2025
2025
Khotbah Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025
Khotbah Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025
ORANG KAYA YANG BODOH (Luk 12:13-21)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: Hos 11:1-11 atau Pkh 1:2, 12-14, 2:18-23; Mzm 107:1-9, 43 atau Mzm 49:1-12; Kol 3:1-11
Pendahuluan
Tuhan Yesus sering sekali menggunakan perumpamaan dalam menjelaskan maksud-Nya. Ia sering tidak langsung menjawab pertanyaan meski tetap konsisten dengan pokok persoalan. Dalam kisah minggu ini, seseorang mengadu kepada-Nya yang mengaku diperlakukan tidak adil tentang pembagian warisan. Yesus tidak langsung membelanya dan juga tidak menghakiminya, melainkan memberikan perumpamaan tentang ketamakan dan sikap orang kaya yang bodoh. Dari bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran berharga sebagai berikut.
Pertama: Yesus bukan hakim bagi satu dua orang (ayat 13-14)
Dalam tradisi Yahudi, pembagian warisan sudah ada hukumnya. Anak tertua mendapat dua pertiga dan anak bungsu (dan lainnya) mendapatkan sepertiganya. Secara sekilas memang tampak bahwa pembagian ini bisa dianggap tidak adil sebab tidak merata. Namun budaya Yahudi yang menekankan peran dan kedudukan anak sulung menjadi dasar semua itu. Orang yang mengadu ini tidak mengutarakan alasannya, apakah karena ia tidak mendapatkan warisan sama sekali, atau ia tidak puas terhadap hukum pembagian itu. Ia lantas meminta Tuhan Yesus menjadi hakim bagi mereka.
Yesus menolaknya dengan alasan cukup jelas, yakni Ia tidak bisa menjadi hakim di antara mereka berdua. Sudah ada hukum Yahudi yang tertulis tentang hal itu dan semua orang bisa dengan mudah mengikutinya. Tuhan Yesus tidak melihat ada hal prinsip dan pokok penting dalam hukum itu yang berhubungan dengan pembaharuan jiwa manusia dan keselamatan. Ia lebih mengutamakan hal itu dibandingkan dengan urusan harta duniawi, dan kepentingan itu tidak terkait dengan misi pengutusan-Nya. Ia juga tidak terpikat pada jabatan dan mengambil alih tugas orang lain. Ia tahu bahwa harta (dan uang) akan selalu menjadi masalah dan merupakan alat yang ampuh bagi iblis untuk menjerat manusia ke dalam dosa.
Hukum positip bisa tidak adil karena kepentingan penguasa atau perilaku petugas hukum. Kita bisa jadi tidak puas bahkan bisa putus asa sebab tidak ada tempat untuk mengadu dalam mencari keadilan. Kadang kala kita menjadi emosi dan ingin menjadi hakim sendiri. Tetapi Alkitab mengajarkan agar kita terhindar dari hal ini. Firman Tuhan menekankan bahwa ketidakadilan yang kita terima di dunia ini biarlah Tuhan yang menjadi hakim dan memberikan pembalasan atas hal itu (Rm 12:19). Keinginan atau pendapat bahwa kita adalah pihak yang benar mungkin perlu dipikirkan berulang-ulang, sebab kita bisa juga tidak seluruhnya benar. Akan tetapi Allah adalah yang Maha Adil dan Bijak. Penghakiman dan penghukuman biarlah menjadi milik-Nya.
