Thursday, November 21, 2024

2020

Kabar dari Bukit Minggu 18 Oktober 2020

Kabar dari Bukit

 

DUA KEWARGAAN (Khotbah Mat. 22:15-22)

 

"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat. 22:21b)

 

Firman Tuhan hari Minggu ini Mat. 22:15-22 berbicara tentang membayar pajak kepada Kaisar. Umat Yahudi berpikiran bahwa mereka hanya mempunyai kewajiban memberi kepada Allah saja. Bila kepada Kaisar apalagi asing yang menjajah mereka, itu hal yang tidak benar.

 

Menurut William Barclay dalam bukunya Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Matius, umat Yahudi saat itu mempunyai tiga kewajiban pajak kepada pemerintah Romawi: pajak bumi (10-20% dari hasil bumi), pajak penghasilan lain (1%), dan pajak kepala (pribadi) yakni sebesar satu dinar bagi pria/wanita dewasa. Ini di luar persepuluhan dan persembahan lain yang dibawa jemaat ke Bait Allah.

 

Dalam nas ini kaum Farisi bersama orang Herodian pendukung Herodes, dituliskan berkomplot ingin mencobai Tuhan Yesus dengan pertanyaan jebakan di ayat 17b: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" Ini buah simalakama; bila jawaban membela umat Yahudi akan menyudutkan Yesus di hadapan kekaisaran, dan jawaban membela Kaisar akan dianggap rendah oleh umat Yahudi.

 

Tetapi Tuhan Yesus menjawab dengan hikmat dan meminta seseorang menyerahkan mata uang satu dinar kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (ayat 20-21).

 

Bagi kita orang percaya dan dunia modern, setelah pengalaman panjang yang kurang baik dengan teokrasi, telah disepakati pemisahan urusan kenegaraan dan gereja. Kita mengakui dwi-kewargaan kita, yakni sebagai WNI dan warga Kerajaan Sorgawi (Flp. 3:20). Maka kita pun memiliki dua kewajiban.

 

Sebagai warga negara yang layak membayar pajak (baik PBB, PPh dan lainnya) mungkin kita telah patuh, bagian pengabdian kita bagi bangsa dan negara. Perhitungannya diatur oleh pemerintah. Berbeda dalam kehidupan bergereja, semua diatur berlandaskan Alkitab dan disebut persembahan. Beberapa gereja menerjemahkan persembahan dengan berbagai jenis, termasuk persepuluhan dan membuatnya sebagai hal wajib. Sepanjang itu diterima oleh imannya, tidak masalah. Tetapi ketika persembahan dipakai oleh gembala untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, ini yang menjadi masalah. Oleh karena itu orang percaya perlu berhikmat dalam memberi, agar gerejanya dan hamba Tuhan tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, dan melupakan pelayanan keluar gereja sesuai hakikatnya.

 

Pendapat Bill Bright dalam bukunya How You can Experience the Adventure of Giving dapat sebagai pegangan kita warga gereja dalam memberi persembahan, yakni:

 

Pertama, mengakui semua yang kita miliki sebenarnya adalah milik Tuhan, dan kita hanya mengelolanya (stewardship) ;

Kedua, menyadari bahwa memberi lebih diberkati daripada menerima (Kis. 20:35);

Ketiga, memberi dengan iman;

Keempat, menyadari bahwa apa yang kita tabur, maka itu juga yang akan kita tuai;

Kelima, memberi kepada Tuhan adalah untuk memuliakan Dia;

Keenam, memberi dari hati, sikap sukacita, mengasihi dan untuk menyenangkan Allah.

 

Ketaatan pada peraturan itu bagus, tetapi perlu berhikmat meresponnya, seperti Tuhan Yesus memberi jawaban dalam nas ini. Ukuran manusia berbeda dengan ukuran Tuhan. Manusia lebih sering memandang muka dan berharap penghargaan, tetapi Tuhan memandang hati. Ukuran persembahan yang benar adalah kalau kita merasakan sakitnya dalam memberi. Dan memberi tanpa parameter dan "suka-suka", jelas bukan warga sorga yang bertanggung jawab. Prinsip dasar adalah berilah yang terbaik: dengan menjaga kekudusan tubuh kita, tenaga dan pikiran, hati dan mulut, juga dengan harta kita. Sudahkan yang terbaik kuberikan? Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.

Khotbah Minggu 18 Oktober 2020

Minggu XX Setelah Pentakosta

 

INJIL DENGAN KEKUATAN ROH DAN KEPASTIAN YANG KOKOH

(Khotbah 1Tes. 1:1-10)

Bacaan lainnya: Kel. 33:12-23 atau Yes. 45:1-7;

Mzm. 99 atau Mzm. 96:1-9, 10-13; Mat. 22:15-22

 

 

Pendahuluan

Tesalonika merupakan ibukota Provinsi Makadonia dan sekaligus kota terbesar dengan penduduk 200.000 di bawah pemerintahan Romawi. Kota ini salah satu pintu awal Injil masuk ke wilayah Eropa, setelah Rasul Paulus mendengar tentang pilihan ke Makadonia dibandingkan dengan pilihan ke arah Arabia di selatan (Kis. 16:9). Pada saat surat ini ditulis - perkiraannya sekitar tahun 50 M, jemaat Tesalonika merupakan jemaat baru yang belum terlalu dewasa. Rasul Paulus beserta pelayan Tuhan lainnya tidak dapat tinggal lama di sana karena adanya penolakan yang hebat, sehingga pengajaran tentang Tuhan Yesus belum banyak yang disampaikannya. Oleh karena hatinya terus terpaut di kota itu, ia kemudian mengutus Timotius untuk kembali melihat perkembangan jemaat. Dalam perjalanannya ke Korintus, Rasul Paulus menuliskan surat ini sebagai bagian dari pengajaran Kristiani kepada jemaat dan juga bagi kita semua.  

 

Pertama: Pentingnya keakraban para hamba Tuhan (ayat 1-3)

Setelah minggu lalu kita membaca firman Tuhan tentang perselisihan yang terjadi di antara dua pelayan Tuhan di jemaat Filipi, sebaliknya yang terjadi di jemaat Tesalonika. Hubungan para pelayan Tuhan sangat dekat dan akrab dan ini bisa dilihat dari cara mereka menyapa dalam surat ini. Rasul Paulus juga tidak perlu menonjolkan kerasulannya sendiri. Ia menyadari bahwa hubungan di antara para pelayan Tuhan sangat penting, sangat menentukan dalam membangun iman jemaat. Prinsip kasih yang sering diajarkan dan dikhotbahkan para pelayan seyogianya itu juga tampak dalam kehidupan sehari-hari, sebab kalau tidak, jemaat akan mengatakan OMDO atau NATO (omong doang dan No Action Talk Only). Sebaliknya apabila jemaat melihat itu nyata, maka itu akan menjadi kesaksian hidup dan rasa syukur bagi sesama orang percaya dan dapat menarik perhatian bagi yang belum mengenal Tuhan Yesus untuk menjadi pengikut-Nya. Hal kedua yang diperlihatkan oleh Rasul Paulus (dan rekan-rekan sekerjanya – lihat Kis. 15:22, 39-40, 16:1-3; 17:1-10) adalah perhatian yang penuh bagi jemaat yang dipimpinnya. Mereka menyapa dengan dengan berkat dari Allah yaitu kasih karunia dan damai sejahtera (band. Rm. 1:7-10; Ef. 5:20). Keselamatan yang dianugerahkan membuat sesama jemaat dan hamba Tuhan masuk ke dalam persekutuan bersama, dan ini membangun keakraban. Buah keakraban adalah penyertaan dan anugerah kasih Tuhan dialami dengan damai sejahtera.

