Sunday, November 24, 2024

Khotbah 2 Minggu Ketigabelas setelah Pentakosta - 27 Agustus 2023

Khotbah 2 Minggu Ketigabelas setelah Pentakosta - 27 Agustus 2023

 

 PERSEMBAHAN YANG HIDUP DAN YANG BENAR (Rm. 12:1-8)

 

 Bacaan lainnya: Kel. 1:8-2:10 atau Yes. 51:1-6; Mzm. 124 atau Mzm. 138; Mat. 16:13-20

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Banyak orang memahami ibadah dalam arti yang terbatas, seperti berdoa, menghadiri kebaktian di gereja, bersaksi dan menyanyikan pujian, atau memberikan uang persembahan. Umat Yahudi juga demikian halnya, mereka lebih menekankan penyerahan korban persembahan sebagai ritual yang rutin saja dan melupakan makna dari ibadah itu, yakni adanya penyesalan dan perubahan melalui pertobatan hati. Oleh karena itu melalui nas minggu ini, firman Tuhan menekankan arti sebenarnya dari persembahan.  Pesan Ilahi ini memberi kita perspektif yang lebih luas tentang makna ibadah yang benar dan sejati serta berkenan kepada Allah. Hal ini didasari bahwa semua hidup kita adalah kemurahan Allah semata dan meski kita diberi karunia rohani, semua itu adalah untuk kemuliaan-Nya. Nas minggu ini memberi kita pengajaran sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Ibadah sejati dan persembahan tubuh (ayat 1)

 

Ketika di hari Minggu berjalan ke gereja, kalau ada yang bertanya kepada kita: "Mau kemana?" Biasanya kita akan menjawab: “Mau ke gereja” atau “Mau beribadah.” Maka jawaban itu dianggap benar dan logis. Tapi ketika di hari kerja pagi-pagi kita berjalan mau ke kantor, ada yang bertanya: mau kemana? Kemudian kita menjawab: “Mau beribadah”, maka orang yang bertanya itu akan mengira kita sedang teler, miring. Atau seorang istri ditanya suaminya: “Ke pasar mau ngapain?” Lalu istrinya menjawab: “Mau beribadah”, maka pasti istrinya dikira salah makan obat atau kemasukan roh jahat. Demikianlah kiranya pengertian umum ibadah dibuat sedemikian sempit hanya ketika mengikuti prosesi keagaamaan saja. Memang kata ibadah atau ibadat yang berasal dari bahasa Arab menurut KBBI adalah upacara keagamaan atau segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keseimbangan hidup, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta. Sementara di dalam bahasa asli Alkitab (Yunani), kata latreia (kata benda) yang diterjemahkan ibadah atau latreuein, memiliki arti bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji. Pengertian latreuein ini kemudian berkembang, dan bisa juga berarti sikap tunduk dan hormat seorang hamba kepada tuannya. Ini didasari kasih dan diungkapkan dengan sikap membungkukkan badan atau ciuman tangan (bahasa Ibrani mengunakan kata abodah yang berarti sama yakni sikap tanda hormat dengan membungkukan badan seorang hamba). Hal inilah yang dijelaskan Rasul Paulus bahwa ibadah sejati sebenarnya adalah lebih luas, tidak hanya kehadiran dan sikap hormat dalam prosesi saja, melainkan penyerahan seluruh tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Sikap ini dikaitkan dengan pelayanan sepenuh hati dan mengabdikan hidupnya kepada pekerjaan itu, dengan pengertian pekerjaan itu disadari sebagai penugasan dari Allah, dan disyukuri kepada Allah, maka pekerjaan itu berarti beribadah.

 

 

 

Bagi umat Israel, memberi persembahan sangat penting dan menjadi kewajiban mutlak pada saat upacara korban syukur, korban nazar atau penebusan karena berbuat dosa dan kesalahan. Umat Israel ketika mempersembahkan korban persembahan berupa hewan sesuai dengan ketentuan hukum Taurat, maka imam akan menyembelih dan memotong-motongnya menjadi beberapa bagian dan menempatkan daging korban itu di atas mezbah. Namun umat Israel menganggap persembahan korban itu sebagai sesuatu yang ritual saja, seolah-olah menaati hukum legalistik semata. Padahal Perjanjian Lama menuliskan dengan jelas bahwa ketaatan hati adalah lebih penting (1Sam. 15:22; Mzm. 40:7; Hos. 6:6; Amos. 5:22-24). Melalui ketaatan dan ketekunan hati sebenarnya Allah menginginkan persembahan hidup kita, bukan korban hewan semata sebagai persembahan ritual. Ketaatan hati ini dilakukan dengan menjauhkan diri dari keinginan daging, setia mengikut Dia, dan mempersembahkan seluruh sumber daya dan energi kita bagi kemuliaan-Nya (1Kor. 6:20; 1Pet. 2:5, 11), serta percaya kepada-Nya yang memimpin hidup setiap hari.