Kedua: waspadalah terhadap ketamakan (ayat 15-18)
Poin yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah ketamakan. Ia memberi perumpamaan orang kaya yang memiliki tanah yang luas dan hasil panen yang berlimpah. Saking banyaknya hasil panen, lumbung-lumbungnya menjadi tidak muat menampung, sehingga ia berpikir untuk membangun lumbung yang lebih besar lagi. Padahal, sebagaimana kita ketahui, sistim lumbung pada saat itu adalah tempat penyimpanan untuk setahun, jadi tidak perlu membangun tambahan, sebab tahun berikutnya panen yang baru akan datang. Tetapi orang ini tamak serakah, hasil panennya yang melimpah itu ingin ia sendiri menikmatinya, tidak terpikir untuk berbagi dengan mereka yang kurang beruntung atau kurang mampu. Inilah yang tampak dan lazim bahwa harta benda dan kekayaan mudah menjadi batu sandungan untuk mengikut Tuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tamak diartikan “selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri.” Arti kata sejenis yakni loba; serakah; rakus. Ketamakan berarti keinginan untuk selalu memperoleh (harta dsb) sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri. Dengan demikian ketamakan mengandung dua wajah. Wajah pertama adalah berusaha mendapatkan berlebih yang bukan haknya dan bila perlu berlaku curang. Orang seperti ini bisa menghalalkan segala cara demi untuk mendapatkan keinginannya, meski itu merugikan pihak lain. Wajah kedua adalah keinginan memiliki sesuatu yang sebenarnya tidak dia perlukan. Contoh yang terjadi sering kita mendengar banyak orang kaya memiliki banyak rumah, mobil atau motor gede di garasinya. Namun, orang miskin juga dapat bersifat tamak ketika ada kesempatan, ia mempergunakan dengan salah.
Menjadi kaya itu bukan dosa. Berusaha mendapatkan penghasilan yang besar itu bukan sesuatu yang dilarang dalam Alkitab. Allah melalui mandat budaya (Kej 1:28-29) menginstruksikan manusia ciptaan-Nya untuk mengolah alam bumi kita ini untuk kepentingan kesejahteraan manusia itu sendiri. Manusia diberi akal pikiran dan hikmat untuk dipergunakan dalam mengelola alam dan kehidupan sehingga menghasilkan yang lebih baik dan lebih banyak. Kita harus berupaya dengan keras dan cerdas untuk meningkatkan hasil usaha dan apabila dari hasil usaha itu kita mendapatkan berkat, maka wajar menerima dan mensyukurinya. Tetapi berkat adalah konsep berbagi. Diberkati untuk memberkati adalah ajaran kristiani sejak Abraham menerima itu pertama kali dari Allah. Maka, ketamakan, mementingkan diri sendiri, tidak mendapat tempat dalam kehidupan sorgawi. Oleh karena itu Tuhan Yesus mengingatkan, agar kita berjaga-jaga, mengawasi hati agar bersih dan tidak menjadi rakus, loba, tamak atau serakah.
Ketiga: mengandalkan pada harta (ayat 19-20)
Kaya materi itu merupakan berkat, sepanjang diperoleh dengan cara yang berkenan kepada Tuhan dan tidak melanggar hukum yang berlaku. Berusaha menjadi kaya dan mendapatkan penghasilan yang besar dengan cara melanggar hukum atau kesepakatan dengan mitra usaha, menipu, korupsi, KKN, maka itu jelas melanggar firman Tuhan. Banyak contoh orang kaya dan diberkati dalam Alkitab, mulai dari Abraham, Yusuf, Daud dan Salomo, termasuk dalam perjanjian baru yang mereka menggunakan kekayaannya untuk kemuliaan Tuhan. Alkitab juga mengatakan Allah membenci mereka yang malas.
Akan tetapi pikiran bahwa menjadi kaya dan pintar secara otomatis diartikan sebagai orang yang “diberkati”, dan menjadi miskin dan bodoh adalah mereka yang tidak diberkati, harus dijauhkan dari pikiran kita. Memang ada penafsiran dalam perjanjian lama pengertian itu muncul (lih. Ams 10:15; Luk 16:14), tetapi Tuhan Yesus jelas-jelas menolaknya (band. Luk 16:13 dan 18:24-25). Perjanjian Baru dengan jelas mengingatkan agar kita tidak membuat harta benda dan kekayaan sebagai berhala. Alkitab mengatakan bahwa di mana harta kita berada, maka ada kecendrungan hati kita juga ada disana (Mat 6:21; Luk 12:34). Kekayaan tidak mampu memperpanjang umur manusia, meski dengan kekayaan dapat menolong untuk berobat. Umur manusia ada di tangan Tuhan, dan oleh karena itu dalam ayat 15 dikatakan, hidup (manusia) tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.
