Sunday, November 24, 2024

Khotbah Minggu 8 September 2019 - Minggu XIII Setelah Pentakosta

Khotbah Minggu 8 September 2019 - Minggu XIII Setelah Pentakosta

 

MEMIKUL SALIB DAN MENGIKUT DIA

(Khotbah Luk 14:25-33)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer 18:1-11 atau Ul 30:15-20; Mzm 139:1-6, 13-18 atau Mzm 1; Fil 1-21

 

Pendahuluan

Sering sekali gambaran yang diperoleh bahwa mengikut Yesus akan mendapatkan jalan yang mudah dan mulus serta penuh dengan kemuliaan dan kekuasaan. Akan tetapi Tuhan Yesus dalam nats minggu ini memberikan pengajaran yang berbeda total. Kadang kala jalan mengikut Dia itu tidak penuh dengan damai dan bahkan perlu dengan kebencian. Demikian pula gambaran “kehormatan dan kemuliaan” yang harus dibayar terlebih dahulu dengan memikul kuk dan kesediaan berkorban untuk menderita demi kemuliaan Bapa di sorga. Dari bacaan minggu ini kita memperoleh pengajaran beberapa hal sebagai berikut.

 

Pertama: membenci keluarga dan diri sendiri (ayat 25-26a)

Benci atau kebencian merupakan kata yang sangat negative dan buruk bagi jiwa kita. Perasaan benci atau kebencian timbul karena ketidaksukaan terhadap sesuatu (seperti makanan/minuman, seni atau lukisan tertentu, atau barang/benda lain) atau seseorang yang timbul karena perbedaan pandangan dan sikap terhadap hal-hal tertentu. Tingkat kebencian juga memiliki gradasi, dari benci dalam pengertian tidak suka saja sampai kepada kebencian yang menghasilkan dampak fisik dan psikis, seperti amarah, tangisan, mual dan dampak negative lainnya. Menyimpan atau memendam kebencian dalam waktu lama bahkan akan menimbulkan dampak pada kesehatan dan secara langsung akan mengurangi sukacita dalam kehidupan sehari-hari.

 

Firman Tuhan minggu ini seolah-olah Tuhan Yesus memerintahkan kita membenci ibu-bapa, istri dan keluarga. Tentu menjadi pertanyaan mengapa Tuhan Yesus berkata demikian dalam pengajaran-Nya. Hal pertama adalah, Yesus ingin menekankan bahwa membangun hubungan dan kesetiaan kepada Kristus haruslah di atas segalanya. Kasih dan pengabdian kepada Kristus harus mengalahkan kasih dan pengabdian kepada semua termasuk keluarga. Kasih kepada Tuhan Yesus itu harus dilakukan dengan sepenuh hati dan bukan setengah hati atau kompromi terhadap nilai-nilai dasar kristiani. Yesus adalah nomor satu dan tidak boleh menjadi nomor dua.

 

Hal kedua yakni Tuhan Yesus menggunakan kata yang keras dan tegas dalam hal prasyarat mengikut Dia. Penggunaan kata membenci muncul ketika nilai-nilai yang kita anut dan sesuai dengan ajaran Kristus sudah berbeda jauh dengan nilai-nilai yang dipegang oleh keluarga kita. Ketika nilai-nilai yang menyimpang itu dipegang oleh ibu-bapa kita, istri atau keluarga lainnya, maka kita harus membencinya. Demikian juga ketika memegang teguh nilai-nilai itu kita pegang, maka mungkin ada yang tidak menyukai bahkan membenci kita. Namun perlu dijelaskan di sini bahwa kita tidak membenci pribadi mereka, melainkan membenci nilai-nilai yang mereka anut dan tampak dalam perbuatan dan sikap sehari-hari.

