Thursday, November 21, 2024

KABAR DARI BUKIT (Edisi 22 September 2019)

KABAR DARI BUKIT (Edisi 22 September 2019)

 

Doa Syafaat

 

Dalam memimpin PA sering saya tanyakan apa arti "syafaat"? Ternyata banyak yang tidak tahu meski tiap hari Minggu mendengar kata doa syafaat. Bahkan ada yang mengartikan doa syafaat sebagai doa panjang, doa gado-gado. Kebenarannya: syafaat berarti perantaraan, intercession (Inggris), to entugkhanein (Yunani). Doa syafaat berarti permohonan melalui (kita sebagai) perantara. Intinya doa untuk pihak lain.

Firman Tuhan hari Minggu ini dipilih dari 1Tim. 2:1-7 mengenai doa jemaat. Kita diminta menaikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan (ayat 1-2). Dalam ayat berikutnya, Allah, Juruselamat kita, menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (ayat 4, band. 2Pet. 3:9). Untuk itu peran doa dan saling mendoakan sangatlah penting (band. Yak 5:14).

Kekristenan dasarnya pengakuan iman, yakni percaya adanya Allah yang Esa (ayat 5) dan Allah Bapa sebapai Pencipta; percaya Allah menjadi manusia yakni Yesus Kristus untuk menyelamatkan semua manusia dengan menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan (ayat 6); dan percaya Allah kita itu Allah yang hidup untuk menyertai dan menolong kita dalam kehidupan ini melalui Roh Kudus. Semua itu tertulis dalam Alkitab yang kita yakini sebagai kebenaran yang tanpa salah (infallibility dan inerrancy)

Manusia diciptakan sempurna tetapi tetap terbatas kemampuannya. Untuk melihat kuping dengan mata langsung saja tidak bisa, apalagi memahami alam semesta ini termasuk jalan kehidupan di tengah-tengah dinamika kehidupan yang berjalan dan terlebih masa yang akan datang. Untuk itu manusia membutuhkan orang lain termasuk untuk saling mendoakan. Berdoa berarti kita mengakui keterbatasan, tanda ketaatan, tanda kasih dan kesatuan umat, dengan memohon pertolongan Allah yang hidup untuk campur tangan. Berdoa bukan hanya untuk diri sendiri - dengan daftar yang panjang seperti belanjaan, tetapi juga untuk pihak lain sebagaimana diminta firman hari ini.

Pihak-pihak yang masuk dalam doa syafaat lebih mudah diingat dengan menggunakan tangan dan kelima jarinya sebagai model.

  • ­  Tangan diangkat bermakna doa dimulai dengan ucapan syukur (ayat 1; Flp 4:6);
  • ­  Ibu jari memaknai berdoa bagi orang tua dan keluarga dekat (Ef 6:2; Kel 20:12);
  • ­  Jari telunjuk memaknai doa bagi penunjuk jalan keselamatan: para pendeta, pengerja gereja, dan para hamba Tuhan khususnya di ladang misi (Kol 4:3; 2Tes 3:1);
  • ­  Jari tengah yang tertinggi/terpanjang menandai untuk para pemimpin kita, organisasi, kumpulan, RT/RW bahkan negara;
  • ­  Jari manis memaknai doa bagi semua persoalan dan pergumulan termasuk musuh kita (Mat 5:44)
  • ­  Jari kelingking menandakan berdoa bagi yang kecil lemah dan kaum miskin.

Doa menyambung hasrat kita kepada Allah dan melalui doa kita menjadi dekat denganNya. Alkitab meminta kita bertekun dalam doa (Rm 12:22; 1Tes 5:17). Pentingnya doa juga dinyatakan dengan Roh Kudus berdoa bagi kita (Rm 8:26-27) sebagaimana Tuhan Yesus berdoa dari sorga (Yoh 17:9, 20). Tetaplah berdoa dan "percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.” (Mrk 11:24). Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati, amin.

(Pdt. Em. Ramles M Silalahi)

 
Khotbah lainnya bagian leksionari hari Minggu ini Setia Dalam Perkara-perkara Kecil (Luk 16:1-13) dapat mengklik web www.kabardaribukit.org.

