Thursday, November 21, 2024

2020

KABAR DARI BUKIT (03 Mei 2020)

KABAR DARI BUKIT (03 Mei 2020)

 

Hidup Berkelimpahan

 

"Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan" (Yoh. 10:10b).

 

Firman Tuhan di Minggu Paskah IV hari ini, Yoh. 10:1-10, menjelaskan Tuhan Yesus adalah Gembala yang baik. Perumpamaan Yesus sebagai Gembala berangkat dari peran gembala yang semestinya dilakukan oleh raja-raja Israel, tetapi tidak berjalan dengan baik. Kekecewaan tersebut dituliskan oleh para nabi besar dalam Perjanjian Lama (Yer. 23:1–2; Yes. 56:11; Yeh. 34:1–8; Za. 11:4–5). Jadi, identitas Gembala merupakan kritik sekaligus metafora pemulihannya.

 

Gambaran akan datangnya gembala yang baik yang tidak sama dengan para raja-raja Israel diberikan oleh nabi Yehezkiel yang menuliskan: "Aku akan mengangkat satu orang gembala atas mereka, yang akan menggembalakannya, yaitu Daud, hamba-Ku; dia akan menggembalakan mereka, dan menjadi gembalanya. Dan Aku, TUHAN, akan menjadi Allah mereka serta hamba-Ku Daud menjadi raja di tengah-tengah mereka. Aku, TUHAN, yang mengatakannya (Yeh. 34:23-24; band. Yes. 40:10-11).

 

Sebagai Gembala yang baik, Tuhan Yesus mengenal semua domba-domba-Nya; memanggil dengan nama-namanya (ayat 1-3). Ia tidak seperti pencuri yang masuk dari pagar atau memanjat tembok, Gembala yang baik masuk dari pintu depan. Ia menuntun domba-Nya dibawa ke luar, berjalan di depan, dan domba-domba itu mengikuti, karena mereka mengenal suara-Nya (ayat 4). Dalam Mzm. 23 sebagai padanan leksionari minggu ini disebutkan, gembala memakai gada dan tongkat yang menghibur dan memberi rasa aman (ayat 4).

 

Gembala Yesus menuntun di jalan yang benar dan memberi urapan minyak di kepala (Mzm. 23:3, 5). Ia adalah pintu yang sesungguhnya ke domba-domba, dan barangsiapa masuk melalui Tuhan Yesus, ia akan selamat, dan akan masuk dan keluar serta menemukan padang rumput yang hijau dan air yang tenang (ayat 7, 9; Mzm. 23:2). Ini meneguhkan prinsip Kristiani bahwa iman dan keselamatan adalah anugerah-Nya, dan Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan menuju ke tempat Bapa sorgawi. Jika dahulu kita sesat, tetapi sekarang telah kembali kepada Gembala sebagai pemelihara jiwa kita (1Pet. 2:25).

 

Bagian terakhir nas ini menegaskan, jika nabi-nabi palsu dan allah-allah datang untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan, Tuhan Yesus datang supaya semua yang menerima-Nya mempunyai hidup, dan tidak sekedar hidup, melainkan mempunyainya dalam segala kelimpahan (ayat 10). Hidup yang berkelimpahan bukan berarti ukuran dunia dengan memiliki harta dan kuasa, tetapi hidup dalam gembalaan-Nya membuat kita senantiasa memiliki damai sejahtera, sukacita, penuh kasih dan mengasihi, serta tidak kuatir dan takut menjalani hidup, meski di tengah gelombang badai virus corona ini. Tetaplah setia menjadi domba-Nya dan terus lebih mengenal-Nya. Selamat hari Minggu dan selamat beribadah di rumah. Tuhan memberkati dan melindungi kita sekalian, amin.

 

Pdt. Em. Ramles M. Silalahi.

Khotbah Minggu Paskah IV – 3 Mei 2020

Khotbah Minggu Paskah IV – 3 Mei 2020

 

YESUS GEMBALA PEMELIHARA JIWAMU (1Pet. 2:19-25)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kis. 2:42-47; Mzm. 23; Yoh. 10:1-10

 

Nas Selengkapnya:

19 Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. 20 Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. 21 Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. 22 * Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. 23 Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. 24 Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. 25 Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu.

 

Pendahuluan

Surat Rasul Petrus di sekitar tahun 60-an Masehi ini ditujukan kepada umat Yahudi yang telah percaya dan mereka masih banyak hidup sebagai budak-budak yang tidak memperoleh haknya yang layak. Ayat 18 yang mengawali nas ini mengatakan: “Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis.” Pengikut Kristus yang berlatar belakang Yahudi lainnya juga mengalami penindasan dari Nero, yang membuat mereka ketakutan dan menyebar keluar dari Yerusalem untuk menghindari penyiksaan dan pembunuhan karena iman Kristiani mereka yang tidak disukai oleh Nero. Menghadapi penderitaan itulah tema nas minggu ini yang memberi pengajaran kepada kita sebagai berikut.

 

Pertama: penderitaan yang tidak seharusnya ditanggung (ayat 19-21)

Wilayah tempat tinggal kita di Indonesia pasti berbeda satu sama lain dalam kehidupan kekristenannya. Ada beberapa daerah yang umat kristennya sangat bebas dalam menjalankan ibadah dan membangun gedung gereja. Namun, ada beberapa daerah yang sangat sulit khususnya untuk membangun gedung gereja, karena penolakan beberapa kelompok yang beraliran keras.  Ada juga kesulitan lain dalam melakukan ibadah di luar gedung gereja, apalagi bila melakukan kegiatan pekabaran injil, maka kemungkinan dianiaya dapat terjadi. Atas perlakuan seperti itu, ada yang diam dan menyembunyikan imannya, padahal semestinya panggilan kita justru harus berusaha masuk dalam tantangan untuk mengabarkan Yesus dengan menyebarkan kasih-Nya. Memang dalam hal ini pemerintah daerah yang seharusnya menjamin dan melindungi serta bersikap netral, namun kenyataannya sering tidak membantu dan malah memilih berpihak. Alkitab memang mengatakan bahwa kita perlu taat pada pemerintah dengan tetap mengacu pada akal sehat dan meneguhkan iman (Rm. 13:1). Ketaatan kita lakukan demi tujuannya yakni "hanya untuk kemuliaan-Nya” (Rm. 11:36), sehingga semua melihat Kabar Baik dan Kasih Yesus dinyatakan dan orang percaya mendapat respek dan nama Tuhan dimuliakan.