Sikap yang menempatkan jemaat sebagai yang utama dan menyebutnya mahkota sangat kental dalam ungkapan ini (band. 1Tes. 2:19; 3:9). Setelah memberi berkat, Rasul Paulus kemudian mengungkapkan rasa syukur atas keberadaan mereka yang menjadi bagian orang percaya di dalam Allah Bapa dan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Rasa syukur atas kebersamaan mereka juga ditambahkan dengan selalu membawa jemaatnya ke dalam doa-doa mereka. Doa syafaat bagi mereka yang kita kasihi, tentu akan memberikan dampak perhatian Allah pada mereka yang disebut, terlebih lagi dinaikkan oleh hamba-Nya yang kerap dianggap lebih memiliki kuasa sebab para pelayan adalah mereka-mereka yang seharusnya orang benar (Yak. 5:16b). Adalah tanggungjawab hamba Tuhan untuk terus membawa jemaat dan orang-orang yang di sekitarnya untuk didoakan (Yak. 5:16a). Dalam hal ini Rasul Paulus memperlihatkan teladan seorang hamba Tuhan yang mengasihi jemaat Tuhan. Apabila ini lalai dilakukan para hamba Tuhan, maka ia perlu merenungkan panggilannya untuk melayani Tuhan dengan melayani sesama. Di lain pihak, jemaat juga perlu mendoakan para pelayannya, agar segala yang menjadi tanggungjawab pelayan dapat dijalankan dengan baik oleh pertolongan Allah (2Kor. 1:11; 2Tes. 3:1).

 

Hal lain yang dilihat oleh Paulus pada jemaat adalah tentang iman, kasih dan pengharapan mereka. Sebagaimana dikatakan dalam 1Kor. 13:13, di atas segala berkat dan karunia yang diberikan kepada jemaat untuk bertumbuh, yang tinggal adalah ketiga hal, yaitu: iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. Oleh karena itu Rasul Paulus mengamati ketiga hal itu yang terjadi pada jemaat, melalui Timotius. Rasul Paulus menemukan bahwa jemaat tersebut melakukan pekerjaan imannya dengan baik sesuai dengan keadaan sulit yang mereka hadapi (band. 2Tes. 1:11; Yak. 2:14), demikian juga dengan usaha kasih mereka, dan terakhir adalah ketekunan pengharapan mereka kepada Tuhan Yesus Kristus (band. . 5:2-5). Sungguh jemaat yang layak diteladani. Pujian Rasul Paulus sangat penting untuk meningkatkan rasa hormat dan kebanggaan mereka yang sekaligus merupakan kemuliaan bagi Allah Bapa yang mengasuh mereka. Hamba Tuhan yang lebih menonjolkan kelemahan atau kekurangan jemaat pasti tidak membangun.  Bahkan, mengutarakan kelemahan dan kekurangan dengan cara yang salah, malah akan menurunkan semangat jemaat. Pujian juga secara otomatis akan mendorong jemaat mengerahkan potensi yang lebih besar untuk memberikan yang terbaik, sementara kritik malah membunuh potensi yang ada. Bagaimanapun, pasti tidak ada jemaat yang sempurna dan ada kekurangan, sebab kesempurnaan hanya terjadi setelah semua digenapi pada kedatangan-Nya, ketika semua umat-Nya dikuduskan secara total.

 

Kedua: Injil dengan kekuatan Roh dan kepastian yang kokoh (ayat 4-5)

Rasul Paulus juga mengingatkan status jemaat Tesalonika sebagai umat pilihan Allah. Dipilih berarti dikasihi Allah (Ef. 1:4). Hal-hal lain yang membuat kebimbangan dan bahkan perdebatan (nanti dalam pasal berikutnya diuraikan tentang kematian dan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya), semua menjadi tidak penting dan berada jauh dari keutamaan sebagai pilihan Allah. Memang sedikit sulit memahami hubungan kedaulatan Allah dalam memilih diri kita, dan tanggungjawab kemanusiaan kita untuk mengikuti Dia. Tetapi meskipun kita tidak memahami sepenuhnya kedua kebenaran itu berjalan bersamaan, kita dapat mengatakannya sebagai hubungan kausal, yakni: Menjadi umat terpilih datang dari hati Allah (bukan dari pikiran kita) yang merupakan anugerah untuk menjalankan misi-Nya dan menyenangkan hati-Nya (bukan mengabaikan-Nya). Itu melahirkan rasa syukur (bukan keluhan). Sementara tanggungjawab kemanusiaan kita secara aktif terus mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Pelindung, fokus dalam kehidupan untuk menyenangkan hati-Nya, dan berbagi kasih dan Injil kepada orang lain. Pilihan Allah kepada kita juga sekaligus memberi tantangan untuk menjalani kehidupan ini untuk dibuat berharga bagi kita sendiri dan bagi-Nya. 

Ketika Allah memilih kita, Ia memberi kekuatan untuk mengikuti dan mendukung-Nya. Kuasa itu datang dari Roh Kudus dan Injil; kita tidak perlu tahu proses yang mana yang terjadi lebih dahulu. Yang jelas, Injil datang dengan kuasa dan membawa kekuatan pengaruh bagi setiap pribadi, keluarga, termasuk jemaat Tesalonika. Roh Kudus juga membuat seseorang mengerti Injil. Pengurapan Roh Kudus membuat Injil diterima dengan kepastian yang kokoh sebagai firman Allah. Ketika firman disampaikan dan direnungkan, hidup pasti menjadi berubah (Luk. 4:32-37; Kis. 1:8; Rm. 1:16; Gal. 3:22). Pengalaman selama 2000 tahun lebih, Injil dan kekristenan bukan sekedar kumpulan kejadian atau cerita yang menarik; tetapi merupakan kuasa Roh Allah bagi siapa saja yang mempercayainya (band. Yoh. 14:23-26; 15:26-27; 1Kor. 2:4). Kita tidak perlu mengkaji teoritis perbedaan logos dan rhema, yang tertulis dengan tidak tertulis, kata-kata atau makna, sebab bagaimanapun, Allah bekerja dengan cara yang tidak bisa dipahami manusia yang kemampuannya terbatas. Kita juga tidak dapat memahami keajaiban cara, jalan dan maksud pikiran Allah. Iman datang dari pendengaran, itu betul, tetapi jelas bukan “kebenaran” esklusif dalam arti menutup kebenaran lain bahwa iman dapat datang dari membaca firman dan melihat, atau orang tuli juga bisa beriman. Sebuah ayat jelas tidak bisa mengungkapkan seluruh kebenaran Allah, oleh karena itu selalu diminta melihat keseluruhan Injil.

