Thursday, November 21, 2024

2020

Kotbah Minggu 8 Nopember 2020

Minggu XXIII Setelah Pentakosta 

SAAT PENGHULU MALAIKAT BERSERU

DAN SANGKAKALA ALLAH BERBUNYI (1Tes. 4:13-18)

Bacaan lainnya: Yos. 24:1-3a, 14-25; atau Am. 5:18-24;

Mzm. 78:1-7 atau Mzm. 70; Mat. 25:1-13

 

Pendahuluan

Jemaat Tesalonika mengharapkan kedatangan Tuhan Yesus segera terjadi saat mereka masih hidup, sehingga mereka dapat menerima dan menikmati janji-janji Tuhan sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasul Paulus saat mengajar mereka selama 3 bulan. Tapi kenyataannya, dari mereka ada yang meninggal terlebih dahulu, sehingga salah satu yang dilaporkan Timotius kepada Rasul Paulus atas hasil kunjungannya ke Tesalonika adalah pertanyaan jemaat tentang bagaimana mereka yang sudah percaya tapi malah meninggal terlebih dahulu? Apalagi sebagian dari mereka meninggal karena penderitaan dan penganiayaan. Mungkin saat bersama mereka, Rasul Paulus memberikan gambaran bahwa mereka yang percaya akan dibawa ke sorga bersama-Nya. Nah, apabila ada orang percaya meninggal lebih dahulu sebelum Tuhan Yesus datang, bagaimana dengan nasib mereka? Ini pertanyaan yang timbul dan menjadi kekhawatiran baru bagi jemaat. Pembahasan tentang eskatalogi membutuhkan analisis yang panjang namun bahan di bawah ini diambil inti dan singkatnya saja. Melalui nas minggu ini firman Tuhan memberikan pengajaran tentang gambaran tersebut sebagai berikut:

 

Pertama: Jangan berdukacita seperti tidak berpengharapan (ayat 13-14)

Manusia pasti mati. Mati secara jasmani artinya tidak ada lagi denyut kehidupan dalam seluruh organ tubuhnya. Jiwa atau rohnya telah terpisah dari tubuh yang berupa daging. Tubuh ini pun setelah ditinggalkan roh dan jiwa lantas membusuk dengan cepat. Studi ilmiah menyebutkan, ketika kematian jasmani datang, proses awal pembusukan daging langsung dimulai kemudian merembet pembusukan di bagian tubuh dalam. Ini sama seperti hewan yang kita lihat mudah sekali membusuk dan mengeluarkan bau menyengat. Zaman dahulu orang membuat rempah-rempah untuk menjadi mummi, namun kini dengan ilmu pengetahuan dipakai bahan kimia fomalin yang disuntikkan untuk memperlambat pembusukan tersebut. Hal ini lazim dilakukan umat Kristen apabila ada alasan tertentu yang membuat jenazah tidak langsung dikuburkan. Ketika akhirnya tubuh yang membusuk itu dimasukkan ke dalam tanah, maka daging itu tetap berubah menjadi tanah sebab daging memang berasal dari tanah (Kej. 2:7). Oleh karena itu, Alkitab benar dengan mengatakan bahwa daging tidak ada artinya dan tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1Kor. 15:50).

Bagaimana halnya dengan roh atau napas manusia? Napas dan roh berasal dari Allah yang menghembuskan ke dalam tubuh tanah saat penciptaan (Kej. 2:7), maka napas itu berasal dari Allah dan secara otomatis akan kembali kepada Allah (Pkh. 12:7b). Dari tanah kembali ke tanah dan dari Allah kembali kepada Allah, itu wajar. Pertanyaannya: ketika kembali kepada Allah, apakah roh tersebut tetap dalam keadaan "sadar" dan jiwa yang memahami sekelilingnya? Alkitab tidak memberi jawaban yang hitam putih soal itu dan sebab roh manusia adalah milik Allah, ada dua kemungkinan besar: tidur sesuai dengan istilah yang juga dipakai Alkitab, atau hidup bersama-sama dengan Allah dalam pengertian "sadar dan hidup". Kedua kemungkinan ini ada ayat pendukungnya, sehingga lebih baik itu tetap menjadi misteri Allah (bandingkan yang sadar pada Luk. 16:19-31; Why. 14:13 dan yang tertidur pada Mat. 9:24; Ef. 2:12; Yoh. 11:11; Mzm. 146:4; Pkh. 9:5-6; Yes. 38:18). Namun yang penting, baik dalam keadaan sadar atau tertidur, roh manusia itu telah bersama-sama dengan Allah dan itu pasti keadaan yang sangat tenteram dan penuh damai sejahtera (Flp. 1:23). Tentu ada kemungkinan lain, yakni jiwa dan roh manusia masuk neraka dan penghukuman, tidak bersama Allah (Ef. 2:1, 5).

Oleh karena itu melalui suratnya ini Rasul Paulus menekankan bahwa kematian bukanlah akhir dari semuanya. Mereka telah melihat dan mendengar bagaimana Tuhan Yesus telah bangkit dari kematian, mengalahkan maut, maka kita pun yang percaya pada-Nya pasti dibangkitkan untuk bersama-sama dengan Dia. Betul, perpisahan fisik dengan yang kita kasihi pasti membawa kesedihan. Saat tubuh yang selama ini dapat kita lihat dan dekap tiba-tiba direnggut dari hadapan kita, pasti membawa kesedihan. Tetapi begitu menyadari bahwa jiwa dan rohnya kembali kepada Bapa dalam hadirat ketenangan dan damai sejahtera, maka kita tentunya merasa tenang dan ikut bahagia. Kematian adalah pintu masuk ke hadapan Kristus (band. 2Kor. 5:8) dan mati adalah sebuah keuntungan (Flp. 1:21). Memang Alkitab mengatakan kematian adalah upah dosa dan setelah kematian datang akan ada penghakiman. Namun orang yang mengasihi Kristus tidak akan masuk dalam penghukuman, sebab dosa-dosa kita sudah dibayar lunas dengan kematian-Nya. Jadi jangan terlalu sedih seperti orang yang tidak mengenal Tuhan Yesus dan tidak berpengharapan. Kita berpegang pada janji-Nya dengan iman. Ketika Kristus datang kembali, semua yang mati yang percaya pada penebusan Kristus, baik mereka yang hidup dan percaya, akan dikumpulkan dan dipersatukan Allah. Jadi tidak perlu khawatir mereka tidak menerima kemuliaan saat Kristus datang. Semua akan hidup bersama Kristus dalam kekekalan.

 

Kedua: Kita tidak mendahului mereka yang telah meninggal (ayat 15)

Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa ada kebangkitan. Pada Perjanjian Lama dituliskan ada tiga kebangkitan orang mati, meski kebangkitannya hanya sebentar, yakni putra seorang janda (1Raj. 17:21-22), putra perempuan Sunem (2Raj. 4:32-36) dan yang bangkit setelah tersentuh tulang-tulang Elisa (2Raj. 13:21). Demikian juga pada Perjanjian Baru ada lima kisah kebangkitan orang mati yang terjadi baik oleh Tuhan Yesus maupun oleh para rasul, seperti putri Yairus (Mat. 9:24-25), pemuda dari Nain (Luk. 7:14-16), Lazarus (Yoh. 11:43-44), Dorkas (Kis. 9:40-41) dan Euthikus (Kis. 20:9-12). Semua kisah kebangkitan tersebut berakhir dengan kematian fisik selama-lamanya. Ini berbeda dengan kebangkitan yang dijanjikan oleh Tuhan melalui firman-Nya, yakni setelah kematian fisik, maka ada kebangkitan dan hidup selama-lamanya.