 

Di lain pihak orang percaya memiliki kekebasan di dalam Kristus, meski pengertiannya tidak melebar yang menjurus ke arah penyalahgunaan. Kebebasan dipergunakan sebagai alat atau jalan bagi kehidupan pelayanan yang penuh antuasias, dalam pengertian melalui profesi pekerjaan atau setiap usaha yang dilakukan. Kehendak Allah adalah kita dipanggil berbuat baik dan melayani, yang dilakukan dengan kesadaran Ilahi. Dalam pelayanan itulah bisa saja timbul tantangan seperti di atas yang membawa ke dalam penderitaan, atau sebab-sebab lain yang mungkin karena sikap orang lain yang berlebihan ekstrim tidak masuk akal. Sebagai bangsa yang mengaku dasar negara Pancasila, kita mestinya tidak perlu menanggung beban itu, tapi kenyataannya demikian, dan kita harus terima dan hadapi. Apabila penderitaan yang tidak kita harus tanggung datang, maka kita mengambil teladan dari Yesus. Adalah merupakan kehormatan apabila orang percaya menderita bagi Kristus dan pemberitaan Injil (2Tim. 2:3; 1Pet. 3:14; band. Mat. 5:10). Kalau penderitaan itu konsekuensi dari pelayanan, maka firman Tuhan minggu ini mengatakan itu adalah kasih karunia (1Pet. 4:13). Kasih karunia berarti kita melakukan yang baik dan benar, menerima kasih karunia dari Allah dalam arti kesempatan yang diberikan oleh Allah untuk kita melayani-Nya (Luk. 12:43; Flp. 1:29; 1Pet. 4:14).

 

Semua pengikut Kristus memang harus siap sedia masuk dalam penderitaan (Mrk. 8:34-35). Rasul Petrus menggambarkan mereka yang menderita sebagai buah dari perbuatan baik, sama seperti Yesus yang tidak berdosa harus menderita dan mati yang kemudian menghasilkan kemerdekaan kita. Kita mungkin menderita dengan berbagai latar belakang. Beberapa penderitaan bisa saja terjadi karena hasil dari dosa-dosa kita; beberapa mungkin terjadi karena kebodohan kita; beberapa hal lainnya karena kita hidup ditengah-tengah dunia yang sudah cenderung rusak. Yang penting jangan sampai kita menderita karena tidak mematuhi Allah atau karena pelanggaran hukum moral dan hukum sipil, atau mencari-cari penderitaan itu sendiri, seperti karena keinginan daging, karena kesombongan atau ingin menguji Allah, yang disebutkan sebagai dosa dalam nas ini dan tidak layak mendapat pujian dari Allah (1Pet. 3:17). 

 

Kedua: Menderita tapi tidak membalas (ayat 22-23)

Penderitaan Yesus adalah bagian dari rencana Allah (Mat. 6:21-23; Luk. 24:25-27, 44-47) dengan maksud untuk menyelamatkan kita orang percaya (Mat. 20:28; 26:28). Kehidupan pribadi dan perjalanan hidup-Nya memberikan gambaran tentang hal itu yang penuh kuasa, penuh kasih, dan hidup-Nya dalam ketergantungan penuh kepada Allah Bapa. Alkitab mencatat Yesus selalu mengungkapkan kebenaran Ilahi dan tidak ada tipu daya dari mulut-Nya. Ia dipersiapkan dari sorga sebagai korban Anak Domba dan hidup-Nya di dunia tetap taat membuat Ia tidak bercacat (Ibr. 5:8). Namun fitnah dan kejahatan yang berangkat dari kecemburuan dan ketakutan para kaum Farisi dan para imam, membawa Dia pada pengadilan dunia. Proses yang dipaksakan demikian cepat dan sepihak menunjukkan proses pengadilan itu tidak benar. Ia dihukum dengan berat dan bahkan dengan cara terkutuk disalibkan dengan para penjahat.

 

Namun Yesus menghadapi semua itu dengan keteguhan yang kuat. Meski awalnya ada penolakan dari-Nya agar cawan penderitaan itu berlalu (Mat. 26:39), tetapi kemudian Ia dengan teguh mengatakan bahwa biarlah kehendak Bapa yang jadi. Kemanusiaan (sejati) Yesus membuat ada rasa takut, bahwa Allah Bapa yang mengutus-Nya akan meninggalkan Dia, tetapi kerendahan hati-Nya meneguhkan bahwa Ia harus melalui semua itu. Hal yang sama dikatakan-Nya di atas kayu salib dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat 27:46). Memang terbukti dari awal pengadilan dan perjalanan via dolorosa Ia tidak mengeluh, Ia tidak menghujat, melewati semua dengan sabar dan cerdas, bahkan tetap mengasihi mereka-mereka yang menghukum-Nya. Ia melalui dengan sabar, tenang, dan penuh keyakinan bahwa Allah mengendalikan hidup-Nya. Apa yang diajarkan-Nya sebelumnya kepada para murid dibuktikan yakni "Kasihilah musuhmu", "Janganlah membalas orang yang menampar pipi kirimu", membuktikan Roh Allah bekerja penuh pada-Nya. Ia mengatakan, “Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya.” Sungguh sebuah parameter dan cara pandang yang berbeda dan luar biasa.

 

Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk menggapai tujuan hidup sesuai dengan kemampuan yang diberikan. Itu juga keyakinan kita. Allah memberi kebebasan dari aturan-aturan keagamaan dan rasa bersalah yang berekepanjangan, bahwa kita tidak mengikuti kesenangan-kesenangan kita, melainkan mencapai yang terbaik dari Tuhan bagi diri kita. Allah menghendaki kebebasan itu kita pakai untuk meninggikan kuasa, sukacita, dan kasih yang bertanggungjawab kepada Allah dan dipersembahkan kepada sesama. Kalau kita jujur, banyak orang Kristen masih menjadi budak rasa takut. Memang lebih mudah tunduk kepada tuan yang baik dan adil, tetapi Rasul Petrus meneguhkan kesetian dan ketekunan dalam situasi diperlakukan tidak adil, sebagaimana perlakuan yang diterima para budak. Kita juga harus taat kepada majikan kita, apakah mereka itu penuh perhatian atau bersikap keras (Ef. 6:5). Kita jangan sampai menghakimi orang lain sebab itu adalah hak Allah (Rm. 12:19; Mzm. 9:5). Kita juga jangan hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, sebab kalau demikian itu tidak ada nilainya (Luk. 6:32). Dengan melakukan hal itu kita menang melalui keteladanan yang memperlihatkan kasih Kristus dan membawa mereka kepada Dia. Rasul Paulus juga menuliskan hal yang sama pada Ef. 6:5-9; Kol. 3:22-25, sebagaimana juga Yesus mengatakan-Nya dalam Mat. 5:46 dan Luk. 6:32-36.