Rasul Paulus menekankan hal yang dia alami dan lakukan di Tesalonika dengan menuliskan, "Memang kamu tahu, bagaimana kami bekerja di antara kamu oleh karena kamu". Jemaat telah melihat hal yang dikhotbahkan Rasul Paulus, Silas dan Timotius selama mereka di Tesalonika, dan menjadi bukti bagi mereka dengan melihat ketiga hamba-hamba Tuhan ini hidup di dalam kuasa-Nya dan dapat menjadi teladan. Ketiga hamba Tuhan ini melakukannya karena memiliki keyakinan yang kokoh tentang iman yang dipilih Allah dan Injil yang diberikan. Jadi, ketika kita mengaku bahwa iman adalah anugerah dan bukan merupakan buah dari pikiran, maka secara otomatis kita sebenarnya mengaku kalau kita adalah orang yang dipilih. Ketika kemudian firman atau Injil itu semakin kita dengarkan, renungkan dan lakukan, maka iman kita semakin bertumbuh dan kemudian berbuah dalam pelayanan. Inilah yang diperlihatkan para Rasul dalam keseharian mereka. Keyakinan bertiga ini yang membuat mereka berbuah dalam mengabarkan Injil. Kini, bagaimana dengan kita? Apakah perbuatan kita meneguhkan yang kita imani atau malah kontradiksi? Setelah kita mengakui Allah telah memilih kita, bagaimana respon kita tentang hal tersebut? Mari kita renungkan, semua yang sudah Allah lakukan dengan kuasanya setelah kita pertama beriman kepada Tuhan Yesus? Apakah kita cukup berbuah? Apakah kita berbuah lebat? (Yoh. 15:5).

 

Ketiga: Menjadi teladan dalam menghadapi penindasan (ayat 6-8)

Meski pesan keselamatan dibawa dalam sukacita kepada setiap orang percaya di Tesalonika (dan orang percaya umumnya), tetapi juga membawa jemaat itu pada penderitaan yang hebat karena penolakan dan penganiayaan dari orang Yahudi dan juga orang Romawi (Kis. 17:5; 1Tes. 3:1-4). Mereka membenci pengikut Yesus. Memang, hal yang dilaporkan oleh Timotius sangat menyenangkan hati Tuhan melalui Rasul Paulus. Sebagai jemaat yang baru bertumbuh, Rasul Paulus mendengar jemaat menerima dengan keteguhan meski penindasan datang. Paulus memujinya dan meminta agar yang mereka lakukan itu semua didasari oleh iman terhadap Allah yang benar di dalam Tuhan Yesus. Mereka juga tetap diminta bekerja dan berkarya oleh dasar kasih, ketabahan dan keteguhan yang didasarkan pada pengharapan akan datangnya Tuhan Yesus kembali. Semua ini merupakan tanda-tanda karakter efektif orang Kristen di segala abad. Untuk itu, Rasul Paulus meminta jemaat agar teguh pada perintah Tuhan dan mengikuti teladan para hamba-Nya menjadi pelaku yang setia (1Kor. 4:16). Semuanya dikerjakan dengan sukacita sejati dari Roh Kudus sebagai respon terhadap firman kebenaran dan keselamatan yang telah mereka terima (Yoh. 16:33; 2Kor. 6:10; Gal. 5:22; Ibr. 12:2; 1Ptr. 2:19-21).

Banyak orang percaya saat ini berpikir bahwa penderitaan bukanlah bagian dari kehidupan orang Kristen. Mereka berpikir kehidupan kekristenan hanya penuh dengan berkat-berkat dalam arti yang sempit, yakni kesenangan dan sukacita. Ketika datang penderitaan, mereka bertanya: Mengapa aku? Mereka merasa seolah-olah Allah telah meninggalkan mereka; bahkan menuduh-Nya tidak lagi menjadi pelindung bagi anak-anak-Nya. Tetapi semua orang percaya harus menyadari kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan dosa, karena itu orang percaya menderita. Allah mengetahui sebagian orang percaya perlu sebagai martir iman dan mengalami penderitaan. Maka daripada kita bertanya "Mengapa aku?", lebih baik bertanya "Mengapa bukan aku?" Iman kita dan nilai-nilai dalam dunia ini memang cenderung bertabrakan. Oleh karena itu perlu ada pengorbanan, teladan, perlu ada martir yang dapat memperlihatkan iman, kasih dan pengharapan dan tentunya dari kita orang percaya. Kisah martir dan keteguhan seseorang pasti menyebar meluas, dan keteladanan itu memberikan motivasi bagi orang lain untuk ikut berkorban bagi kemuliaan Kristus Yesus. Kekristenan tidak dapat menjadi seluas sekarang ini tanpa adanya penderitaan panjang yang dialami umat percaya selama ratusan tahun. Demikian halnya kabar jemaat Tesalonika sebagai teladan, bergema keluar Makedonia dan Akhaya hingga ke seluruh wilayah Mediterania.

 

Salah satu cara menjadi lebih siap dalam menghadapi segala kemungkinan dalam melayani Tuhan adalah menyadari bahwa penderitaan itu akan datang. Seorang PNS yang setia pada Tuhan dan berperilaku jujur pasti akan dicemoh orang sekelilingnya. Olok-olok sok suci pasti diterimanya. Seseorang yang menginjil bisa saja kemudian menjadi target kekerasan atau bulan-bulanan oleh mereka dari kelompok keras. Jika kita sudah mengetahui adanya kemungkinan penderitaan datang, maka kita tidak menjadi terkejut atau shock ketika hal itu terjadi. Yang kedua, kita lebih siap sebab kita tahu Yesus juga menderita dan menderita bagi kita. Apa yang dialami oleh Tuhan Yesus dan juga para rasul menjadi inspirasi dan sumber kekuatan bagi kita dalam melayani. Yesus memahami ketakutan kita, kelemahan dan bahkan jika timbul kekecewaan kita (Ibr. 2:17-18; 4:14-16). Yang ketiga, kita seharusnya tetap merasa aman sebab Ia berjanji tidak akan pernah meninggalkan kita (Mat. 28:18-20), dan Dia berdoa bagi kita sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara (Ibr. 7:24-25). Di dalam rasa sakit, penganiayaan, atau penderitaan, tetaplah teguh percaya kepada-Nya. Mari kita terus bersaksi dan memberikan teladan, meski kita harus berkorban untuk itu, agar kerajaan Allah semakin diperluas di sekeliling kita.

