Thursday, November 21, 2024

2023

Kabar dari Bukit Minggu 10 September 2023

Kabar dari Bukit

 

 JALAN PULANG PERTOBATAN (Yeh. 33:7-15)

 

 

”Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu!” (Yeh. 33:11)

 

 

 

Ada banyak versi tentang tahapan dan jalan menuju keselamatan hidup kekal. Namun hampir sepakat, pertobatan adalah kunci pembuka gerbang memasuki manusia baru, agar kelak dapat hidup bersama para malaikat dan Tuhan Yesus di sorga. Pertobatan memerlukan kuasa Roh Kudus bersama langkah tindakan sukarela manusia yang melibatkan iman, disertai dengan pikiran, hati dan kemauan.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Yeh. 33:7-15. Ini pesan Tuhan yang sangat jelas dan tegas tentang dampak perbuatan dosa manusia sekaligus pentingnya pertobatan, yang dalam bahasa Yunani disebut dengan metanoia dan arti harfiahnya berbalik. Seperti saat berbaris, "Balik Gerak!", kira-kira begitulah maknanya.

 

 

 

Manusia dapat berdalih sebagaimana umat Israel dalam nas ini. Namun Allah mengingatkan atas sikap mereka yang berkata, “Pelanggaran kami dan dosa kami sudah tertanggung atas kami dan karena itu kami hancur; bagaimanakah kami dapat tetap hidup? (ay. 10b). Allah tidak menyukai umat atau seseorang yang merasa dirinya benar dan "mengandalkan kebenarannya dan ia berbuat curang, segala perbuatan-perbuatan kebenarannya tidak akan diperhitungkan, dan ia harus mati dalam kecurangan yang diperbuatnya" (ay. 13). Oleh karena itu sangatlah penting bagi kita untuk selalu rendah hati di hadapan Tuhan, sebagaimana isi Doa Bapa Kami, "dan ampunilah kami akan kesalahan kami....dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan."

 

 

 

Menurut Beth Moore dalam bukunya Ketika Orang Percaya Melakukan Hal yang Berdosa, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan agar pertobatan efektip. Pertama, setan memiliki cara yang terencana. Setan adalah ular yang paling cerdik dari segala binatang di darat (Kej. 3:1). Oleh karena itu Rasul Paulus mengingatkan, “Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya” (2Kor. 11:3).

 

 

 

Hal kedua, manusia kadang mencoba berkelit dengan mengatakan telah tergoda dan tertipu. Tetapi kenyataannya menurut Beth Moore, “tidak semua orang akan jatuh karena roh-roh penggoda”. Ada unsur dari manusianya sendiri, seperti ketidaktahuan, terlalu bergairah sok tahu padahal sebenarnya tidak memahami isi Alkitab, kurang pengertian dan berhikmat, kurangnya pengenalan diri, dan terlalu terbuka menyingkapkan pengalaman dan kebejatan masa lalu.

 

 

 

Hal ketiga, sangat penting membentengi hidup kita dari godaan, agar mampu kebal terhadap kelicikan ular. Ada banyak cara yang disarankan dalam buku tersebut, yakni dengan bersukacita dalam iman yang kita miliki; Jauhkan diri dari kejahatan yang membuat orang lain susah; Tetaplah di dalam doa dan selalu mengucap syukur; Jangan memadamkan Roh Kudus, dan tidak memandang rendah petunjuk, nasihat dan peringatan; Setia dan rajin menguji dan mengenal hal yang baik. Inilah jalan dan bukti pertobatan. "Bukankah kepada pertobatannya supaya ia hidup?" (Yeh. 18:23b). Allah memang penuh kasih dan berharap tidak seorang pun binasa (Yoh. 3:16). Allah melengkapi kita dengan senjata rohani yakni terang Kristus, kebenaran firman dan keadilan (Rm. 6:13, 13:12-14; 2Kor. 6:7).

 

 

 

Maka jangan membiarkan diri kita tergoda dan tertipu. "Sepanjang hari Aku telah mengulurkan tangan-Ku kepada bangsa yang tidak taat dan yang membantah" (Rm. 10:21). Allah terus menanti. Pulanglah. Ingatlah terbuka jalan kembali; pulang kepada kasih Bapa yang siap berkata: "Anak-anakku, janganlah membiarkan seorang pun menyesatkan kamu" (1Yoh. 3:8). Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua disediakan Allah karena telah mengasihi-Nya (1Kor. 2:9).