 

Ketiga: Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh (ayat 24)

Perjalanan hidup Tuhan Yesus yang terhenti sejenak setelah mati di kayu salib bukanlah kematian yang sia-sia. Sebagaimana dijelaskan pada minggu lalu bahwa konsep penebusan melalui kematian Yesus sudah ada sebelum dunia diciptakan.  Allah tidak cukup memakai utusan-Nya dan nabi-nabi sesuai dengan yang tertulis di Perjanjian Lama. Umat Yahudi tidak mampu lagi menghadapi tekanan penderitaan oleh bangsa-bangsa lain dan pengharapan mereka juga sudah lenyap. Penyataan Allah melalui umat perlu divitalisasi agar mereka tidak merasa bahwa Allah telah meninggalkan mereka. Mesias perlu datang ke dunia dengan inkarnasi. Ini sekaligus merombak perubahan konsep penebusan yang semula melalui korban persembahan dan perlu berulang-ulang (Ibr. 10:6), kini hanya melalui persembahan korban yang sempurna dan abadi yakni Tubuh Tuhan Yesus. Tubuh Anak-Nyalah yang perlu diberikan dan harus menanggung semua dosa-dosa kita agar dikuduskan melalui iman penebusan itu (Ibr. 10:10). Roh Kudus yang diberi di hati kita menjadi kuasa baru yang memampukan proses itu berlangsung terus menerus sehingga kita tetap menjadi anak-anak-Nya.

 

Persembahan korban Tuhan Yesus hanya sekali dan kita diminta untuk untuk tidak lagi hidup di dalam dosa (Ibr. 9:28). Bagi mereka yang sudah percaya namun murtad dan hidup kembali di dalam jeratan dosa, maka sebenarnya mereka kembali menyalibkan Yesus dalam hidup-Nya (Ibr. 6:6). Inilah yang dimaksud mati terhadap dosa dalam nas minggu ini yang berarti kita menghindari perbuatan-perbuatan dosa yang tidak berkenan kepada Tuhan (Rm. 6:2). Mati terhadap dosa berarti ada perasaan tidak suka dan bahkan jijik terhadap dosa. Allah kudus dan kita pun perlu menjaga hidup kudus. Firman Tuhan Yesus mengatakan, "Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh. 17:19). Alkitab berkata, "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran" (Rm. 6:20). Arti kedua mati terhadap dosa adalah kita sudah dipisahkan dari dosa-dosa yang lalu. Kehidupan baru telah dimulai di dalam Yesus. Untuk itu dikatakan bahwa kita hidup untuk kebenaran dalam pengertian kita hidup dalam pedoman dan kuasa Firman serta menjaga anugerah itu dan berbuah. Kita diminta hidup sesuai dengan firman-Nya, seperti dikatakan-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yoh. 8:31-32).

 

Penderitaan Tuhan Yesus tidaklah ringan. Gambaran dalam film "The Passion" dengan pukulan bola berduri ke tubuh-Nya bukan kisah isapan jempol, sebab metoda itu yang dipakai pada zaman itu. Kita bisa membayangkan luka yang terjadi akibat pukulan bola berduri itu: tubuh yang terkoyak, daging yang terkuak penuh darah menjadi bilur-bilur yang mengenaskan. Darah Yesus menjadi terpercik kemana-mana saat bola duri itu dihempaskan ke tubuh-Nya. Percikan darah Anak Domba Allah ibarat percikan darah domba di mezbah umat Yahudi. Inilah yang membuat prosesi itu menjadi sempurna: Ada korban yang tidak bercacat dan ada percikan darah melalui bilur-bilur-Nya (Yes. 53:3-5). Yesus tidak saja menjadi korban tetapi menjadi pengganti diri kita sebagai penerima hukuman atas dosa-dosa yang kita lakukan, dan sekaligus memisahkan kita dari kuasa dosa yang lama. Melalui semuanya itu kita disembuhkan dari segala penyakit dosa, dipulihkan dari penyakit ketakutan terhadap penghukuman dan masuk neraka (Mzm. 103:3), terutama sembuh dari penyakit ketakutan akan kematian. Orang yang percaya pada kebangkitan Yesus dan menjadikan Ia sebagai Juruselamatnya, akan memperoleh kesembuhan semua itu melalui bilur-bilur-Nya.

 

Keempat: Kembali kepada gembala dan pemelihara jiwa (ayat 25)

Perumpamaan domba mengandung dua arti. Pertama, domba secara umum yakni semua umat manusia sama di hadapan Tuhan, dalam pengertian ketika lahir semua ibarat kertas putih bersih. Pengertian kedua, kita memang sudah ditetapkan sehingga pada dasarnya kita adalah anak-anak-Nya sejak awal (Ef. 1:4). Allah menciptakan manusia pasti dengan maksud tujuan baik. Diskusi dan pembahasan soal (kecendrungan) dosa asal bisa berakibat tidak membangun iman. Jadi dalam nas ini pengertian domba tidak perlu dibedakan dengan istilah kambing dalam Mat. 25:31-46, yang bermakna mereka yang terkutuk yang dienyahlah dari hadapan-Nya dan dimasukkan ke dalam api yang kekal. Kedua pengertian itu dapat membawa konsekuensi yang sama bahwa tetap setiap orang bisa sesat sampai ada pertobatan dan anugerah Allah bagi mereka yang diselamatkan. Kambing yang “tidak dipilih” bisa tetap sesat namun “domba yang dipilih” pun tetap bisa jatuh dan sesat. Inilah yang terjadi pada umat Yahudi saat itu menjadi sesat ketika mereka mengambil jalan sendiri-sendiri (Yes. 53:6) dengan tidak berpengharapan dan bersandar lagi kepada Allah yang memilih mereka.

