2019
KABAR DARI BUKIT (Edisi 14 Juli 2019)
KABAR DARI BUKIT (Edisi 14 Juli 2019)
Layak dan Berkenan
Firman Tuhan hari Minggu ini, Minggu V setelah Pentakosta, Kol. 1:1-12, berbicara tentang bagaimana kehidupan orang Kristen yang sebenarnya. Rasul Paulus menjadi teladan bagi kita, dengan memberi salam pembukaan dengan ungkapan rasa syukur disertai doa pengharapan merupakan ciri khasnya, termasuk untuk jemaat di Kolose yang tidak dikenalnya. Kita pun, dalam berkomunikasi, termasuk mengirim SMS/WA, ciri itu mestinya tampak pada setiap umat Kristiani.
Jemaat Kolose dibimbing oleh Epafras, murid Rasul Paulus di Efesus (Kis. 19:10; Kol. 4:12-13). Semula wilayah ini penuh dengan ajaran palsu, kekuatan mistik dan penyembahan berhala. Rasul Paulus menekankan kembali Injil yang diajarkannya, yakni: berpusat pada Kristus (ayat 4), firman kebenaran (ayat 5), berkembang di seluruh dunia, dan mengenalkan kasih karunia Allah (ayat 6). Ini yang menjadi sukacita bagi Rasul Paulus dan kita semua, ketika Injil itu berbuah, dan buahnya adalah beriman kepada Kristus Yesus, berwujud kasih terhadap semua orang orang percaya (dan sesama), serta kuatnya pengharapan yang disediakan bagi kita di sorga (ayat 4-5, band. 1Kor. 13:13).
Tujuan semua itu agar hidup kita semakin layak di hadapan Tuhan, serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik. Tujuan kedua, agar pengenalan dan pengetahuan yang benar tentang Allah terus bertumbuh (ayat 10). Ini akan terjadi jika setiap orang percaya, menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna (ayat 9).
Kita hidup di dunia ini dengan segala hasrat keinginan daging, ingin dihormati dan pujian, serta tawaran dunia, bahkan ujian tantangan rasa sakit, dan semuanya tidak mudah diabaikan. Oleh karenanya, kita perlu berdoa agar terus dikuatkan dengan segala kekuatan oleh kuasa kemuliaan-Nya, untuk menanggung segala sesuatu dengan tekun dan sabar (ayat 11).
Rasa syukur wajib dinaikkan kepada Bapa, yang telah melayakkan kita dengan melepaskan kita dari kuasa kegelapan, dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih, Yesus Kristus; di dalam Dia kita memiliki penebusan, yaitu pengampunan dosa (ayat 13-14). Maka teruslah berbuah, menjadi berkat di setiap saat, bertambah hikmat memahami kehendak Bapa, dan semakin berkenan kepadaNya. Selamat hari Minggu dan selamat beribadah bagi kita semua. Tuhan memberkati, amin.
(Untuk melihat khotbah lainnya hari Minggu ini dan sesuai leksionari, PERBUATLAH KASIH, MAKA ENGKAU AKAN HIDUP (Luk 10:25-37) silahkan klik web www.kabardaribukit.org).
Pdt. Em. Ramles M Silalahi, Ketua Majelis Pertimbangan Sinode GKSI dan Wakil Ketua Dewan Penasihat Alumni ITB Gaja Toba
Khotbah Minggu 14 Juli 2019 - Minggu V Setelah Pentakosta
Khotbah Minggu 14 Juli 2019 - Minggu V Setelah Pentakosta
PERBUATLAH KASIH, MAKA ENGKAU AKAN HIDUP
(Luk 10:25-37)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: Am 7:7-17 atau Ul 30:9-14; Mzm 82 atau Mzm 25:1-10; Kol 1:1-14 (berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)
Pendahuluan
Bagi umat Yahudi, ahli Taurat adalah seorang pakar hukum perjanjian lama. Mereka sangat menghapal teks ayat-ayat yang tertulis dan sering dijadikan sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi pengajaran agama dan kerohanian. Oleh karena itu, kadang mereka bersikap sombong dan merendahkan pihak lain. Dalam nats minggu ini kita membaca tentang ahli Taurat yang sedang menguji Yesus dengan sebuah pertanyaan yang menjebak. Pertanyaannya dihubungkan dengan hidup yang kekal, yang dalam perjanjian lama dan bagi umat Yahudi tidak terlalu banyak pembahasannya dan merupakan pokok diskusi yang hangat. Dari bacaan nats minggu ini kita diberikan pemahaman sebagai berikut.