 

Keempat: Berbalik dan melayani Allah (ayat 9-10)

Seharusnya semua orang percaya memberi respon yang sama terhadap Injil dan keselamatan yang disampaikan, sebagaimana jemaat Tesalonika perlihatkan: berpaling pada Allah dan melayani Allah. Kehidupan masa lalu jemaat Tesalonika penuh dengan berhala-berhala dengan segala kuasanya, dan terbelenggu pada dosa-dosa kehidupan terbuka di wilayah yang sudah maju saat itu. Kini, itu semua harus ditinggalkan. Mereka telah bertobat dan hal inilah yang dipuji Rasul Paulus. Injil dan kuasa Roh telah membuat mereka menjadi manusia baru. Demikian juga dengan kita saat ini, kehidupan yang bertentangan dengan kehendak Allah sebaiknya kita tinggalkan. Kehidupan berupa dosa-dosa mengandalkan hidup pada berhala-berhala modern, seperti uang dan kekayaan, jabatan, prestise dan kehormatan, perlu dijauhkan apalagi sampai kita melanggar firman Tuhan untuk mendapatkan atau mempertahankannya. Perubahan hidup baru dengan berbalik kepada Allah harus diisi dengan melayani-Nya yang didasari iman, kasih dan pengharapan, sebagai buah nyata dari pilihan Allah terhadap kita yang dikasihi-Nya. Kita dikasihi Allah maka kita wajib mengasihi Allah (1Yoh. 4:10).

Yesus berjanji akan datang kembali untuk menjemput orang-orang percaya yang dikasihi-Nya. Apapun yang kita alami saat ini sebagai konsekuensi penerimaan kita terhadap Tuhan Yesus, termasuk apabila kita menderita, pertahankanlah itu. Ia adalah Allah yang hidup dan yang benar. Semua yang terjadi dalam hidup kita berada dalam pengendalian-Nya dan kuasa-Nya. Tetaplah setia menunggu kedatangan-Nya turun kembali dari sorga. Dalam penantian itu kita lebih sungguh-sungguh dalam mengenal Dia dan berusaha lebih melayani-Nya, sebab kita hanya memiliki waktu yang sedikit sebelum Yesus kembali. Kita harus siaga dan siap-siap sebab kita tidak tahu kapan Yesus akan kembali. Yesus telah dibangkitkan dan kuasa itu ada pada-Nya untuk membangkitkan semua orang percaya kelak untuk bersama-sama menerima kemuliaan dari Bapa. Melayani Allah hanya dapat dilakukan dengan sepenuhnya berserah dan tunduk kepada-Nya. Penantian yang tekun dengan hidup melayani bagi Allah merupakan awal yang diperlukan sebelum kemuliaan dari sorga itu dinyatakan.

Siap sedia untuk waktu juga berarti kesungguhan dalam pertobatan, berbalik arah dan orientasi (1Kor. 12:2; Gal. 4:8-9). Berbalik arah juga bukan berarti mereka diam menanti kedatangan tanpa bekerja melakukan sesuatu. Adanya perselisihan-perselisihan (selanjutnya hal ini diulas dalam pasal 4:9 dan 5:13) agar dapat dibereskan sebelum Tuhan Yesus kembali. Yesus datang bukan saja untuk menjemput dan mengangkat orang percaya yang dikasihi-Nya, tetapi juga menghakimi semua umat manusia. Bagi mereka yang hidupnya bertentangan dengan firman Tuhan dan mengutamakan dirinya sendiri, murka Tuhan akan datang padanya. Rasul Paulus menekankan murka Allah dalam masa kesengsaraan besar yang kelak akan datang (band. Kis. 17:31; 1Tes. 2:16; Rm. 3:5), namun murka Allah hanya bagi orang-orang yang tidak taat dan bangsa-bangsa yang tidak percaya (Yoh. 3:18; Mat. 25:30). Namun bagi orang percaya, kita tidak perlu takut sebab iman telah menyelamatkan kita yang menjadi milik-Nya dan bebas dari segala bentuk murka yang ada, termasuk melalui masa kesengsaraan besar yang mungkin terjadi (Rm. 5:9; Why. 3:10). Tuhan Yesus telah membebaskan kita dari semua beban dosa dan ketika Ia datang, kita telah sempurna dikuduskan-Nya dan siap untuk dimuliakan-Nya.

 

Penutup

Kita diajar tentang banyak hal dari nas yang kita baca dan renungkan minggu ini. Hal pertama adalah pentingnya kesatuan hati di antara pelayan Tuhan dan hubungan yang akrab dengan jemaatnya. Ketiga hamba Tuhan dalam nas ini memberikan contoh keteladanan. Mereka melihat jemaat sebagai mahkota yang harus dikasihi dan dipedulikan. Meski ada penolakan dan penganiayaan yang dialami jemaat, hati mereka tetap terpaut pada  keyakinan akan Injil dengan kekuatan Roh dan kepastian yang kokoh akan keselamatan yang diberikan melalui Tuhan Yesus. Mereka diingatkan sebagai pilihan Allah dan memuji yang telah dilakukan jemaat Tesalonika tentang perbuatan iman, kasih dan pengharapan, meski di tengah-tengah penderitaan. Ini menjadi teladan dan kesaksian yang hidup bukan saja di wilayah dekat, tetapi sampai ke luar hingga ke Mediterania. Untuk itu mereka tetap melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, berbalik dari hal-hal berhala dan perselisihan dan fokus melayani. Allah telah mengasihi mereka sehingga mereka seyogianya terus mengasihi Allah dengan terus berharap pada kedatangan Yesus kedua kalinya. Dengan demikian mereka dan kita juga akan jauh dari penghukuman dan murka Allah. Tuhan Yesus memberkati.

 

Pdt. Em. Ramles M. Silalahi 

 

 

Khotbah Minggu 11 Oktober 2020

Minggu XIX Setelah Pentakosta 

DI DALAM TUHAN KITA SENANTIASA BERSUKACITA (Khotbah Flp. 4:1-9)

Bacaan lainnya: Kel. 32:1-14 atau Yes. 25:1-9; Mzm. 106:1-6, 19-23 atau Mzm. 23; Mat. 22:1-14

 

Pendahuluan

Bagian terakhir kitab Filipi ini memberikan nasihat kepada jemaat Filipi tentang cara mereka hidup di dalam perdamaian dan kasih. Adanya perbedaan di antara para pelayan Tuhan diminta diselesaikan. Memang identitas yang disebut teman setia dalam nas ini masih belum terlalu jelas. Mungkin saja orangnya adalah Epafroditus yang membawa surat surat, atau seorang rekan Paulus yang lain di penjara. Orang itu bisa juga yang bernama Sunsugos (yang berarti penerima kuk bersama). Keprihatinan pada jemaat Filipi membuat Rasul Paulus sampai mengulang enam kali sebutan kasih kepada mereka. Ia menekankan sebagai pemimpin di dalam jemaat seyogianyalah memberikan teladan sebagaimana Kristus. Banyak hal positif yang dapat dilakukan dan terutama menjadikan jemaat sebagai mahkota. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran sebagai berikut:

 

Pertama: Berdiri teguh dan sehati sepikir (ayat 1-3)

Bagaimana caranya kita dapat berdiri teguh di hadapan Allah? Ini mengacu kepada ayat sebelumnya (Flp. 3:20-21), yakni dengan mengarahkan mata kita terus tertuju kepada Kristus, terus menyadari bahwa dunia ini bukanlah tempat kita yang abadi, dan fokus pada kenyataan bahwa Kristus yang mengendalikan segala sesuatu dalam hidup kita dan juga alam semesta. Dengan demikian, kita tahu segala hal yang terjadi dalam hidup kita ada dalam sepengatahuan Allah. Berdiri teguh juga berarti sabar dan tabah dalam menahan pengaruh negatif dari segala ujian dan pencobaan, pengajaran sesat, atau penderitaan. Ya betul, itu memerlukan ketekunan ketika kita diuji atau dihadapkan pada situasi perlawanan dan dimusuhi. Oleh karenanya, jangan kehilangan kekuatan hati dan mudah menyerah. Allah berjanji memberi kita kekuatan karakter. Dengan pertolongan Roh Kudus dan rekan-rekan orang percaya lainnya, kita akan dapat bertahan dan benar di hadapan Allah. Nasihat itulah yang diberikan kepada jemaat (band. 1Kor. 16:13).

