api memiliki makna yang beragam. Kadang dipakai untuk tujuan negative, misalnya untuk menghanguskan yang terkait dengan penghakiman; kadang dipakai tujuan positif yakni untuk istilah Roh Kudus atau semangat yang baru; kadang dipakai untuk tujuan membersihkan seperti menyucikan dan memurnikan emas dan bahan logam lainnya. Dalam hal terakhir ini tujuan pemakaian api adalah untuk memisahkan kotoran (unsur-unsur yang jelek) dalam suatu paduan hingga didapatkan kesatuan yang lebih murni dan lebih berharga.

 

Tuhan Yesus menyatakan melemparkan api ke bumi dalam pengertian terakhir, yakni agar semua orang yang menerima api itu dapat memakainya bagi proses penyucian dirinya dari kotoran dosa, membakar dan membersihkan kerak yang sudah melekat demikian lama dari buah pekerjaan iblis dalam hati dan pikiran jahat yang ada. Mereka yang menerima api itu dan menggunakannya dengan benar akan menerima manfaat dari proses itu dan menjadi bersih dan kudus seturut dengan pengakuan bahwa itu semua adalah dari anugerah dan kasih Tuhan Yesus.

 

Tuhan Yesus juga mengatakan bahwa Ia berharap bahwa api itu menyala dalam pengertian proses yang kontinu dalam pekerjaan Roh Kudus. Proses pengudusan adalah proses yang terus menerus meski pada pertobatan awal dilakukan satu kali (Ibr 10:10), namun selama kedagingan kita masih ada kita tidak bisa terlepas dari godaan dosa, dan setelah kita menyadari dan menyesali serta memohon pengampunan, maka Allah yang Maha Baik itu akan memberikan pengampunan dan proses pengudusan itu kembali berlangsung terus sampai nanti disempurnakan dan digenapkan pada akhir zaman.

 

Kedua: hati-Nya susah (ayat 50)

Tuhan Yesus menyadari bahwa pemberian api untuk menyucikan itu akan membawa dampak pertentangan, sebagaimana dijelaskan nanti pada bagian ketiga (ayat 51-53). Ia menjelaskan bahwa betapa hati-Nya susah melihat semua perbuatan umat manusia yang telah murtad, jauh dari rencana Allah, bahkan kuasa iblis lebih sering menang atas (roh) manusia dan menjadi budak serta terbelenggu olehnya. Jalan yang baru harus diberikan dan penebusan atas dosa-dosa itu harus dilakukan demi memperoleh keselamatan yang kekal bagi mereka yang mau menerimanya.

 

Ia menyadari bahwa untuk melakukan itu diri-Nya harus dibaptis “tenggelam” atau diselamkan dalam penderitaan untuk menebus semua dosa-dosa tersebut. Manusia jatuh karena satu orang Adam maka manusia juga diselamatkan oleh satu orang yakni Tuhan Yesus. Untuk penyelamatan dan penebusan itu Yesus harus melalui baptisan, penenggelaman, sebagai pengudusan diri-Nya untuk dapat menguduskan mereka yang percaya kepada-Nya (band. Yoh. 17:19). Yesus sadar bahwa proses penyucian itu harus berlangsung melalui penderitaan yang akan dialami-Nya hingga mati di kayu salib. Inilah yang menyusahkan hati-Nya. Tetapi pernyataan ini bukan dalam pengertian Ia menyesal akan tugas misi dari Allah Bapa, melainkan hatinya sedih sebab manusia telah mudah dikalahkan oleh iblis.

 

Yesus ingin agar semua orang melihat bahwa proses penderitaan-Nya yang berujung di kayu salib itu akan berakhir dengan kemenangan. Penderitaan dan kematian akan menang oleh salib. Ia tidak memerlukan tentara untuk bisa mengalahkan serdadu-serdadu Romawi dan hujatan para imam dan suku Lewi. Akan tetapi, melalui kepatuhan, kebesaran jiwa, dan penyerahan kepada Allah Bapa, maka semua penderitaan itu bisa dilewati dengan kemenangan. Kematian yang harus dilewati-Nya pasti akan dikalahkan dengan kebangkitan-Nya. Inilah maksud-Nya dengan mengatakan bahwa betapa susahnya hati-Nya sebelum hal itu berlangsung!

 

Ketiga: Ia datang membawa pertentangan (ayat 51-53)

Dengan membawa pesan pertobatan dan sekaligus damai sejahtera, kedatangan Tuhan Yesus dapat membuahkan konflik. Ayat ini masih senada dan kelanjutan dari ayat 49 di atas. Banyak pihak saat itu menikmati kondisi yang tengah berlangsung, seperti penguasa Romawi yang menindas bangsa Israel, para imam dan suku Lewi yang ditempatkan dengan “kebesaran” mereka, para pemungut cukai, dan lainnya. Mereka ini tidak menginginkan perubahan atau gerakan yang revolusioner karena tidak mau berubah dari situasi yang menguntungkan mereka saat itu. Memang tidak semua atau selamanya manusia menginginkan perubahan, ketika kenyamanannya (comfort zone) terusik.