 

Allah melalui kasih-Nya telah mengirim Kristus untuk memberi pengharapan baru bagi umat-Nya. Allah tidak menginginkan seorang pun sesat melainkan diselamatkan. Ia mengirimkan Anak-Nya untuk menjadi Gembala yang baik bagi umat-Nya. Yesus sendiri sudah mengindikasikan dengan mengatakan, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh. 10:11). Ia membuktikan hal itu dengan memberikan nyawa-Nya sebagai penebusan pengganti (substitution atonement) dengan mati dan bangkit bagi yang percaya dan menempatkan-Nya sebagai Gembala Agung. Kalau sebelumnya mereka budak tidak diperlakukan sebagai manusia, yang tidak memiliki jiwa dan hanya dianggap sebagai “barang”, maka dengan kedatangan Gembala Sang Penebus mereka menjadi pribadi-pribadi yang baru, yang berdiri tegak dengan perasaan penuh hak dan harga diri. Tujuan semuanya bukan untuk kesombongan dan membebaskan diri, atau melakukan pemberontakan terhadap majikan, melainkan agar mereka mampu menghadapi segala kemungkinan penderitaan dengan Gembala yang mengendalikan masa depannya.

 

Sebagai budak mereka tetap memperlihatkan sikap sebagai pekerja, tanpa perlu mengurangi kedisiplinan. Yang penting dan utama adalah sudah melihat diri mereka sebagai sebuah pribadi, sebuah jiwa dan menempatkan diri dengan benar. Di mata Tuhan setiap jiwa yang dikasihi-Nya berharga (band. Mzm. 116:15; Mat. 12:12). Di mata Tuhan tidak ada lagi status budak, pekerja, buruh atau pembantu. Setiap orang perlu memberikan yang terbaik dengan menganggap semua pekerjaan adalah bagi Kristus, sang Gembala yang kini menjadi Pemelihara jiwa kita (Kol. 3:17). Tidak masalah bagi Gembala apakah kita dahulunya adalah domba yang sesat, tetapi yang penting menerima dan mau masuk pintu keselamatan itu. Sebagaimana Tuhan Yesus mengatakan, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu (Yoh 10:7).

 

Penutup

Melalui nas minggu ini kita diajarkan tentang sikap seorang Kristen dalam menghadapi penderitaan yang tidak seharusnya ditanggungnya, sebagaimana dialami umat Kristen pada masa itu yang kebanyakan adalah para budak. Pada masa kini pun setiap orang bisa saja mendapat penderitaan yang bukan kehendaknya atau ia merasa tidak layak mendapatkannya, tetapi sikap seorang Kristen adalah menerima dan menghadapi tegar dengan berbekal dan beriman adanya pertolongan Tuhan Yesus. Kita diminta tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, mengurangi komitmen dan tidak terpengaruh situasi, melainkan tetap dalam sikap disiplin dan kasih, dengan memegang prinsip oleh bilur-bilur-Nya kita sudah disembuhkan dan dipulihkan dari segala penyakit dan rasa takut. Kekuatiran kita tidak perlu sebab kita sudah memiliki Gembala Agung yang menjadi Pemelihara jiwa kita, sehingga dalam situasi apapun kita diharapkan menjadi pemenang. Tuhan Yesus memberkati.

 

------------------------------------------

 

Khotbah Minggu 26 April 2020 Minggu Paskah III

Khotbah Minggu 26 April 2020 Minggu Paskah III

 

DILAHIRKAN BUKAN DARI BENIH YANG FANA

(1Pet. 1:17-23)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kis. 2:14a, 36-41; Mzm. 116:1-4, 12-19; Luk. 24:13-35

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

 

Nas 1Pet. 1:17-23 selengkapnya:

1:17 Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini. 1:18 Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, 1:19 melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. 1:20 Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu baru menyatakan diri-Nya pada zaman akhir. 1:21 Oleh Dialah kamu percaya kepada Allah, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan yang telah memuliakan-Nya, sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah. 1:22 Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu. 1:23 Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal.

----------------------------

 

Pendahuluan

Dalam masa minggu pasca kebangkitan Tuhan Yesus saat ini kita kembali diingatkan bahwa Ia mati untuk penebusan dosa-dosa agar kita tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal. Penebusan oleh Tuhan Yesus bukanlah penebusan yang murah melainkan dengan darah-Nya yang mahal dan murni tidak bercacat. Firman Tuhan melalui surat Rasul Petrus ini ditujukan kepada orang-orang miskin, sehingga penggunaan kata yang berhubungan dengan nilai dan harga agak menonjol. Keselamatan sebagai karunia penebusan harus dihargai tak terhingga, sehingga hidup orang percaya pasca kebangkitan Yesus harus tetap menjaga kekudusan. Orang percaya harus menganggap pembebasan dari dosa-dosa sebagai warisan sorgawi yang harus dipertahankan. Melalui bacaan nas minggu ini kita diberikan pokok pengajaran sebagai berikut.

 

Pertama: Sikap takut dan penebusan yang mahal (ayat 17-19)

Sikap takut yang berangkat dari rasa hormat (reverent fear) adalah sikap respek yang sehat dari orang percaya terhadap Allah. Allah adalah pencipta, penguasa, dan hakim bagi seluruh bumi dan isinya (Why. 14:7; 15:4), sehingga mau tidak mau kita tidak dapat bersikap acuh terhadap-Nya atau memperlakukan Dia dengan sembarangan. Hukum ketiga Taurat juga menyebutkan jangan menyebut nama Allah dengan sembarangan (Kel. 20:7). Alkitab mengatakan jangan takut kepada yang membunuh tubuh, tapi takutlah kepada yang dapat membunuh jiwa (Mat. 10:28). Kita tidak boleh beranggapan bahwa status istimewa kita sebagai anak-anak Allah memberi kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang kita kehendaki, tanpa tetap menaruh rasa takut dan hormat akan Dia. Tapi kita juga tidak perlu merasa harus tertekan akan sikap takut itu, melainkan hal itu kita lihat sebagai sikap sukacita ketergantungan seorang anak yang memperlihatkan kasih-Nya kepada Allah Bapa di sorga.

