Tuesday, December 03, 2024

2023

Khotbah 2 Minggu Keempatbelas setelah Pentakosta - 3 September 2023

 Khotbah 2 Minggu Keempatbelas setelah Pentakosta – 3 September 2023

 

 

HIDUP DALAM KASIH DAN BUKAN PEMBALASAN (Rm. 12:9-21)

 

 Bacaan lainnya: Kel. 3:1-15 atau Yer. 15:15-21; Mzm. 105:1-6, 23-26, 45c atau Mzm. 26:1-8; Mat. 16:21-28

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Allah melengkapi karunia rohani kepada setiap orang percaya, dan penggunaannya memerlukan dasar yang kokoh agar tidak berbelok kepada kepentingan diri sendiri. Dasar itu hanya ada pada kasih, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama yang merupakan inti pengajaran Kristiani. Nas minggu ini tentang kasih sebagai pengajaran terhadap jemaat di Roma dan merupakan penggambaran sisi lain dalam 1Kor. 12-13, yakni mahkota karunia rohani adalah kasih. Allah memberikannya kepada kita karena kasih-Nya dan kita pun menggunakannya karena kasih. Dalam nas minggu ini juga diberikan makna kasih yang lebih dalam, bukan larangan dalam bentuk kepura-puraan, atau bukan pula terbatas hanya kepada pengertian sesama saja, tetapi juga pengertian kasih kepada yang membenci kita atau musuh. Inilah cara hidup orang percaya sebagai salah satu keunggulan ajaran Kristus yang merupakan pembaharuan ajaran mata ganti mata, gigi ganti gigi. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran bagaimana hidup di dalam kasih sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Kasih tidak pura-pura dan memberi hormat (ayat 9-10)

 

Banyak dari kita mempunyai kemampuan untuk mengasihi orang lain dengan berpura-pura, seperti berusaha berbicara dengan ramah dan sopan, menghindari persoalan karena takut perasaan orang lain terluka, atau mencoba mencari perhatian dan pujian dari teman kita berbicara. Bahkan mungkin juga kita ahli bersikap pura-pura menunjukkan belas kasihan ketika orang lain membutuhkan sesuatu, seolah ingin membantu tapi berujung hanya manis di bibir; atau kita pura-pura ikut merasa geram ketika orang lain menceritakan sebuah ketidakadilan. Akan tetapi melalui firman minggu ini, Allah meminta kita agar mengasihi dengan tulus dan nyata serta jauh dari sikap berpura-pura dan kesopanan semata. Karunia rohani yang diberikan kepada kita sejatinya dipakai untuk mewujudkan kasih kepada sesama, bukan hanya dalam perkataan tapi juga dalam perbuatan (Yak. 1:22). Kasih yang tulus memerlukan perhatian serius dan usaha, yang bagi orang lain menjadi berarti dan merasa lebih baik. Keterlibatan seperti itu jelas membutuhkan waktu, hati, bahkan materi. Oleh karenanya kasih tidak dapat dilakukan dengan berpura-pura, sebab itu merupakan sikap topeng kemunafikan (band. 2Kor. 6:6; 1Tim. 1:5).

 

 

 

Sikap berpuara-pura juga dapat menjadi kejahatan, yakni menipu diri sendiri sekaligus mendustai orang lain. Kasih adalah sikap timbal balik yakni kita terima dari Allah dan kita berikan kepada Allah melalui sesama manusia. Pengertian kasih yang dipakai dalam nas ini merupakan kasih dalam hubungan keluarga, hubungan sesama yang erat, bukan kasih agape yang merupakan hubungan Allah dengan manusia. Oleh karenanya sikap kasih itu harus saling menghormati, sejajar sebagai saudara. Akan tetapi kita perlu cermati sebab kita juga bisa menghormati orang lain dengan dua cara: Pertama, terlibat dengan cara yang tersembunyi. Misalnya, kita bersikap manis terselubung kepada pimpinan untuk mengharapkan imbalan atau penghargaan darinya; pada karyawan bawahan agar mereka mau bekerja lebih keras; atau kepada orang kaya agar mereka memberi sumbangan yang lebih besar; atau kepada orang yang berkuasa atau memiliki jabatan supaya bisa kita manfaatkan atau agar tidak memusuhi kita. Cara kedua adalah yang dinyatakan Allah, kasih yang tulus, tidak pura-pura, dan berwujud nyata (1Tes. 4:9; Ibr. 13:1; 1Pet. 1:22). Sebagai orang Kristen, kita menghormati orang lain sebab mereka diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, mereka adalah saudara-saudara kita di dalam Kristus, dan mereka diciptakan secara unik untuk memberi kontribusi yang unik dalam pelayanan gereja bersama.

 

 

 

Pertanyaannya, apakah kita mengasihi dengan cara Allah ini susah dilakukan? Atau, menghormati orang lain itu kita anggap mengganggu kepentingan kita dalam penonjolan kehebatan diri? Kita ingat firman Tuhan yang berkata, "Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?" (1Kor. 4:7). Padahal, lebih mudah memenangkan orang lain dengan memberinya rasa hormat.  Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri (Flp. 2:3). "Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah" (1Pet. 2:17a). Kita tidak boleh memperlakukan orang lain jauh di bawah kita. Yesus Kristus memperlihatkan dan mengajarkan bahwa kita haruslah memperlakukan semua orang dengan penuh hormat, kepada mereka yang berbeda kedudukan dan latar belakang, mereka yang memiliki keterbatasan, miskin, muda dan tua, laki-laki atau perempuan.  Kita diminta terus melakukan hal yang baik dan menjauhi yang jahat dan bukan untuk mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia (Mzm. 97:10; 1Tes. 5:21, 22). Bahkan, diingatkan, kalau tidak hati-hati, karunia rohani dan berkat yang telah kita terima dapat membawa kita pada kesombongan atau kemalasan dengan alasan kesibukan-kesibukan.

 

 

 

Kedua: Melayani dengan roh menyala-nyala (ayat 11-12)

 

Kasih adalah landasan kedua gereja setelah landasan pertama sekaligus sebagai batu penjuru yakni Yesus Kristus. Penggunaan karunia rohani akan semakin efektif bila dasarnya adalah kasih, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Dengan landasan itu, tidak ada lagi alasan untuk bermalas-malas atau menikmati karunia rohani untuk kepentingan diri sendiri. Di dalam persekutuan gereja-Nya, kita wujudkan kasih sebagai hubungan timbal-balik antara sesama dan dengan Allah. Kristus telah mempersatukan kita dalam rencana-Nya untuk menjadi saksi dan teladan. Oleh karenanya, kita tetap harus bersemangat dan kerajinan kita tidak kendor dalam melayani-Nya. Semangat dan kerajinan yang kendor seseorang biasanya terjadi karena dia tidak memahami arti dan tujuan yang dilakukannya. Apabila memahaminya, maka biasanya akan tetap semangat dan berusaha untuk tetap mempertahankan ritme semangatnya. Seseorang yang mengejar kekayaan maka akan tetap semangat dalam berbisnis. Seseorang yang mengejar keilmuan maka akan terus semangat belajar hingga mencapai puncak yakni bergelar Profesor. Tetapi itu semua tujuan duniawi. Maka apabila kita memahami tujuan hidup kita adalah masuk sorga, maka kita akan tetap taat dan semangat melayani Tuhan.