 

Kedatangan Yesus dengan pesan keras-Nya menghendaki perubahan. Ia berseru agar semua orang bertobat dan mencari kerajaan sorga. Situasi saat itu jelas tidak berkenan kepada Bapa di sorga sehingga diperlukan pembaharuan jiwa dan roh semua orang dengan kembali ke jalan yang lurus. Mereka yang miskin, tertindas, tersisihkan dan rindu akan damai sejahtera sorgawi akan diselamatkan dengan cara mengikuti Dia.  Jelas sebagian yang mendengar seruan-Nya dalam comfort zone tidak mau dan bahkan bersikap anti terhadap yang bersedia mengikuti-Nya. Memang Tuhan Yesus tidak membuka peluang ada posisi ditengah-tengah dengan keraguan. Keputusan pribadi sangat diperlukan untuk berubah. Mereka yang setia diminta untuk menyatakan dan memperlihatkan komitmen yang jelas.

 

Sikap ini akan menimbulkan pertentangan di antara kelompok masyarakat, bahkan termasuk keluarga. Dalam keluarga bisa saja ada yang rindu untuk bertobat namun anggota atau kepala keluarga tidak mendukungnya. Ini jelas akan menimbulkan perpecahan. Akan tetapi, apakah perlu dukungan dan persetujuan keluarga untuk mengikuti Tuhan Yesus? Keselamatan adalah pilihan pribadi dan tidak memerlukan dukungan keluarga yang tidak mencintai Tuhan (band. Mat. 24:15-18). Ada yang bersedia bertobat dan ada yang bebal. Inilah yang dikatakan Tuhan Yesus, “mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya."

 

Keempat: membaca tanda-tanda zaman (ayat 54-56)

Masyarakat pada masa itu hidup dari pertanian, khususnya tanaman pangan. Bahkan saat ini tanaman pangan masih merupakan andalan penduduk bumi untuk bisa bertahan hidup. Tanaman pangan sendiri sangat tergantung kepada iklim dan cuaca. Benih yang ditanam memerlukan air (hujan) sekaligus sinar matahari. Keduanya harus ada dan berimbang, tidak boleh terlalu banyak sinar mataharinya demikian pula dengan curahan/siraman air (hujan). Kesalahan dalam membaca tanda-tanda musim dalam awal menanam hingga masa panen akan merusak tanaman yang ada. Tanda-tanda itu seperti terbentuknya awan menandakan datangnya hujan dan apabila angin selatan bertiup maka itu adalah tanda akan datangnya panas terik.

 

Tuhan Yesus mengingatkan betapa pembacaan geliat alam itu sangat penting, bahkan lebih penting dari hanya berpikir akan datangnya masa panen. Kewaspadaan akan tanda-tanda alam itu lebih utama agar hasil panen menjadi baik. Ini yang diumpakan oleh Tuhan Yesus, bahwa kewaspadaan dan kesiap-siagaan akan datangnya kerajaan sorga yakni kedatangan Tuhan kembali harus diperhatikan, yakni dengan cara bertobat dan beralih dari kejahatan dan perbuatan yang tidak menyenangkan hati Tuhan. Dalam hal inilah Yesus menekankan jangan mengabaikan tanda-tanda itu.

 

Inilah yang diinginkan oleh Tuhan agar kita jangan munafik. Kita bisa membaca tanda-tanda alam untuk kepentingan duniawi akan tetapi menjadi buta dalam membaca tanda-tanda akan datangnya kerajaan sorga itu. Sebagaimana dijelaskan pada minggu sebelumnya, kedatangan Tuhan Yesus kembali itu tidak disangka-sangka bagaikan datangnya pencuri diwaktu malam hari Mat 24:43). Itulah hari penghakiman ketika kita sudah tidak mampu lagi berbuat untuk menolong diri sendiri. Kitalah yang harus waspada dari saat ini dan memberi perlindungan dari pekerjaan si iblis yang menyeret kita dalam perbuatan kejahatan, sehingga pada saat penghakiman itu, Yesus sebagai Penolong dan Pembela menyelamatkan kita dari api murka penghukuman akhir zaman.

 

Kesimpulan

Minggu ini kita membaca tentang penjelasan Tuhan Yesus bahwa kedatangan-Nya ke dunia adalah membawa pemisahan. Ia datang untuk memberikan damai sejahtera bagi yang berkenan kepada-Nya. Akan tetapi, dalam situasi tertentu yang terjadi malah bukan damai sejahtera melainkan pertentangan. Ia juga melemparkan api ke bumi yang berdampak pada pemisahan kelompok-kelompok yang setia dan tidak setia, pemisahan di antara anggota keluarga yang mau mendengar dan bertobat dengan yang masih bebal. Orang harus memilih, apakah tetap dalam comfort zone dosa dan sesaat, atau berubah mengikuti Dia untuk memperoleh hidup yang kekal.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 710 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7398455
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
41570
61324
151221
7204198
433317
1386923
7398455

IP Anda: 162.158.107.52
2024-11-21 17:01

Login Form