Perjanjian Lama dan sejarah pada umumnya memperlihatkan kekalahan manusia pada dosa dan ketakutan terhadap kematian. Kematian dilihat semata-mata sebagai sebuah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukan yang disertai dengan hukuman berupa penderitaan baik di masa kini maupun kelak di masa kekekalan. Betul, Allah akan menjadi hakim atas segala perbuatan manusia baik yang kelihatan maupun tersembunyi, baik ucapan dan tindakan, atau melalui motivasi dan tujuan mereka melakukannya. Namun ketidaktahuan mereka adanya kasih Allah yang demikian besar dan pengajaran yang salah, membuat semua orang terus menerus dilanda rasa takut terhadap pengadilan itu, melihat Allah adalah Hakim yang siap mengganjar setiap orang akibat dosa-dosanya. Pengadilan seolah-olah sebuah proses yang gelap menakutkan. Pengajaran dan ritual penebusan dosa melalui upacara-upacara pemberian korban dan persembahan di era PL, tidak dapat membangun keyakinan iman, bahwa pada dasarnya Allah ingin menyelamatkan manusia secara permanen (band. Ibr. 10:4). Manusia terus merasa sendirian tanpa pertolongan dan akhirnya terjebak dalam kesalahan yang berulang dan jeratan yang kuat. Dalam keadaan ini, manusia sudah menjadi budak dari dosa dan rasa takutnya pada penghukuman dan kematian itu (Rm. 8:15).

Sistim sosial pada masa dahulu menjelaskan bahwa seorang budak boleh ditebus apabila seseorang membayar dengan uang yang cukup untuk membeli kebebasannya, atau mengganti dengan budak lain. Pemilik budak tidak mau rugi sebab hakekatnya budak tersebut dibeli, termasuk biaya-biaya dalam menanggung hidupnya. Oleh karena itu konsep penebusan menjadi konsep ganti diri. Allah menetapkan bahwa manusia perlu diselamatkan dari semua hal itu. Allah yang Mahakasih menganugerahkan Anak-Nya yang tunggal, yaitu Yesus, menjadi manusia untuk tebusan bagi semua orang (Yoh. 3:16). Kita tidak dapat membebaskan diri kita sendiri dari perbudakan karena kita orang berdosa, sebab tebusan haruslah korban yang tidak bercacat (Kel. 12:5). Oleh karena itulah Allah menetapkan Yesus sebagai tebusan bagi kita dari tirani dosa, bukan dengan uang dan materi, melainkan dengan darah Putra-Nya yang mahal (Rm. 6:6, 7; 1Kor. 6:20; Kol. 2:13,14; Ibr. 9:12). Yesus, sebagai Anak Domba Allah, korban yang tidak berdosa dan tidak bercacat, hanya Dia saja yang memungkinkan pembebasan itu (Yoh. 1:29; Rm. 3:25).

 

Kedua: Dipilih sebelum dunia dijadikan (ayat 20-21)

Pertanyaannya kemudian adalah: Mengapa harus Putra tunggal-Nya yaitu Yesus sebagai tebusan dan harus menjadi manusia? Bahkan, mengapa harus melalui penderitaan dengan cara kematian yang begitu terkutuk? Firman minggu ini meneguhkan bahwa Yesus telah ada sebelum dunia dijadikan. Allah Bapa bersama-sama dengan Putra dan Roh Kudus dalam Trinitas yang satu hakekat dan Satu Roh serta telah memahami adanya rencana penebusan itu. Allah Pencipta adalah sekaligus Allah Penebus. Melalui Alkitab kita digambarkan bahwa Allah memberikan kepercayaan kepada manusia Adam dan Hawa untuk hidup sesuai dengan rencana dan konsep Allah tetapi akhirnya mereka jatuh. Allah memberikan kepada manusia kepercayaan kemampuan, namun akhirnya menyombongkan diri dalam peristiwa menara Babel (Kej. 11:1-9). Allah membiarkan manusia bertumbuh melalui fase-fase sejarah dengan adanya Hakim-hakim, Raja-raja, Nabi-nabi, namun semua gagal dalam mewujudkan umat Allah yang kudus. Manusia takluk. Allah kemudian “menyesal” dalam pengertian, mengapa manusia harus kalah?

Allah dalam hal ini bukan bereksperimen melakukan semuanya sehingga manusia harus kalah terhadap dirinya sendiri dan kekuatan pengaruh iblis. Allah tetap Allah yang Mahakasih yang ingin umat-Nya tidak binasa. Allah tidak sekedar menyesal melainkan bertindak, dan jalan yang ditempuh Allah adalah jalan yang dapat masuk ke dalam akal pikiran manusia, yang dibentuk berdasarkan tradisi dan kepercayaan yang sudah ada pada manusia pada saat itu. Allah dalam pengertian melalui hikmat-Nya memakai jalan demikan untuk memudahkan dalam penyampaian dan kesuksesan rencana penyelamatan-Nya. Rencana itu yang terbaik dan bukan rencana darurat: Nubuatan-nubuatan Perjanjian Lama harus digenapi. Mesias yang dinantikan umat Yahudi harus segera datang. Keturunan Raja Daud harus digenapi. Itulah yang membuat Allah melalui Tuhan Yesus harus menjadi manusia untuk dapat menyelamatkan umat-Nya dari kebinasaan. Tebusan harus diberikan dan untuk itu darah dari Anak Domba yang tidak berdosa harus tercurah sehingga ritual dan ibadah itu menjadi lengkap. Dia adalah Penyelamat yang sempurna dan sesungguhnya telah ada sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4; Kol 1:17).