 

 

 

Dalam melayani Tuhan kita diminta bukan sekedar rajin tapi juga dengan roh yang menyala-nyala. Maksudnya, semangat itu bermula dari diri kita untuk memiliki keinginan yang kuat melakukan sesuatu. Ketika roh kita yang bersemangat itu dipadukan dengan Roh dari Tuhan, maka semangat yang kita miliki semakin berkobar-kobar. Kata bahasa Inggris dalam hal ini adalah enthusiastic yang berasal dari en = di dalam dan theos = Tuhan. Jadi pengertian enthusiastic atau antusias bersemangat itu sebenarnya hanya ada ketika kita melakukannya bersama dengan Tuhan, yakni roh kita dipersatukan dalam sinergi dengan Roh Tuhan. Semua dapat terjadi jika kita memiliki pengharapan yang pasti yakni jaminan masuk sorga dan mendapatkan mahkota kemenangan dari Allah. Dengan demikian, kita juga melakukannya dengan sukacita, yakni sukacita pengharapan di dalam Tuhan. Bersikap malas dalam hal ini menjadi perasaan bersalah, sebab tidak menghargai waktu dan karunia yang Tuhan berikan. Apabila kita tidak memiliki semangat itu, maka kita perlu memohon pertolongan Roh Allah agar cara berpikir kita diubah sesuai dengan akal budi yang dikehendaki Tuhan (Rm. 12:2).

 

 

 

Perlu kita sadari bahwa Allah tidak menjamin seluruh pelayanan kita memiliki jalan yang mulus. Adakalanya situasi dan lingkungan yang menantang datang dan apabila kita sudah dipanggil masuk dalam tugas itu, seperti penginjilan di wilayah susah, berhadapan dengan orang-orang sulit dan pemarah disertai kekerasan, kelelahan fisik, atau menderita sakit karena hal yang tidak bisa kita lihat dengan mata duniawi faktor penyebabnya, maka dalam hal ini kita masuk dalam kesesakan. Namun kita tidak perlu langsung menyerah menghadapi situasi demikian, melainkan melalui firman ini kita diminta sabar. Ada yang mengatakan kesabaran adalah jalan tol untuk mengetahui dan melakukan kehendak Allah. Kesabaran pada diri sendiri dalam hal ini diperlukan sebagai pengharapan, dan kesabaran untuk Allah sebenarnya adalah iman. Iman membawa kita kepada salib, kasih mengikatnya kepada jiwa kita, dan kesabaran membawa semua itu kepada akhirnya. Yang bisa menolong kita dalam sikap bersabar adalah doa (Luk. 18:1; Ibr. 10:36), sebab melalui doa kita terus dikuatkan, kita berhubungan terus dengan Allah, sehingga ada yang mengatakan doa yang terbesar adalah kesabaran. Untuk tidak masuk ke dalam panggilan iblis, maka kita perlu belajar firman Tuhan. Membaca dan merenungkan setiap hari isi Alkitab ketika dalam kesesakan, akan sangat menolong mengetahui kehendak Allah yang sebenarnya, dan dengan demikian kita akan merasakan semua demi kemuliaan Tuhan.

 

 

 

Ketiga: Menjadi berkat bagi sesama dengan sukacita (ayat 13-16)

 

Kebaikan dan keramahtamahan Kristiani berbeda dengan perbuatan membuat senang atau menghibur orang lain, seperti mengundang teman-teman ke rumah untuk pesta bersenang-senang. Menyenangkan orang lain secara sosial berpusat pada tuan rumah, seperti mempersiapkan rumah dengan baik dan apik, makanan harus disiapkan dengan beragam dan melimpah, dan tuan rumah harus tampil elegan dengan berpenampilan bagus. Sementara kebaikan dan keramahtamahan Kristiani berpusat pada tamu, khususnya yang menumpang menginap, jadi bukan pada tuan rumah. Nas minggu ini menekankan hal itu, yakni agar kita berusaha membantu hamba-hamba Tuhan dan penginjil (dalam masa itu disebut sebagai orang-orang kudus) untuk menumpang sementara (1Tim. 3:2; 5:10; Ibr. 13:2). Perhatian terhadap kebutuhan mereka sebagai tamu, seperti tempat yang layak untuk tinggal, tersedianya makanan sehat, kesediaan mendengarkan, penerimaan yang sukacita, adalah hal yang utama. Keramahtamahan tetap dapat terwujud di dalam rumah yang berantakan, di tengah meja makan yang hanya menyediakan lauk pauk sederhana, bahkan lebih terwujud jika tuan rumah dan tamu dapat melakukan tugas bersama. Jangan kita enggan untuk menawarkan keramahtamahan karena kita terlalu capek, sibuk atau tidak merasa cukup kaya dan mampu untuk menjamu tamu.

 

 

 

Memang ada kalanya tamu yang datang bersikap "ngelunjak" atau tidak tahu diri. Kita bukannya mendapatkan balasan kasih (atau ucapan terima kasih) dari membuka diri, melainkan memperoleh omelan atas kekurangan atau bahkan menyebarkan fitnah jahat. Dalam hal ini kita yang berbuat baik jangan menghapusnya dengan balasan, tapi berkatilah mereka (1Pet. 4:9). Rasul Paulus melalui nas ini menekankan agar kita lebih baik hidup dalam harmoni keseimbangan dengan orang lain, dan selalu merasa sukacita bergabung dengan setiap orang. Dalam berhubungan sosial, mungkin banyak orang menggunakan kenalan atau hubungan yang ada untuk kepentingan diri sendiri atau ambisi pribadi. Mereka memilih teman dan pergaulan yang bisa bermanfaat membantu, dengan maksud bisa dijadikan sebagai anak tangga atau mengangkat status mereka. Namun panggilan kita bukanlah demikian. Kita ada untuk orang lain yang membutuhkan, itu prinsip orang Kristen. Untuk itu, pertanyaannya: apakah kita cukup mampu untuk melakukan tugas-tugas yang biasa dan tampak rendah? Apakah kita bisa ikut dalam percakapan yang tidak menarik dengan orang-orang yang tidak penting? Apakah kita bersedia menerima pendatang baru dan pemula? Atau kita hanya berhubungan dengan mereka-mereka yang bermanfaat atau menguntungkan kita saja?