 

Khotbah Minggu 22 September 2019 - Minggu XV Setelah Pentakosta

Khotbah Minggu 22 September 2019 - Minggu XV Setelah Pentakosta

 

SETIA DALAM PERKARA-PERKARA KECIL

(Khotbah Luk 16:1-13)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer 8:18-9:1 atau Am 8:4-7; Mzm 79:1-9

atau Mzm 113; 1Tim 2:1-7 (http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

 

Pendahuluan

Minggu ini bacaan kita masih tentang pengajaran Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Ia banyak memberikan contoh dan perumpamaan tentang makna kehidupan ini dengan maksud agar mereka dan kita tidak tersesat atau terperosok pada hal-hal duniawi yang singkat ini. Melalui bacaan nats ini, Yesus memberikan pelajaran yang cukup rumit dan bermakna ganda, yakni tentang amanah dan tanggungjawab bagi seorang bendahara yang dipercaya mengelola tanah milik Tuan tanah. pertanggungjawaban akan diminta dan keputusan pasti diberikan. Melalui kisah dan perumpamaan yang diberikan, kita mendapatkan pelajaran hidup sebagai berikut.

 

Pertama: pertanggungjawaban (ayat 1-2)

Nats ini merupakan kisah yang lumayan sulit untuk ditafsirkan, sebab menyangkut penilaian hal yang baik dari orang jahat. Pihak yang jahat dalam kisah ini bukan hanya bendahara, tetapi juga penyewa, yang bersedia diajak kompromi, meski bagi mereka belum tentu ada manfaatnya, sebab bisa saja biaya sewa sama, hanya sebagian dibayar kepada pemilik tanah dan sebagian kepada bendahara yang akan berhenti. Memang pembayaran tidak dalam bentuk uang atau barang, melainkan beban tanggungan yang sama saja ada biayanya. Tuan pemilik tanah sendiri sulit dikatagorikan apakah orang baik atau orang jahat, sebab ia juga membenarkan sikap bendahara yang cerdik bahkan licik dalam kisah ini.

Ada dua tafsiran atas kisah ini. Pertama, bendahara pada prinsipnya adalah mitra pemilik tanah, sehingga ia bebas menetapkan hutang-piutang sewa dengan penyewa. Dalam hal ini tuan tanah tinggal terima bersih hasil akhirnya. Maka ketika bendahara itu memutuskan perubahan nilai sewa, ia sebenarnya “berhak” atas keputusan itu. Ia masih memiliki kuasa meski di saat terakhir, dan itu mengikat seterusnya. Tafsiran kedua, bendahara itu hanya hamba, seorang pegawai, sehingga ia harus melaporkan apa adanya, tidak berhak merubah apapun soal sewa menyewa. Dengan status itu, ada kecurangan yang dia lakukan, dan dalam hal ini ditafsirkan ia mungkin sudah sering mencuri hasil sewa tanah tersebut.

Namun dari kedua tafsiran itu pokok yang ditekankan dari nats ini adalah bahwa semua yang kita terima baik harta maupun wewenang, adalah amanah belaka yang dipercaya kita kelola sementara. Tidak ada harta dan kuasa dalam hidup ini yang menjadi milik kita abadi dan itu semua suatu saat akan kita tinggalkan. Segala sesuatunya itu nanti ada yang menilai dan kita harus mempertanggungjawabkan kepada tuan pemilik yang sah. Dalam hal ini pemilik sah atas alam semesta dan kehidupan ini termasuk kita adalah Allah yang kita kenal melalui Tuhan Yesus. Maka pertanyaannya adalah: saat kita memiliki harta atau Mamon dan wewenang saat ini, apakah kita mempergunakannya untuk kebaikan bagi kita dan orang lain, atau kita hanya pakai dan kelola untuk kepentingan diri sendiri, bahkan yang tidak berkenan kepada Tuhan? Janganlah kita menganggap itu sebagai hal yang sepele dan tidak ada kaitannya kelak dalam pertanggungjawaban di kehidupan lain setelah di dunia ini.

 

Kedua: memanipulasi keadaan (ayat 3-8)

Tuan pemilik tanah merasa bahwa bendahara tersebut tidak mengelola tanah tersebut dengan baik, bahkan menghamburkan hasilnya. Oleh karena itu ia memutuskan memberhentikan bendahara tersebut. Namun ketika bendahara itu memanfaatkan situasi sempit itu untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, tuan pemilik tanah itu justru memuji bendahara tersebut dengan mengatakan ia adalah orang yang cerdik. Ia dengan cepat mengurangi hutang orang lain dari seratus tempayan minyak (zaitun) menjadi lima puluh tempayan, dan kepada yang lain dia kurangi dari seratus pikul gandum menjadi delapan puluh pikul. Semua itu ia lakukan agar kedua orang ini merasa berhutang budi padanya dan suatu saat kelak ia bisa ditampung di rumah mereka atau membayar kepadanya.