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah 1 Minggu XV setelah Pentakosta - 10 September 2023

Khotbah 1 Minggu Kelimabelas setelah Pentakosta - 10 September 2023

 

 MENANGGALKAN PERBUATAN KEGELAPAN (Rm. 13:8-14)

 

 Bacaan lainnya: Kel. 12:1-14 atau Yeh. 33:7-11; Mzm. 149 atau Mzm. 119:33-40; Mat. 18:15-20

 

 

 

Pendahuluan

 

Nas minggu ini merupakan kelanjutan Roma pasal 13:1-7 tentang perintah tunduk pada pemerintah yang resmi berkuasa dari Allah. Salah satu sikap tunduk itu adalah kepatuhan dalam membayar pajak dan cukai sehingga tidak menjadi hutang berkepanjangan. Sikap ini didasari atas kebenaran dan kasih kepada pilihan Allah yang memerintah untuk dipergunakan bagi kepentingan masyarakat banyak, yang kemudian kita menerima manfaatnya sebagai warga. Selanjutnya nas minggu ini menekankan kasih yang lebih menyeluruh di dalam hidup umat-Nya, sebab sesuai yang dituliskan, kasih sejatinya adalah kegenapan hukum Taurat. Sikap kasih itu dijabarkan dari larangan berpura-pura hingga wajib diwujudkan segera dalam kehidupan saat ini sebab waktu yang sempit sebelum kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran tetang pelaksanaan kasih sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (ayat 8-9)

 

Pertanyaan untuk nas ini adalah: Mengapa hutang dikaitkan dengan kasih. Dalam ayat-ayat sebelumnya kita diingatkan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban kita di dalam kehiduan sehari-hari dengan tepat dan benar, termasuk kepada pemerintah untuk pembayaran pajak, cukai, rasa takut dan hormat. Alasannya jelas. Kalau dalam hubungan dunia, kita mendapatkan dari pemerintah, seperti perlindungan keamanan, fasilitas publik, dan lain-lain, maka untuk itu kita perlu membayar pajak dan bea (band. Mat. 22:21). Dalam hal ini firman Tuhan mengatakan jangan kita berhutang apalagi “ngemplang” kepada pemerintah sebab kita sudah memerima kebaikannya. Hukum timbal balik dalam pengertian positif adalah sesuatu yang baik dan wajar. Maka kita juga yang sudah percaya pada Tuhan Yesus dan menerima anugerah-Nya, kasih Allah yang melimpah dicurahkan secara permanen, maka kita juga jangan sampai berhutang kepada-Nya. Jalan terbaik untuk membayar hutang kasih kepada Allah adalah dengan memenuhi kewajiban kasih kepada sesama di samping terus mengikuti perintah-Nya serta memuliakan-Nya (1Yoh. 5:2). Kasih Yesus akan selalu jauh lebih besar dari yang bisa kita berikan, Ia juga lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh. 4:19) sehingga tidak mungkin terbayarkan meski dengan nyawa kita. Oleh karena itu kasih kepada sesama disebut sebagai hutang, bahkan hutang yang tidak dapat dibayar habis dan untuk membayarnya hanya dengan jalan kasih saja.

 

 

 

Demikian juga dikatakan bahwa kasih terhadap sesama dimulai seperti kasih kepada diri sendiri. Kita tidak boleh berpikir bahwa mengasihi diri sendiri adalah salah. Mengasihi diri sendiri dalam arti memberi respek terhadap diri sendiri dan mengakui karunia rohani Allah di dalam diri kita. Mengasihi diri sendiri dalam arti memelihara dan mengembangkan pikiran, tubuh, dan potensi diri kita, menggunakan seluruh karunia rohani tujuan yang baik bagi Tuhan, jelas sangat menyenangkan hati Tuhan. Hal yang dilarang dan ditolak Tuhan adalah mencintai diri sendiri secara berlebihan, narsis memuja berlebihan, dan itu akan menjadi tanpa ujung dan bisa tak habis-habisnya. Mengendalikan diri demi untuk mewujudkan kasih kepada sesama adalah pilihan orang Kristen. Hakekat Kristiani adalah pengorbanan. Tidak ada arti dan makna yang lebih dalam dari KASIH di dalam bahasa Indonesia yang berarti BERI. Kasih artinya memberi. Memberi artinya berkorban dan tidak menuntut bagian dan kepentingan kita. Apabila kita belum mampu memberi, maka bisa dengan meminjamkan yang kita punyai (Kel. 22:25; Mzm. 37:26; Mat. 5:42). Kalau kita meminjam maka segeralah lunasi atau mengembalikannya tanpa membuat orang lain susah dan menderita (band. Mat. 7:12). Firman Tuhan mengatakan, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh. 3:18).

 

 

 

Mungkin kita memiliki penilaian diri yang tidak tinggi, tetapi tidak mungkin membiarkan diri kita kelaparan. Baju yang kita pakai pun mungkin bisa sederhana saja. Kita juga pasti marah apabila seseorang mencoba menghancurkan rumah tangga kita, sebab kita mengasihi anak-anak kita. Semua ini adalah kasih yang kita butuhkan untuk sesama. Oleh karena itu pastikanlah bahwa ada ukuran plafon atau atap di atas kepala kita, agar kita tidak narsis dan besar kepala mencintai diri sendiri dengan berlebihan. Kita perlu melihat apakah tetangga kita cukup makan bergizi, mereka memiliki pakaian yang layak, atau tempat tinggal yang layak huni? Apakah kita peduli dengan masalah ketidakadilan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat? Atau, apakah kita tergerak bilamana ada sebuah bencana sosial terjadi di wilayah tertentu dan tergerak memberikan sumbangan? Mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri berarti kita secara aktif terlibat dan terbeban terhadap kebutuhan mereka agar tercukupi secara minimal. Hal yang menarik dari kehidupan, justru mereka yang memberi perhatian lebih banyak pada orang lain dibanding kepada dirinya sendiri, sangat jarang menderita rasa harga diri yang rendah. Ada kebanggaan, optimisme dan percaya diri. Maka, wujudkanlah kasih itu sepanjang kita bisa (Yoh. 13:34; Kol. 3:14). Dengan mewujudkan kasih seperti itu, maka kita telah menjalankan hukum Taurat.