 

 

 

Dalam berbagi berkat dan sukacita kita perlu berhikmat, yakni melihat situasi secara jernih. Tatkala orang bersukacita, kita pun bersukacita, bukan malah iri hati atau cemburu. Tatkala orang susah, maka kita pun ikut merasakan dan menanggung kesusahan orang itu. Sudah menjadi hukum rohani kalau saat sukacita dibagikan, maka sukacitanya akan bertambah; dan apabila kesusahan dibagikan, maka kesusahannya juga berkurang. Bahkan bila orang lain menangis karena kesedihan dan penderitaan, maka kita ikut menangis sebagai jalan mengurangi beban yang kita kasihi (Ayb. 30:25; Yes. 5:21; Yer. 45:5). Maka mulailah berbagi dengan hidup berinteraksi dalam sebuah komunitas (termasuk gereja) dan rasakan hidup yang penuh makna. Melalui kehidupan komunitas, kita dituntut untuk sehati sepikir dalam hidup bersama, tidak merasa hebat atau pandai sendiri (Ams. 3:7), melainkan berusaha mencari pelayanan yang efektif melalui kelompok gereja untuk kehidupan luar gereja. Kita juga tidak diminta untuk memikirkan perkara-perkara yang terlalu tinggi, terjebak dalam teori atau diskusi-diskusi panjang lebar, tetapi justru diminta mengarahkan diri kepada perkara-perkara yang sederhana bagi mereka orang-orang kecil (Mat. 25:40; Yoh. 13:34-35). Lihat sekeliling kita, sekeliling gereja, pasti ada yang membutuhkan pertolongan. Maka mulailah mencari orang yang tepat untuk dikasihi secara pribadi dan ajaklah teman-teman orang percaya lainnya untuk mengasihi sebuah komunitas atau kelompok lainnya.

 

 

 

Keempat: Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan (ayat 17-21)

 

Nas minggu ini menyimpulkan inti pola hidup kekristenan: Jika kita mengasihi seseorang dengan cara Kristus mengasihi kita, maka kita akan bersedia mengampuni. Jika kita sudah merasakan berkat anugerah Kristus, maka kita akan menyalurkan berkat itu kepada orang lain. Perlu diingat, anugerah adalah sesuatu berkat yang kita tidak layak menerimanya, maka kita pun wajib menyalurkan berkat itu kepada mereka yang tidak layak menurut kita, yakni musuh kita (Mat. 5:44-45; Luk. 6:28-31). Nas minggu ini mengatakan kita harus mengasihi musuh kita dan bahkan memberinya makan dan minum. Dengan memberi makan dan minum kepada yang membenci kita, itu tidak berarti kita menyetujui perbuatan mereka yang salah. Kita hanya melihat mereka sebagai saudara sesama ciptaan Allah, memafkan mereka, dan mengasihi meskipun mereka adalah orang yang bersalah atau berdosa, sebagaimana Kristus memberikannya kepada kita. Pengampunan melibatkan sikap dan tindakan. Jika kita mengalami kesulitan dalam perasaan mengampuni, maka cobalah melakukannya dengan tindakan. Adalah sangat bagus bila kita berpikir bahwa sebuah tindakan bisa memulihkan hubungan kita dengannya. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pertolongan kecil atau bantuan tenaga, mengirimkan hadiah, atau tersenyum kepadanya. Banyak kejadian melalui tindakan-tindakan seperti itu akan memulihkan dan menutup perasaan yang sebelumnya terluka.

 

 

 

Memang di zaman sekarang ini orang lebih sering bertindak dengan dasar hukum keadilan dan gencarnya prinsip-prinsip hak asasi. Maka hal yang dituliskan oleh Rasul Paulus dalam nas ini seolah-olah menjadi sesuatu yang mustahil, yakni mengasihi musuh yang membenci atau menganiaya kita. Apabila seseorang membuat kita terluka atau perbuatan merugikan, maka Rasul Paulus mengatakan bukanlah kita membalasnya dengan sepadan.  Jangan mengutuk meski kita merasa dianiaya secara sosial. Demikian juga tatkala kita melakukan kesalahan yang kita anggap "biasa dan manusiawi", atau tanpa alasan yang jelas atau salah, lantas kita dianiaya secara fisik, maka tetaplah memberkati mereka dan hindari mengutuk. Bahkan, kalau bisa tetaplah berdamai dan jadikanlah mereka sebagai teman. Mengapa firman Tuhan ini meminta kita mengampuni musuh? Jawabannya: (1) pengampunan dapat memutus rantai pembalasan dan membangun hubungan rekonsiliasi. (2) pengampunan dapat membuat musuh kita merasa malu dan mengubah cara-cara yang dilakukan sebelumnya. (3) sebaliknya, membalaskan kejahatan dengan kejahatan hanya akan membuat musuh dan kita sendiri menanggung penderitaan dan rasa sakit, tidak menyembuhkan atau memulihkan penderitaan kita sendiri. Bahkan, bilamana musuh kita tidak memperlihatkan penyesalan atau pertobatan, tetaplah mengampuninya, tidak perlu mengingat-ingatnya kembali dengan prinsip the past belong to the past dan kita terbebas dari beban berat kepahitan.

 

 

 

Nas minggu ini menggunakan pepatah “menumpukkan bara api di atas kepalanya”. Ini mungkin terkait dengan kebiasaan orang Mesir di zaman itu, yakni bilamana seseorang menunjukkan penyesalan dan pertobatan atas tindakannya, maka ia akan membawa panci di kepalanya yang berisi arang yang menyala dan berjalan di hadapan umum. Melalui peribahasa ini, Rasul Paulus ingin mengatakan bahwa kita harus memperlakukan musuh kita dengan cara-cara yang baik dan tidak perlu langsung untuk menghukum mereka. Untuk menghukum, biarlah Tuhan saja yang melakukannya sebab itu adalah hak-Nya (Rm. 12:19; band. Ams. 20:22; Ibr. 10:30). Tugas kita adalah mengampuni, mengasihi dan bahkan menolong mereka bila perlu. Kita diajar Tuhan Yesus untuk tidak kalah terhadap kejahatan, bahkan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Dengan demikian, mereka menjadi malu dan kita berharap mereka berbalik dari perbuatan dosanya yang salah. Cara terbaik untuk menyingkirkan musuh adalah dengan membuat mereka sebagai teman. Kita selalu memiliki prinsip: musuh satu orang terlalu banyak dan teman seribu orang terlalu sedikit.

 

 

 

Penutup

 

Rasul Paulus melalui nas minggu ini mengulang sekaligus mendalami arti dan makna kasih dalam kehidupan orang percaya sebagai dasar dari penggunaan karunia rohani. Kasih adalah sebuah sikap dan berwujud nyata. Kasih tidak boleh dalam bentuk kepura-puraan. Kasih juga diwujudkan dengan menghormati orang lain tanpa ada kecenderungan tersembunyi atau merasa diri lebih tinggi. Dalam kerangka itu pelayanan karunia rohani harus dilakukan dengan roh yang menyala-nyala, penuh kerajinan yang tidak mudah kendor, dan itu dapat terwujud bila kita melakukannya bersama-sama dengan Roh Kudus. Roh manusia mudah goyah atau terombang-ambing oleh godaan iblis, tetapi jika kita mengetahui tujuan dari semua pelayanan karunia rohani adalah untuk memuliakan Allah, maka ritme pelayanan kita tidak akan mudah goyah. Dalam pelayanan kita juga diminta untuk selalu menjadi berkat bagi sesama, menolong orang lain, memberi tumpangan dan semua itu harus dilakukan dengan sukacita tanpa ada kepura-puraan, apalagi omelan dan keluhan. Dan yang paling utama, ketika kita menerima hujatan atau bahkan penganiayaan dari orang-orang yang membenci kita, janganlah kita membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi justru berbuat kebaikan untuk mereka sehingga kita berharap mereka menjadi malu dan bertobat. Inilah yang diminta dari kita sebagai murid Kristus, dan itu pasti bisa, sebab Kristus telah melakukannya sebagai teladan bagi kita.