Mereka yang dibangkitkan akan mendapat upah. Hal ini sangat kuat dasarnya, sebab manusia di dunia ini tidak sama tingkat iman dan ketaatannya serta besar-kecil perbuatannya yang berkenan kepada Tuhan. Demikian juga bahwa semua orang memiliki tingkat kejahatan yang berbeda sehingga masing-masing orang wajar menerima upah pahala atau hukuman dosa yang tidak sama. Oleh karena itu, sangat tidak logis bila ada penghakiman yang lebih awal bagi mereka yang mati lebih dahulu. Dari prinsip keadilan, semua mestinya dihadapkan pada pengadilan yang bersamaan waktunya, meski kekekalan tidak lagi mempersoalkan waktu sebentar atau lama, dan demikian juga adanya kedaulatan Tuhan dalam semua proses itu.

Dengan dasar itu maka ketika Kristus kembali, orang mati akan dibangkitkan terlebih dahulu dan bersama-sama orang yang hidup menerima janji Allah sesuai dengan iman dan perbuatan masing-masing. Memang agama Katolik masih mempercayai purgatori yakni api penyucian, dengan dasar manusia diselamatkan namun belum kudus sehingga perlu disucikan terlebih dahulu sebelum masuk ke sorga. Kekristenan adalah agama pengharapan dan sekaligus kepastian dalam iman. Tuhan Yesus memberikan pengampunan dan bukan pembalasan atau penghukuman, dengan Roh Kudus sebagai meterai dan jaminan. Tuhan Yesus memberikan anugerah dan kasih dan bukan balas dendam, memberikan kemenangan dan bukan kekalahan, serta memberikan hidup yang kekal abadi untuk hidup bersekutu selamanya dengan Allah. Semua itu pasti terjadi sebab Kristus sebagai pusat iman kita telah bangkit dari kematian, hidup dan berkuasa dari sorga hingga kelak kembali menjemput mereka yang setia dan dikasihi-Nya (band. 1Tes. 1:10) dan bersama-sama dalam kekekalan.

 

Ketiga: Kita yang hidup diangkat bersama-sama dalam awan (ayat 16-17a)

Dalam Mrk. 13:26 Tuhan Yesus berkata, “Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya.” Maka dalam ayat yang kita baca minggu ini, diberikan lima tanda-tanda saat kedatangan Kristus:

1)     Akan tampak dengan kasat mata dan terdengar di telinga

2)     Akan ada seruan yang keras dari penghulu malaikat. Penghulu malaikat adalah malaikat tertinggi atau terkudus di antara semua malaikat yang ditunjuk untuk tugas tententu. Mihkael adalah penghulu malaikat yang disebutkan dalam Perjanjian Baru (Yud. 9).

3)     Saat penampakan Allah, ada bunyi sangkakala sebagaimana yang terjadi para Perjanjian Lama (band. Kel. 13:22; 19:16; Mat. 24:30 dab; 2Tes. 1:8 dab). Peristiwa ini jelas menggambarkan kemegahan dan keagungan Tuhan Yesus ketika Ia turun dari sorga.

4)     Orang yang percaya kepada Kristus akan bangkit dari kubur (Yoh 5:28).

5)     Orang percaya yang masih hidup, tubuh mereka akan diubah dan akan diangkat ke awan menyambut Kristus.

Tidak ada yang meragukan bahwa Tuhan Yesus telah naik dan kembali ke sorga, sebab Ia memang berasal dari benih sorgawi. Sebagaimana dikatakan saat kenaikan-Nya, maka ketika Ia akan turun kembali dan semua orang akan melihat-Nya dengan nyata (Kis. 1:10-11). Tuhan Yesus pasti memenuhi janji-Nya kembali untuk mempersiapkan tempat bagi kita dan mengumpulkan kembali kita yang setia kepada-Nya (Mrk. 13: 27; Yoh. 14:3). Orang mati yang bangkit dari kuburnya akan menanggapi tanda yang diberikan Allah. Peristiwa bangkit dari kubur secara bersamaan pernah terjadi saat Tuhan Yesus bangkit dari kematian dan sekaligus membuka kubur para orang kudus (Mat. 27:52-53). Perbedaannya adalah ketika mereka bangkit masih dengan tubuh jasmani. Akan tetapi ketika kita bangkit di akhir zaman, tubuh kita diubahkan. Ini dinyatakan jelas dalam Alkitab: "Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?” (1Kor. 15:35). Jiwa yang tadinya “tertidur” akan disadarkan dan tubuh yang bangkit adalah tubuh rohani yang penuh kemuliaan sebagaimana dinyatakan, “Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Jika ada tubuh alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah” (1Kor. 15:44). Peristiwa ini berlangsung dalam seketika dan merupakan peristiwa misteri Allah, sebab semua umat manusia yang diselamatkan akan mengisi alam semesta secara bersamaan. Ini jelas di luar jangkauan pikiran manusia. Namun, kalau kita amati, alam semesta begitu besar dan luas sehingga dengan kuasa Allah yang Mahabesar segala sesuatu pasti bisa terjadi.

Gambaran ketiga, semua manusia yang masih hidup dan percaya akan diangkat ke awan untuk menyambut kedatangan Tuhan Yesus (band. Why. 1:7; 11:12). Kedatangan Tuhan Yesus di angkasa mungkin ada hubungannya dengan tempat tinggal berkuasanya roh-roh jahat (Ef. 2:2; 6:12) sehingga kuasa-kuasa tersebut perlu dikalahkan terlebih dahulu sebelum Tuhan Yesus kembali memerintah di bumi yang baru dengan penuh damai sejahtera. Peristiwa di awan ini sering disebut sebagai Keangkatan Gereja, yakni ketika semua orang percaya yang menjadi warga gereja ikut dalam peristiwa sukacita yang menjadi puncak pengharapan orang percaya. Peristiwa keangkatan gereja memang masih menjadi perbedaan pendapat, sebab sebagian mengatakan ini adalah metafora dan sebagian lagi mengatakan bahwa hal itu merupakan hal yang nyata nantinya. Sebab pertanyaan yang muncul kemudian adalah: ketika semua berkumpul di awan, apakah semua orang percaya ini akan kembali bersama-sama ke bumi untuk memerintah bersama-sama Tuhan Yesus? (band. Yoel. 3:11; 1Tes. 3:13, Yud. 14). Jawabannya sangat dipengaruhi oleh pandangan ada tidaknya masa kesengsaraan sebelum Tuhan Yesus datang untuk kedua kalinya. Ini jelas masih merupakan misteri Allah yang tidak akan terpikirkan dan terjawab manusia.

 

Keempat: Selamanya kita bersama-sama dengan Tuhan (ayat 17b-18)

Memang tidak diketahui dengan tepat tentang waktunya orang mati dibangkitkan. Akan tetapi hal lebih penting adalah mengetahui alasan Rasul Paulus menuliskan hal ini, yakni mendorong orang percaya agar saling menghibur dan menguatkan satu sama lain ketika seseorang meninggal dipanggil Tuhan. Ini memang pesan yang sangat bagus bagi mereka yang dipisahkan oleh kematian fisik di dunia ini, tetapi akan dipersatukan kembali sesuai janji Tuhan, dan akan bersama-sama dengan Kristus untuk memerintah dalam kekekalan. Oleh karena itu, kita tidak perlu putus asa ketika orang yang kita kasihi meninggal, atau terjadi hal-hal yang tragis dalam hidup. Kita imani saja bahwa setiap kegetiran dan hal tragis dalam hidup pasti akan berubah menjadi kemenangan dan keberhasilan, kemiskinan berubah menjadi kekayaan, penderitaan menjadi kemuliaan, kekalahan menjadi kemenangan. Semua orang percaya dalam sepanjang sejarah akan berdiri tegak, damai sejahtera dan aman bersama Kristus.