Kekayaan mungkin dapat menolong untuk menjadikan manusia lebih berbahagia. Iklan produk di media begitu gencarnya sehingga kita merasa barang itu dibutuhkan, membuat kita lebih senang, bahagia dan lainnya, tetapi itu hanya kebahagiaan sekejap dan semu. Kekayaan memang hanya salah satu “alat” saja, meski kalau tidak hati-hati dapat menjadi sumber bencana. Banyak rumah tangga berantakan karena penghasilan yang besar semakin mendorong untuk individualis dan mengabaikan kesetiaan dalam rumah tangga. Sebagaimana dikatakan pada ayat 19, kita tidak bisa mengatakan kepada jiwa kita: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Ini jelas hal yang palsu. Mereka yang menyandarkan kekayaan sebagai sumber kebahagiaan dan jaminan hidup kekal adalah manusia yang bodoh (ayat 20). Marilah kita berkonsentrasi pada hubungan dengan Allah yang baik dan akrab. Good life nothing related with money.
Keempat: kaya di hadapan Allah (ayat 21)
Manusia dianjurkan untuk menabung. Tetapi kita harus bertanya, mengapa kita perlu menyimpan uang, untuk apa? Mempersiapkan untuk anak, pensiun dan masa tua adalah perbuatan baik dan bijak. Tetapi kalau kita menabung atau menyimpan untuk menghilangkan kekuatiran dan menjadikan kekayaan itu sebagai jaminan hidup, maka itu menjadi salah. Simpanan kekayaan di dunia ini jelas tidak cukup. Perlu ditanyakan, bagaimana dengan persiapan kita untuk kehidupan setelah kematian? Perjalanan hidup manusia di dunia belum tanda titik, tetapi masih tanda koma, masih berlanjut hingga nanti ada pertanggungjawaban dan penghakiman.
Sikap hidup yang lebih mengandalkan harta daripada percaya kepada Tuhan sangat berbahaya. Kita harus lebih percaya pada pemeliharaan Allah di dalam Tuhan Yesus. Inilah hakekat iman. Orientasi hidup yang mengandalkan Tuhan haruslah berusaha mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu, bukan keamanan duniawi. Tuhan Yesus bahkan menantang secara radikal seorang pemimpin kaya untuk memperoleh hidup yang kekal, yakni dengan menjual seluruh hartanya dan mengikut Dia (Mat 19:16-26; Mrk 10:17-27; Luk 18:22), serta mengatakan betapa susahnya orang kaya masuk sorga. Akan tetapi Alkitab justru menekankan berita sukacita bagi mereka miskin yang dihadapan Allah yang akan empunya Kerajaan Sorga (Mat 5:3).
Oleh karena itu, ketika kita berdoa dalam meminta atau membawa sesuatu persoalan kita kepada-Nya, maka Tuhan akan terlebih dahulu menanyakan sikap kita terhadap permohonan atau persoalan itu sendiri. Doa kita mungkin tidak dijawab secara langsung, akan tetapi petunjuk Tuhan bisa efektip dalam menolong kita menemukan jawaban atas persoalan yang ada. Kekayaan sejati bagi orang Kristen adalah dalam iman, pelayanan dan ketaatan, dan itulah adalah kunci menjadi kaya di hadapan Tuhan. Orang yang benar-benar kaya adalah mereka yang sudah membebaskan diri dari segala ketakutan dan soal duniawi, serta menyerahkan hidupnya sepenuhnya pada pemeliharaan Allah. Yesus menantang kita untuk perbuatan lebih banyak bagi kerajaan-Nya dan kita menjadi orang kaya di hadapan Allah.