 

 

 

Oleh karenanya umat Kristen tidak perlu lagi mempersembahkan korban hewan sebagai penebus atau penghapus dosa dan kesalahan, sebab Yesus Kristus telah menjadi korban persembahan penebus segala dosa dan kesalahan kita. Kita diminta mempersembahkan seluruh kehidupan sehari-hari kita kepada Allah, itulah yang sebenarnya ibadah sejati. Pengertian ini sejalan dengan firman Tuhan yang disampaikan dalam Kol. 3:23, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." Maka apabila kita bekerja di kantor, melayani di gereja, bekerja di rumah, bahkan menyapu rumah, memasak, memandikan anak, dan lainnya, semua merupakan ibadah yang berkenan kepada Allah. Yang penting, dalam melakukan semua itu kita tetap dalam rasa syukur, menjaga kekudusan hidup dengan menjauh dari perbuatan jahat, mengikuti nafsu dan kedagingan. Hidup orang Kristen harus diisi dengan tindakan tulus ikhlas yang berkenan kepada Allah sebagai pelayanan, seperti membantu mereka yang dalam kesusahan, sebagaimana dituliskan: "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia" (Yak. 1:27).

 

 

 

Kedua: Jangan serupa dengan dunia (ayat 2-3)

 

Allah itu baik, menyenangkan hati dan mempunyai rencana yang indah bagi anak-anak-Nya. Firman Tuhan mengatakan untuk bisa seperti itu maka kita harus berubah melalui pembaharuan budi, tidak serupa dengan dunia ini. Firman Tuhan mengatakan kita harus berubah (yang berasal dari kata morfe) dalam proses yang terus-menerus, menekankan kepada bentuk, hakekat, dan kedalaman. Allah menginginkan kita sebagai pribadi yang berubah dengan roh dan pikiran yang baru, hidup dengan penuh hikmat dan mematuhi-Nya. Semuanya diperlukan karena Dia ingin memberikan yang terbaik kepada kita, sebagaimana Dia telah menyerahkan Anak-Nya untuk membuat hidup kita penuh terbuka bagi berkat, dan menyerahkan dengan penuh sukacita hidup kita sebagai persembahan yang hidup untuk dipakai melayani-Nya. Dalam perubahan itu kita jangan menjadi serupa dengan dunia ini. Kata "serupa" diambil dari schema yang berarti tidak konsisten, atau mengikuti arus dunia, lingkungan, seperti bunglon, tidak teguh. Orang Kristen jelas dipanggil agar teguh konsisten dan tidak menjadi serupa dengan pola kehidupan dunia ini, yang umumnya perilaku dan kebiasaannya mementingkan diri sendiri dan sering mengambil keuntungan dari orang lain meski itu tidak haknya.

 

 

 

Melalui perubahan yang terus menerus, kita semakin baik dalam membedakan hal yang sesuai dengan kehendak Allah dan berkenan kepada Allah. Tanpa pembaharuan budi, maka kehendak Allah tidak mudah kita kenali. Kita perlu mendalami dan menjaga nilai-nilai dan prinsip-prinsip utama Kekristenan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Banyak orang Kristen dengan bijaksana memutuskan perilaku duniawi kebanyakan yang jelas bertentangan dengan firman Allah. Penolakan mereka terhadap ikut arus nilai-nilai dunia ini, dengan menjauh keluar dari perilaku dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan pembaharuan budi. Contoh, kalau kita di lingkungan yang banyak suka minum-minum sampai mabuk, atau orang-orang yang suka memakai narkoba, lingkungan penjahat, tanpa keinginan dan tujuan yang pasti dan kuat, maka nilai-nilai kita pun akan terpengaruh dan tergerus yang akibatnya kita akan terikut dan menjadi jauh dari Tuhan. Oleh karena itu pengertian kudus dalam ayat 1 di atas adalah sesuatu yang tepat, yakni "diasingkan", khusus, berbeda, tidak sama, atau spesifik; Meski kudus juga dapat diartikan sebagai tidak bercela, tidak penuh dosa, dan menjaga tahir. Oleh karenanya, sangat mungkin bagi kita untuk menghindar dari kebiasaan umum dunia ini, seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, membanggakan diri sendiri, tamak, bahkan sombong. Kita hanya perlu meminta Roh Kudus membaharui, mendidik kembali, dan mengarahkan kembali akal dan berpikir kita dengan sunguh-sungguh sehingga dapat membedakan hal baik dan sempurna (Ef. 4:23; Ef. 5:17).