Rasul Paulus dan jemaat Tesalonika memiliki keyakinan kuat bahwa tidak lama lagi Kristus akan kembali (1Kor. 7:29, Flp. 4:5). Keyakinan ini sangat diperlukan mengingat situasi pada saat itu yang penuh penganiayaan dan penderitaan, membuat mereka lebih kuat dan tegar. Ketiadaan dukungan membuat mereka yang jatuh tidak memiliki semangat dan kehidupan mereka juga akan penuh ketakutan. Iman adalah sesuatu yang harus dipelihara dan dikuatkan sehingga ketika datang ujian yang menciutkan, iman kita itu tidak menjadi kecil dan lemah yang dapat membawa pada keputusasaan. Meski hal yang disampaikan oleh Rasul Paulus belum terjadi saat itu - sebab masanya hanya Allah Bapa yang tahu, itu tidak membuat kita lalai bahwa kematian dapat senantiasa datang tiba-tiba sebagaimana juga kedatangan Kristus kembali. Hidup ini penuh dengan godaan dan tantangan yang membuat kita kadang lemah. Oleh karena itu, sebagaimana Rasul Paulus menghibur dan meneguhkan jemaat Tesalonika dengan kebangkitan orang mati, maka kita juga perlu menghibur dan meneguhkan satu sama lain dengan pengharapan yang penuh (band. 1Tes. 5:11).

Bagi kita orang percaya, hal yang utama adalah percaya bahwa ketika kematian datang atau Kristus datang untuk kedua kalinya, kita akan hidup bersama-sama dengan Allah dan itu merupakan sukacita yang luar biasa (band. 1Tes. 5:10; 2Tes. 2:1). Ia adalah Tuhan orang hidup dan yang mati (Rm. 4:9), Tidak ada hal di dunia ini yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. Kedatangan Kedua berpusat pada Tuhan sendiri sebab Dia telah mengetahui akhir dari segala sesuatu. Yang penting kita selalu sadar, waspada, dan penuh pengharapan, “Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya” (Mat. 16:27). “Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2Kor. 5:15). Itulah karya yang diharapkan dari kita semua.

 

Penutup

Bacaan kita minggu ini memberikan sebagian gambaran tentang kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Eskatologi adalah ilmu yang sangat dalam dan luas dan tetap dibatasi oleh kemampuan manusia untuk memikirkan hal yang belum pernah dialami oleh siapapun. Memang ada kesaksian tentang mati suri atau kisah dibawa ke sorga, namun itu kita jadikan sebagai kekayaan rohani saja. Pegangan kita tetaplah Alkitab sebagai sumber kebenaran dan pengharapan. Melalui bacaan ini kita tidak perlu takut menghadapi kematian atau bersedih apabila kita dipanggil Tuhan, atau seseorang yang kita kasihi lebih dahulu masuk dalam pangkuan-Nya. Kita tidak perlu berdukacita seolah tidak mempunyai pengharapan bagaikan orang yang tidak mengenal Kristus. Kita akan bertemu dengan mereka lagi sebagaimana kita juga akan bertemu dan bertatap muka dengan Kristus. Firman-Nya meneguhkan bahwa kita tidak mendahului mereka yang telah meninggal, melainkan kita yang hidup diangkat bersama-sama dalam awan. Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan jaminan janji Tuhan bagi kita yang sudah percaya, serta penghukuman tidak terjadi sebab dosa dan kesalahan kita telah ditebus oleh-Nya. Inilah yang menguatkan iman dan pengharapan semua orang Kristen dan untuk itu kita perlu saling menasihati dan berkarya saling mendukung. Tuhan Yesus memberkati.

 Pdt. Em. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

Kabar dari Bukit Minggu 1 Nopember 2020

 

Kabar dari Bukit

 AJARAN DAN PENGAJAR (Khotbah Mat. 23:1-12)

 "Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:12)

 

Firman Tuhan hari Minggu ini Mat. 23:1-12 berbicara tentang Tuhan Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Dalam pasal sebelumnya kita telah tahu Yesus beberapa kali mereka cobai dengan pertanyaan menjebak. Maka Ia pun berkata kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, “... turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (ayat 3). Kemudian dalam pasal ini tujuh kali Tuhan Yesus mengecam mereka dengan mengatakan: “Celakahlah kamu....”

Tuhan Yesus mencela karena sifat kesombongan dan kepalsuan mereka. Ada tiga celaan Tuhan Yesus bagi mereka sesuai ayat 4-10: Pertama, suka membuat beban-beban berat, tapi meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Contohnya adalah aturan-aturan rinci termasuk persembahan persepuluhan dari halaman rumah (ayat 23); kedua, yang mereka lakukan hanya dimaksudkan supaya dilihat orang, pamer dengan memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; ketiga, suka duduk di tempat terhormat dan dipanggil Rabi, pemimpin atau bapa.

Nas ini memberi kita dua sasaran, yakni kepada para hamba Tuhan dan juga orang percaya. Hamba Tuhan atau pribadi yang sering melayankan firman/renungan di mimbar termasuk di WA Group atau FB, diminta untuk selalu menjaga wibawa dan kuasa yang diberikan Tuhan kepada kita. Perlu ada integritas, keutuhan, yakni satunya kata dan perbuatan. Alkitab mengingatkan: “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” (Yak. 3:1).

Untuk para pendeta yang diberi kuasa melakukan tumpang tangan dan mengatakan: “Atas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus...”, perlu menyadari doa tumpang tangan memiliki makna yang dalam secara teologis (Kis. 8:15-17; 1Tim. 5:22). Hamba Tuhan dalam hal ini bertindak atas nama Tuhan kita. Janganlah memakai kuasa yang diberikan, tidak sejalan dengan panggilan dan tujuan pelayanan yakni untuk kemuliaan Tuhan. Dunia pelayanan bukanlah panggung untuk menonjolkan diri dan mendapatkan pujian, melainkan dengan rendah hati terus menjaga nilai-nilai luhur Ilahi agar dihayati semua orang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sasaran kedua bagi setiap orang percaya, yakni melihat ajaran yang diberikan dengan tidak terlalu melihat pribadi yang menyampaikannya. Tuhan Yesus sendiri tetap mengakui kedudukan kaum Farisi dan ahli Taurat. Berharap pada keteladanan mutlak dan kesempurnaan hamba Tuhan, jelas tidak mungkin. Jadi jangan sampai subjektifitas pribadi membuat kita berprasangka, dan akhirnya menghakimi yang tidak diinginkan oleh Tuhan. Jangan juga terjebak dengan perasaan unggul denominasinya, gerejanya yang terbaik. Kita bisa masuk ke dalam dua dosa: memandang rendah nasihat/firman yang bagus, dan menghakimi yang menyampaikannya. Jemaat perlu menjaga doa tumpang tangan yang diterima sepanjang hidupnya, mulai dari saat dibaptis, sidi, menikah, masuk dalam pelayanan, doa berkat tiap hari minggu, atau liturgi peneguhan lainnya.

Nas Minggu ini mengajarkan kita hal yang paling pokok dalam kehidupan, tidak hanya berlaku dalam masa penghakiman nanti tetapi juga di masa kini: jika ingin lebih besar dan lebih hebat di antara orang, hendaklah siap berkorban dan siap menjadi pelayan. “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (ayat 12). Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 25 Oktober 2020

Kabar dari Bukit

HUKUM KASIH (Renungan Mat. 22: 34-46)

"Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab-Nya, dan sejak hari itu tidak ada seorangpun juga yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya” (Mat. 22:45)

 

Firman Tuhan hari Minggu ini Mat. 22: 34-46 berbicara dua hal, pertama tentang hukum yang terutama dalam Alkitab, baik PL maupun PB. Barangkali kita pun semua tahu, yakni mengasihi Allah dan manusia. Selengkapnya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ayat 37-39). Dan kemudian ditambahkan, “pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (ayat 40).