Rasul Paulus tidak memaksudkan suratnya ini untuk menasihati jemaat Filipi tentang doktrin atau pengajaran yang salah, melainkan lebih kepada hubungan antar manusia. Hubungan buruk yang terjadi di antara para pelayan bukanlah masalah kecil. Ia mengambil contoh dengan nasihat kepada dua wanita (Euodia dan Sintikhe, mungkin tokoh-tokoh penting dalam jemaat) yang disebutnya telah bekerja di jemaat bagi Kristus. Melalui usaha dan kerja keras mereka berdua telah banyak orang percaya dibawa kepada Kristus. Adalah tidak mungkin seseorang yang percaya kepada Kristus –terlebih seorang pelayan – bekerja keras bagi kerajaan-Nya tapi memiliki hubungan yang buruk dengan sesama orang percaya lainnya, apalagi juga memiliki tujuan dan komitmen yang sama. Sehati sepikir perlu diutamakan agar bisa bekerjasama dan bersinergi (band. Flp. 2:2). Sungguh menyedihkan dan bahkan memalukan apabila di antara pelayan Tuhan atau pekerja Injil sendiri terjadi pertentangan. Firman Tuhan memberikan nasihat agar masing-masing pihak harus bersedia merendahkan hati dan memberi pengorbanan, tidak memaksakan keinginan sendiri. Egoisme yang memicu perbedaan harus disingkirkan, sebab Allah menciptakan manusia yang berbeda sudut pandang dan keperluan. Nas ini secara otomatis juga mengingatkan bahwa tidak ada ruang pemaafan dan pembenaran jika yang terjadi adalah perpecahan dan tidak terjadi rekonsiliasi. Bila ada perpecahan, pasti ada yang salah dan itu perlu diperbaiki di dalam pribadi mereka dan untuk itulah perlu introspeksi dan membuka diri.

Pertanyaan bagi kita: apakah kita saat ini sedang bermasalah dengan orang lain dalam persekutuan atau organisasi? Apakah kita sampai pada perpecahan dalam langkah dan bahkan mendendam sakit hati? Apakah kita memerlukan rekonsiliasi dengan seseorang saat ini? Jika kita menghadapi konflik yang kita tidak bisa selesaikan, jangan membiarkan ketegangan kecil yang dapat menjadi ledakan yang besar. Jangan kita mundur atau berhenti bahkan mengarahkan pada perkelahian dengan kekerasan. Jangan juga berpangku tangan dan menunggu bahwa masalah itu hilang dengan sendirinya. Prinsip waktu menghilangkannya tidak selalu benar. Waktu dapat menghilangkannya bila kita mengubah cara pandang dan kepentingan. Waktu memang dapat menurunkan amarah. Tetapi tanpa mengubah cara pandang, maka waktu tidak akan mengubah apapun yang menghilangkan perbedaan. Yang penting bagi kita, ketika masalah perbedaan dan pertentangan melanda, maka dengan iman dan kasih mintalah pertolongan Tuhan dan carilah orang yang bisa mendamaikan sehingga masalah dapat diselesaikan. Jangan sampai masalah berlarut-larut dan akhirnya menjadi dosa dan keselamatan kita dikorbankan. Ini yang ditekankan Rasul Paulus sehingga dikatakannya, keselamatan yang sudah kita terima dengan nama kita sudah tercatat dalam buku kehidupan, jangan sampai terhapus. Buku kehidupan adalah daftar semua nama-nama yang yang diselamatkan dalam hidup kekekalan melalui iman kepada Yesus Kristus dan ketaatan dalam melakukan firman-Nya (Luk. 10:17-20; Why. 20:11-15).

Kedua: Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan (ayat 4-5)

Adalah aneh untuk seorang narapidana mengatakan kepada jemaat: “Bersukacitalah!” Akan tetapi pernyataan Rasul Paulus itu memberikan kita pelajaran penting: sikap di dalam hati seharusnya bukanlah merupakan refleksi dari keadaan di luar tubuh. Respon kita terhadap yang terjadi di sekeliling, tidak harus membawa dampak buruk terhadap hati kita. Kebahagiaan bukan datang dari luar diri yang ada di sekeliling, atau hal peristiwa tertentu, tetapi sikap dari dalam hati yakni hati yang telah dipenuhi Roh Yesus. Rasul Paulus tetap hatinya penuh sukacita karena tahu bahwa tidak masalah yang terjadi padanya, sebab Tuhan Yesus ada selalu bersamanya. Firman Tuhan menekankan kata “senantiasa” jelas menunjukkan sumber sukacita bukan tergantung situasi, tetapi sumber yang abadi yakni dari Tuhan Yesus. Beberapa kali dalam suratnya, Paulus mendesak jemaat Filipi agar bersukacita, mungkin hal itu yang dibutuhkan jemaat saat itu akibat masalah perbedaan yang ada. Bukanlah hal yang terlalu sulit untuk menghilangkan kejengkelan hati atau kehilangan semangat dari situasi yang tidak menyenangkan; atau membuang hal-hal yang tidak penting untuk dipikirkan terlalu serius. Mereka hanya perlu fokus menyelesaikan dalam kasih. Kita harus bisa menilai hal yang penting dan utama dalam hidup ini. Jika kita saat ini tidak bersukacita, maka pasti ada yang salah dalam perspektif melihat kehidupan ini, terutama yang Tuhan telah berikan.

Demikian juga tentang permasalahan yang dihadapi jemaat Filipi dalam kesatuan hati untuk bisa sehati sepikir. Mereka tidak mungkin dapat bersukacita apabila mereka tidak bersatu dan ada kesehatian. Mereka tidak bisa merasakan sukacita apabila terjadi pertentangan yang bisa membawa perpecahan. Kita harus bersikap lembut, logis, pikiran terbuka, dan menyambut positif atas hal-hal yang terjadi di sekitar jemaat, dan bukan hanya sebagai orang percaya yang pasif tidak peduli. Dengan demikian, kita juga diminta agar tidak mudah menaruh sakit hati dan dendam pada mereka yang berbeda pendapat atau menyakiti hati kita, serta tidak berbangga dan omong besar atas kelebihan yang kita miliki dan menuntut hak-hak yang sepertinya menjadi milik kita. Sebaliknya, kita harus mengambil peran juru damai yang aktif apabila ada perselisihan yang terjadi di lingkungan kita. Sebagaimana dinyatakan Paulus, nas ini meminta warga jemaat lainnya (Sunsugos berarti sesama pekerja atau pemikul kuk) untuk ikut mendamaikan hamba-hamba Tuhan yang belum sehati itu. Tanpa kesejatian para hamba pelayan-Nya, jemaat pun akan kehilangan sukacita.