Yesus harus menderita bagi dosa-dosa kita bukanlah sekedar perenungan, bukan juga sesuatu yang diberikan Allah ketika dunia ini berjalan tanpa kendali. Pesan utamanya adalah umat Yahudi seyogiayanya mengetahui bahwa Kristus datang ke dunia dan karya penyelamatan-Nya adalah rencana Allah jauh sebelum kehidupan dunia ini ada. Ini otomatis memberikan jaminan bahwa Taurat tidak dibatalkan karena hukum itu tidak bekerja efektip sebab diperlakukan lebih kepada kehendak dan kepentingan para Imam dan kaum Farisi. Sejatinya Taurat dan Kedatangan Yesus adalah paralel bagian dari rencana kekekalan Allah. Dengan melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya, ketetapan Yesus menjadi hakim bagi semua orang adalah sesuatu yang mudah diterima, sebab Ia pernah menjadi manusia dan tahu mengenai manusia dan menang dalam kemanusiaan-Nya. Ia menjadi hakim yang lengkap (Yoh. 5:22). Namun semua itu akan dinyatakan sempurna pada zaman akhir, dengan tujuan kita tetap percaya, dalam iman dan pengharapan yang selalu tertuju kepada-Nya.

 

Ketiga: Kasih persaudaraan yang tulus ikhlas (ayat 22)

Allah telah menebus dosa-dosa manusia dan menjadikan umat-Nya kudus, maka manusia harus memelihara dan menjaga kekudusannya itu (1Pet. 1:2). Penebusan dimaksudkan untuk kebebasan dan kemerdakaan dari belenggu dan bukan kebebasan untuk kembali berbuat dosa, sehingga kekudusan harus dipertahankan. Kekudusan itu perlu sebagai syarat utama untuk tetap menjadi anak-anak Allah. Namun Allah juga tidak membiarkan manusia bertarung dengan kekuatan sendiri dalam kehidupan ini menghadapi musuh-musuh. Kalau sebelumnya pada masa perjanjian lama manusia menjalani kehidupan ini dengan sendirian (meski kadang Roh Allah datang menolong), maka saatnya kini pasca Tuhan Yesus naik ke sorga, Roh Allah diam dan bersemayam di dalam hati orang percaya akan kebangkitan-Nya, percaya akan kuasa-Nya, dan menjadikan Yesus sebagai Juruselamatnya. Sikap dan keyakinan iman itu perlu dengan sepenuh hati, dengan hati yang murni dan bersih yang diwujudkan dalam ketatatan.

Kita terus menyucikan diri melalui ketaatan kepada kebenaran dan terus menerus dalam pertobatan yang membuat kita semakin sempurna dan mencapai patokan serupa dengan Yesus (Rm. 12:2; Yak. 4:8; Flp. 3:10). Hidup orang percaya harus tetap dalam sikap hormat dan takut kepada Allah. Allah lebih dahulu mengasihi kita sehingga kita pun layak untuk mengasihi-Nya dan mengikuti firman-Nya. Allah memerintahkan: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh. 13:34; Rm. 12:10; 1Tes. 4:9). Tujuan semua itu bukan hanya kita semakin berkenan kepada Allah, melainkan juga kita dapat menjadi teladan, sinar dan cahaya ditengah-tengah kegelapan dunia, dan terutama kita dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas bagi sesama (1Tes. 1:7; Mat. 5:13-15). Kita diselamatkan untuk menjadi berkat dan berbuah bagi banyak orang. Dengan mengasihi setiap orang, nama Tuhan Yesus dimuliakan dan semakin banyak yang percaya dan tidak binasa.

Dalam melakukan penyucian dan pengamalan kasih persaudaraan itu, firman Tuhan minggu ini mengatakan hendaklah kita bersungguh-sungguh dengan segenap hati. Kita mewujudkan kasih bukan lagi untuk mendapatkan keselamatan, sebab keselamatan sudah pasti melalui iman dan kebangkitan Kristus. Hanya kita perlu memperlihatkan dan membuktikan iman dan pertobatan dengan berbuah bagi banyak orang. Iman yang tidak berbuah dan berwujud adalah mati (Yak. 2:24-26). Karenanya mengasihi adalah perbuatan nyata iman dari orang-orang yang sudah dilahirkan kembali melalui kehidupan pribadi, keluarga, kehidupan gereja dan sosial kemasyarakatan. Kasih Allah yang telah terwujud dalam penebusan itu harus disebarkan dan mengalir melalui kasih kita kepada mereka, menjadi pengikat dalam pergaulan dan dalam persekutuan sehari-hari. Sama seperti kasih Allah yang tidak pamrih, kasih kita juga harus tulus dan tidak berpura-pura, munafik (Rm. 12:9), yang sebenarnya untuk kepentingan atau keuntungan diri sendiri saja.

 

Keempat: Dilahirkan kembali dari benih yang tidak fana (ayat 23)

Semua hal keyakinan, pengharapan dan buah-buah keselamatan dalam kasih persaudaraan serta upaya menjaga kekudusan merupakan bukti bahwa kita adalah manusia baru dan hidup baru di dalam Tuhan Yesus. Manusia baru berarti kehidupan lama sudah berlalu, dan kita dilahirkan kembali dalam hidup baru dengan tabiat dan sifat yang baru. Perubahan itu bukan karena adanya kesadaran psikologis atau kesadaran kontemplasi yang mengandalkan kemampuan manusia merubah dirinya sendiri, melainkan didasari oleh ucapan syukur dan penyerahan diri total kepada Allah. Ada cara pandang atau paradigma bagi yang hidup baru bahwa hidup kita bukan lagi milik kita, bukan lagi tanpa asal muasal, bukan lagi tanpa tujuan dan kesia-siaan, melainkan sudah jelas bahwa keberadaan kita berasal dari rencana Allah dengan maksud dan tujuan Allah juga. Tujuan hidup kita bukan lagi kesenangan di dunia ini yang bersifat sementara, melainkan tujuan kekekalan dalam naungan hadirat Allah dengan sukacita yang berkelimpahan.

Seseorang bisa saja berubah menjadi baik karena kesadaran diri sendiri dan menyebut tidak ada pertolongan Allah dalam hal itu. Hasil kontemplasi manusia bukanlah tidak berarti atau bisa diabaikan. Manusia memiliki kemampuan melalui meditasi, yoga, semedi, puasa dan penahanan nafsu dan keinginan diri lainnya. Akan tetapi sepanjang hal itu merupakan pengakuan hasil upaya manusia, meniadakan pertolongan Allah dalam perubahan hidup yang baru itu, maka sebenarnya perubahan itu didasarkan pada benih yang fana. Bagi mereka Allah adalah sesuatu yang tidak terjangkau dan penuh misteri. Benih yang fana yakni kekuatan pikiran dan penahanan diri berarti benih yang mudah layu dan rusak, benih yang tidak teruji hingga akhir zaman (1Kor. 3:12-14), yang tidak tahan terhadap goncangan dan dinamika kehidupan. Benih ini sangat berbahaya bila diunggulkan, sebab dapat menipu. Terujinya benih ini adalah tatkala muncul goncangan kehidupan yang hebat, ketika usaha manusia dirasakan tidak ada harapan, maka mereka menolak perubahan itu dan menjadi putus asa bahkan akhirnya bunuh diri (band. Yud.; Mat 27.:5).