 

 

 

Kedua: Kasih adalah kegenapan hukum Taurat (ayat 10)

 

Allah mengasihi umat-Nya dengan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Dalam perjalanan keluar itu, Allah memberikan pedoman hidup berupa hukum Taurat bagi bangsa Israel, agar mereka tetap selamat dan bebas merdeka, dan seluruh umat manusia juga ikut diselamatkan melalui keteladanan bangsa itu. Hukum itu diturunkan melalui Musa dan itulah yang mereka pakai selama ribuan tahun. Inti hukum Taurat adalah “Sepuluh Perintah Allah” yang pada bagian pertama mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (perintah kesatu hingga keempat) dan hubungan manusia dengan sesamanya (perintah kelima sampai kesepuluh). Uraian rinci atas sepuluh perintah itu tersebar dalam kitab Keluaran, Bilangan, Imamat dan Ulangan, serta beberapa penegasan dan tambahan dalam kitab-kitab para nabi dan kitab puisi dan Mazmur. Namun kemudian oleh para ahli Taurat dan pemimpin Yahudi, mereka mengembangkan hukum-hukum sedemikian rupa yang lebih kepada kepentingan mereka sendiri, bukan mengutamakan kepentingan Allah; hukum Taurat lebih dilihat sebagai kewajiban mutlak tanpa ada hakekat hikmat dan kasih. Hal ini dapat kita lihat pada aturan persembahan harus tidak bercacat yang mengakibatkan hewan dijual di depan Bait Allah (Mat. 21:12), pembayaran persepuluhan hingga dari hasil tanaman di halaman (Mat. 23:23), beribadah harus ke Yerusalem, dan sebagainya yang menghilangkan makna kasih sejati Allah.

 

 

 

Padahal, sangat jelas hukum Taurat diberikan bukan bermaksud membatasi kebebasan manusia, melainkan sebagai kaidah moral dan rohani untuk menjaga agar mereka tidak masuk dalam bahaya jeratan Iblis. Kita juga tahu betapa mudahnya untuk memaafkan kelalaian kita terhadap orang lain demi semata-mata karena kita merasa tidak memiliki kewajiban untuk menolong mereka; bahkan membenarkan tindakan kita untuk menyusahkan orang lain apabila secara legal hal itu memungkinkan. Sebagai orang berdosa kita akan lebih mudah memaafkan dan membenarkan diri sendiri. Padahal, kalau dilihat Im. 19:18 sebagai sumber awal nas ini, inti dan hakekat hukum Taurat adalah kasih, kasih kepada Allah dan kepada sesama, sebagaimana diungkapkan, "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Perintah kasih kepada sesama ini merupakan lanjutan dari hakekat pertama hukum Taurat, yakni: "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu" (Ul. 6:5). Kedua hakekat hukum inilah inti dari semua kaidah-kaidah itu dan kemudian ditegaskan kembali oleh Tuhan Yesus di dalam Perjanjian Baru (Mat. 22:37-40; Mrk. 12:30-31; Luk. 10:27).

 

 

 

Perjanjian Baru mengatakan Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8). Hukum Taurat adalah ekspresi sifat Allah dalam bentuk perintah positif dan perintah larangan/negatif (band. Kej. 2:17; 1Kor. 13:4-6; dan lainnya). Dengan demikian, prinsip hukum dalam kehidupan orang Kristen harus mengikuti hukum kasih yang melampaui hukum moralitas dunia, hukum adat dan hukum negara. Tuhan Yesus menetapkan kasih dan tidak meninggalkan celah kelemahan di dalam hukum kasih itu. Setiap saat kasih dibutuhkan, kita harus berusaha melewati persyaratan hukum-hukum legal dunia dan meniru kasih Allah (band. Yak. 2:8,9; 4:11 dan 1Pet. 2:16,17). Hal ini wajar, sebab tujuan hukum hanya dua, yakni ketertiban dan keadilan. Oleh karena hukum Allah pada hakekatnya adalah kasih, maka apa yang ditulis dalam hukum Taurat pada dasarnya untuk tujuan ketertiban/keberaturan dan keadilan yang berdasarkan kasih. Jadi, meski ada hukuman dalam sistem hukum Taurat, pada dasarnya itu untuk jalan menuju kebaikan dengan tujuan pertobatan. Memang untuk mencegah dampak yang lebih luas, seseorang yang melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum Taurat dapat dihukum mati. Dalam hal ini kita melihat kasih diutamakan bagi mereka yang masih setia agar mereka tidak terjerat dalam perbuatan jahat serupa.