Pertama: hukum pertama yakni kasih kepada Allah (ayat 25-27a)
Tuhan Yesus menjawab ahli Taurat tersebut dengan pertanyaan balik, bagaimana tertulis dalam kitab perjanjian lama tentang memperoleh hidup yang kekal? Sebagai ahli Taurat yang menghafal teks, ia mengutip Ul 6:5 dengan benar, diambil dari pengakuan iman (kredo) mereka, yakni pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan dan akal budi. Dari teks tersebut tampak mengasihi Allah haruslah dengan seluruh kemampuan dari diri kita, tidak hanya hati (perasaan) melainkan juga dari kedalaman batin, perasaan, kepribadian, fisik jasmaniah, pikiran dan seluruh hidup kita.
Allah menginginkan pengenalan dan persekutuan kita dengan Dia harus istimewa dan dari seluruh hidup yang kita miliki. Allah kita adalah Allah pencemburu dan tidak mau diduakan (Kel 20:5; 1Kor 10:22). Kita menempatkan diri sebagai ciptaan dan pengemban misi-Nya dengan rasa syukur yang penuh kasih, taat dan memberi prioritas utama kepada Dia (band. Rm 13:9-10; 1Kor 13:1-13). Kasih kepada Allah juga membuat kita tetap harus menaruh rasa hormat dan kerinduan dalam persekutuan dengan-Nya, menciptakan keterikatan yang kokoh, penyerahan diri dan ketergantungan sebagaimana hubungan Bapak dengan anak. Semua ini dibungkus dalam iman yang kuat dan tidak goyah di dalam Kristus Yesus.
Mengasihi Allah juga berarti ketaatan dalam standar firman dengan menjauhi dosa dan mengikuti kehendak-Nya. Ulangan 11:13 menyebutkan “Jika kamu dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, sehingga kamu mengasihi TUHAN, Allahmu, dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu….” Kita mengaku bahwa keberadaan di dunia ini sebagai utusan-Nya dan ikut mengambil bagian dalam memperluas kerajaan-Nya, mempergunakan semua talenta yang diberikan oleh Allah kepada kita. Mengasihi Allah juga berarti kesiapan berkorban dengan mengurangi keinginan diri sendiri bahkan kesiapan dalam penderitaan apabila situasi menghendakinya. Kita harus mengakui bahwa Allah telah mengasihi kita dan mengirim dan mengorbankan Anak-Nya kepada dunia untuk menebus dosa dan kesalahan kita sehingga kita diselamatkan.
Kedua: hukum kedua yakni kasih kepada sesama (ayat 27b-29)
Hukum kedua yang disebutkan ahli Taurat tersebut merupakan kutipan dari Im 19:18, 34 yakni mengasihi sesama (band. Mat 19:16-22 dan Mrk 10:17-22 tentang kasih yang lain). Tuhan Yesus dengan sengaja menceritakan perumpamaan ini karena didasari permusuhan berat yang telah lama berlangsung antara orang Yahudi dengan orang Samaria. Oleh karena itu, dalam menjawab Yesus, ahli Taurat itu tidak menyebut dan membenarkan orang Samaria tersebut, meski ia mengetahuinya. Ia justru tampak tidak memahami makna kasih yang sebenarnya.