Pelajaran yang bisa diambil dari perumpamaan ini bahwa orang-orang dunia demikian pintarnya dalam mencari peluang mencari harta, berpikir cepat dan kreatif untuk mendapatkan hasil meski untuk kepentingannya sendiri. Maka menjadi tantangan bagi orang-orang Kristen agar selalu lebih cerdik dari mereka (ayat 8). Di satu sisi memang kita bisa melihat bendahara tersebut mempergunakan kesempatan yang ada untuk menjalin hubungan yang baik dengan para penyewa, memberi keringanan hutang utnuk sementara. Maka pesan yang kita ambil adalah untuk berbuat kebaikan perlu kreatifitas dan pengetahuan, mempergunakan waktu yang masih sisa agar diperoleh hasil yang maksimal.

 Memang cara yang dipakai oleh bendahara bukanlah cara yang benar. Akan tetapi kecerdikan dan perhitungannya dalam membangun hubungan bagi dirinya di masa depan adalah sesuatu yang perlu diteladani. Kita orang Kristen telah diberi kepercayaan oleh Allah melalui kepemilikan yang ada, maka apakah kita cukup kreatif untuk melipatgandakan semua itu dan mampu mengembangkan hubungan yang lebih luas kepada banyak orang? Kepemilikan atas harta dan kuasa mempunyai pengaruh kepada hubungan dengan sesama, membuat hidup orang lain lebih mudah, dan itu semua mempunyai konsekuensi pada kehidupan kit adi masa yang akan datang. Memanipulasi keadaan untuk kepentingan diri sendiri dan pemuasan nafsu jelas salah, akan tetapi menerapkan kecerdikan dan kelihaian berhitung bagi kepentingan meluaskan hubungan dan menolong sesame, jelas sesuatu yang disenangi oleh Tuhan kita. Tindakan cerdik dan berani seperti ini dapat dipuji oleh Majikan kita yang Agung.

 

Ketiga: setia dalam perkara-perkara kecil (ayat 9-12)

Tuan pemilik tanah itu tidak berarti setuju dengan apa yang dilakukan oleh bendahara itu. Akan tetapi tuan tanah itu mengatakan bahwa menggunakan kesempatan melalui “mamon yang tidak jujur” jelas ada gunanya. Mamon berasal dari bahasa Aram yang berarti uang, harta atau laba. Kalau sumbernya tidak jujur maka ia menjadi mamon yang tidak jujur. Tetapi ditekankan juga bahwa tidak selamanya harta atau mamon itu dapat menolong, ada saatnya ia menjadi “tidak berarti dan tidak berguna”, sebab yang lebih utama dan merupakan tujuan hidup adalah kemah abadi yakni kehidupan nanti (band. Luk 12:33; Mat 19:21).

Pesan lainnya adalah kita diuji melalui kesetiaan pada hal-hal yang kecil terlebih dahulu, sebelum pada hal yang besar dan bahkan yang utama. Harta dan kekuasaan duniawi sangatlah kecil nilainya dibandingkan dengan nilai kekayaan sorgawi. Apalagi masa kehidupan di dunia ini sangat singkat bila dibandingkan dengan masa kekekalan. Tanggung jawab penggunaan harta duniawi akan menjadi ujian terhadap kesetiaan kita, sebab apabila kita tidak setia terhadap harta duniawi, maka kita juga dianggap tidak akan setia dan mampu untuk menerima harta sorgawi yang rohani dan abadi. Harta duniawi seperti uang jelas merupakan godaan besar, sehingga firman Tuhan mengatakan akar segala kejahatan adalah cinta uang dan hamba Tuhan diminta untuk tidak mencintai uang (1Tim 3:1-3).

 Pengelolaan hal kecil dianggap merupakan ujian bagi karakter (watak) dan integritas yang kita miliki dalam hal pengelolaan. Apakah kita memang orang yang setia dan layak dipercaya sehingga berhak atas sesuatu yang paling berharga nantinya, yakni harta sorgawi yang kekal? Sejauh mana integritas kita dan kesetiaan dalam pengelolaan itu? Perumpamaan dalam nats ini juga dapat disamakan dengan pengelolaan uang mina, sehingga Tuhan berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Lalu datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan, dua talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba dua talenta. Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25:21-23; band Luk 19: 11-27).