Seseorang yang didasari rasa syukur dan memiliki pandangan dan sikap berserah, menerima segala tekanan kehidupan tanpa ada penolakan, hanya dimungkinkan apabila dia lahir baru di dalam Kristus. Ia dapat mengatakan bahwa betapa pun beratnya penderitaan yang dia alami, betapa hebatnya sakit yang dia rasakan, ia masih tetap berkata semua yang terjadi padanya itu merupakan kehendak dan persetujuan Allah. Ia bisa sakit menahun, mengalami hal buruk dalam tubuhnya maupun kehidupannya, tapi ia tetap berkata bahwa ada rencana Tuhan di balik semuanya dan akan indah dibukakan pada saatnya. Cara pandang itu terjadi hanya karena ia telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, yang tidak layu dan hancur oleh kekejaman hidup (Yoh. 1:13). Benih yang tidak fana itu yakni firman Allah, yang hidup dan kekal, serta menjadi sumber kehidupan bagi mereka yang setia dan berserah kepada-Nya (1Tes. 2:13; 1Yoh. 3:9).

 

Penutup

Kasih dan kebaikan Tuhan melalui penebusan hidup kita hendaklah dijadikan sebagai dasar untuk bersifat takut dan hormat akan Dia. Penebusan-Nya sudah sempurna melalui penderitaan dan kematian Yesus. Allah melakukan semua itu sudah dalam rencana awal dengan Dia sebagai Sang Penebus sekaligus sebagai Sang Pencipta. Yesus sudah ada sebelum dunia dijadikan dan itu adalah pokok iman Kristen. Penebusan itu pun harus dijaga dengan terus menyucikan diri sehingga hidup kudus bukan pilihan melainkan cara hidup orang-orang Kristen yang telah menerima anugerah-Nya. Perubahan status dari yang terbelenggu dosa menjadi orang merdeka haruslah diteguhkan dalam mempertahankan kekudusan itu dan diwujudkan dalam sikap hidup yang berbuah dengan menyebarkan kasih persaudaraan bagi sesama. Kasih ini diminta tulus ikhlas dengan bersungguh-sungguh, tidak boleh berpura-pura dan untuk mementingkan atau mengambil keuntungan diri sendiri, kerelaan berkorban sama seperti kasih Yesus yang dinyatakan di kayu salib. Dengan demikianlah kita membuktikan bahwa terjadinya kelahiran baru dengan perubahan dan buah-buah itu berasal dari benih yang bukan fana yakni firman Allah yang dikaryakan melalui kuasa Roh Kudus. Tuhan Yesus memberkati.

KABAR DARI BUKIT (26 April 2020)

KABAR DARI BUKIT (26 April 2020)

_ Hati Berkobar-kobar_

 

".... Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?”(Luk. 24:32)

 

Firman Tuhan hari ini di Minggu Paskah III, Luk. 24:13-35, berkisah tentang dua orang murid yang berjalan menuju Emaus dan tidak menyadari ketika Tuhan Yesus ikut berjalan bersama mereka. Yesus ikut berbincang tetapi mata mereka terhalang, bahkan kemudian ikut makan. Tetapi ketika mereka sadar, Tuhan Yesus telah lenyap dari pandangan mereka. Kisah ini mengulang peristiwa Tuhan Yesus bertemu dengan para murid dan lainnya, sepuluh kali setelah kebangkitan-Nya. Saat bertemu, ada yang melihat tubuh fisik-Nya, dan ada yang merasakan kehadiran tubuh kemuliaan-Nya, seperti menembus dinding atau hadir dalam percakapan dua murid dalam nas ini. 

 

Kebangkitan Yesus meneguhkan iman kita adanya kebangkitan orang mati, bagi yang setia dan percaya kepada-Nya (1Kor. 15:12-13; Rm. 6:5). Ketika kelak dibangkitkan, tubuh kita berubah menjadi tubuh kemuliaan, tetapi ada saat orang percaya berkumpul tubuh daging dapat terlihat, meski keinginan daging tidak ada lagi, tidak ada kawin dan dikawinkan (Mat. 22:30). Kerajaan sorga bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita (Rm. 14:17). Tuhan Yesus juga tidak kembali untuk menjadi penguasa dunia ini, seperti pembicaraan kedua murid yang berharap “Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel” (ayat 21).

 

Pengharapan sorgawi mesti ada bagi orang percaya. Kita berasal dari Roh Allah, penguasa dan pemilik sorga, dan kita tetap sebagai warga kerajaan sorga (Flp. 3:20). Roh dan nafas kita dari sorga, maka akan kembali ke sorga, sedangkan tubuh dari debu akan kembali menjadi debu (Kej. 3:19). Kita dilahirkan bukan dari benih yang fana (1Pet. 1:17-23).

 

Jika iman dan pengharapan saat ini belum kuat dalam diri kita, nas minggu ini mengajarkan agar kita bertekun dalam firman-Nya. Tuhan Yesus berkata, jangan bodoh dan lamban hati, tidak percaya pada kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi (ayat 25-27). Bacalah tiap hari firman-Nya dan terapkan! Hiduplah dalam kehidupan yang penuh pengharapan.

 

Mereka yang memiliki semangat untuk terus mengenal dan menjalani hidup ini bersama dengan Dia, akan memiliki hati yang berkobar-kobar (ayat 32). Dia akan berbicara dengan kita tentang hal yang dialami-Nya dan kemuliaan yang telah diterima-Nya. Betul, kadang tanpa diduga, ada datang pergumulan atau rasa takut, seperti situasi wabah Covid-19 yang sangat mematikan ini. Kesedihan dan kekuatian kadang membuat kita tidak mengenal-Nya, seperti kedua murid yang terhalang matanya. Tetapi ingatlah, kita telah dipersatukan dengan Dia melalui baptisan dan pengakuan percaya, dan terus disegarkan pada waktu Ia memecah-mecahkan roti dalam perjamuan kudus yang memberi kekuatan bagi kita.