Mengasihi sesama manusia adalah sesuatu yang mutlak. Kita mengasihi manusia karena mengasihi Allah, dan keduanya memang tidak dapat dipisahkan. Bahkan dikatakan, kita tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak kita lihat kalau kita tidak mangasihi manusia yang jelas kita lihat. Dalam 1Yoh 3:11 dikatakan, “Sebab inilah berita yang telah kamu dengar dari mulanya, yaitu bahwa kita harus saling mengasihi” (band. Mat 22:39; Rm 13:9; Yak 2:8). Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengasihi orang lain dan tidak ada alasan bagi kita untuk membenci mereka, sebab dalam ayat berikutnya disebutkan, membenci mereka itu ibarat kita seperti pembunuh.
Makna dari mengasihi sesama juga bisa kita bandingkan dengan Luk 6:31, “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” Atau dalam bahasa lain, “apa yang tidak kau kehendaki dilakukan orang kepadamu, janganlah perbuat hal itu terhadap mereka.” Ahli Taurat menyadari bahwa dirinya telah terjebak oleh kata-katanya sendiri, mungkin ia tidak menaati hukum tersebut, sehingga ia berdalih tentang definisi. Kurangnya kasih dalam diri kita mungkin mudah untuk dijustifikasi, tetapi sebaliknya kita diminta agar jangan berpandangan picik tentang kasih terhadap sesama, sebab mengasihi sesama berarti mengasihi Allah. Bagi kita yang tidak peka terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain, Alkitab dengan jelas menyatakan dengan jelas bahwa kita tidak akan masuk kedalam hidup kekal (Mat 25:41-46; 1Yoh 3:16-20).
Ketiga: siapakah sesama kita (ayat 31-36)
Tuhan Yesus memberikan perumpamaan yang sangat bagus karena melibatkan banyak pihak. Pertama ia menyebut lokasi kejadian yakni di jalan dari Yerusalem ke Yerikho yang memang terkenal menyeramkan yang secara otomatis orang yang dirampok itu kemungkinan besar beragama Yahudi. Orang tersebut selain dirampok juga dipukuli sehingga tergeletak tidak berdaya. Seorang imam lewat dan Yesus mengatakan ia terus berjalan sambil menghindar, mungkin dengan pemikiran bahwa orang tersebut telah mati dan ia ketakutan tersentuh sehingga tidak tahir dan tidak bisa melaksanakan tugas keimamannya. Artinya, ia mementingkan seremoni ibadah dibandingkan dengan perbuatan kasih terhadap seseorang yang jelas-jelas sangat membutuhkan.
Ketika seorang suku Lewi (pembantu imam) lewat, maka hal yang sama ia lakukan, menghindar, mungkin dengan pemikiran tidak mau mengambil resiko, berpikiran bisa saja itu jebakan dan buat apa menyusahkan diri. Namun, seorang Samaria lewat dan orang tersebut kemudian berhenti mengambil resiko atas harta dan nyawanya, menolong dia yang terluka, membawanya ke tempat penginapan, dan membayar semua biaya-biayanya. Tuhan Yesus langsung menohok kemunafikan ahli Taurat tersebut, yang meganggap orang Samaria lebih rendah, menganggap sesama manusia itu hanya orang Yahudi, tetapi justru orang Samaria tersebut menolong orang (Yahudi) tersebut sampai tuntas. Ia tidak membedakan orang yang dikasihinya, tidak bersikap diskriminasi, meski mungkin ia tahu orang itu adalah orang Yahudi, tetapi ia menjalankan apa yang dikatakan Tuhan Yesus, yakni agar kita mengasihi “musuh”.