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 27 Agustus 2023

Kabar dari Bukit

 

 DALAM PEMELIHARAAN ALLAH (Kel. 1:8-2:10)

 

 ”Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya, dan menamainya Musa, sebab katanya: "Karena aku telah menariknya dari air" (Kel. 2:10)

 

 Melalui Kitab Kejadian paling tidak ada empat kisah kehidupan yang menarik dan telah dijadikan renungan sebelumnya. Pertama adalah Abraham, yang dipanggil Tuhan berangkat menuju Tanah Kanaan. Kemudian lahirnya Ishak dan pencarian jodohnya. Yakub yang “penipu” hingga menjadi bapak 12 suku Israel. Terakhir Yusuf yang dijual menjadi budak, namun akhirnya menjadi pembesar di Mesir. Dari semua kisah itu, satu kesimpulan yakni adanya pemeliharaan Allah dalam kehidupan mereka.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu berbahagia ini adalah Keluaran 1:8-2:10. Ini kisah kelahiran Musa, nabi besar di tengah masa sukarnya bangsa Israel yang hidup di Mesir pasca kematian Yusuf. Firaun tidak menginginkan jumlah mereka semakin banyak sehingga dibuat aturan agar bayi laki-laki Israel yang lahir dibunuh, dan mereka yang sudah dewasa dipaksa kerja rodi dan ditindas (ay. 1:10-14).

 

 

 

Di tengah penderitaan tersebut Musa lahir. Sebenarnya Musa telah memiliki seorang abang dan kakak yakni Harun dan Miryam, dan jarak usianya cukup besar. Namun orang tuanya memilih menyelamatkan Musa dengan menyembunyikannya selama tiga bulan. Setelah khawatir ketahuan, ibu Musa membuat peti pandan dengan gala-gala dan ter, kemudian diletakkannya Musa dan dihanyutkan di tepi sungai Nil. Ibunya pun meminta Miryam untuk mengamati dari jauh jika ada yang mengambilnya (ay. 3-6).

 

 

 

Singkat cerita, putri Raja Firaun yang sedang mandi kemudian mengambil Musa. Atas saran Miryam, Musa kembali ke ibunya untuk disusui hingga besar (ay. 2:7-9). Musa yang dipilih Allah untuk membawa umat Israel keluar dari Mesir, akhirnya bertumbuh di tengah dua lingkungan yakni keluarga Israel dan istana.

 

 

 

Kita melihat adanya pemeliharaan Allah terhadap Musa. Kini pertanyaannya, apakah kita merasakan ada pemeliharaan Allah dalam hidup kita? Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan Allah dan bagaimana bekerjanya?

 

 

 

Menurut Dr. Hector Llanes dari Grand Canyon University, pemeliharaan Allah adalah pemeliharaan terhadap umat-Nya saat Ia membimbing mereka dalam perjalanan iman melalui kehidupan. Secara umum pemeliharaan Allah mengandung tiga unsur penting, yakni adanya pelestarian, penyediaan kebutuhan, dan pimpinan. Pemeliharaan Allah meliputi alam semesta maupun dalam pribadi manusia.

 

 

 

Tujuan pemeliharaan Allah adalah untuk menyelamatkan dan membentuk mereka menjadi sama seperti Yesus. Allah berdaulat untuk terus menopang, membimbing, dan merawat agar seturut dengan rencana-Nya yang tidak mungkin gagal. Oleh karena itu Allah dapat memilih dan menentukan siapa yang dipakai bagi kemuliaan-Nya (Rm. 8:28-29).

 

 

 

Untuk kita dapat ikut dalam pemeliharaan Allah, Dr. Hector Llanes mengatakan diperlukan tiga respons: Pertama, mengucap syukur kepada Allah atas kehidupan yang diberi dan dijalani. Apapun situasinya, Allah akan memulihkan dan menyelesaikan pekerjaan-Nya di dalam kehidupan anak-anak-Nya (Mzm. 104:27-31; Flp. 1:6).

 

 

 

Kedua, percaya dan meletakkan iman kita kepada Allah, sebagaimana orangtua Musa meletakkan iman mereka (Ibr. 11:23). Melalui iman ini Allah membimbing setiap langkah orang yang dikasihi-Nya, meski kadang melewati rintangan yang berat dan bahkan penderitaan (1Pet. 1:5-7; 1Kor. 10:13).

 

 

 

Dan respon ketiga, tetap bersukacita. Allah telah bersama kita dan diam di dalam hati kita melalui Roh Kudus (1Kor. 3:16). Kita telah diberi kuasa menjadi anak-anak-Nya (Yoh. 1:12-13). Allah meminta kita untuk tidak perlu khawatir dan berserah kepada-Nya (Mat. 6:26-29; 1Pet. 5:7). Oleh karena itu tidak ada alasan untuk takut dan khawatir, bahkan sampai merampas sukacita itu dari kita (Yoh. 16:22).

 

 

 

Kini, persiapkanlah diri dan terimalah melalui iman akan rencana-Nya. Sama seperti Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf dan Musa, Allah siap untuk memelihara hidup kita dan membuatnya menjadi bermakna, dan “senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2Kor. 9:8).

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah 2 Minggu Ketigabelas setelah Pentakosta - 27 Agustus 2023

Khotbah 2 Minggu Ketigabelas setelah Pentakosta - 27 Agustus 2023

 

 PERSEMBAHAN YANG HIDUP DAN YANG BENAR (Rm. 12:1-8)

 

 Bacaan lainnya: Kel. 1:8-2:10 atau Yes. 51:1-6; Mzm. 124 atau Mzm. 138; Mat. 16:13-20

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Banyak orang memahami ibadah dalam arti yang terbatas, seperti berdoa, menghadiri kebaktian di gereja, bersaksi dan menyanyikan pujian, atau memberikan uang persembahan. Umat Yahudi juga demikian halnya, mereka lebih menekankan penyerahan korban persembahan sebagai ritual yang rutin saja dan melupakan makna dari ibadah itu, yakni adanya penyesalan dan perubahan melalui pertobatan hati. Oleh karena itu melalui nas minggu ini, firman Tuhan menekankan arti sebenarnya dari persembahan.  Pesan Ilahi ini memberi kita perspektif yang lebih luas tentang makna ibadah yang benar dan sejati serta berkenan kepada Allah. Hal ini didasari bahwa semua hidup kita adalah kemurahan Allah semata dan meski kita diberi karunia rohani, semua itu adalah untuk kemuliaan-Nya. Nas minggu ini memberi kita pengajaran sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Ibadah sejati dan persembahan tubuh (ayat 1)

 