 

Kedua: memikul salib untuk mengikut Dia (ayat 26b-27)

Pesan Tuhan Yesus sangat jelas pada bagian kedua ini bahwa mencintai Yesus itu harus melebihi mencintai nyawanya sendiri. Semua orang percaya umumnya menghafal ayat penting dalam Yoh 3:16, yakni bahwa begitu besar kasih Allah kepada manusia sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita. Tetapi baiklah juga kita mengingat firman Tuhan dalam 1Yoh 3:16 (perhatikan hanya menambah angka 1 di depan) yang mengatakan, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa perlu kesiapan menyerahkan nyawa untuk berkorban bagi saudara-saudara kita. Ini tentu harus juga ditafsirkan dalam pengertian positip yakni kalau situasi dan kondisi tertentu meminta demikian, yakni dalam hal pembelaan iman, menyelamatkan hidup seseorang, dan sejenisnya.

 

Ini juga yang dimaksudkan dengan memikul salib untuk mengikut Dia. Memikul salib adalah lambang kesiapan dalam penderitaan sebagaimana saat Tuhan Yesus dalam keadaan yang sudah demikian terluka disiksa tetap memikul salib menuju Golgota. Salib awalnya adalah lambang kutuk dan penistaan. Memikul salib berarti bersedia hidup di dalam “pengorbanan”, meski tidak harus dalam bentuk asketisme atau pengucilan diri. Memikul salib adalah kesediaan dan kesiapan dalam melepaskan kepentingan diri sendiri dan berkorban untuk kepentingan orang lain. Memikul salib berarti meningkatkan kepekaan akan adanya penderitaan orang lain dan untuk itu kita siap untuk berbagi baik secara emosi, kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani.

 

Ini juga yang dimaksudkan agar ketika mengikut Tuhan Yesus, sudah harus mengetahui harga yang harus dibayar untuk mempertahankan dan meningkatkan iman dan kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak dapat berbangga dan berbesar hati menjadi pengikut Tuhan Yesus, tetapi tidak mau menjadi murid yang sejati. Kita tidak dapat mengambil hak namun melupakan kewajiban. Atau hanya mengambil “yang manisnya” tetapi tidak mau menerima “yang pahitnya”. Seorang pengikut dan murid harus membayar semua harga itu, baik dalam pandangan dan nilai-nilai etika dan moral yang dianut, pergaulan dan sikap pribadi, sampai kepada perbuatan dan kasih yang harus diperlihatkan dalam hubungan dengan pihak lain. Atau sebagaimana digambarkan dalam bagian pertama di atas, sikap kita yang berbeda menjadi alasan dibenci oleh keluarga atau kelompok, namun itu adalah harga yang harus kita bayar, dan kita harus siap dengan harga itu.

 

Ketiga: pentingnya perencanaan dalam kehidupan (ayat 28-32)

Dalam bagian ini Tuhan Yesus menggambarkan untuk mengikut Yesus dan memikul salib mengambil contoh dengan membangun menara. Pengertian menara dalam hal ini sebenarnya adalah menara tempat penjaga kebun anggur yang dipakai untuk mengawasi kebun sehingga tidak ada pencuri atau perusak kebun yang datang. Membangun menara jelas membutuhkan bahan, peralatan, ketrampilan dan khususnya biaya. Maka jangan sampai ketika menara yang cukup tinggi untuk dipakai tempat mengawasi, saat membangun tidak selesai atau terkatung-katung, karena tidak adanya bahan, peralatan dan biaya. Bukankah itu menjadi mubazir dan bahkan memalukan?

 

Demikian pula kiasan Tuhan Yesus ketika hendak pergi berperang. Seorang raja atau perwira harus memperhitungkan dengan cermat kekuatan lawan dan juga kelebihan atau keunggulan pasukannya. Meski jumlah yang disebut dalam ayat ini kekuatan lawan lebih besar, namun harus dicari peluang untuk memenangkan peperangan. Tanpa memperhatikan hal tersebut maka dengan mudah kita akan menjadi pasukan yang kalah. Hasilnya akan membuat banyak korban dan kerusakan yang parah bagi diri sendiri. Ini karena kurangnya perhitungan dan perencanaan dan jelas sangat merugikan dan memalukan.