 

 

 

Ketiga: Menanggalkan perbuatan kegelapan (ayat 11-12a)

 

Rasul Paulus menekankan pentingnya kasih kepada Allah dan sesama diwujudkan segera dan saat ini. Perbuatan kasih tidak boleh ditunda-tunda, sebagaimana hutang harus dibayar dengan segera. Konsepnya bukan "time is money" tetapi "time is love". Setiap kesempatan dimanfaatkan untuk menyatakan kasih, sekecil apa pun wujudnya, seperti pemberian senyum bagi semua orang yang kita temui. Segala keengganan dan kelesuan harus dibuang, apalagi kesombongan. Demikian juga dengan aturan-aturan yang membuat kita harus terhalang mengungkapkan kasih. Kisah orang Samaria yang murah hati dapat kita ambil sebagai contoh, bagaimana seorang imam berjalan turun dari Yerusalem ke Yerikho dan di tengah jalan ia melihat seseorang tergeletak terluka korban perampokan. Imam tersebut melewatinya begitu saja karena berpikir ia akan najis bila tubuhnya kena darah; orang Lewi juga melewatinya begitu saja karena berpikir orang tersebut mungkin berpura-pura terluka dan punya rencana jahat. Keduanya sama sekali tidak terpikir dan tergerak untuk menolong korban itu. Namun yang dilakukan oleh orang Samaria sungguh penuh kasih; ia berhenti dan menolong, membawa korban itu ke penginapan, dan bahkan mengobatinya (Luk. 10:25-35). Itulah kasih yang tidak boleh ditunda.

 

 

 

Rasul Paulus mengatakan bahwa waktu sudah sangat sempit sehingga jangan lalai dan terlelap, melainkan harus bangun dan sigap. Waktu sisa yang sempit diekspresikannya dengan mengaitkan pada kedatangan Tuhan Yesus untuk kedua kalinya. Kalau kita melihat peristiwa kenaikan Tuhan Yesus sekitar tahun 33M dan surat ke jemaat di Roma ini ditulis sekitar tahun 55 – 57 M, maka sebenarnya waktunya baru sekitar dua puluhan tahun saja. Namun ia sudah berkata, “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang.” Istilah siang di sini jelas berarti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Ini juga yang dimaksudkan dalam kalimat "Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita daripada waktu kita menjadi percaya." Meski kenyataannya bahwa Yesus tidak datang pada masa itu dan bahkan saat ini, hal itu tidak berarti bahwa hal yang disampaikan Paulus tidak benar atau bohong. Kita melihatnya dari dua sisi: pertama, Paulus merindukan secara pribadi kedatangan Yesus kembali dan ingin melihat Tuhannya itu kembali saat ia masih hidup, dan itu harus menjadi sikap kita sebagai orang Kristen. Setiap orang Kristen harus mengatakan sebagaimana Doa Bapa Kami: “datanglah kerajaan-Mu” dan “jadilah kehendak-Mu”. Faktor kedua, Rasul Paulus mengambil istilah malam dalam nas ini berarti masa saat itu adalah masa yang sangat jahat ketika semakin banyak orang melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan, dan hal itu sangat mengganggu hatinya untuk secepatnya berlalu.

 

 

 

Hal yang cukup menarik dari firman minggu ini adalah kasih dihubungkan dengan perbuatan kegelapan. Kita juga heran dengan daftar yang dibuat oleh Rasul Paulus yakni perselisihan dan kecemburuan disejajarkan dengan dosa-dosa yang nyata-nyata berat, seperti pesta pora, mabuk, dan kemerosotan moral seksual. Hal ini tidak mengherankan sebagaimana Tuhan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit, Rasul Paulus juga menekankan sikap dan perbuatan sama pentingnya, dan kecenderungan yang membuat seseorang jatuh lebih dalam lagi, lebih baik dicegah meski harus dikorbankan sumbernya. Mata yang membuat dosa maka mata bila perlu dicungkil atau tangan yang menyesatkan lebih baik dipotong (Mat. 5:29-30). Ini sama seperti kebencian bisa mengarah pada pembunuhan, kecemburuan menuju keributan, dan nafsu menuju perzinahan, sehingga dosa sikap disejajarkan dengan perbuatan. Pokok penting yang bisa kita tangkap dari firman ini adalah, ketika Tuhan Yesus kembali, Dia ingin agar murid-murid hidup di dalam kasih dan menanggalkan kegelapan. Mereka yang hidup terlepas dari kasih dan masuk ke dalam kegelapan membuat jauh dari kekudusan. Kasih, sebaliknya, membuat seseorang tetap dalam terang dan berjalan di dalam kekudusan serta kekudusannya di bagian luar sama dengan di dalam (hatinya).

 

 

 

Keempat: Tuhan Yesus sebagai perlengkapan senjata terang (ayat 12b-14)

 

Rasul Paulus memahami bahwa hidup di dunia untuk melawan kegelapan bukanlah hal yang mudah. Kelemahan tubuh dan daging dan kemampuan iblis menggoda membuat setiap manusia lemah, mudah terjerat dan tidak lepas dari kegelapan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa tidak cukup untuk melawannya dengan kemampuan roh manusia dengan keterbatasan emosional dan pikiran, tapi perlu kekuatan dari luar dirinya. Dalam suratnya kepada jemaat Korintus dituliskan, "Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng" (2Kor. 10:3-4). Dalam surat kepada jemaat di Efesus, ia kemudian menuliskan, "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis.... Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri.... (Ef. 6:11, 13). Senjata Allah yang disebutkan adalah: berdiri tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kaki berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; mempergunakan perisai iman untuk memadamkan semua panah api dari si jahat; menerima ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dan bertekun dalam segala doa dan permohonan (Ef. 6:14-17).