 

Keempat: mengabdi kepada dua tuan (ayat 13)

Ada sebuah keunikan dalam kepemilikan. Rasa kepemilikan atau sense of belonging memaksa kita bertanggungjawab. Memiliki keluarga membuat kita bertanggungjawab atas keluarga, dan itu adalah hal yang baik dan wajar. Meski tanggungjawab itu membuat kita seolah-olah "hamba" dari keluarga dalam pengertian kita ingin membahagiakan mereka adalah sesuatu yang baik. Namun, ketika kepemilikan dan sense of belonging tersebut pada sebuah benda atau harta, meski ada nilainya, maka disini muncul sesuatu yang tidak baik. Menjadi hamba keluarga adalah baik akan tetapi menjadi hamba uang atau harta, jelas tidak bagus sama sekali.

Memiliki Tuhan sama saja halnya. Ketika kita merasa memiliki Tuhan maka ada rasa tanggungjawab atas hal itu. Meski dalam hal Tuhan, pengakuan kita tidak akan mempengaruhi keberadaan dan kuasa-Nya. Kita tetap harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Maka ketika rasa tanggungjawab itu muncul pada kedua-duanya, timbullah pertanyaan: kepada siapa kita mengabdi? Apakah kita mengabdi kepada harta atau uang dan menjadikan semua itu sebagai Tuan, atau kita tetap mengabdi kepada Allah? Jelas kita tidak bisa mengabdi kepada keduanya. Pilihan harus diberikan, mana yang utama. Sama seperti kapal tidak boleh dinakhodai oleh dua orang, akan kacau perjalanannya, demikian juga perjalanan kita harus oleh satu nakhoda: Allah atau Mamon? Inilah yang diingatkan bagi kita melalui nats ini.

Kekayaan dan harta serta rasa kemilikan dan kecintaan akan dunia ini akan membuat kita lebih sulit membuat Allah sebagai Tuan atau Tuhan kita. Oleh karena itu kita harus memilih salah satu yang utama dan semua itu akan terlihat ketika kita mengelola sehari-hari atas uang dan harta yang diamanahkan-Nya kepada kita: yang mana akan mengambil tempat utama dalam hati kita? Apakah kita tetap melihat bahwa mereka yang memiliki harta dan uang yang banyak sebagai tanda berkat dari Allah? Jangan kita seperti mereka, mulut kita menempatkan Allah yang utama akan tetapi hati kita lebih menghargai harta dan dunia. Allah sangat membenci hal itu, sebagaimana Tuhan Yesus menegur orang Farisi dalam kisah nats ini. Ukuran diberkati adalah urusan damai sejahtera dalam kasih Allah dan kepada manusia. Karena itu, apa dan siapa yang akan lebih sering menjadi fokus pikiran kita setiap hari? Semua itu akan memperlihatkan, itulah yang menjadi Tuan atau Tuhan kita. Hal ini dapat diuji dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

Apakah engkau sering kuatir dan memikirkan uang atau hartamu setiap hari?

Apakah engkau mudah tergoda dan menyerah atas bujukan apabila itu peluang mendapatkan uang atau harta meski dengan cara tidak berkenan kepada Tuhan?

Apakah waktu yang dipakai setiap hari lebih banyak untuk mencari uang? Atau waktumu banyak tersita untuk mengurusi harta dan uang?

Apakah engkau sulit untuk memberi kepada mereka yang membutuhkan dan juga kepada gereja/penginjilan?

Apakah engkau memaksakan untuk berhutang demi sesuatu yang tidak urgent perlu?

Kalau jawabannya banyak ya, maka mungkin Uang atau Mamon sudah menjadi tuan kita.

 

Kesimpulan

Melalui bacaan dan renungan yang diuraikan di atas, kita diingatkan bahwa semua hal di dunia ada ada pertanggungjawaban. Jangan kita terkecoh dengan membuat sesuatu yang bernilai di dunia ini seperti uang dan harta menjadi Tuan kita dan kita menjadi hambanya. Jangan juga kita memanipulasi untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri, meski kita diajar untuk selalu cerdik. Semua yang di dunia dianggap sebagai hal dan perkara-perkara kecil, sebab yang utama adalah kekayaan sorgawi dan menjadi penghuni kemah abadi. Untuk itu kita tidak boleh membuat dua Tuan dalam hidup kita, harus memilih, membuat Yesus sebagai Tuhan sekaligus Tuan kita, atau menjadikan harta dan dunia ini sebagai Tuan kita. Mari kita jadikan Yesus sebagai Tuhan dan nakhoda kita, mengenal otoritas-Nya, sebab Dia sebenarnya pemberi semua itu.

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 503 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7411000
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
54115
61324
163766
7204198
445862
1386923
7411000

IP Anda: 162.158.171.29
2024-11-21 22:12

Login Form