Kesimpulan
Dalam minggu ini kita diajarkan tentang orang kaya yang bodoh dengan memperlihatkan ketamakannya. Kita diminta agar waspada berjaga-jaga dan tidak berlaku egois dengan menempatkan Tuhan Yesus bagi kepentingan diri sendiri. Ketamakan, loba, keserakahan dan kerasukan tidak mendapat tempat dalam kerajaan Allah. Mereka yang mengandalkan diri pada harta benda duniawi tidak menyadari bahwa semua itu adalah pepesan kosong dan semu. Justru Allah menghendaki bagaimana setiap orang percaya menjadi kaya di hadapan Allah dengan cara selalu bersikap “miskin” dan memberi lebih banyak bagi perluasan kasih dan kerajaan-Nya.
Selamat beribadah dan selamat melayani
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah (2) Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025
Khotbah (2) Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025
KASIH DAN AMARAH (Hos. 11:1-11)
“Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan” (Hos. 11:9b)
Salam dalam kasih Kristus.
Marah adalah salah satu sifat dasar manusia, bersifat universal dan bagian dari perasaan. Sebagai manusia, kesabaran memang ada batasnya. Kasih juga ada batasnya. Meski batas itu tidak sama bagi semua orang, sesuai pribadi masing-masing. Ledakan marah timbul bila tersambar sumbunya; ada yang pendek langsung bereaksi, tetapi ada yang sumbunya panjang, meledak setelah beberapa waktu bagaikan bom atom. Kejengkelan dan tumpukan kekecewaan yang dialami, bagaikan api dalam sekam, menjalar perlahan membentuk magma panas.
Kasih adalah salah satu sifat dasar Allah, selain sifat lainnya yakni, sebagai Pribadi dan Roh yang hidup. Kita tahu cerita Tuhan Yesus yang marah di Bait Allah, membalikkan meja-meja pedagang sehingga uang yang di atasnya berhamburan. Ia juga membuat cambuk dari tali, lalu mengusir semua binatang yang diperdagangkan (Yoh. 2:15-16). Tuhan Yesus juga marah saat mengutuk pohon ara yang tidak berbuah (Mrk. 11:12-14).
Beberapa minggu ini firman Tuhan disajikan kepada kita tentang amarah Tuhan, melalui nabi Amos dan juga nabi Hosea di pasal awal. Minggu ini juga kita kembali membaca tentang amarah Tuhan dari Hos. 11:1-11. Kekecewaan Allah terhadap bangsa Israel tampaknya mencapai puncak. Allah begitu mengasihi dan telah berbuat banyak hal kepada mereka, seperti membebaskan dari perbudakan di Mesir dan membimbing mereka hingga memberi makan (ay. 2-4). Tetapi bangsa Israel kemudian selingkuh, menyembah Baal dan patung-patung. Allah menilai bangsa ini tidak mau insyaf, sehingga Allah bermaksud untuk menghukum dengan kembali diperbudak, dan terlibat dalam peperangan dahsyat (ay. 5-6, band. 1 Kor. 10:20).
Melalui nas minggu ini kita kembali diingatkan bahwa sebagai Pribadi, Allah dapat marah. Tetapi Allah bukanlah manusia. Amarah Allah yang timbul tidaklah untuk melihat umat-Nya menderita, apalagi untuk menghanguskan (ay. 9). Kasih Allah melampaui kesalahan dan dosa yang manusia perbuat. Allah hanya menginginkan pertobatan dan umat-Nya kembali mengikut Dia dan hidup dalam damai sejahtera (ay. 11).
Kini pertanyaannya kepada kita: jika Allah dapat marah, apakah kita boleh marah? Apa batas kesabaran dan tujuan yang menjadi tolok ukur seorang Kristiani. Pertama, Alkitab mengajarkan, agar lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yak. 1:20). Kedua, marah itu jangan sampai menjadi dosa, harus selesai sebelum matahari terbenam marahnya telah padam (Ef. 4:26). Ketiga, marah yang bertujuan mendidik, memberi peringatan tentang hal yang salah. Keempat, marah itu jangan sampai membuahkan rasa sakit, baik di tubuh apalagi di jiwa. Memang kitab Amsal mengajarkan perlu didikan keras dengan tongkat, tetapi penggunaannya perlu bijak (Ams. 15:10; 22:15). Jangan dilupakan, marah yang didasari kasih adalah prinsip utamanya.