 

 

 

Bagaimana kita mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang? Pertama, hendaklah kita dipersatukan dengan Kristus melalui baptisan, seperti dikatakan firman, "Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus" (Gal. 3:27). Ini memperlihatkan tanda kebersamaan kita seperti umat Kristen lainnya dalam kematian, penguburan, dan kebangkitan Yesus Kristus. Kedua, kita bertekun di dalam pengetahuan dan pemahaman firman. Firman bukanlah semata-mata kata-kata, melainkan memiliki kuasa untuk mengubah hidup seseorang. Ketiga, kuasa Roh Kudus yang kita miliki melalui pengakuan iman dan baptisan serta di dalam firman yang hidup, akan terus menerus berusaha meneladani Tuhan Yesus di dalam kehidupan kita di dunia ini, yakni di dalam kasih, kerendahan hati, kebenaran dan pelayanan. Artinya, kita berusaha melakukan peran (role-play) yang sama seperti yang dilakukan Kristus dahulu pada situasi kita saat ini (Ef. 4:24-32; Kol. 3:10-17). Orang Kristen sekarang diminta menjadi "anak-anak siang" yakni sifat dan perbuatan yang sesuai dengan dekatnya Kerajaan Allah (Ef. 5:14; 1Tes. 5:6, 10; Yak. 5:8; 1Yoh. 2:18)

 

 

 

Dengan perlengkapan senjata terang di dalam Kristus, maka tidak mudah lagi bagi kita mengikuti keinginan nafsu dalam setiap kesempatan untuk membawa kita ke dalam dosa. Namun ada hal yang perlu kita perhatikan dalam nas ini, yakni pemakaian senjata terang hanya efektif bekerja terus menerus apabila kita terlebih dahulu meninggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan. Artinya, ada roh pertobatan dan kerinduan dalam hati seseorang untuk datang kembali kepada Tuhan. Senjata terang hanya akan bekerja efektif apabila senjata itu berada di tangan yang percaya dan terang di dalam Kristus, sebab apabila tidak setia, maka senjata itu tidak akan efektif pemakaiannya. Ketaatan dan komitmen orang percaya adalah bukti kasih kepada Allah. Bilamana masih kuat hasrat yakni emosi dan motivasi untuk menyenangkan tubuh dan daging dan merawatnya, maka pembaharuan dan penyucian tidak akan berhasil. Keinginan ke dalam kegelapan akan membuka pintu memuaskan keinginan dosa. Oleh karena itu, tetaplah dalam sikap waspada (band. Luk. 12:35; Mat. 24:42-44).

 

 

 

Penutup

 

Kehendak Allah yang disampaikan Rasul Paulus bagi orang percaya adalah pikiran kita harus terus menerus dibaharui dan ini perlu dilakukan dengan benar. Kasih Allah yang sudah diberikan kepada kita berupa keselamatan harus dikembalikan dengan mengasihi Allah dan khususnya diwujudkan kepada sesama manusia. Untuk itu pelaksanaan kasih tidak boleh berpura-pura dan menarik keuntungan dari kasih yang diberikan. Pemahaman kasih ini sangat penting, sebab kasih adalah kegenapan hukum Taurat dan menjadi hukum utama di dalam kehidupan orang percaya. Untuk dapat mewujudkan kasih dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu meninggalkan dunia lama yakni menanggalkan segala kegelapan, sehingga kasih yang kita lakukan tersebut benar-benar adalah tulus dan bagian dari kasih kita kepada Allah. Kita harus memberi garis pemisah antara kebenaran dan kejahatan, antara hidup lama dengan hidup baru. Hal ini perlu dilakukan segera dan saat ini, sebab waktunya sudah sempit yakni datangnya Tuhan Yesus kembali. Melalui komitmen, kita memerlukan senjata-senjata agar tidak terperosok lagi di dunia kegelapan itu. Oleh karenanya, senjata-senjata terang yang paling ampuh dan efektif adalah bersumber dari Kristus. Mari kita renungkan: Bagaimana kasih nyata di dalam hidupku? Apakah kasihku berpura-pura, tertunda dan kudus? Apakah aku memakai senjata terang dari Kristus?

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 3 September 2023

Kabar dari Bukit

 

KESEMPATAN DIPANGGIL MELAYANI (Kel. 3:1-15)

 

 ”Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?” Kel. 3:3)

 

 

 

Jika ditanya apakah kita ingin bertemu dengan Tuhan? Maka yang terbayang pertama adalah kematian. Padahal, bertemu Tuhan saat Ia ingin menampakkan diri-Nya untuk tujuan tertentu, ada banyak bentuknya, seperti melalui mimpi, malaikat, urim dan tumim, undi, teofani kasat mata, nubuat, mukjizat, yang semua itu adalah wahyu umum. Namun Allah juga menampakkan diri-Nya melalui Pribadi Yesus Kristus dan Alkitab, sebagai wahyu khusus bagi kita orang percaya. (Selengkapnya bisa membaca buku saya Mengenal Alkitab Kita yang tersedia di Tokopedia.)