Ketika di hari Minggu berjalan ke gereja, kalau ada yang bertanya kepada kita: "Mau kemana?" Biasanya kita akan menjawab: “Mau ke gereja” atau “Mau beribadah.” Maka jawaban itu dianggap benar dan logis. Tapi ketika di hari kerja pagi-pagi kita berjalan mau ke kantor, ada yang bertanya: mau kemana? Kemudian kita menjawab: “Mau beribadah”, maka orang yang bertanya itu akan mengira kita sedang teler, miring. Atau seorang istri ditanya suaminya: “Ke pasar mau ngapain?” Lalu istrinya menjawab: “Mau beribadah”, maka pasti istrinya dikira salah makan obat atau kemasukan roh jahat. Demikianlah kiranya pengertian umum ibadah dibuat sedemikian sempit hanya ketika mengikuti prosesi keagaamaan saja. Memang kata ibadah atau ibadat yang berasal dari bahasa Arab menurut KBBI adalah upacara keagamaan atau segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keseimbangan hidup, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta. Sementara di dalam bahasa asli Alkitab (Yunani), kata latreia (kata benda) yang diterjemahkan ibadah atau latreuein, memiliki arti bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji. Pengertian latreuein ini kemudian berkembang, dan bisa juga berarti sikap tunduk dan hormat seorang hamba kepada tuannya. Ini didasari kasih dan diungkapkan dengan sikap membungkukkan badan atau ciuman tangan (bahasa Ibrani mengunakan kata abodah yang berarti sama yakni sikap tanda hormat dengan membungkukan badan seorang hamba). Hal inilah yang dijelaskan Rasul Paulus bahwa ibadah sejati sebenarnya adalah lebih luas, tidak hanya kehadiran dan sikap hormat dalam prosesi saja, melainkan penyerahan seluruh tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Sikap ini dikaitkan dengan pelayanan sepenuh hati dan mengabdikan hidupnya kepada pekerjaan itu, dengan pengertian pekerjaan itu disadari sebagai penugasan dari Allah, dan disyukuri kepada Allah, maka pekerjaan itu berarti beribadah.

 

 

 

Bagi umat Israel, memberi persembahan sangat penting dan menjadi kewajiban mutlak pada saat upacara korban syukur, korban nazar atau penebusan karena berbuat dosa dan kesalahan. Umat Israel ketika mempersembahkan korban persembahan berupa hewan sesuai dengan ketentuan hukum Taurat, maka imam akan menyembelih dan memotong-motongnya menjadi beberapa bagian dan menempatkan daging korban itu di atas mezbah. Namun umat Israel menganggap persembahan korban itu sebagai sesuatu yang ritual saja, seolah-olah menaati hukum legalistik semata. Padahal Perjanjian Lama menuliskan dengan jelas bahwa ketaatan hati adalah lebih penting (1Sam. 15:22; Mzm. 40:7; Hos. 6:6; Amos. 5:22-24). Melalui ketaatan dan ketekunan hati sebenarnya Allah menginginkan persembahan hidup kita, bukan korban hewan semata sebagai persembahan ritual. Ketaatan hati ini dilakukan dengan menjauhkan diri dari keinginan daging, setia mengikut Dia, dan mempersembahkan seluruh sumber daya dan energi kita bagi kemuliaan-Nya (1Kor. 6:20; 1Pet. 2:5, 11), serta percaya kepada-Nya yang memimpin hidup setiap hari.

 

 

 

Oleh karenanya umat Kristen tidak perlu lagi mempersembahkan korban hewan sebagai penebus atau penghapus dosa dan kesalahan, sebab Yesus Kristus telah menjadi korban persembahan penebus segala dosa dan kesalahan kita. Kita diminta mempersembahkan seluruh kehidupan sehari-hari kita kepada Allah, itulah yang sebenarnya ibadah sejati. Pengertian ini sejalan dengan firman Tuhan yang disampaikan dalam Kol. 3:23, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." Maka apabila kita bekerja di kantor, melayani di gereja, bekerja di rumah, bahkan menyapu rumah, memasak, memandikan anak, dan lainnya, semua merupakan ibadah yang berkenan kepada Allah. Yang penting, dalam melakukan semua itu kita tetap dalam rasa syukur, menjaga kekudusan hidup dengan menjauh dari perbuatan jahat, mengikuti nafsu dan kedagingan. Hidup orang Kristen harus diisi dengan tindakan tulus ikhlas yang berkenan kepada Allah sebagai pelayanan, seperti membantu mereka yang dalam kesusahan, sebagaimana dituliskan: "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia" (Yak. 1:27).

 

 

 

Kedua: Jangan serupa dengan dunia (ayat 2-3)

 

Allah itu baik, menyenangkan hati dan mempunyai rencana yang indah bagi anak-anak-Nya. Firman Tuhan mengatakan untuk bisa seperti itu maka kita harus berubah melalui pembaharuan budi, tidak serupa dengan dunia ini. Firman Tuhan mengatakan kita harus berubah (yang berasal dari kata morfe) dalam proses yang terus-menerus, menekankan kepada bentuk, hakekat, dan kedalaman. Allah menginginkan kita sebagai pribadi yang berubah dengan roh dan pikiran yang baru, hidup dengan penuh hikmat dan mematuhi-Nya. Semuanya diperlukan karena Dia ingin memberikan yang terbaik kepada kita, sebagaimana Dia telah menyerahkan Anak-Nya untuk membuat hidup kita penuh terbuka bagi berkat, dan menyerahkan dengan penuh sukacita hidup kita sebagai persembahan yang hidup untuk dipakai melayani-Nya. Dalam perubahan itu kita jangan menjadi serupa dengan dunia ini. Kata "serupa" diambil dari schema yang berarti tidak konsisten, atau mengikuti arus dunia, lingkungan, seperti bunglon, tidak teguh. Orang Kristen jelas dipanggil agar teguh konsisten dan tidak menjadi serupa dengan pola kehidupan dunia ini, yang umumnya perilaku dan kebiasaannya mementingkan diri sendiri dan sering mengambil keuntungan dari orang lain meski itu tidak haknya.

 

 

 

Melalui perubahan yang terus menerus, kita semakin baik dalam membedakan hal yang sesuai dengan kehendak Allah dan berkenan kepada Allah. Tanpa pembaharuan budi, maka kehendak Allah tidak mudah kita kenali. Kita perlu mendalami dan menjaga nilai-nilai dan prinsip-prinsip utama Kekristenan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Banyak orang Kristen dengan bijaksana memutuskan perilaku duniawi kebanyakan yang jelas bertentangan dengan firman Allah. Penolakan mereka terhadap ikut arus nilai-nilai dunia ini, dengan menjauh keluar dari perilaku dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan pembaharuan budi. Contoh, kalau kita di lingkungan yang banyak suka minum-minum sampai mabuk, atau orang-orang yang suka memakai narkoba, lingkungan penjahat, tanpa keinginan dan tujuan yang pasti dan kuat, maka nilai-nilai kita pun akan terpengaruh dan tergerus yang akibatnya kita akan terikut dan menjadi jauh dari Tuhan. Oleh karena itu pengertian kudus dalam ayat 1 di atas adalah sesuatu yang tepat, yakni "diasingkan", khusus, berbeda, tidak sama, atau spesifik; Meski kudus juga dapat diartikan sebagai tidak bercela, tidak penuh dosa, dan menjaga tahir. Oleh karenanya, sangat mungkin bagi kita untuk menghindar dari kebiasaan umum dunia ini, seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, membanggakan diri sendiri, tamak, bahkan sombong. Kita hanya perlu meminta Roh Kudus membaharui, mendidik kembali, dan mengarahkan kembali akal dan berpikir kita dengan sunguh-sungguh sehingga dapat membedakan hal baik dan sempurna (Ef. 4:23; Ef. 5:17).