Dan terakhir, marah itu pilihan, bisa dihindari penyebabnya dengan cara mengalihkan perhatian, menghentikan hubungan. Tuhan Yesus berkata: “Bila seseorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah….” (Mat. 10:14). Kadang-kadang kita perlu berkata, EGP (emangnya gua pikirin)? Apalagi, jika hal itu bukan menjadi tanggung jawab utama kita. Jangan terlalu sok peduli, yang membuat diri sendiri susah dan tidak enak hati. Kita juga perlu mengasihi diri sendiri untuk tujuan lain yang lebih besar. Namun bila memang itu menjadi bagian utama hidup kita, kesabaran maksimal adalah menutupnya dengan berserah, bukan pasrah. Allah mempunyai rencana kepada tiap orang, dan berdoalah agar Allah bekerja menurut kasih dan kehendak-Nya. Kekristenan, sejatinya, bukanlah sesuatu yang rumit.
Selamat beribadah dan selamat melayani
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Kabar dari Bukit, Minggu 27 Juli 2025
Kabar dari Bukit
BERNEGOSIASI DENGAN TUHAN (Kej. 18:20-32)
”Abraham menjawab: Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku ini debu dan abu" (Kej. 18:27, TB2)
Doa adalah percakapan hormat dengan Tuhan, dipanjatkan sebagai ungkapan syukur dan penyampaian harapan, sebab kita percaya Tuhan memiliki kuasa campur tangan dalam kehidupan; tentunya juga permohonan pengampunan dan keringanan yang diberikan. Ketetapan dan kehendak Tuhan sebenarnya mutlak, namun kita tahu Tuhan adalah Pribadi: memiliki hati, pikiran, hikmat, kasih dan prinsip keadilan. Maka pertanyaannya adalah: dapatkah kita bernegosiasi dengan-Nya? Bagaimana syaratnya?
Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Kej. 18:20-32; sebuah kisah ketika Tuhan akan menghukum Sodom dan Gomora atas dosa berat dan keluh kesah yang didengar-Nya (ay. 20). Abraham hatinya penuh kasih dan mengingat keponakannya Lot ada di sana, maka ia memberanikan diri berdiri di hadapan Tuhan, meminta belas kasihan-Nya agar tidak memusnahkan kota itu; mempertimbangkan jika ada 50 orang benar di dalamnya, kemudian menawar 45, 40, 30, 20, bahkan 10 orang (ay. 22-32).
Tuhan mengabulkan permohonan Abraham. Lot diberitahu, sayang istrinya melihat kembali kemusnahan Sodom dan Gomora, dan hukumannya menjadi tiang garam (pasal 19).
Ada beberapa kisah lainnya di Alkitab perihal negosiasi terhadap ketetapan Tuhan dan dikabulkan. Musa bernegosiasi agar Tuhan mengurungkan hukuman terhadap bangsa Israel yang membuat patung lembu emas dan menyembahnya (Kel. 32:9-35). Raja Hizkia setelah menerima vonis kematian, berdoa dengan menangis kepada Tuhan, umurnya diperpanjang 15 tahun (2Raj. 20:1-6). Yunus lari tidak ingin menyampaikan pesan Tuhan kepada penduduk Niniwe tentang pertobatan. Ketika penduduk Niniwe bertobat, Tuhan membatalkan hukuman (Yun. 3:10).
Tetapi Alkitab juga menceritakan beberapa permohonan hamba-Nya yang ditolak, meski dalam pandangan manusia mereka telah penuh melayani-Nya. Musa tidak ikut masuk ke tanah perjanjian Kanaan (Ul. 34:4). Rasul Paulus ingin melepaskan duri dalam dagingnya - dugaan berupa penyakit. Menurut Alkitab, permohonan Musa tidak dikabulkan karena kesalahannya tidak taat atas perintah Tuhan di Meriba, yang diminta mengetokkan tongkatnya di atas batu mendapatkan air. Musa meragukannya (Bil. 20:2-13). Bagi Paulus, ia kemudian menyadari kehendak Tuhan atas “duri dalam daging" tersebut untuk merendahkan dirinya dan takut akan Tuhan (2Kor. 12:7-10).