Pengertian kasih kepada sesama jangan disempitkan kepada satu golongan saja. Kasih itu universal dan tidak terbatas sumber dan aplikasinya. Pengertian sesamamu dalam ayat tersebut bukanlah sekedar teman kita saja, golongan, kelompok suku bahkan agama kita saja. Memang dalam Alkitab ada ayat yang memberi petunjuk, agar dalam mengasihi kita terlebih dahulu mengutamakan perbuatan baik kepada kawan-kawan yang seiman (Gal 6:10), tetapi itu bukan berarti kita menutup diri berbuat baik bagi siapa saja, khususnya pada saat mereka sangat membutuhkan, sebagaimana kejadian kepada orang yang dirampok dan dilukai itu.
Keempat: pergilah dan perbuatlah demikian (ayat 37)
Dari uraian di atas, maka sikap kita ketika melihat setiap orang dalam kesusahan, maka haruslah merasa mereka itu sebagai sesama dan wajib menolong meski kita orang itu “musuh”. Kasih tidak cukup hanya diutarakan dalam sikap belas kasihan dan perasaan sedih. Kasih berarti tindakan yang memenuhi kebutuhan seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak melihat orang yang benar-benar membutuhkan, terlebih apabila ia dalam keadaan yang tidak mampu, maka pertolongan itu harus konkrit tidak cukup hanya dalam perasaan dan belas kasihan saja.
Para ahli Taurat banyak beranggapan bahwa hidup kekal dapat diraih dengan berusaha menaati hukum Taurat. Akan tetapi berbeda, kita dinilai bukan atas kehadiran kita di gereja tiap minggu atau atas pengakuan iman (creed) yang kita ucapkan, melainkan atas kehidupan dan perbuatan kasih yang kita lakukan setiap hari. Kasih kepada sesama yang konkrit bagi yang benar-benar membutuhkan, itu jelas lebih berharga dibanding persembahan kita ke dalam kantong persembahan. Dalam 1Yoh 3:18 disebutkan, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”
Di lain pihak Tuhan Yesus juga ingin menyampaikan kepada ahli Taurat bahwa hidup kekal yang dimaksudkannya bukanlah soal ketaatan legalistic atau berhubungan dengan keturunan, melainkan kepada pemahaman dan aplikasi dari ajaran yang diberikan. Kebanggaan ahli Taurat akan penghafalan ayat-ayat tidak memiliki makna dalam kelayakan masuk dalam kehidupan kekal. Tuhan Yesus menekankan bahwa hidup kekal itu bukan sesuatu yang utama menjadi sasaran, melainkan bagaimana melalui kasih dalam kehidupan sehari-hari, sebab itulah yang penting sehingga Tuhan Yesus berkata, “perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”
Kesimpulan
Melalui nats minggu ini, Tuhan Yesus membongkar anggapan ahli Taurat atau kita tentang makna Taurat yang sesungguhnya. Ia menyadarkan kita bahwa hidup kekal bukan masalah pengakuan iman atau warisan, melainkan kepada hubungan pribadi dengan Allah dan aplikasinya pada sesama. Kita tidak mencari siapa-siapa orang yang layak disebut sebagai sesama akan tetapi harus berpikir bagaimana kita bisa menjadi sesama bagi orang lain. Perumpamaan ini juga berlaku bagi gereja, apakah kita sudah membuat gereja sebagai tempat penginapan atau penampungan bagi mereka yang terluka dan membutuhkan, sebab iblis sebagai perampok terus menerus melakukannya kepada orang berdosa atau yang belum terselamatkan, sebab mereka ini adalah yang dirampok dan dilukai. Sebab, hanya orang yang mempraktikkan kasih menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Allah dan hidup yang kekal.
Tuhan Yesus memberkati.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu 24 November 2024 - Minggu XXVII Setelah PentakostaKhotbah Minggu 24 November 2024 - Minggu Kristus Raja - XXVII Setelah...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu 24 November 2024 - Minggu XXVII Setelah PentakostaKhotbah (2) Minggu 24 November 2024 - Minggu Kristus Raja - XXVII...Read More...
-
Kabar dari Bukit, Minggu 17 November 2024Kabar dari Bukit HUKUM DI DALAM HATI (Ibr. 10:11-25) ”Aku...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 943 guests and no members online