 

 

 

Harga diri yang sehat memang sangat penting, sebab banyak di antara kita berpikir kerdil tentang diri sendiri, meski di lain pihak kita juga jangan melebih-lebihkan (overestimate) terhadap kemampuan kita. Di sini yang ditekankan adalah jangan memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari yang patut kita pikirkan. Kita harus menguasai diri menurut iman. Kuncinya kita perlu bersifat jujur dan melakukan evaluasi yang tepat akurat tentang kemampuan dan kelebihan dasar kita, sekaligus melihat kelemahan dan kekurangan, dengan mengacu tetap di dalam Kristus. Sebab apabila terpisah dari Kristus, kita tidak mampu dan bisa terjebak dengan banyaknya standar dunia yang dapat diikuti, dan standar dunia ini adalah jahat (Kis. 2:40; Gal. 1:4; 1Yoh. 5:19). Mengevaluasi diri sendiri dengan cara standar dunia atau kesuksesan dan pencapaian dapat menyebabkan kita berpikir terlalu besar dan terlalu berharga di mata orang lain, akan tetapi justru mengabaikan nilai yang sebenarnya di mata Tuhan. Padahal, di dalam Kristus kita tetap mempunyai nilai dan kemampuan yang berharga dalam melayani Dia. Hal lainnya adalah menerima diri sendiri dengan rasa syukur serta berpendirian, semua berasal dari Allah. Ini yang dimaksudkan dengan ukuran iman sesuai pengenalan diri sendiri. Flp. 2:13 berkata, "karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya". Jangan iri terhadap orang lain, sebab bertukar posisi itu belum tentu lebih baik dan membahagiakan. Mungkin kita pernah mendengar tentang kisah suami istri yang naik mobil mewah saling berdiam diri, dibanding sepasang suami istri berjalan kaki dan bergandengan tangan di tengah derasnya hujan.

 

 

 

Ketiga: Banyak anggota dengan tugas berbeda (ayat 4-6a)

 

Rasul Paulus menggunakan konsep tubuh manusia untuk mengajar orang Kristen untuk hidup dan bekerja bersama-sama. Sama seperti seluruh bagian tubuh berfungsi karena diperintah otak, demikian juga orang Kristen harus bekerja bersama di bawah kendali dan perintah Yesus Kristus (1Kor. 12:12-31: Ef. 4:1-16). Allah membekali kita karunia rohani untuk membangun gereja-Nya. Untuk menggunakan dengan efektif, maka kita memerlukan hal sebagai berikut:

 

  1. Menyadari bahwa semua karunia rohani berasal dari Allah;
  2. Memahami bahwa tidak semua orang memiliki karunia rohani yang sama;
  3. Mengenal siapa diri kita dan apa yang terbaik untuk diberikan;
  4. Mempersembahkan karunia itu bagi Tuhan dan bukan untuk kepentingan dan keberhasilan diri sendiri;
  5. Bersedia memakai karunia rohani itu dengan sepenuh hati untuk pelayanan kepada Tuhan, bukan menahan atau menyia-nyiakannya.