Hamba Tuhan dan dan para pelayan perlu melihat jemaat sebagai mahkota, dalam arti  yang paling utama dan dimenangkan dan bukan ego masing-masing pribadi. Bilamana ini dilihat sebagai sumber sukacita yakni jemaat bersatu padu, bertumbuh dan berbuah, maka sukacita akan datang pada semua. Sukacita mestinya mudah datang dari Yesus yang diam di dalam hati setiap hati orang percaya. Pelayan seharusnya menjadi panutan bagi jemaat. Untuk itu perlu ditonjolkan kebaikan-kebaikan hati (epieikes) berupa kesabaran, kesediaan mengalah apalagi keinginan menyenangkan orang lain dengan kasih. Dasar semuanya adalah kesiapan orang percaya dalam menyongsong kedatangan Kristus yang sudah dekat. Tuhan sudah dekat adalah prinsip Kristiani sehingga setiap masalah yang membawa dosa, harus diselesaikan dengan kasih (Mat. 24:36; Rm. 13:12-14; Ibr. 10:37; Yak. 5:8, 9). Hati yang bersuka cita dan bersyukur adalah prinsip Kekristenan. Tuhan sudah dekat juga berarti Ia tetap dekat yakni sedekat doa kita (band. Flp. 1:4). Maka pada kedatangan-Nya kedua kali, sukacita dan syukur serta janji-janji-Nya akan digenapi penuh (Mzm. 85:7; Hab. 3: 18). Yesus yang hidup di dalam diri kita akan memenuhi rencana-Nya yang indah dan kita pun akan menerima mahkota kemenangan.

 

Ketiga: Janganlah khawatir dan nyatakan keinginanmu dalam doa (ayat 6-7)

Salah satu sumber kehilangan sukacita adalah adanya kekhawatiran. Ini juga yang dilihat Rasul Paulus sehingga ia mengatakan janganlah khawatir tentang apapun juga. Meski tidak dijelaskan kekhawatiran yang terjadi pada jemaat Filipi, tapi ini diduga bukan dari faktor-faktor materi, tetapi lebih kepada gengsi, status, kesombongan, dan harga diri yang menyebabkan pertentangan. Banyak pihak yang bersengketa atau bertengkar tidak mau memulai perdamaian sebab ada pandangan bahwa mereka yang menawarkan perdamaian terlebih dahulu adalah yang bersalah. Mereka yang mengalah dianggap sebagai pihak yang salah. Padahal, jelas berbeda: mengalah dan salah. Orang yang mengalah memang sedikit harus kalah dalam arti tidak mau menang melulu. Akan tetapi mereka yang mengalah justru sering menjadi pemenang, sebab langkahnya adalah mundur selangkah untuk maju dua langkah. Alkitab juga memberikan contoh bagi mereka yang mengalah justru yang diberkati, sebagaimana Abraham mengalah terhadap Lot dan Daud mengalah pada Saul. Kekhawatiran itu yang harus diganti menjadi mendapatkan damai sejahtera. Alkitab mengatakan, “Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya” (Mat. 6:27; Luk. 12:25). Artinya, kekhawatiran tidak menambah apapun juga.

Jelas kita tidak bisa membayangkan situasi hidup kita untuk tidak khawatir tentang apapun. Itu tidak mungkin. Kita bisa khawatir tentang pekerjaan di kantor, tentang keadaan di rumah, di sekolah atau di lain persoalan. Akan tetapi Rasul Paulus menasihati agar mengubah kekhawatiran kita menjadi doa. Apakah kita ingin kekhawatirankita berkurang? Maka menurut firman minggu ini: tambahlah waktu kita untuk berdoa. Ketika kita mulai khawatir, hentikanlah kekhawatiran itu dengan mulai berdoa kepada Tuhan Yesus. Doa merupakan jalan keluar dengan dasar sebagai berikut:

1.       Persekutuan kita dengan Tuhan Yesus akan mengisi hati dan pikiran kita dengan damai sejahtera. Doa mendorong agar kita memiliki suasana berpikir damai sejahtera. Kita akan menerima kasih karunia dan berkat dari-Nya (Kol. 3:15; Yes. 26:3; Ibr. 4:16).

2.      Melalui doa kita secara otomatis menyerahkan segala kecemasan dan persoalan kita kepada Dia. Kita tahu bahwa Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk kebaikan kita (Rm. 8:28).

3.      Melalui doa kita memperlihatkan kesetiaan sekaligus memperbaharui kepercayaan pada Tuhan yang memelihara kita (Mat. 6:25-34; 1Pet. 5:7).

4.      Melalui doa kita meminta kekuatan dan pertolongan Allah untuk membekali dan menguatkan dalam persoalan yang kita hadapi (ayat Flp. 4:13; Ef. 3:16 Flp. 3:20).

5.      Alkitab memerintahkan, "Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu" (Ef. 6:18).

Dalam bagian lain dinyatakan, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh. 14:27). Damai sejahtera Allah di dalam Tuhan Yesus, yang dinyatakan dalam nas minggu ini melampaui segala akal, itu berarti melampaui ketidakmampuan segala pikiran, gagasan dan perencanaan manusia untuk memahami kedalaman dan kebesaran damai dari Allah. Istilah damai sejahtera akan memelihara, itu berarti menjaga atau membentengi kita dari segala kekhawatiran. Istilah phoureo yang berarti memelihara diambil dari istilah militer yakni benteng, yang menjaga damai sejahtera yang kita miliki. Damai sejahtera yang sebenarnya tidak kita peroleh dari berpikir positif, atau tiadanya konflik, atau dalam keadaan hati yang tenang. Damai sejahtera datang ketika kita berprinsip semua ada dalam kendali Yesus yang pasti memelihara jiwa kita. Kewargaan sorgawi kita adalah pasti, perjalanan hidup kita sudah ditentukan pada jalan yang dipimpin-Nya, dan kita pasti akan menang atas segala rintangan dan pencobaan. Biarkanlah damai sejahtera dari Allah yang memimpin hati kita terhadap kekhawatirandan kecemasan.

 

Keempat: Pikirkan dan lakukanlah semua hal itu (ayat 8-9)

Apa yang kita taruh di dalam pikiran akan menentukan hasil di dalam perkataan dan perbuatan. Rasul Paulus juga menyadari bahwa pikiran para pengikut Kristus perlu diberi “makanan” dengan mengatakan agar kita memprogram pikiran dengan hal-hal yang benar dan berguna. Makanan yang dimaksudnya adalah hal-hal yang benar, yang mulia, yang adil, yang suci, yang manis, yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji. Kumpulan makanan pikiran ini sering disebut sebagai pemikiran positif Kristiani. Para pengikut Kristus perlu mendisiplinkan diri memikirkan hal itu, maka Allah akan memelihara perasaan mereka dengan damai-Nya. Tak hanya itu, mereka juga sekaligus semakin dapat mengucap syukur kepada Tuhan. Itu berarti, kuncinya adalah ketaatan untuk memikirkan hal-hal yang Tuhan kehendaki. Selanjutnya Tuhan sendirilah yang akan turun tangan untuk menolongnya. Apakah kita ada kesulitan mendapatkan pikiran yang bersih? Atau pikiran kita hanya sering melamun? Periksalah yang ada di dalam pikiran kita yang "rusak", mungkin itu berasal dari televisi, internet, buku, film, atau majalah. Buang dan gantikanlah hal-hal yang mengganggu dan buruk itu dengan hal-hal yang membuat sukacita.