Keduanya adalah hukum kasih. Hukum adalah aturan yang tujuannya untuk ketertiban dan keadilan. Yang menyimpang akan kena sanksi supaya kembali tertib. Keadilan yakni berlaku bagi semua, tidak pandang bulu. Semua sama di depan hukum dan di hadapan Tuhan.

Alkitab membuat hubungan ini lebih jelas. "Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya” (2Yoh. 1: 6a). Artinya, jika mengasihi Allah maka turutilah perintah-Nya. Sederhana. Kasih untuk sesama, menurut Alkitab adalah tindakan, “bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh. 3: 18).

Bagian kedua nas minggu ini tentang hubungan antara Yesus dan Daud. Tentu ada alasan mengapa para ahli teologi menjadikan dua nas ini dalam satu leksionari. Mengasihi Tuhan akan terjadi jika kita mengenal Dia dengan benar. Ada pengakuan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang diutus Bapa sebagai jalan keselamatan umat manusia, dan harus menjalani sengsara dan penderitaan. Jika ini kita akui dan hayati, maka tidak sulit untuk mengasihi-Nya.

Kasih terhadap sesama dijabarkan Alkitab dengan enam belas ciri, mulai dari kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong dan lainnya (lengkapnya di 1Kor. 13). Dalam Matius pasal 22, Tuhan Yesus diperlihatkan sabar menghadapi orang Farisi, Saduki maupun Herodian. Itu teladan yang perlu kita ikuti.

Mari kita terus mengasihi Tuhan dengan lebih mengenal Dia, melalui doa dan pembacaan serta mendengar firman-Nya. Mari kita kejar untuk mendapatkannya (1Kor. 14:1). Dan dengan mengenal Dia, maka tidak sulit untuk kita lebih mengasihi sesama, yang bukan omongan kosong, seperti gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (1Kor. 13:1-3). Kasih yang nyata. Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.

Khotbah Minggu 1 Nopember 2020

Minggu XXII Setelah Pentakosta 

HIDUP SESUAI DENGAN KEHENDAK ALLAH (1Tes. 2:9-13)

Bacaan lainnya: Yos. 3:7-17 atau Mi. 3:5-12; Mzm. 107:1-7, 33-37; Mat. 23:1-12

 

Pendahuluan

Pada bagian awal pasal 2 ini dijelaskan tentang bagaimana manusia yang tidak layak karena dosa dan kelemahannya dijadikan Allah layak untuk melayani-Nya, membawa dan menyiarkan kabar tentang Tuhan Yesus. Manusia pasti merasa bersyukur dan terhormat saat diberi tugas melayani, yang dapat dilakukan dengan pelayanan langsung maupun tidak langsung. Injil adalah karya Allah yang begitu dalam dan luas sehingga tidak seorang pun dapat mengklaim batasan dan cakupan pelayanan kabar baik tersebut, sepanjang semua dilakukan dengan kasih dan demi kemuliaan nama Tuhan Yesus. Hanya untuk dapat melakukan tugas pelayanan, diperlukan pola hidup yang mendukung, sehingga pelayanan tidak menjadi batu kerikil sandungan bagi gereja dan kemuliaan Tuhan Yesus. Melalui nas minggu ini kita diberikan pengajaran sebagai berikut:

 

Pertama: Hidup bekerja keras dan berkarya dengan Injil (ayat 9)

Allah menghendaki setiap orang percaya menjadi pembawa dan penyiar berita tentang keselamatan yang telah diperolehnya melalui Tuhan Yesus. Sukacita anugerah yang diperolehnya harus dibagikan kepada semua orang, khususnya bagi mereka yang belum pernah mendengar tentang kasih Allah yang begitu besar melalui Tuhan Yesus yang menebus manusia dosa umat yang percaya kepada-Nya. Pembawa berita dalam hal ini berarti utusan atau duta yang dalam Alkitab disebut dengan Rasul dan setelah para rasul menuliskannya, maka utusan disebut sebagai pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar (Ef. 4:11, kita mengabaikan adanya Rasul dan Nabi saat ini).  Kita tidak perlu membatasi gambaran penginjil harus pengkhotbah atau pemimpin kelompok Pemahaman Alkitab (PA), sebab dalam teori penginjilan juga disebut kalau tindakan perbuatan kasih yang didasarkan atas iman dan diekspresikan dalam nama Tuhan Yesus pada hakekatnya adalah perbuatan pekabaran dan penyiaran Injil. Kita juga tidak perlu menguji bahwa seorang penginjil atau pelayanan sosial harus disertai dengan kuasa-kuasa atau tanda-tanda mukjizat hebat (Mat. 10:1–4; Mrk. 16:20; Luk. 9:1-6), sebab karya mereka bisa menjadi mukjizat kecil dalam kehidupan orang lain. Kepada para rasul dan nabi benar telah diberikan kuasa itu yang kemudian menjadi dasar gereja, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru yang membuat Kekristenan menjadi seluas sekarang ini (Kis. 2:42–43, dll).

 

Adalah menjadi kebiasaan pada masa gereja mula-mula, apabila para penginjil atau pengajar (agama dan filosofi) datang ke satu kota, mereka mendapatkan “bayaran” atau tinggal di rumah-rumah pendengar/anggota. Mereka ini juga merasa mendapatkan suatu kehormatan dapat menjamu para guru ini. Namun kebiasaan tinggal itu umumnya hanya untuk beberapa hari saja, karena yang menjamu juga akan merasa terbeban berat bila terlalu lama. Apabila ada keinginan mereka untuk tinggal lama dan menjadi beban, maka dapat dipastikan mereka adalah penginjil dan guru-guru palsu. Meski Rasul Paulus mengatakan dalam suratnya yang lain, “Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu (Gal. 6:6; 1Kor. 9:13-14; 2Ko.r 11:9), semua itu harus dilakukan dengan sukarela dan kasih. Perlu juga diperhatikan pada masa itu sesuai pandangan Yunani, mereka yang bekerja dengan fisik dan kasar, dinilai sebagai kerja budak dan sangat rendah dibandingkan dengan mereka yang tugasnya lebih banyak berpikir dan di dalam ruangan.

 

Rasul Paulus memahami situasi itu sehingga merespon dengan tindakan nyata. Ia lebih memilih bekerja sebagai pembuat kemah/tenda (Kis. 18:3) sehingga tidak menjadi beban bagi orang percaya di Tesalonika (band 5:13). Ia memperlihatkan kerja keras dengan bekerja siang dan malam untuk dapat menghidupi diri mereka sendiri, mengatur waktu sebelum matahari terbit agar cukup waktu untuk memberitakan Injil. Rasul Paulus mengatakan, “Tetapi aku tidak pernah mempergunakan satu pun dari hak-hak itu” (1Kor. 9:15a; 2Kor. 12:13; 2Tes. 3:8). Sikap ini penting bagi semua pekerja hamba Allah agar tidak menuntut yang lebih banyak dari jemaat yang dilayani, sebab yang utama adalah bagaimana nama Tuhan diperluas dan dipermuliakan. Ini menjadi batu ujian motivasi, sebab seperti yang dikatakan Paulus, “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil (1Kor. 9:16b). Seorang pembawa dan penyiar Injil dengan firman dan/atau kasih yang layak bagi Tuhan, seyogianya memberikan pengajaran yang benar, membuktikan motivasi yang baik, dan siap memberikan pengorbanan dengan kerja keras sebagai wujud kasih yang besar terhadap jemaat.