 

 

 

Harga diri yang sehat memang sangat penting, sebab banyak di antara kita berpikir kerdil tentang diri sendiri, meski di lain pihak kita juga jangan melebih-lebihkan (overestimate) terhadap kemampuan kita. Di sini yang ditekankan adalah jangan memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari yang patut kita pikirkan. Kita harus menguasai diri menurut iman. Kuncinya kita perlu bersifat jujur dan melakukan evaluasi yang tepat akurat tentang kemampuan dan kelebihan dasar kita, sekaligus melihat kelemahan dan kekurangan, dengan mengacu tetap di dalam Kristus. Sebab apabila terpisah dari Kristus, kita tidak mampu dan bisa terjebak dengan banyaknya standar dunia yang dapat diikuti, dan standar dunia ini adalah jahat (Kis. 2:40; Gal. 1:4; 1Yoh. 5:19). Mengevaluasi diri sendiri dengan cara standar dunia atau kesuksesan dan pencapaian dapat menyebabkan kita berpikir terlalu besar dan terlalu berharga di mata orang lain, akan tetapi justru mengabaikan nilai yang sebenarnya di mata Tuhan. Padahal, di dalam Kristus kita tetap mempunyai nilai dan kemampuan yang berharga dalam melayani Dia. Hal lainnya adalah menerima diri sendiri dengan rasa syukur serta berpendirian, semua berasal dari Allah. Ini yang dimaksudkan dengan ukuran iman sesuai pengenalan diri sendiri. Flp. 2:13 berkata, "karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya". Jangan iri terhadap orang lain, sebab bertukar posisi itu belum tentu lebih baik dan membahagiakan. Mungkin kita pernah mendengar tentang kisah suami istri yang naik mobil mewah saling berdiam diri, dibanding sepasang suami istri berjalan kaki dan bergandengan tangan di tengah derasnya hujan.

 

 

 

Ketiga: Banyak anggota dengan tugas berbeda (ayat 4-6a)

 

Rasul Paulus menggunakan konsep tubuh manusia untuk mengajar orang Kristen untuk hidup dan bekerja bersama-sama. Sama seperti seluruh bagian tubuh berfungsi karena diperintah otak, demikian juga orang Kristen harus bekerja bersama di bawah kendali dan perintah Yesus Kristus (1Kor. 12:12-31: Ef. 4:1-16). Allah membekali kita karunia rohani untuk membangun gereja-Nya. Untuk menggunakan dengan efektif, maka kita memerlukan hal sebagai berikut:

 

  1. Menyadari bahwa semua karunia rohani berasal dari Allah;
  2. Memahami bahwa tidak semua orang memiliki karunia rohani yang sama;
  3. Mengenal siapa diri kita dan apa yang terbaik untuk diberikan;
  4. Mempersembahkan karunia itu bagi Tuhan dan bukan untuk kepentingan dan keberhasilan diri sendiri;
  5. Bersedia memakai karunia rohani itu dengan sepenuh hati untuk pelayanan kepada Tuhan, bukan menahan atau menyia-nyiakannya.

 

 

 

Karunia rohani berbeda di dalam sifat, kekuatan, dan efektifitasnya sesuai dengan hikmat dan keluwesan, dan itu bukan semuanya berdasarkan iman. Peran kita adalah tetap setia dan mencari cara dan jalan melayani-Nya melalui apa yang telah diberikan-Nya. Karunia rohani yang ada semua dalam satu tubuh gereja dan rinciannya merupakan anggota-anggota saja. Dalam Roma 12 ini disebutkan tujuh karunia rohani dan yang lebih lengkap ada di beberapa surat Rasul Paulus lainnya (Kis 21; 1Kor 11-14; Ef 4; dan lainnya). Dalam khotbah Minggu Pentakosta tentang Ada Rupa-Rupa Karunia, Tetapi Satu Roh (1Kor. 12:3b-13) disebutkan adanya 18 karunia rohani yang dibagi dalam tiga katagori, yakni:

 

  • Karunia rohani melalui perkataan atau berbicara, terdiri dari 7 karunia;
  • Karunia rohani melayani dan memberi, terdiri dari 6 karunia;
  • Karunia rohani untuk membuat mukjizat, terdiri dari 5 karunia.

 

 

 

Semua karunia dilengkapi oleh Roh Kudus dalam jemaat untuk membangun keluarga Allah dan menyatakan kasih Allah kepada orang lain (1Kor; 12:4-7; 1Kor; 14:12; 1Pet; 4:10).

 

 

 

Allah memberi karunia dan talenta kepada kita bukan untuk disalahgunakan. Ingatlah firman Tuhan yang berkata tentang talenta (Mat. 25:14 dab) yang kemudian pada ayat 30 ditutup Tuhan Yesus dengan berkata, “Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi." Karunia rohani dipakai sebagai berkat dan terang sebagaimana dikatakan dalam firman-Nya, "Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu” (Mat. 5:15). Hal yang penting dalam memakai karunia rohani yang diberikan, kita jangan sombong. Kita tidak boleh seperti jemaat di Korintus yang mengutamakan karunia-karunia yang paling dirasakan hebat dan penuh tanda-tanda. Mereka lebih menonjolkan kehebatan karunia yang mereka punyai, tanpa ingin mengetahui rencana Allah memberi karunia-karunia itu. Mereka meniru upacara-upacara kafir yang penuh dengan ritual “keanehan” demi untuk mendapatkan perhatian dan keistimewaan. Oleh karena itu, perlu pengendalian diri yang berdasar pada pengenalan diri dan pengenalan tujuan pemakaian karunia rohani tersebut. Mari kita kenali diri kita dan karunia yang Tuhan berikan, kemudian kita pakai, dan lihat yang belum dikembangkan dan menjadi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

 

 

 

Keempat: Prinsip penerapan karunia-karunia rohani (ayat 6b-8)

 

Apabila kita memeriksa daftar karunia rohani yang diberikan dalam nas ini yakni tujuh karunia rohani, dan kita dapat membayangkan beragam manusia yang memilikinya dengan sifat yang berbeda-beda, misalnya:

 

Seorang nabi yang bernubuat seringkali berbicara dengan berani dan mengalir bersambung;

 

·         Hamba Tuhan yang terlibat dalam pelayanan lebih memperlihatkan keteguhan dan kesetiaannya;

 

·         Guru lebih memperlihatkan kemampuan berpikir dengan jernih dan netral;

 

·         Konselor memperlihatkan kemampuan dalam memotivasi orang lain;

 

·         Pemberi yang suka membagi-bagikan melakukannya dengan murah hati dan penuh kepercayaan;

 

·         Pemimpin mempertunjukkan cara mengorganisasi kelompok dan mengelola dengan baik;

 

·         Mereka yang memperlihatkan belas kasihan dan kepedulian kepada orang lain adalah mereka yang bisa memberi waktunya dengan sukacita.