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Kel. 3:1-15. Ini kisah Musa yang dipanggil untuk membawa umat Israel keluar dari Mesir. Saat itu Musa dalam pelarian karena membunuh orang Mesir. Lalu ia bertemu jodohnya dan menjadi seorang gembala kambing domba mertuanya (ay. 1).

 

 

 

Musa pernah hidup di istana menjadi anak angkat putri Firaun, kini merasakan hidup sebagai orang biasa saja. Namun, rencana Tuhan baginya tetaplah berjalan. Ia tetap memiliki rasa kepedulian yang tinggi - tampak saat membela orang Israel yang dianiaya dan para wanita yang diganggu saat memberi minum kambing domba gembalaan mereka (Kel. 2:11-14, 17). Ia memiliki rasa ingin tahu, rendah hati, setia dan pekerja keras yang bertahan 40 tahun sebagai gembala. Semua ini menjadi teladan bagi kita.

 

 

 

Allah memanggil Musa dengan menampakkan diri-Nya melalui semak duri yang menyala, meski tidak dimakan api (ay. 2). Musa pun diminta mendekat dan menanggalkan kasut kakinya. Ini pertanda hadirat Tuhan penuh kekudusan, yang mesti kita jaga dalam menjalani hidup.

 

 

 

Respon Musa sangatlah umum, sama seperti kita kalau diberi tugas. Ia merasa tidak percaya diri (3:11), berdalih bangsa Israel tidak akan percayanya (4:1), tidak pandai bicara (4:10), dan ujungnya Musa meminta agar orang lain saja yang diutus (4:13).

 

 

 

Namun Tuhan mengenal Musa sama seperti Dia mengenal kita semua. Tuhan tidak mau berdebat, melainkan memberi dukungan dan jalan keluar. Pertama, Allah mengenalkan diri sebagai “Aku adalah Aku”, yang berarti tidak ada batasan atas diri-Nya (ay. 14). Ia Maha Kuasa dan peduli akan penderitaan manusia (ay. 7), terlebih kepada mereka yang telah diikat-Nya dengan janji (ay. 15).

 

 

 

Kedua, Allah memberi jaminan dalam memberi tugas. Firman-Nya, “Bukankah Aku akan menyertai engkau? Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini” (ay. 12). Musa juga diberdayakan dengan tongkat sebagai alat untuk memperlihatkan kuasa Tuhan menyertainya (Kel. 4:1-3).

 

 

 

Ketiga, Allah membangun rasa saling percaya dan ketaatan. Tunduk dan kesetiaan bukanlah kelemahan, melainkan sikap hormat. Janji Tuhan kepada Abraham, Ishak dan Yakub tetap dipenuhi, Musa membawa umat-Nya yang tertindas ke suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madu (ay. 8). Demikianlah Musa siap masuk ke dalam pelayanan dan berhasil.

 

 

 

Dr. J. Robert Clinton dalam bukunya Pembentukan Pemimpin Sejati mengatakan, tugas pelayanan adalah tugas dari Allah yang menguji kesetiaan dan ketaatan seseorang untuk menggunakan talentanya dalam sebuah tugas yang memiliki awal, akhir, pertanggungjawaban dan evaluasi. Ini berbeda dengan pengalaman pelayanan yang sifatnya bukan ujian. Ada 19 karunia rohani yang merupakan kapasitas unik untuk menyalurkan kuasa Roh Kudus ke dalam pelayanan; dan ini hanya dapat ditemukan melalui pengalaman praktis.

 

 

 

Hidup ini kesempatan, selain dijalani dengan bersyukur, perlu diisi dengan melayani Tuhan dan sesama. Bila saat ini diri kita belum merasa dipanggil, bangunlah rasa ingin tahu seperti Musa. Allah akan menampakkan diri-Nya dengan cara yang unik bagi setiap orang. Buka hati yang siap untuk dipakai-Nya. Dalam tugas pelayanan, kita tidak perlu takut meski jalannya mungkin akan susah, sebab Allah menyertai kita dan tidak membiarkan kita sendirian apalagi jatuh tergeletak (Mzm. 37:24). Semua akan indah pada waktunya, Musa dimuliakan saat berbicara dengan Tuhan Yesus, tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi di Yerusalem (Luk. 9:30-31).

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah 2 Minggu Kelimabelas setelah Pentakosta - 10 September 2023

Khotbah 2 Minggu XV setelah Pentakosta - 10 September 2023

 

 MENASIHATI SESAMA (Mat. 18:15-20)

 

 ”Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat. 18:18)

 

 

 

Beberapa waktu lalu seseorang mempertanyakan dan sekaligus menegur temannya di grup WA. Tentu sudah dapat diduga, keriuhan pun terjadi. Ada yang memprovokasi, dan ada yang dengan tenang membela dan menyarakan agar ditanyakan dahulu seluk beluknya. Bersyukur, masalah dianggap selesai di WA. Tetapi sisa dalam hati dan ingatan sulit diduga, dan lazimnya waktulah yang dapat menghapusnya. Pertolongan Roh Kudus tentu dapat mempercepat pemulihannya.