 

Kedua: Menguatkan hati seorang demi seorang (ayat 11)

Ketika seseorang menjadi pengkhotbah, maka tugasnya hanya sebatas dari mimbar atau saat pengajaran, meski sesekali perlu memperlihatkan kepedulian dan kasih pada mereka yang pernah diajarnya. Akan tetapi ketika ia menjadi seorang gembala yang bertanggungjawab penuh terhadap pertumbuhan rohani jemaat, maka ia memiliki tanggungjawab yang besar dan tidak mudah. Ada beberapa tanggungjawab seorang gembala yang secara umum dirumuskan sebagai berikut:

 

1.      Mengajarkan ajaran yang benar dan sehat (2Tim. 2:25, 3:14-17)

2.      Menumbuhkan iman jemaat (1Tim. 4:6-7, 16; 2Tim. 1:14)

3.      Mendisiplinkan jemaat (Mat. 18:17; 1Kor. 5:13)

4.      Menemukan karunia rohani yang tepat (kuasa Allah bekerja)

5.      Menjadi teladan (1Tim. 1:16) dengan hubungan yang penuh kasih

6.      Memberitakan Injil dengan metode-metode yang sudah terbukti dan memikul tanggungjawab dalam pertumbuhan

7.      Belajar dan bekerja keras terus menerus 

8.      Membangun struktur pelayanan yang tepat guna – adanya delegasi

9.      Berpikiran posibilitas (serba mungkin) dengan dinamis dan memberdayakan.

 

Pada bagian pertama pasal 2 ini Rasul Paulus memberikan gambaran pelayanan seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawat anaknya. Seorang ibu jelas merawat dan mengasuh dengan kelemahlembutan, sebagai bagian dari buah-buah Roh dan penyangkalan diri, dan memberi hidupnya kepada orang yang dikasihi. Seorang ibu yang merawat anaknya pastilah dengan sepenuh hati dan biasanya rela untuk meninggalkan pekerjaan atau kariernya. Pada bagian kedua pasal ini, Rasul Paulus sebaliknya mengibaratkan peran gembala seperti bapa terhadap anaknya. Seorang bapa yang mengasihi pasti tidak akan mengabaikan keamanan dan kepedulian terhadap anak-anaknya, yang membiarkan mereka berjalan ke situasi yang membuat anak-anaknya celaka dan bahkan jatuh fatal. Oleh karena itu, peran nasihat untuk membangun kedisiplinan itu sangat penting pada anak. Peran itu perlu ditambah dengan menghibur dan menguatkan apabila dalam kebimbangan, kesukaran atau kesedihan. Itu merupakan kombinasi yang baik dan ideal. Disiplin diperlukan bukan sebagai hukuman, melainkan untuk pengajaran dan kebaikan. Dengan demikian pasal 2 ini menjadi lengkap, yakni gambaran peran gembala seperti seorang ibu memberikan kasih dengan mengasuh dan merawat penuh kelemahlembutan, seperti seorang bapa memberikan nasihat dan latihan serta kedisiplinan (1Kor. 4:14, 20). Gambaran ini memang pengaruh dari budaya patrialkal Yahudi, yakni ayah bertugas menasihati dan ibu bertugas untuk merawat.

 

Dengan cara yang sama, kita juga perlu membawa mereka yang baru percaya dan menerima Tuhan Yesus di dalam kepak sayap perlindungan, sampai mereka bisa mampu berdiri teguh dengan imannya. Kita perlu membantu mereka yang imannya sulit bertumbuh menjadi cukup kuat untuk meyakinkan akan kebenaran firman. Seorang yang melayani (baik sebagai gembala, penginjil atau pelayanan lainnya) haruslah memberi perhatian seperti seorang ibu dan bapa, dengan merawat, menasihati dan menuntun satu per satu, sehingga orang percaya baru itu memiliki keteguhan iman dan dapat menjadi sumber buah yang baru. Seorang gembala atau penginjil (bahkan orang percaya yang baik) harus menempatkan jemaat dan orang percaya lainnya bagaikan seorang anak yang perlu bimbingan asuhan orangtua.

 

Ketiga: Hidup sesuai dengan kehendak Allah (ayat 10, 12)

Di bagian ketiga ini kita menggabungkan ayat 10 dengan ayat 12 sebab keduanya memiliki hubungan yakni pola hidup dan keteladanan. Sebagai orang percaya, kita hidup dengan nilai-nilai baru sesuai dengan rencana Allah bagi seluruh umat yakni terciptanya keadilan dan kebenaran yang berdasarkan kekudusan. Adil dan benar merupakan tujuan utama semua hukum termasuk hukum Allah. Kesalehan dan kekudusan dalam hal ini memegang kata kunci, sebab hal yang biasa jemaat Tesalonika lihat adanya pemujaan terhadap dewa Aphrodit yakni dewa lambang kesenangan dan hawa nafsu di wilayah tersebut. Masalah moralitas dan seks termasuk prostitusi menjadi perhatian firman Tuhan agar orang Tesalonika khususnya mereka yang bukan orang Yahudi yang masih ikut terlibat ritual dewa tersebut menjadi bertobat (band. 4:5). Memang pada masa itu situasi lebih longgar, sebab masalah moralitas dalam konteks etika bukan menjadi bagian pengajaran agama, tetapi lebih kepada tugas para filsuf.

 

Rasul Paulus mendorong dan menguatkan jemaat Tesalonika untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya, sehingga mereka menjadi teladan yang akan diikuti oleh orang yang sesat dan belum menerima Tuhan Yesus. Mereka menjadi saksi melihat Rasul Paulus hidup dengan berlaku adil, saleh dan tidak bercacat selama tinggal di Tesalonika. Saksi mata ini penting, sebab Tuhan melihat hati dan motivasi yang kadang dapat dimanipulasikan oleh manusia (band. Rm. 1:9). Orang menilai kehidupan orang percaya sebatas yang dilihat mata. Sikap menjaga hidup agar tetap tidak bercacat sangat penting bagi orang percaya, sebab kita semua telah ditebus dan dibayar lunas. Kematian Tuhan Yesus di kayu salib sangat berharga sebagai pengganti dan penebus diri kita yang seharusnya mati karena dosa-dosa kita. Oleh karena itu, toleransi terhadap dosa harus nol, meski ketika jatuh kembali akibat kuatnya iblis dan kedagingan, Tuhan Yesus kembali membuka pengampunan, sepanjang dengan hati yang menyesal dan tulus. Sikap ini sangat berharga di hadapan Allah.

 

Mereka yang setia melakukannya sebenarnya yang dipanggil ke dalam kerajaan dan kemuliaan-Nya. Dipanggil dalam hal ini berarti berlakunya kedaulatan Allah untuk memilih dan menentukan (Rm. 8:28-29). Pengertian kerajaan dalam hal ini memiki dua dimensi (1Kor. 15:23-27), yakni dimensi saat ini dan saat nanti di kekekalan yang keduanya berhakekat damai sejahtera. Semua itu terjadi tatkala kita menempatkan Yesus sebagai Raja dan mengikuti perintah-Nya. Mereka yang hidup berdasarkan daging dan mengikuti keinginan iblis tidak layak menjadi anak-anak dan hamba-Nya, serta tidak berhak masuk ke dalam kerajaan-Nya (1Kor. 6:9, 10; Kol. 1:13; Ef. 5:5; Gal. 5:21). Kalau ada yang tidak bisa melihat kebaikan Tuhan dan tidak hidup dalam damai sejahtera serta tidak merasa berhutang untuk melayani-Nya, pasti ada yang salah dalam pikirannya. Maka kini, apakah masih ada bagian dalam hidup kita yang tidak sesuai dengan kehendak Allah? Kalau demikian halnya, apakah kita layak menjadi utusan dan saksi-Nya? Pernahkah kita bayangkan: Apa yang orang lain pikirkan tentang Tuhan Yesus dengan melihat yang kita lakukan? Apakah kemuliaan itu masih menjadi milik kita? Firman Tuhan mengatakan, Sebab itu aku menasihati kamu, “supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Ef. 4:1; band. 4:17).