 

 

 

Jadi jelas, dari tujuh daftar karunia rohani itu, sangat sulit membayangkan semua itu ada pada satu orang! Nabi atau pengkhotbah (1Kor. 14:1-3) yang tegas dan retorik umumnya bukanlah konselor atau gembala yang baik; orang yang bermurah hati biasanya mudah gagal menjadi pemimpin yang baik.

 

 

 

Ketika kita mengenal dan mengidentifikasi karunia rohani yang ada di dalam diri kita dari delapan belas yang ada dalam daftar khotbah Minggu Pentakosta tersebut, maka bertanyalah kepada Tuhan dan diri sendiri: bagaimana agar kita dapat menggunakannya dengan baik bagi kemaslahatan gereja dan keluarga Allah? Pada saat yang sama, kita perlu menyadari bahwa karunia rohani yang kita miliki tidak dapat bekerja sendiri, melainkan memerlukan dukungan karunia rohani yang lain. Untuk itu kita pantas berterima kasih kepada mereka yang memiliki karunia rohani yang berbeda, sebab dapat melengkapi pelayanan yang kita miliki. Biarkanlah kekuatan kita menutupi kelemahan orang lain, dan kekuatan orang lain menutupi kelemahan dan kekurangan kita, dan sekaligus kita bersyukur atas hal itu.  Karunia rohani jangan dibuat menjadi kuasa rohani, menyebabkan persaingan, berpikir mereka merasa "lebih rohani" atau bahkan memiliki hak otoritas tertentu yang lebih tinggi. Sikap kita tetap sebagai orang yang tidak layak memperoleh karunia itu, namun Allah membuat kita demikian berharga.

 

 

 

Prinsip dalam mempersembahkan hidup melalui karunia rohani adalah selalu dalam kebersamaan dengan orang lain yang membuat melayani Tuhan lebih baik. Semua dilakukan dengan sepenuh hati dalam semangat pelayanan pengabdian. Bernubuat melalui berkhotbah atau menceritakan tentang Tuhan Yesus semua dilakukan dengan iman yang teguh, bukan mengutarakan ramalan-ramalan apalagi tentang waktu pasti kedatangan Yesus kedua kali. Itu sangat spekulatif dan tidak didasari iman yang benar. Jika kita hendak membagi-bagikan sesuatu, maka lakukan dengan ikhlas; Jika memimpin kelompok atau organisasi, maka lakukan dengan rajin; dan apabila memberi kemurahan dan berkat, maka dijalankan dengan sukacita. Pelayanan karunia rohani orang percaya tidak dibatasi lagi oleh tempat seperti pelayanan atau ibadah umat Yahudi yang dijalankan hanya di Bait Allah, tetapi kita orang percaya menjalankan ibadah kita di setiap tempat dan di setiap waktu. Dalam ibadah umat Israel, binatang hidup yang dimatikan namun dalam ibadah orang percaya, tubuh yang sudah mati karena dosa justru dihidupkan sebagai persembahan yang kudus dan berkenan kepada Allah. Tubuh orang percaya kini adalah bait Allah (1Kor. 3:16-17; 2Kor. 6:16; Ef. 2:22).

 

 

 

Penutup

 

Melalui nas minggu ini kita disegarkan kembali tentang pemahaman ibadah sejati melalui persembahan tubuh sebagai persembahan yang hidup. Kita tidak disempitkan lagi dengan pengertian bahwa persembahan hanyalah di tempat-tempat prosesi saja, tetapi justru seluruh kegiatan kehidupan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kita perlu menjaga dan mempertahankan tubuh kita sebagai tubuh yang kudus sebagai Bait Allah, dengan cara tidak serupa dengan dunia ini. Hal itu hanya dapat dicapai dengan berubah oleh pembaharuan budi, sehingga kita terus dimampukan untuk membedakan yang baik dan sempurna. Dunia ini dan iblis sering menggoda untuk menawarkan seolah-olah lebih tinggi dari kemampuan dan batasan karunia yang diberikan Allah, sehingga perlu untuk mengenal diri sendiri dan menguasai diri menurut ukuran iman. Setiap orang diberi sejumlah karunia rohani sebagai dasar persembahan, namun itu memerlukan karunia lain bagi gereja dan keluarga Allah, sehingga perlu kesadaran akan pentingnya orang lain dengan karunia berbeda untuk mensinergikan kemampuan dalam mencapai tujuan Kerajaan Allah. Kita masing-masing anggota tubuh Kristus diberi tugas yang berbeda dan saling melengkapi. Semua karunia itu dipakai dan bukan disembunyikan atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, melainkan dipakai dan dikembangkan dengan prinsip ikhlas, rajin, sungguh-sungguh, dan penuh sukacita. Dengan demikian tubuh dan hidup kita menjadi persembahan yang sempurna dan ibadah kita menjadi ibadah sejati yang kudus dan berkenan kepada Allah. Mari kita renungkan, apakah hidup kita telah kita persembahkan seluruhnya kepada-Nya?

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah 1 Minggu Ketigabelas setelah Pentakosta - 27 Agustus 2023

Khotbah 1 Minggu Ketigabelas setelah Pentakosta - 27 Agustus 2023

 

 PENGAKUAN (Mat. 16:13-20)

 

 Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga (Mat. 16:19b)

 

 

Firman Tuhan di hari Minggu ini sesuai leksionari dari Mat. 16:13-20, bercerita tentang pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah “Mesias, Anak Allah yang hidup”. Ini menjawab pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" Murid yang lain menjawab berbeda, ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia, atau salah seorang dari para nabi. Jawaban Petrus dianggap memuaskan hati Yesus dan Yesus pun berkata kepadanya: “... bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga” (ayat 17b-19a).

 

 

 

Kembali saya mengutip pendapat John Stott, dalam bukunya tentang mengapa ia menjadi seorang Kristen, Why I am a Christian. Bila alasan pertama karena ia diburu oleh Anjing Pemburu dari Surga yakni Tuhan Yesus (lihat minggu lalu), maka alasan kedua adalah: ia tidak hanya melihat hal itu baik, tetapi juga “diyakinkan bahwa Kekristenan adalah benar, atau lebih tepat lagi, pernyataan Yesus adalah benar.”

 

 

 

John Stott berpendapat bahwa pengajaran Yesus luar biasa, dan pantas dicatat karena berpusat pada diri-Nya. Yesus adalah pusat dan inti Kekristenan. Ia menyatakan diri-Nya sebagai “roti hidup”, “terang dunia”, “jalan, kebenaran dan hidup”, tetapi Yesus juga menempatkan diri-Nya sebagai tujuan dari iman orang percaya. “Datanglah pada-Ku”, “Ikutlah Aku”, pernyataan yang berulang kali disampaikan-Nya. Ia berjanji mengangkat beban kita, memuaskan rasa haus (Mat. 11:28; Yoh. 7:37), dan menegaskan rujukannya tentang kasih sebagai hal yang utama.