 

 

 

Firman Tuhan hari Minggu ini dari Mat. 18:15-20, diberikan kepada kita sebagai bekal kehidupan tentang menasihati sesama saudara. Ketika ada orang lain berbuat kesalahan atau kekhilafan, kita cenderung menilai dan merasa orang itu perlu dinasihati dan bahkan dihukum. Tetapi perlu diingatkan bahwa mungkin saja orang tersebut bertindak dengan alasan tertentu, kondisional. Atau, cara kita melihatnya yang salah dan tidak sama, baik sumber informasinya atau analisisnya. Lagian, kita bukanlah dia. Siapa sih yang suka dinilai buruk dan dihakimi? Dampaknya bagi semua, merusak dan melelahkan pikiran. Dan perlu berefleksi, mungkin kita juga tidak lebih baik.

 

 

 

Melakukan kesalahan itu manusiawi. Kisah di Alkitab tatkala orang-orang ingin menguji Tuhan Yesus tentang perempuan yang berzina, dan menurut hukum Musa harus dilempari dengan batu. Tetapi Tuhan Yesus membungkuk dan menuliskan dengan jari-Nya di tanah, dan kemudian berkata: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (Yoh. 8:7). Ternyata semua orang pergi, karena merasa mereka juga melakukan dosa dan kesalahan. Tuhan Yesus kemudian berkata kepada perempuan itu: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh. 8:10-11).

 

 

 

Nas minggu ini pesannya jelas. Bila ada orang lain berbuat kesalahan atau berdosa, tetaplah peduli, jangan cuek. Tapi bicaralah empat mata dalam kasih. Minta dan cari informasi selengkapnya. Jika kita merasa memang ada yang salah, nasihati; dan bersyukurlah bila ia menerimanya. Tetapi bila orang itu mengeyel, tidak bersedia dinasihati, Alkitab mengajarkan, bawalah saksi lainnya, bisa dua atau tiga orang. Jika orang itu masih mengotot dan terus merasa benar, maka bawalah masalah tersebut kepada jemaat (ayat 15-17a). Tentu ini konteks masalah gerejawi. Jika beda konteksnya, bawalah kepada organisasi. Alangkah lebih bagus, berdiskusilah dahulu dengan ahli dalam bidangnya, terutama pada hamba Tuhan yang terpercaya.

 

 

 

Bila masalah hanya di antara dua orang, janganlah mengotot membawa ke luar. Lebih baik mengalah. Alkitab mengatakan, orang yang mengalah akan lebih diberkati. Abraham mengalah kepada keponakannya Lot dengan memberi pihan pertama (Kej. 13:7-9). Daud mengalah kepada Saul dan tidak mau menghukumnya (1Sam. 24:1-10). Yesus mengalah kepada orang-orang yang menyakiti-Nya. Ternyata yang mengalah lebih diberkati. Jadi tidak perlu merasa rendah diri, tetapi yang benar kita merendahkan hati. Penulis terkenal Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale dalam bukunya The Power of Ethical Management mengatakan: “People with humility don’t think less of themselves. They just think about themselves less” (Orang dengan kerendahan hati tidak menganggap rendah dirinya. Mereka hanya kurang memikirkan diri mereka sendiri). Dan tidak seorang pun dapat merendahkan diri kita tanpa izin kita.

 

 

 

Mereka yang tidak mau dinasihati, maka jauhkan diri darinya. Anggaplah mereka tidak mengenal Allah atau pemungut cukai (ayat 17b). Bila itu merupakan tempat atau perkumpulan, tinggalkan saja dan kebaskanlah debu dari kakimu (Mat. 10:14-15). Lepaskan, jangan menjadi beban dan ganjalan dalam hati dan pikiran, apalagi sampai terbawa mati. Nasihat minggu ini jelas: “Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga (ayat 18).

 

 

 

Hidup dibuat sederhana saja. Tuhan menginginkan damai sejahtera bagi setiap orang yang mengikuti-Nya. Capailah kesepakatan meski tidak harus sepakat. Bila sepakat, maka haleluya, sebab firman minggu ini berkata, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (ayat 19-20). Duh, enaknya dan senangnya.

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah 1 Minggu Keempatbelas setelah Pentakosta - 3 September 2023

 Khotbah 1 Minggu Keempatbelas setelah Pentakosta – 3 September 2023

 

 JALAN SALIB (Mat. 16:21-28)

 

 

 

Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24).

 

 

Saya menyukai memilih tema khotbah Minggu sesuai leksionari, sebab ada metode dan urutan sesuai kalender gereja. Denominasi gereja-gereja besar umumnya mempunyai acuan global, seperti Lutheran, Methodist, Calvin dan bahkan Katholik. Saya dan Pdt. Charles Sitorus di Perkumpulan Gaja Toba tiap hari memakai referensi leksionari dari Vanderbilt, yang juga dipakai GKI, sehingga saya tidak kesulitan memilih lagu di malam hari sebelum renungan pagi diposting.