 

Keempat: Firman Allah bekerja di dalam kamu (ayat 13)

Rasul Paulus mengatakan bahwa firman Allah terus bekerja di dalam hati orang percaya. Ia menegaskan firman yang disampaikan (melalui pedengaran atau penglihatan - dengar, baca dan lihat), tidak semata-mata sebuah pidato atau informasi/dokumen, melainkan sebagai sumber kebenaran yang pasti dan teruji. Perjalanan panjang firman Tuhan Yesus yang diucapkan secara langsung maupun melalui inspirasi kepada para rasul yang menuliskan, serta didasarkan pada pengalaman hidup mereka, semuanya menjadi bukti bahwa firman yang tertulis itu bukan semata-mata perkataan manusia (1Kor. 11:23; 15:1, 3). Manusia sebagai penulis dipakai Allah sesuai dengan kehendak Allah dan rencana Allah sesuai dengan kepribadian dan lingkungan penulis. Proses kanonisasi yang demikian panjang, juga menjadi bukti Allah bekerja dalam semua hal itu, dan terutama semua itu merupakan perjalanan yang penuh dengan kisah tangisan derita dan air mata, tanpa sedikit pun dibalas dengan usaha kekerasan. Itulah firman Allah yang benar dan itulah Kekristenan.

 

Alkitab yang kita pegang di tangan kita penuh dengan kuasa yang nyata dan hidup. Firman telah mengubah kehidupan sebagian besar hidup manusia di bumi ini dan terus bertambah setiap hari. Selama 2000 tahun sejak Yesus mengucapkannya dan seluruh kisah di Kisah Para Rasul, menjadi bukti teruji meski sebelumnya ada yang meragukan bahwa itu isinya akan dilupakan orang. Oleh karena itu Rasul Paulus mengatakan, ia bersukacita sebab firman itu telah mereka terima. Firman itu bekerja ketika mulai diterima baik oleh pendengaran atau penglihatan, kemudian bekerja dalam hati manusia dengan dua cara: Pertama, melalui kesadaran manusia sendiri ketika firman itu didengar atau dibaca, kemudian direnungkan dan menghasilkan respon sambutan (Rm. 10:10, 17; 1Te 1:6). Kedua, sambutan terjadi atas kemauan manusia sendiri, meski ada kedaulatan Allah yang bekerja yang membuat manusia tunduk dan patuh atas kehendak-Nya dengan firman sebagai sarananya (band. Luk. 11:28; Rm. 1:16; 1Ptr. 1:23).

 

Maka bacalah firman Allah yang hidup itu dan teruslah membaca. Firman Allah adalah sebuah kekuatan yang mengubahkan (1Tes. 1:8; Ibr. 4:12). Memang akan terjadi peperangan rohani antara pikiran dan roh manusia dengan iblis jahat yang menggoda pikiran kita. Namun dengan kuasa pertolongan Roh Kudus, firman itu akan menang dan selalu benar. Oleh karena itu, dorong juga teman-teman yang lain untuk ikut membaca. Dorong yang belum mengenal Tuhan Yesus untuk membaca dan mengenal Tuhan Yesus. Bagi mereka yang melakukannya, yang sungguh-sungguh rindu untuk belajar, akan disentuh dan dipenuhi dengan kuasa, dan mereka tidak pernah menjadi manusia yang sama. Dengan firman itu, kuasa Allah bekerja sebagaimana dikatakan, “Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Flp. 4:9).

 

Penutup

Melalui firman Tuhan minggu ini kita diberikan pengajaran tentang perlunya bekerja keras dalam hidup ini sambil tetap dalam pelayanan. Setiap orang percaya mesti masuk dalam pelayanan meski dalam bentuk tidak langsung. Akan tetapi pelayanan yang sepenuhnya bagi pemberitaan Injil membutuhkan dukungan dan bersinergi, agar mereka dapat lebih berbuah banyak. Rasul Paulus sendiri memberi keteladanan dengan bekerja keras sebagai pembuat tenda agar tidak menjadi beban jemaat. Penginjil dan pelayan serta orang percaya harus peduli dengan sesama, memberikan perhatian dengan dukungan moril dan doa. Nasihat dan keramahan adalah wujud kasih seperti seorang bapa dan ibu bagi anak-anaknya. Tetapi yang terutama, setiap anak-anak Tuhan harus hidup sesuai dengan kehendak Allah, dengan berlaku saleh, kudus, adil dan benar. Sebab bila hal itu diabaikan, maka akan menjadi batu sandungan. Kita tidak perlu pesimis atau khawatir tidak mampu melakukan semua itu, tetap optimis dan bersyukur sebagaimana Rasul Paulus, sebab kita adalah orang-orang yang dipanggil dan firman Allah akan bekerja dengan kuasa di dalam hati setiap orang percaya, sehingga kita berhak atas kerajaan dan kemuliaan kelak pada masanya. Tuhan Yesus memberkati.

 

Pdt. Em. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

Khotbah Minggu 25 Oktober 2020

Minggu XXII Setelah Pentakosta

BERBICARA BUKAN UNTUK MENYUKAKAN MANUSIA (Khotbah 1Tes. 2:1-8)

Bacaan lainnya: Ul. 34:1-12; atau Im. 19:1-2, 15-18  atau Mzm. 90:1-6, 13-17

atau Mzm.. 1; Mat 22:34-46

 

Pendahuluan

Bagaimana kita seharusnya melayani Tuhan? Rasul Paulus telah memberikan gambaran dan keteladanan melalui perjalanan hidupnya. Melayani membutuhkan persiapan terutama kesadaran paling pokok yakni kita wajib melayani sebab Allah telah memberikan yang terbaik bagi kita dan melayakkan kita untuk melayani-Nya. Pelayanan tidak hanya membutuhkan keahlian (teknis praktis), tetapi juga keteguhan, keberanian dan motivasi yang baik dan benar sehingga yang kita lakukan bukan untuk menyenangkan manusia (diri sendiri, keluarga atau pihak tertentu). Kesalahan dalam motivasi dapat membuat semua pelayanan hampa tidak berarti dan bahkan gereja dapat dirugikan. Melalui bacaan nas minggu ini kita diberikan pengajaran tentang keteladanan pelayanan Rasul Paulus dengan pokok-pokok sebagai berikut:

 

Pertama: Nasihat yang murni dan bukan tipu daya (ayat 1-2)

Perjalanan penginjilan Rasul Paulus merupakan mukjizat jalan yang Tuhan berikan sehingga Kekristenan dapat meluas hingga ke seluruh pelosok bumi saat ini. Tidak ada yang membantah bahwa penginjilan oleh Rasul Paulus (dan juga para rasul dan penginjil lainnya sebelum dan sesudahnya) kepada umat yang bukan Yahudi, merupakan berkat anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita semua. Kita bisa belajar bagaimana Rasul Paulus memulai penginjilannya ke benua Eropa pada perjalanan penginjilan keduanya (Kis. 16:36-18:22), setelah Allah menuntun-Nya melalui suara panggilan untuk menuju ke Makadonia. Dalam semua perjalanan penginjilannya hingga terakhir sebagai tawanan ke Roma, banyak rintangan dan halangan yang diterima Rasul Paulus. Jemaat mengetahui pengalamannya dihina dan dianiaya di Filipi sebelum ia berkunjung ke Tesalonika (Kis. 16:11-17:1). Namun dengan semangat siap berkorban dan tidak mengenal menyerah, disertai pertolongan dan kekuatan Roh Kudus, seluruh penderitaan yang dialaminya tidak menyurutkan hati Paulus untuk terus mengabarkan Injil. Upaya itulah yang membuat kekristenan semakin meluas di seluruh Eropa dan kemudian melebar ke seluruh dunia.