 

 

 

Ada tiga alasan menurutnya yang membuat hal itu. Pertama, Yesus adalah penggenapan Perjanjian Lama (PL). Yesus mengokohkan diri-Nya saat membaca kitab Yesaya 61:1-2 yang kemudian ditulis dalam Luk. 4:18-19: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku....” Selanjutnya Rasul Lukas menuliskan, “Pada hari itu genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya (Luk. 4:21). Yesus juga melihat diri-Nya dalam dua gambaran dalam PL sebagai Anak Manusia, yakni pribadi berwujud manusia dalam penglihatan Nabi Daniel yang diberi kekuasaan dan kemuliaan (Dan. 7:14). Tetapi dalam diri-Nya juga ada gambaran Yesaya, hamba yang penuh kesengsaraan, dihina, ditolak dan menanggung dosa banyak orang (Yes. 53:3, 12). Anak Manusia Yesus sebagaimana nas minggu ini, menggambarkan sebutan kehormatan dalam kitab Daniel, sekaligus hamba yang menderita dan sebutan yang memalukan dalam kitab Yesaya.

 

 

 

Faktor kedua, menurut John Stot, adanya kedekatan, hubungan yang unik dan spesial dengan Allah yakni sebagai “Anak”. Sebutan anak-anak Allah berlaku bagi malaikat, Adam, Salomo, raja-raja Yudea yang diurapi, dan Israel. Kedekatan-Nya sejak berusia 12 tahun membuat Ia berkata: “Tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak” (Mat. 11:27).

 

 

 

Faktor ketiga, adanya otoritas. Ia menyebut diri-Nya sebagai Juruselamat dan sekaligus Hakim bagi manusia. “Pernyataan yang sangat sombong, namun rendah hati.” Tampak ada paradoks dalam diri-Nya; Ia menyatakan diri sebagai Tuhan, Guru dan Hakim, tetapi Ia juga mengambil handuk, berlutut dan membasuh kaki murid-murid-Nya seperti budak biasa.

 

 

 

Anak Manusia yakni Yesus, telah menyatakan diri-Nya kepada kita sebagai Kristus atau Mesias yang terdapat dalam Kitab Suci, Sang Anak Allah, dan juga Juruselamat serta Hakim atas seluruh dunia. Sudahkan kita mengenal dan mengakui sepenuhnya seperti Petrus, serta menempatkannya sesuai pengakuan kita? “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga" (ayat 20). Jika belum sepenuhnya, mari kita melakukannya untuk menyenangkan hati-Nya.

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 20 Agustus 2023

Kabar dari Bukit

 

 

KASIH DAN PENGAMPUNAN (Kej. 45:1-15)

 

 ”Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” (Kej. 45:5)

 

 Paus Fransiskus dalam audiensi umum kepada 12.000 jemaat yang hadir di Lapangan Santo Petrus bulan Agustus 2014, mengatakan rasa iri, dengki dan berperilaku buruk lainnya adalah manusiawi, tetapi sifat-sifat itu bukan Kristen (pgi.or.id). Alkitab sendiri menuliskan adanya puluhan sifat dan perilaku buruk manusia, yang bisa dikaitkan dengan iman, pengharapan dan kasih.

 

 

 

Firman Tuhan di hari Minggu ini bagi kita adalah Kej. 45:1-15. Ini kisah Yusuf saat memperkenalkan dirinya kepada saudara-saudaranya, ketika mereka datang ke Mesir untuk mencari makanan sebab di Israel terjadi bencana kelaparan. Dalam kisah sebelumnya kita tahu, saudara-saudaranya telah menjual Yusuf sehingga menjadi budak (Kej. 37).

 

 

 

Sifat buruk manusia terkait iman yakni tidak mengakui keberadaan Allah, atau menganggap hidupnya sehari-hari tidak mempunyai kaitan dengan Allah. Mereka berdalih tidak mengakui kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya (Rm. 1:20-21). Mereka lebih mentuhankan ilmu pengetahuan, logika, atau rasa takut terhadap konsekuensi. Puncak sifat buruk dalam iman ini adalah timbulnya keangkuhan, kesombongan dan congkak terhadap Allah dan juga terhadap manusia.

 

Sifat buruk kedua terkait pengharapan, yakni mereka lebih mengandalkan kemampuan diri sendiri dalam menjalani kehidupan. Jika keberhasilannya tinggi, mereka akan semakin mengabaikan keberadaan Tuhan. Namun sebaliknya, jika gagal, maka yang terjadi adalah timbulnya amarah, putus asa, gerutu, dan bahkan upaya bunuh diri. Mereka tidak menyadari bahwa melalui pengharapan, kita dituntut bersikap rendah hati dan menjadikan pengharapan di dalam Tuhan sebagai sauh yang kuat dan aman bagi jiwa (Ibr. 6:19).

 

 

 

Sifat buruk ketiga yakni hilangnya kasih, lebih fokus pada diri sendiri dan tidak peduli kepada orang lain. Alkitab telah menubuatkan hal ini dengan menuliskan, “Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang..., tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik (2Tim. 3:2).

 

 

 

Melalui firman minggu ini kita diajak belajar dari pribadi Yusuf. Meski melalui berbagai rintangan akibat perbuatan jahat saudara-saudaranya, ia malah menjadi pembesar di Mesir (ay. 8). Rencana Tuhan terhadap Yusuf tidak pernah gagal, meski usaha manusia ada yang menghalanginya. Penyertaan dan hikmat Allah termasuk menafsir mimpi Firaun agar Mesir menyimpan bahan makanan sebab akan datang musim kelaparan (Kej. 41).

 

 

 

Yusuf memilih hal kedua, mengutamakan kasih dalam kehidupannya. Ia membuang sifat buruk berupa dendam, benci, permusuhan, yang dia tahu justru akan merusak dirinya sendiri, bagaikan lemparan bumerang yang mengenai diri sendiri. Yusuf memilih kehidupan yang bahagia dan bermakna. Menurut Mayo Clinic, mengampuni akan membantu menyembuhkan luka batin dan fisik, membangun hubungan yang sehat secara rohani dan psikologis.

 

 

 

Hati yang penuh kasih yang membuat ada pengampunan dan melupakan. Alkitab menuliskan kasih menutupi banyak dosa (1Pet. 4:8). Yusuf bisa membuat masalah yang besar menjadi hal kecil, mampu melihat manusia terbatas, kadang lupa dan khilaf.

 

 

 

Sebagai pengikut Tuhan Yesus, mari kita teladani Yusuf, melupakan kesalahan orang lain dan mengasihinya. Pesan Tuhan Yesus pun sangat jelas, “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga” (Mat. 6:14). Kini, semua kembali ke kita.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 720 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8029646
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
1704
80866
180931
7546890
180931
883577
8029646

IP Anda: 172.70.147.18
2024-12-04 00:36

Login Form