 

 

 

Nas minggu ini bagi kita sesuai leksionari dari Mat. 16:21-28, mengungkapkan “Pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat mengikut Dia.” Kita tahu nubuatan-Nya benar, Yesus menderita dan mati di kayu salib. Dan entah mengapa nas tiga minggu ini cocok dengan urutan bab dalam buku John Stott, Why I am a Christian. Dalam bab 3 buku tersebut ia menuliskan tentang Salib Kristus, setelah bab 1 tentang Anjing Pemburu dan bab 2 tentang Penyataan Yesus Kristus yang dibahas minggu-minggu lalu.

 

 

 

Selain ajaran dan teladan-Nya yang unggul dan istimewa penuh kasih, sepanjang sejarah, Yesus memang satu-satunya pemimpin agama yang mati untuk orang lain dan di kayu salib. Kita tahu Sang Buddha meninggal di usia 80 tahun dan Nabi Muhammad di usia 62 tahun dan keduanya meninggal karena sakit. Musa meninggal di usia 120 tahun dan Konfusius di usia 72 tahun karena usia tua. Hanya Yesus yang mati atas kehendak-Nya sendiri dan di usia muda dengan pelayanan 3,5 tahun saja, tetapi memiliki pengikut terbesar di dunia.

 

 

 

Menurut John Stott, jalan salib dipilih Yesus dengan tiga penjelasan dari Alkitab. Pertama, Dia mati untuk menebus dosa-dosa kita. Mulai kitab Kejadian pasal 2:17 sampai ke kitab Wahyu pasal 21:8, dosa dan kematian sering dipertukarkan dan disatukan. Perjanjian Lama penuh dengan konsep penebusan melalui pengganti kematian melalui korban persembahan. Secara alami dosa dan kematian adalah bagian manusia, dan “upah dosa adalah maut” (Rm. 6:23). Adam dan Hawa berdosa, maka mereka diusir dan mati. Kita berdosa, maka kita mati. Dan puncaknya adalah Kristus mati di kayu salib, sebagai pengganti dan penebusan dosa-dosa kita.

 

 

 

Kedua, Kristus mati untuk menunjukkan karakter Allah. Melalui kematian Kristus, Allah menyatakan keadilan dan kasih-Nya kepada semua. Yesus tidak berdosa tapi Ia mati. Ayub mempertanyakan (kadang kita juga), mengapa orang jahat lebih maju dan mengapa yang tidak bersalah selalu menderita? Jawabannya adalah pembuktian theodicy, yaitu pembelaan atas keadilan Allah, pembenaran bagi umat manusia yang kelihatannya seperti ketidakadilan Allah. Alkitab menjawab hal ini dengan mengatakan adanya penghakiman terakhir di masa mendatang, tatkala semua yang tidak benar akan dibenarkan. Hal lainnya, ketiadaan tindakan Allah di hadapan kejahatan bukanlah karena perbedaan moralnya, namun karena kesabaran yang ditahan-Nya sampai Kristus datang kedua kali. Maka tetaplah percaya dan bersabarlah.

 

 

 

Ketiga, Kristus mati untuk menaklukkan kuasa kejahatan. Kristus mati di kayu salib lalu dikuburkan, tetapi bangkit di hari ketiga. Salib kini bukan lagi sebagai simbol kutuk melainkan simbol kebangkitan dan kemenangan. Melalui jalan salib, Kristus menjadi “Allah yang disalib” sesuai pernyataan filsuf Nietzsche, tetapi hal itu justru menyatakan kredibilitas-Nya. “Kemenangan, penaklukan, sukacita besar, kekuatan besar menjadi kosa kata pengikut Kristus”, tulis John Stott. Kita bangga dan hormat serta tidak pernah malu atas kematian Yesus di kayu salib. Alkitab menuliskan, ”Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, dimanakah sengatmu?” (1Kor. 15:54b-55; Yes. 25:8).

 

 

 

Jalan salib telah dipilih Yesus. Salib dipilih gereja sebagai simbol Kekristenan: bukan palungan, tahta, atau burung merpati. Maka diingatkan John Stott yang mengutip Gustav Aulen, kita orang Kristen jangan terlalu menekankan tema kemenangan dan melupakan tema penebusan dan penyataan-Nya. Jalan pengorbanan adalah pilihan kita untuk menyatakan kasih kepada Tuhan dan sesama. Marilah kita tidak seperti Petrus yang dicela Yesus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (ayat 23).

 

 

 

Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (ayat 24). Perlu kita ketahui, nilai dari pemberian kasih diukur dari pengorbanan sang pemberi, dan tingkatan penerima memang layak menerimanya. Bagaimana, apakah kita sudah layak menerima kasih-Nya? Apakah kita sudah sepenuh hati mengikut Dia dan ikut memikul salib-Nya dengan memberi yang terbaik dari hidup kita untuk menyenangkan-Nya? “Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya (ayat 27). Bersiaplah.

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 607 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7412728
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
55843
61324
165494
7204198
447590
1386923
7412728

IP Anda: 108.162.226.186
2024-11-21 22:52

Login Form