Demikian juga dengan kita. Apabila Tuhan menginginkan kita untuk melakukan sesuatu, maka Ia akan memberi kita kekuatan dan keperluan, termasuk keberanian dalam mengabarkan kabar baik dengan keteguhan, meski kita tahu akan ada tantangan dan rintangan yang muncul (band. Yer. 1:6-9; Flp. 1:30). Keteguhan tidak diartikan sebagai respon impulsif yang sembrono; Keteguhan memerlukan keberanian untuk menekan ketakutan dan melakukan yang baik dan benar. Kini pertanyaannya: Bagaimana caranya agar kita lebih teguh dan berani? Sebagaimana Rasul Paulus, kita harus lebih banyak menerima kuasa Roh Kudus, lebih banyak memberi kesempatan mengenal Tuhan Yesus, dan terjun langsung memulai tindakan dalam kesempatan yang lebih kecil dan mudah dahulu. Tiada perjalanan yang jauh dan panjang yang tidak dimulai langkah pertama. Semua memiliki tahapan dan latihan, seperti bersekolah harus lewat SD sebelum sampai ke puncak S3. Melangkah pertama masuk dalam pelayanan yang nyata akan mendorong kita untuk terus memberikan yang terbaik, sepanjang kita menyerahkan semua pelayanan itu bagi kemuliaan Tuhan semata.

Dengan kita melakukan semua di dalam Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya, khususnya dalam memberitakan Tuhan Yesus baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui pemberitaan firman atau perbuatan kasih dalam nama Tuhan Yesus, maka yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia. Kuncinya agar setiap tindakan harus dilakukan dengan keyakinan yang teguh, keberanian yang didasarkan pada semangat untuk belajar dan melayani lebih baik, dan motivasi yang benar tentang tujuan pelayanan. Pelayanan kita bukan melihat kebesaran dan hebatnya hal yang kita lakukan, melainkan didasari kesadaran bahwa Tuhan telah memberikan yang lebih banyak dan lebih baik kepada kita sebelumnya. Dengan kesadaran itu, maka niscaya pelayanan kita amat berharga di hadapan Tuhan.

 

Kedua: Berbicara bukan untuk menyukakan manusia (ayat 3-4a)

Rasul Paulus perlu menegaskan ulang tentang pengajaran dan nasihat yang pernah diberikannya, sebab waktunya di Tesalonika sangat singkat. Hal yang diajarkannya bukanlah tentang kesesatan, sebagai respon atas tuduhan para pemimpin Yahudi yang menghasut banyak orang, menyebut motifnya tidak benar sehingga ajaran yang disampaikan juga tidak benar (Kis. 17:5; 1Kor. 9:1-2). Tujuan pemimpin Yahudi adalah agar mereka meragukan Paulus dan menjadi goyah. Memang pada masa itu ada filsuf yang bertualang dari satu kota ke kota lain dengan mengajar, seolah-olah guru yang hebat tapi motivasinya untuk mendapatkan penghasilan dan keuntungan. Mereka hidup dari pemberian orang setelah mengajar. Tapi tujuan Rasul Paulus jelas tidak untuk mencari uang dan kekayaan, atau ketenaran dengan membagikan Injil. Dia memperlihatkan ketulusan motif dengan menunjukkan dia bersama Silas telah cukup menderita untuk mengabarkan Injil di Filipi. Mereka juga bekerja keras mencari nafkah karena tidak ingin menggantungkan hidup pada orang lain (hal ini akan dibahas di nas lain minggu depan). Ini merupakan bukti bahwa mereka juga siap berkorban demi berbagi keselamatan melalui kabar baik di dalam Injil.

Banyak orang terlibat dalam pelayanan dengan alasan yang berbeda dan bermacam-macam, meski kita akui tidak semua alasan yang tulus dan murni. Ketika motif buruk mereka terlihat, maka pekerjaan Kristus menjadi tercoreng dan gereja menjadi korban. Memang kalau dilihat, tidak seorang pun layak untuk memberitakan firman, sebab kita adalah orang berdosa. Akan tetapi melalui kasih karunianya, kita kemudian dilayakkan untuk menjadi hamba pelayan-Nya. Dalam suratnya ke jemaat Filipi, disebutkan tentang motivasi orang yang berbagai ragam dalam memberitakan Injil termasuk karena dengki dan perselisihan, atau memberitakan untuk maksud kepentingan sendiri yang tidak ikhlas. Tetapi banyak juga maksud baik seperti membagikan kasih. Rasul Paulus menutup dengan mengatakan, “Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita” (Flp. 1:15-18). Inilah yang menjadi alasan mengapa semua harus bersukacita sepanjang firman diberitakan.

Memang ketika kita dilayakkan, kita perlu menjaga agar kelayakan tersebut jangan dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan kepentingan Tuhan yang menugaskan dan melayakkan. Kelayakan kita membutuhkan ujian sebagaimana Rasul Paulus mengalaminya. Ini juga mungkin yang akan kita hadapi. Ujian bisa datang dari diri sendiri atau godaan iblis. Namun Allah tidak pernah mencobai manusia (Yak. 1:13). Ia mengetahui kesetiaan seseorang meski orang tersebut pernah jatuh seperti yang terjadi pada Petrus. Kini pertanyaannya kembali kepada kita: ketika kita terlibat dalam pelayanan, apa motivasi kita dalam melayani? Seberapa besar tingkat keberanian kita dalam menghadapi risiko penderitaan yang mungkin timbul karena pelayanan itu? Keteguhan dan keberanian tidak hanya dalam sisi materi, tetapi juga dalam kesiapan untuk menderita baik dalam segi jasmani maupun kejiwaan, dalam arti dihina dan dicela. Iblis tidak akan membiarkan kita untuk melakukan pelayanan yang terbaik dan ia akan gencar menggoda dan menjerat kita, meski semua itu ada dalam sepengetahuan dan kendali Allah. Apakah kita akan tunduk pada iblis atau taat pada Allah?

 

Ketiga: Tidak mencari loba dan pujian (ayat 4b-6)

Di dalam upaya kita untuk mempengaruhi orang lain, kita mungkin diuji atau digoda untuk mengganti posisi kita atau mengubah pesan yang ingin disampaikan; atau menggunakan sanjungan atau pujian yang berlebihan. Rasul Paulus tidak pernah mengubah pesan yang disampaikan agar hal itu lebih dapat diterima, tetapi ia menyesuaikan metodenya kepada para pendengar atau pembacanya. Jadi dalam hal ini pesannya sama, hanya kadang cara penyampaiannya bisa berbeda. Meskipun penyampaian kita harus diubah supaya sesuai dengan situasi tertentu, kebenaran Injil tidak dapat dikompromikan. Apalagi, akan sangat menjijikkan mendengar seseorang menyanjung berlebihan bahkan "menjilat" orang lainnya demi mencapai tujuannya. Sanjungan itu bisa palsu, dan kepalsuan seseorang itu pasti menutupi maksud sebenarnya. Orang Kristen tidak boleh menjadi penjilat. Kita yang memproklamasikan kebenaran Allah memiliki tanggungjawab khusus untuk selalu jujur. Pertanyaannya: apakah kita jujur dan bersikap terbuka terus terang dalam kata-kata atau perbuatan? Atau, apakah kita menceritakan pada orang lain tentang apa yang mereka hanya ingin dengarkan agar kita mendapatkan sesuatu atau pujian?