Isilah pikiran kita setiap hari dengan Firman Tuhan terlebih dahulu sebelum kita mengisinya dengan berbagai berita dan rencana harian kita. Bacalah firman Tuhan di pagi hari dan tekunlah berdoa. Betapa indahnya hidup jika kita dapat memberi makan pikiran dan perasaan kita dengan pikiran dan perasaan Kristus. Isi pikiran kita dengan meneleksi informasi yang berguna dan menambah hikmat dan sukacita. Mintalah kepada Tuhan agar pikiran kita tetap fokus pada hal-hal yang baik dan murni saja. Dengan demikian, kemenangan akan berada di pihak kita, yaitu damai Kristus dan hati yang bersyukur. Tidak cukup hanya mendengar firman Tuhan sekali seminggu di gereja. Atau hanya menghafalnya; justru yang terpenting adalah mempraktekkannya. Jadilah pelaku firman dan bukan pendengar (Yak. 1:22). Memang enak dan mudah mendengarkan khotbah, akan tetapi itu juga mudah hilang ditelan waktu. Memang tidak sulit untuk membaca Alkitab jika tidak harus berpikir keras, tetapi berpikir untuk bisa menjadi pelaku firman. Semua itu harus dipraktekkan dan untuk itu semua perlu dilatih. Jangan terjebak dalam dikusi-diskusi yang membuang energi tapi tidak berdampak pada perubahan cara pandang dan sikap hidup. Carilah makna firman, dan berusahalah untuk dapat memahami dan membuatnya menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu terjadi hanya dengan disiplin dan ketaatan.

Disliplin dan ketaatan memerlukan latihan. Itu yang membuatnya jadi berhasil. Dalam 2Tim. 2:5 dikatakan, "Seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara, apabila ia bertanding menurut peraturan-peraturan olahraga." Artinya, ada aturan dan latihan. Ada beberapa metafora yang dipakai di dalam Alkitab tentang latihan bagi kehidupan rohani orang percaya. Metafora pertama adalah berlari, sebagaimana dalam nas minggu lalu (Flp. 3:13-14) yakni mengerahkan dan memfokuskan seluruh tenaga untuk memenangkan pertandingan, dengan melupakan masa lalu dan memandang ke depan ke arah kekekalan. Berlari dipakai juga dalam 1Kor. 9:24-27 dengan latihan yang ketat agar memperoleh hadiah, dengan mengarahkan pandangan kita kepada Kristus sebagai tujuan akhir kita. Dalam hal ini kita jangan sampai keluar dari jalur atau patah semangat. Dalam 1Tim. 4:7-10 dituliskan perlunya latihan rohani untuk membantu pertumbuhan iman dan karakter. Sama seperti latihan fisik yang perlu berulang-ulang, maka latihan rohani juga demikian agar kita semakin baik di hadapan Allah. Kita akan mendapatkan buahnya tidak hanya pada saat ini, tetapi juga kelak di akhir zaman. Metafora terakhir adalah petinju dalam 2Tim. 4:7-8, sebab kita melawan kekuatan-kekuatan iblis dan si jahat. Jika kita melakukan dengan taat dan benar kepada Allah serta tabah hingga akhir, maka dikatakan, "Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu" (band. Rm. 15:33).

 

Penutup

Jemaat Filipi menghadapi persoalan hubungan para pelayannya yang tidak sehati sepikir sehingga mengganggu pelayanan yang diberikan. Gangguan ini tidak terbatas di situ saja, tetapi juga dalam keyakinan dan keteguhan mereka di dalam Kristus. Firman Tuhan menasihatkan agar mereka berdiri teguh dan mengarahkan pikiran pada Tuhan Yesus yang kedatangan-Nya sudah dekat. Dunia ini bukanlah tujuan akhir melainkan mempertahankan keselamatan yang sudah dijamin dalam buku kehidupan. Untuk itu mereka harus sehati sepikir dan senantiasa bersukacita. Apapun yang membuat sukacita terganggu, lebih baik disingkirkan. Kekhawatiran yang lebih kepada faktor gengsi, harga diri, kehormatan dan lainnya, harus dibuang jauh-jauh untuk terciptanya damai sejahtera. Segala kekhawatiran yang non fisik maupun hal fisik lebih baik dibawa dalam doa, menyerahkan semuanya pada Allah yang mengendalikan hidup kita dan alam semesta ini. Pikiran kekhawatiran yang dibuang sebaliknya diisi dengan pikiran postif Kristiani yakni semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar. Semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji itulah yang diisi dan dilakukan. Bertekadlah belajar melatihnya sehingga “Allah sumber damai sejahtera akan menyertai,” sehingga kita menjadi pemenang yang berhak akan janji Allah yang sudah disediakan bagi kita. Tuhan Yesus memberkati.

 

---------------------------------------------

 

Kabar dari Bukit Minggu 11 Oktober 2020

Kabar dari Bukit

KERAJAAN YANG HILANG (Khotbah Mat 21:33-46)

 

"Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih" (Mat. 22:14)

Firman Tuhan hari Minggu ini Mat. 22:1-14 kembali berbicara tentang Kerajaan Sorga. Bila nas minggu lalu menceritakan perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur yang tidak mau membayar kewajiban berbaginya (Mat. 21:33-46), minggu ini Kerajaan Sorga seumpama raja yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya.

Tradisi di Israel saat itu para tamu yang diundang dipanggil untuk makan saat hidangan telah tersedia. Umumnya undangan hanyalah kerabat dekat setempat saja. Tanggal dan jam telah ditetapkan, tetapi biasanya tidak seformal saat ini yang tercetak pada kertas/media. Dan ternyata saat hidangan raja telah tersedia, banyak yang tidak mau datang: ada yang pergi ke ladang, ada yang pergi mengurus usahanya; semua sibuk tidak mengindahkannya. Mereka berpikir itu jamuan biasa. Maka sang raja pun murka, membinasakan mereka yang ternyata pembunuh dan juga membakar kota mereka (ayat 4-5).

Nas ini seperti minggu lalu jelas ditujukan kepada orang Yahudi. Pesta perjamuan adalah ungkapan sukacita dari Bapa di Sorga atas pendamaian dan penebusan yang telah dilakukan melalui Anak-Nya Yesus Kristus, yang datang ke dunia bagaikan mempelai pria bagi umat sebagai mempelai wanita (Mat. 25:1-10; Luk. 5:34). Ternyata orang Israel tidak menyambut-Nya dan hal itu menjadi sumber amarah Allah Bapa kepada mereka.