 

 

 

Karunia rohani berbeda di dalam sifat, kekuatan, dan efektifitasnya sesuai dengan hikmat dan keluwesan, dan itu bukan semuanya berdasarkan iman. Peran kita adalah tetap setia dan mencari cara dan jalan melayani-Nya melalui apa yang telah diberikan-Nya. Karunia rohani yang ada semua dalam satu tubuh gereja dan rinciannya merupakan anggota-anggota saja. Dalam Roma 12 ini disebutkan tujuh karunia rohani dan yang lebih lengkap ada di beberapa surat Rasul Paulus lainnya (Kis 21; 1Kor 11-14; Ef 4; dan lainnya). Dalam khotbah Minggu Pentakosta tentang Ada Rupa-Rupa Karunia, Tetapi Satu Roh (1Kor. 12:3b-13) disebutkan adanya 18 karunia rohani yang dibagi dalam tiga katagori, yakni:

 

  • Karunia rohani melalui perkataan atau berbicara, terdiri dari 7 karunia;
  • Karunia rohani melayani dan memberi, terdiri dari 6 karunia;
  • Karunia rohani untuk membuat mukjizat, terdiri dari 5 karunia.

 

 

 

Semua karunia dilengkapi oleh Roh Kudus dalam jemaat untuk membangun keluarga Allah dan menyatakan kasih Allah kepada orang lain (1Kor; 12:4-7; 1Kor; 14:12; 1Pet; 4:10).

 

 

 

Allah memberi karunia dan talenta kepada kita bukan untuk disalahgunakan. Ingatlah firman Tuhan yang berkata tentang talenta (Mat. 25:14 dab) yang kemudian pada ayat 30 ditutup Tuhan Yesus dengan berkata, “Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi." Karunia rohani dipakai sebagai berkat dan terang sebagaimana dikatakan dalam firman-Nya, "Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu” (Mat. 5:15). Hal yang penting dalam memakai karunia rohani yang diberikan, kita jangan sombong. Kita tidak boleh seperti jemaat di Korintus yang mengutamakan karunia-karunia yang paling dirasakan hebat dan penuh tanda-tanda. Mereka lebih menonjolkan kehebatan karunia yang mereka punyai, tanpa ingin mengetahui rencana Allah memberi karunia-karunia itu. Mereka meniru upacara-upacara kafir yang penuh dengan ritual “keanehan” demi untuk mendapatkan perhatian dan keistimewaan. Oleh karena itu, perlu pengendalian diri yang berdasar pada pengenalan diri dan pengenalan tujuan pemakaian karunia rohani tersebut. Mari kita kenali diri kita dan karunia yang Tuhan berikan, kemudian kita pakai, dan lihat yang belum dikembangkan dan menjadi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

 

 

 

Keempat: Prinsip penerapan karunia-karunia rohani (ayat 6b-8)

 

Apabila kita memeriksa daftar karunia rohani yang diberikan dalam nas ini yakni tujuh karunia rohani, dan kita dapat membayangkan beragam manusia yang memilikinya dengan sifat yang berbeda-beda, misalnya:

 

Seorang nabi yang bernubuat seringkali berbicara dengan berani dan mengalir bersambung;

 

·         Hamba Tuhan yang terlibat dalam pelayanan lebih memperlihatkan keteguhan dan kesetiaannya;

 

·         Guru lebih memperlihatkan kemampuan berpikir dengan jernih dan netral;

 

·         Konselor memperlihatkan kemampuan dalam memotivasi orang lain;

 

·         Pemberi yang suka membagi-bagikan melakukannya dengan murah hati dan penuh kepercayaan;

 

·         Pemimpin mempertunjukkan cara mengorganisasi kelompok dan mengelola dengan baik;

 

·         Mereka yang memperlihatkan belas kasihan dan kepedulian kepada orang lain adalah mereka yang bisa memberi waktunya dengan sukacita.

 

 

 

Jadi jelas, dari tujuh daftar karunia rohani itu, sangat sulit membayangkan semua itu ada pada satu orang! Nabi atau pengkhotbah (1Kor. 14:1-3) yang tegas dan retorik umumnya bukanlah konselor atau gembala yang baik; orang yang bermurah hati biasanya mudah gagal menjadi pemimpin yang baik.