Ketika Rasul Paulus masih bersama mereka di Tesalonika, ia tidak mau memuji-muji mereka, tidak berharap akan penghargaan, bahkan tidak menjadi beban (ekonomi) bagi mereka (Kis. 20:33; 2Tes. 3:8; 2Kor. 11:9). Meski sebagai penginjil mereka berhak atas hal itu, tetapi mereka tidak memanfaatkannya (band. Gal. 6:6). Rasul Paulus dan Silas benar-benar dengan dorongan yang murni untuk pelayanan dan tidak ada maksud tersembunyi, seperti para filsuf yang sering berkelana mencari penghasilan. Mereka memusatkan perhatiannya pada usaha memperluas pekabaran Injil dan keselamatan kepada jemaat di Tesalonika (Gal. 2:7; 1Tim. 1:11). Ini yang sangat penting. Mereka tidak memilih yang enak didengar saja dan di balik itu ada maksud tersembunyi, udang di balik batu (2Kor. 2:17; 4:2). Memang kadang sulit bagi manusia untuk mengetahui semuanya, sebab manusia juga memiliki kemampuan untuk bermuka ganda bahkan topeng yang berlainan. Namun, Allah mengetahui dan mengujinya sehingga semua dibukakan pada saatnya nanti (1Kor. 4:4).

Orang percaya di Tesalonika hidupnya berubah oleh kuasa Allah, bukan oleh kuasa Rasul Paulus; semua itu dari pesan Kristus yang mereka percayai dan bukan pesan Paulus. Ketika kita menjadi saksi bagi Kristus, fokus kita bukan pada pesan dari diri kita, melainkan pada Pribadi Kristus dan pesan atas hal yang sudah dilakukan-Nya bagi kita orang berdosa. Sebagai orang Kristen dalam pelayanan sejati, kita harus mengarahkan semua kepada Tuhan Yesus dan bukan pada diri sendiri untuk mendapatkan hormat dan pujian atau menyombongkan diri (Yoh. 5:41, 44). Untuk itu pertanyaannya: Apakah kita melakukannya sekedar untuk menyukakan manusia sehingga mengorbankan kebenaran yang hakiki? Rasul Paulus telah memberikan teladan bagi kita sebagai hamba yang dipakai Tuhan, yakni menyadari kasih anugerah yang diterimanya. Ia juga tidak membanggakan diri atas hal yang dilakukannya, melainkan meletakkannya semua bagi kemuliaan Tuhan. Inilah panggilan dan sekaligus tantangan bagi kita, dan mari kita lakukan semua itu bukan untuk menyukakan manusia, tetapi menyukakan Allah sebab kita mengasihi Kristus dan jemaat-Nya (Gal. 1:10).

Keempat: Berkorban dengan membagi hidup (ayat 7-8)

Bagaimana Injil disebarluaskan? Apakah dengan kekerasan dan paksaan? Perjalanan Kekristenan memperlihatkan bagaimana semua dilakukan dengan kasih dan pengampunan. Hal yang dialami para rasul dan penginjil berupa penghinaan dan penganiayaan di awal abad gereja mula-mula dan termasuk orang percaya, tidak dibalaskan dengan kekerasan. Kita tidak pernah mendengar atau membaca perluasan Kerajaan Kristus dilakukan dengan peperangan. Justru yang terjadi adalah banyaknya martir-martir iman sehingga Kekristenan semakin terbukti sebagai agama kasih. Memang dunia lebih banyak memberi apresiasi terhadap kuasa dan ketegasan, meski tidak seorang pun mau untuk dilecehkan. Kelemahlembutan sering kali dipandang sebagai ciri atau sifat pribadi di dalam masyarakat dan bukan sebagai sikap. Kelemahlembutan sebenarnya adalah kasih dalam tindakan – dengan kepedulian, memenuhi kebutuhan orang lain, menyediakan waktu bagi orang lain untuk berbicara, memenuhi kebutuhan rohani, dan kesediaan untuk belajar. Itu sangat penting menjadi ciri dan sikap bagi setiap orang, laki-laki maupun perempuan.

Seorang yang mengasihi orang lain dan mengharapkan keselamatan kekal hanya dapat dilakukan dengan berbagi Tuhan Yesus dan Injil dengannya. Kasih yang mementingkan kebaikan dan penyelamatan sementara dari peristiwa khusus itu bagus, tetapi tidak sebanding artinya bila kita dapat memberikan keselamatan kekal pada orang lain melalui iman kepada Tuhan Yesus. Seorang yang berbagi kasih dan Injil pada dasarnya adalah seorang penginjil. Bagian akhir nas ini mengatakan bahwa Rasul Paulus mengasihi mereka dengan cara yang nyata, yakni berbagi hidupnya dengan jemaat. Rasul Paulus memberikan gambaran pelayanan seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawat anaknya. Seorang ibu jelas merawat dan mengasuh dengan kelemahlembutan. Kelemahlembutan adalah bagian dari buah-buah Roh dan penyangkalan diri. Sebagaimana dijelaskan di atas dalam memberi kasih dan kelemahlembutan, tidak ada cara lain yang lebih efektif selain memberi hidup kita kepada orang yang kita kasihi. Seorang ibu yang merawat bayinya pastilah dengan sepenuh hati dan bila perlu rela untuk meninggalkan pekerjaan atau kariernya. Untuk itu, peliharalah sikap lemah lembut dalam berhubungan dengan orang lain.

 

Penutup

Melalui nas minggu ini kita diberi pengajaran tentang pelayanan Rasul Paulus di jemaat Tesalonika yang sangat singkat. Ia tidak lama tinggal sebab ada perlawanan dari pemimpin Yahudi. Namun ia memelihara hubungan yang baik dengan jemaat dan hatinya terus terpaut pada mereka. Ia menegaskan posisinya sebagai Rasul dan juga sebagai seorang ibu yang merawat bayinya. Hal yang dituduhkan pemimpin Yahudi hanyalah tipuan agar iman mereka goyah. Nasihat yang diberikan Rasul Paulus sungguh murni dari Tuhan dan tidak ada maksud untuk tipu daya, apalagi untuk kepentingan keuntungan. Ia perlu berbicara dengan tegas sebab ia tidak bersedia mengkompromikan kebenaran Tuhan, dan ia tahu tugasnya bukan untuk menyukakan manusia tetapi menyukakan hati Allah. Hinaan dan penganiayaan yang diterimanya di Filipi adalah bukti keteguhan dan keberanian yang diperlihatkannya dan tidak menyurutkan motivasinya untuk berbagi keselamatan melalui Yesus dan Injil. Tuhan telah melayakkan dirinya untuk menjadi penginjil karena kasih karunia pengampunan yang diberikan atas semua dosa-dosa yang dilakukannya. Untuk itu, setiap orang perlu berkorban membagi hidup dengan orang lain, memberi perhatian, berbagi waktu dan kepedulian, sambil terus belajar. Hal terakhir yang ditekankannya adalah perlunya kelemahlembutan dalam penginjilan sebab Allah memberi kasih, dan kasih itu kita juga berikan dengan kelemahlembutan. Tuhan Yesus memberkati.

Pdt. Em. Ir. Ramles M. Silalahi, D.Min  

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 777 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7395999
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
39114
61324
148765
7204198
430861
1386923
7395999

IP Anda: 162.158.107.40
2024-11-21 16:10

Login Form