Injil Matius lebih sering menggunakan kata Kerajaan Sorga, sementara Injil Lukas menuliskan Kerajaan Allah. Keduanya adalah sama. Menurut Prof. G.E. Ladd dari Pasadena University dalam bukunya Injil Kerajaan, “Kerajaan Allah pada dasarnya adalah pemerintahan Allah; kekuasaan Allah, kedaulatan Ilahi yang sedang bekerja.” Ia merupakan kenyataan rohani yang dapat kita nikmati sekarang ini! Firman-Nya: “Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman tetapi damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rm. 14:17). “Ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab, sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk. 17:20)

Tetapi Alkitab juga menjelaskan bahwa Kerajaan Allah akan digenapi di masa mendatang, ketika Tuhan Yesus datang kedua kalinya (K4). Ini menjadi sebuah warisan bagi kita orang percaya, tulis Prof. Ladd dalam buku tersebut. “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan” (Mat. 25:34).

Mereka yang sudah masuk ke dalam Kerajaan Allah dan terus hidup dalam pengharapan kegenapan janji Tuhan, hidupnya ditandai dengan kepenuhan sukacita dan damai sejahtera. Mereka juga telah lepas dari kuasa kegelapan (Kol. 1:13). Oleh karena itu bila saat ini hidup kita belum penuh dengan sukacita dan damai sejahtera, masih tinggal dalam kegelapan dengan menyukai perbuatan dosa, kita perlu merenungkan nas minggu ini. Kehidupan yang menyukai amarah, penuh takut dan kekuatiran, kehilangan sukacita, mendendam, bersikap kasar, tidak berbuah, dan tidak terus dibarui, itu merupakan tanda-tanda Kerajaan Allah belum berkuasa pada dirinya. Kita mengaku orang percaya, tetapi sebenarnya hidup di luar Kerajaan itu.

Hidup kita hanya bisa dibarui oleh Roh Kudus dan sangat efektip jika kita suka membaca firman Tuhan dan renungan (2Tim 3:15-16). Renungan pagi atau doa/mazmur malam ibarat hidangan yang disediakan, undangan menikmati perjamuan dengan Tuhan. Jika kita mengabaikan renungan tersebut, atau tidak membaca firman Tuhan sendiri, bagaimana hidup kita dapat diubahkan? Janganlah hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri dan sombong. “Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih" (ayat 24), dapat menjadi kenyataan.

Mereka yang tidak rindu atau mengabaikan firman Tuhan setiap hari dalam hidupnya, maka sebetulnya Kerajaan Allah belum ada dalam dirinya. Bila kita belum merasakan Kerajaan Allah saat ini, maka tidak mungkin kita dapat menikmati Kerajaan Allah kelak bersama Tuhan Yesus. Janganlah sampai ayat ini terjadi pada diri kita, “Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi" (ayat 23). Waduh, ngeri bah! Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.

Kabar dari Bukit 4 Oktober 2020

Kabar dari Bukit

KERAJAAN YANG DIAMBIL (Mat. 21:33-46)

 

"Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu” (Mat. 21:43)

Firman Tuhan hari Minggu ini Mat. 21:33-46 menceritakan perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur. Seorang pemilik tanah mempersiapkan semua untuk tanahnya digarap sebagai kebun anggur, diberi fasilitas lengkap termasuk menara penjaga. Tuan tanah itu ingin bepergian dan kemudian saat musim petik tiba, ia menyuruh hamba-hambanya kepada penggarap-penggarap untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya. Bukannya jujur berbagi, penggarap-penggarap malah menangkap utusan itu, memukuli, melempari dengan batu, dan bahkan membunuhnya. Utusan lain dikirim lebih banyak oleh tuan tanah, tetapi para penggarap tetap membunuh mereka. Terakhir, tuan tanah mengutus anaknya, dan mereka juga membunuhnya.

Jelas ini sebuah alegori, cerita kiasan yang maknanya tersembunyi. Tetapi karena yang mendengar bagian dari kisah, maka sangat mudah ditafsirkan dan dimengerti. Tuan tanah adalah Allah sendiri, kebun anggur adalah bangsa Israel (Yes. 5:1-7; Mzm. 9-17), penggarap adalah para pemimpin agama Yahudi, dan utusan adalah nabi-nabi. Anaknya jelas adalah Yesus sendiri. Utusan dan Anak-Nya mereka siksa dan bunuh.

Kita sering mendengar tentang kebaikan berbuahkan kebaikan. Seolah ada rantai yang menyambungkannya. Tuhan bekerja dan memang sering secara misteri. Tetapi dosa juga demikian dan iblis pelakunya. Dosa melahirkan dosa lain hingga nurani menjadi tumpul dikuasai iblis si jahat. Contoh, seorang yang korupsi (dosa 1), berbohong mengaku kepada istrinya itu hasil kerja sampingan (dosa 2), dan kemudian uang hasil curian dipakai untuk hal yang tidak benar (dosa 3), dampak sosial buruk terjadi (dosa 4), dan seterusnya.

Demikianlah para penggarap atau pemimpin Yahudi dalam kisah ini. Mereka diberi kesempatan untuk memimpin umat, agar menghasilkan buah-buah kebaikan bagi kemuliaan Tuhan. Tetapi kaum Farisi, para imam dan tua-tua sebaliknya menikmati jabatan mereka, dan melakukan banyak hal yang tidak sesuai dengan tugas panggilannya.

Nubuatan dalam ayat 43 pun terjadi, yakni Kerajaan Allah "diambil" dari bangsa Israel. Mereka "ditinggalkan" dan kita tahu kemudian Allah membentuk gereja, sehingga ada yang menyebut gereja sebagai Israel baru. Tetapi peluang Allah menarik Israel tetap diberikan dan berkat-berkat akan diturunkan kembali kepada bangsa itu (Rm. 11:25).

Kini kesempatan telah diberikan kepada gereja-gereja dan orang percaya untuk menghasilkan buah Kerajaan bagi Allah. Gereja dibentuk Allah untuk menjalankan tiga tugas utama, yakni bersekutu untuk memuji dan menyembah Allah (koinonia), melakukan pelayanan sosial (diakonia), dan pelayanan penginjilan untuk membawa jiwa-jiwa baru kepada Kristus (marturia). Ini sesuai dengan pernyataan-Nya pada Luk. 4:18-19 dan Kis. 2:41-47.

Nas minggu ini membawa kita berefleksi. Tentu kita sering bersekutu di gereja. Tetapi sudahkah gereja-gereja sebagai bangsa yang baru telah berbuah bagi Kerajaan Allah? Seberapa besar gereja berdampak bagi perubahan sosial khususnya mereka yang miskin? Adakah gereja-gereja membawa jiwa-jiwa baru yang banyak? Sudahkan orang percaya yang diberi berkat dan karunia telah berbuah bagi sesama? Ah, semoga Kerajaan Allah itu tidak diambil dari gereja dan kita semua.

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 438 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7401064
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
44179
61324
153830
7204198
435926
1386923
7401064

IP Anda: 172.70.147.57
2024-11-21 18:23

Login Form