 

 

 

Ketika kita mengenal dan mengidentifikasi karunia rohani yang ada di dalam diri kita dari delapan belas yang ada dalam daftar khotbah Minggu Pentakosta tersebut, maka bertanyalah kepada Tuhan dan diri sendiri: bagaimana agar kita dapat menggunakannya dengan baik bagi kemaslahatan gereja dan keluarga Allah? Pada saat yang sama, kita perlu menyadari bahwa karunia rohani yang kita miliki tidak dapat bekerja sendiri, melainkan memerlukan dukungan karunia rohani yang lain. Untuk itu kita pantas berterima kasih kepada mereka yang memiliki karunia rohani yang berbeda, sebab dapat melengkapi pelayanan yang kita miliki. Biarkanlah kekuatan kita menutupi kelemahan orang lain, dan kekuatan orang lain menutupi kelemahan dan kekurangan kita, dan sekaligus kita bersyukur atas hal itu.  Karunia rohani jangan dibuat menjadi kuasa rohani, menyebabkan persaingan, berpikir mereka merasa "lebih rohani" atau bahkan memiliki hak otoritas tertentu yang lebih tinggi. Sikap kita tetap sebagai orang yang tidak layak memperoleh karunia itu, namun Allah membuat kita demikian berharga.

 

 

 

Prinsip dalam mempersembahkan hidup melalui karunia rohani adalah selalu dalam kebersamaan dengan orang lain yang membuat melayani Tuhan lebih baik. Semua dilakukan dengan sepenuh hati dalam semangat pelayanan pengabdian. Bernubuat melalui berkhotbah atau menceritakan tentang Tuhan Yesus semua dilakukan dengan iman yang teguh, bukan mengutarakan ramalan-ramalan apalagi tentang waktu pasti kedatangan Yesus kedua kali. Itu sangat spekulatif dan tidak didasari iman yang benar. Jika kita hendak membagi-bagikan sesuatu, maka lakukan dengan ikhlas; Jika memimpin kelompok atau organisasi, maka lakukan dengan rajin; dan apabila memberi kemurahan dan berkat, maka dijalankan dengan sukacita. Pelayanan karunia rohani orang percaya tidak dibatasi lagi oleh tempat seperti pelayanan atau ibadah umat Yahudi yang dijalankan hanya di Bait Allah, tetapi kita orang percaya menjalankan ibadah kita di setiap tempat dan di setiap waktu. Dalam ibadah umat Israel, binatang hidup yang dimatikan namun dalam ibadah orang percaya, tubuh yang sudah mati karena dosa justru dihidupkan sebagai persembahan yang kudus dan berkenan kepada Allah. Tubuh orang percaya kini adalah bait Allah (1Kor. 3:16-17; 2Kor. 6:16; Ef. 2:22).

 

 

 

Penutup

 

Melalui nas minggu ini kita disegarkan kembali tentang pemahaman ibadah sejati melalui persembahan tubuh sebagai persembahan yang hidup. Kita tidak disempitkan lagi dengan pengertian bahwa persembahan hanyalah di tempat-tempat prosesi saja, tetapi justru seluruh kegiatan kehidupan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kita perlu menjaga dan mempertahankan tubuh kita sebagai tubuh yang kudus sebagai Bait Allah, dengan cara tidak serupa dengan dunia ini. Hal itu hanya dapat dicapai dengan berubah oleh pembaharuan budi, sehingga kita terus dimampukan untuk membedakan yang baik dan sempurna. Dunia ini dan iblis sering menggoda untuk menawarkan seolah-olah lebih tinggi dari kemampuan dan batasan karunia yang diberikan Allah, sehingga perlu untuk mengenal diri sendiri dan menguasai diri menurut ukuran iman. Setiap orang diberi sejumlah karunia rohani sebagai dasar persembahan, namun itu memerlukan karunia lain bagi gereja dan keluarga Allah, sehingga perlu kesadaran akan pentingnya orang lain dengan karunia berbeda untuk mensinergikan kemampuan dalam mencapai tujuan Kerajaan Allah. Kita masing-masing anggota tubuh Kristus diberi tugas yang berbeda dan saling melengkapi. Semua karunia itu dipakai dan bukan disembunyikan atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, melainkan dipakai dan dikembangkan dengan prinsip ikhlas, rajin, sungguh-sungguh, dan penuh sukacita. Dengan demikian tubuh dan hidup kita menjadi persembahan yang sempurna dan ibadah kita menjadi ibadah sejati yang kudus dan berkenan kepada Allah. Mari kita renungkan, apakah hidup kita telah kita persembahkan seluruhnya kepada-Nya?

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 13 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7551133
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
4243
65942
4243
7247234
585995
1386923
7551133

IP Anda: 162.158.163.208
2024-11-24 19:22

Login Form