 

Bagian akhir pesan nas minggu ini, agar kita bangkit, sebagaimana kedua murid bangun dan kembali ke Yerusalem. Mereka menceritakan kepada para murid lainnya tentang yang terjadi di tengah jalan bersama Yesus yang bangkit (ayat 34-35). Situasi saat ini jangan membuat kita "lamban dan bodoh”, mata terhalang untuk melihat Tuhan tetap berkarya. Lakukan sesuatu untuk mengenal atau melayani Dia. Bagi yang belum pernah membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, pakai kesempatan ini. Saya membaca Alkitab penuh saat full lockdown, di penjara saat mahasiswa. Cari dan baca buku-buku rohani. Atau, berbagilah berkat dan tenaga, misalnya, jadi relawan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Saatnya lebih banyak bersama Dia dan bersaksi, merasakan Yesus adalah sahabat kita dalam perjalanan. Selamat hari Minggu dan beribadah di rumah. Tuhan memberkati dan melindungi kita sekalian, amin.

 

Pdt. Em. Ramles M. Silalahi.

KABAR DARI BUKIT (19 April 2020)

KABAR DARI BUKIT (19 April 2020)

 

Penjaga dan Pelindungku

 

Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah. Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram (Mzm. 16:8-9).

Firman Tuhan Minggu Paskah II ini diambil dari Mzm. 16 - merupakan bagian pertama kitab Mazmur (pasal 1-41), dan diyakini digubah oleh Raja Daud. Mazmur ini sangat cocok bagi kita di tengah-tengah situasi wabah Covid-19 saat ini, ketika membaca semakin hari jumlah korban sakit dan meninggal terus naik, meski yang sembuh juga meningkat. Terlebih lagi, info yang beredar situasi ini belum berhenti cepat, perkiraan wabah akan memuncak pada bulan Mei atau Juni nanti. Hal yang lebih mengkuatirkan, penyakit yang ditimbulkan virus ini belum ada obat ampuhnya, penularannya sangat cepat dan mematikan, serta ada kemungkinan di wilayah/negara yang sudah menurun wabahnya dapat naik menghebat kembali.

Raja Daud menyatakan dua rasa syukurnya. Pertama, ia telah melihat kesedihan orang-orang yang mengikuti allah lain; bersyukur ia tidak ikut mempersembahkan korban bahkan tidak menyebut-nyebut namanya (ayat 4, band. Mzm. 73:25). Nasib buruk menimpa mereka yang tidak setia. Ini sangat penting, sebab bagi kita pun godaan selalu muncul, yakni ingin mendahulukan dan mengandalkan ilah-ilah lain dalam kehidupan, seperti uang dan harta, pekerjaan dan jabatan, koneksi atau kuasa perlindungan arwah orang mati, asuransi dan kesehatan tubuh, dan lainnya. Mungkin kita belum mendahulukan dan tergantung penuh pada Tuhan yang sebenarnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Pentingnya mendahulukan Tuhan dapat kita lihat dalam bentuk sederhana, misalnya, apakah setiap pagi kita memulai hari dengan berdoa, bersyukur dan membaca (renungan) firman-Nya? Saatnya kini untuk introspeksi, kembali, jangan semua menjadi sia-sia.

Syukur kedua, Daud mengakui telah menerima begitu banyak kebaikan Tuhan. Ia mendapatkan warisan, piala, dan pusaka yakni tanah perjanjian dan Tuhannya, yang diteguhkan menjadi bagiannya, dan semuanya ia lihat dengan mata rohani sebagai tempat-tempat yang indah permai dan menyenangkan hatinya (ayat 5-6). Daud sungguh menikmatinya dan banyak belajar dari sekelilingnya yang penuh dengan orang-orang percaya dan berhikmat. Melalui mereka, Tuhan telah memberi nasihat dan jalan kehidupan yang benar. Hati nuraninya bersih dan bekerja, dapat melihat pengharapan masa depan kekekalan begitu indah. Ada sukacita berlimpah-limpah, ada nikmat senantiasa (ayat 11). Selalu bersyukur dan rendah hati di hadapan Allah, maka kita menjadi orang-orang yang sepenuhnya dipelihara Allah (Ayb. 5:11; Yak. 4:6, 10).

Ketakutan dan kekuatiran sangat manusiawi. Ada bagian seolah gelap terjadi di depan. Puncak ketakutan manusia mungkin kematian dan proses kematian yang menyakitkan, seperti kisah derita dampak Covid-19 pada tubuh; untuk menghirup nafas saja demikian susah dan berat. Tetapi biarkanlah Allah dengan tangan-Nya yang kuat menyelesaikan kekuatiran dan kecemasan kita. Allah tetap mengendalikan situasi, yang seperti kata Daud: “sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan (ayat 10). Segala ketakutan dan kekuatiran serahkan sepenuhnya kepada-Nya (bd. Mzm. 37:5; Mat. 6:25-34).

Menghadapi situasi wabah Covid saat ini dan ke depan, melalui Mazmur ini kita diajak melihat pengakuan iman Raja Daud sekaligus pujian khidmatnya (Miktam) di ayat 1-2: “Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung.... Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!... Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah. Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram” (ayat 8-9). Dalam situasi saat ini, mari kita pakai waktu untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya, sumber dan penjaga kehidupan kita. Tetap produktif melakukan yang terbaik termasuk berbagi kasih, jangan bersikap pasif. Jauhkan hal-hal yang mengubah fokus sehari-hari tetapi menikmati kebersamaan dalam pola hidup yang berbeda saat ini. Tetaplah rindu untuk bersekutu dengannya, dan akuilah, kita ini milik-Nya, yang telah mengalahkan kematian menjadi kebangkitan. Bagi kita yang sudah menang terhadap rasa takut, mari berbagi dengan orang lain kemenangan itu. Selamat beribadah dari rumah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.

 

Pdt. (Em.) Ramles M. Silalahi.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 546 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7411048
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
54163
61324
163814
7204198
445910
1386923
7411048

IP Anda: 172.70.142.239
2024-11-21 22:13

Login Form