 

Perencanaan dalam mengikut Tuhan Yesus juga demikian halnya. Ada iman, pengharapan dan kasih yang akan dibangun. Kekuatan pikiran dan diri sendiri tidak akan mampu melawan tantangan dan godaan iblis dan dunia ini. Demikian juga kelihaian iblis dalam memanipulasi kelemahan daging membuat kita mudah jatuh. Maka kita harus melepaskan diri dari ambisi-ambisi pribadi yang lepas dari kehendak Allah. Memang betul, semua harus diupayakan mendapatkan yang terbaik dalam hidup kita, tetapi biarlah itu semua dengan tahapan dan jalan yang berkenan kepada Tuhan. Dengan demikian kita terhindar dari sikap munafik yakni mau mengambil manisnya tetapi tidak siap dengan yang pahitnya. Hukuman dari Tuhan akan lebih besar bagi mereka yang bersikap seperti ini.

 

Keempat: melepaskan diri dari harta milik (ayat 33)

Kepemilikan memang membuat seseorang menjadi egoistis. Banyak pihak merasa bahwa apabila ia memiliki “sesuatu” maka itu adalah hasil kerja atau karyanya. Apalagi yang dimiliki itu menjadi sesuatu yang banyak, melimpah dan bernilai, maka sikap egoistis akan semakin menonjol, seolah-olah semua hasil capaiannya itu adalah hasil kerja kerasnya. Sikap ini bahkan sering terjadi dalam kelompok, dengan menganggap pemimpin atau seseorang dalam posisi tertentu yang membuat keberhasilan itu terjadi. Inilah efek samping dari rasa kepemilikan.

 

Namun Tuhan Yesus mengatakan bahwa seseorang yang mengikut Dia harus melepaskan semua itu. Melepaskan bukan dalam arti kata harus menjual/melepas apa yang kita miliki dan memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Konteks ini berlaku kepada pemuda kaya yang hatinya terus pada hartanya. Akan tetapi Tuhan Yesus maksudkan adalah bahwa memiliki sesuatu yang sangat kita kasihi atau berharga menurut ukuran duniawi, semua itu semata-mata adalah titipan pemberian Allah. Kita hanya pemegang amanah. Tanggung jawab itu akan diminta kelak bagaimana kita melihat dan memperlakukan amanah (harta) milik itu, apakah itu untuk kepentingan diri semata, atau memang untuk kemulian nama Allah.

 

Keselamatan memang gratis karena telah dibayar lunas oleh darah Yesus. Tetapi bukan berarti keselamatan itu murah dan gampang. Ini jelas berbeda. Menerima keselamatan kekal sejak di dunia ini memerlukan kesungguhan hati dan kesiapan melepaskan sesuatu. Mengikut Tuhan Yesus harus melihat jauh yakni kepada kekekalan, bukan hanya kepentingan saat ini saja yang dapat menipu. Kalau kita melihat ayat lanjutan dari nats minggu ini (ayat 34-35), maka Tuhan Yesus mengumpakan seperti garam yang tidak punya rasa asin, maka akan hambar dan pasti akan dibuang. Demikian jugalah kiranya gambaran hidup orang yang mengutamakan kepemilikan dalam hidupnya, merasa hebat dan berguna padahal sebenarnya siap untuk dibuang.

 

Kesimpulan

Mengikut Tuhan Yesus berarti siap untuk membenci dan juga dibenci (dalam pengertian tujuan positip) oleh keluarga, yakni ketika pandangan dan pegangan nilai-nilai Kristiani harus dipertahankan. Untuk mengikut Dia memang tidak mudah dan murah. Ada harga yang harus dibayar yakni dengan kesediaan untuk berkorban. Semua itu memerlukan perencanaan dan pengetahuan tentang jalan mengikut Tuhan Yesus. Sebab kalau tidak, maka perjalanan iman akan menjadi sia-sia. Tuhan Yesus juga menekankan pentingnya melepaskan diri dari sikap kepemilikan (harta), sebab segala sesuatu itu diberikan oleh Tuhan, sebagaimana garam yang harus asin, semua itu adalah untuk menjadi berkat bagi orang lain.

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 8 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7550946
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
4056
65942
4056
7247234
585808
1386923
7550946

IP Anda: 162.158.163.57
2024-11-24 17:02

Login Form