Tentu kita ingin tahu pertimbangan Tuhan mengabulkan permohonan atau negosiasi. Manusia meminta karena memiliki kebutuhan dan keinginan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri. Ada juga faktor ketakutan dan kecemasan, akibat suatu kejadian atau tindakan. Dan tentunya ada pengharapan dan iman bahwa Tuhan memiliki kuasa menolong.
Namun perlu kita sadari Tuhan menolak atau mengabulkan, berdasarkan prinsip:
1. Kedaulatan Tuhan, hak prerogatif-Nya;
2. Keadilan dan kasih, sesuai kebenaran-Nya;
3. Rencana dan tujuan Tuhan yang lebih besar dari keinginan/pikiran manusia;
4. Melihat hati dan karakter manusia, dalam hal niat dan ketaatan.
Maka dalam berdoa atau bernegosiasi kepada Tuhan atas keputusan yang kita terima (misalnya vonis mati oleh hakim atau dokter, mandul, dan lainnya), perlu kita memperhatikan hal tersebut. Mintalah seturut firman-Nya dan berserah
dengan kehendak-Nya. Pertebal iman dengan lebih menyandarkan dan mengandalkan Tuhan dalam kehidupan. Berusahalah tetap taat setia, meski jalannya berat dan terjal. Marilah kita terus melatih dan melakoni kehidupan dengan hati tulus dan jujur serta dekat dengan-Nya.
Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah (3) Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025
Khotbah (3) Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025
PERKARA DI ATAS (Kol. 3:1-4)
Firman Tuhan bagi kita pada Minggu VIII setelah Pentakosta ini diambil dari Kol. 3:1-4. Nas ini meminta kita untuk berpikir dan fokus tentang perkara-perkara di atas, bukan soal-soal yang di bumi. Kita orang percaya telah dibangkitkan bersama Kristus, berarti hidup kerohanian kita memasuki hidup baru bersama Kristus. Meski fisik kita belum berubah, yakni masih memiliki tubuh yang sama, tetapi Allah telah memperbarui roh dan jiwa kita, dengan Roh Kudus yang tinggal dan berkuasa di dalam hati kita. Betul, sewaktu hidup dan tinggal di dunia ini kita tidak bisa lepas dari kebutuhan pangan, sandang, biologis, rasa aman, dan lainnya; demikian juga kita tidak bisa menghindar dari penyakit dan kematian tubuh duniawi yang ada. Bangkit bersama Kristus berarti memberi kesempatan kepada Roh Kudus untuk membaharui hidup kita secara terus menerus (lihat pasal 2 sebelumnya). Bersama Kristus berarti mengakui bahwa hidup kita sudah menjadi milik-Nya, sehingga kita memiliki sifat dan perilaku serupa seperti Kristus (band. Rm. 6:5).
Memikirkan hal-hal di atas berarti berjuang untuk menempatkan prioritas sorgawi dalam kehidupan praktis sehari-hari. Meski cara berpikir dunia akan mempengaruhi tindakan kita, tetapi kita tetap berkonsentrasi pada hal-hal yang abadi dibandingkan dengan hal yang sementara di dunia ini, dan itu memperlihatkan kedewasaan dalam berpikir. Memikirkan tentang hal-hal di atas berarti melihat kehidupan ini dari sudut pandang Allah dan mencari rencana-Nya dalam hidup kita (lihat Kol. 3:15 hingga pasal 4, yakni gambaran bagaimana Kristus menguasai hati dan pikiran orang-orang Kristen (band. Flp. 4:9). Hal ini juga akan menghasilkan penangkal bagi kecenderungan materialisme, dan memberi kita pemahaman yang benar tentang materi dan kekayaan duniawi, dengan melihatnya dari sudut pandang sorgawi.
Dalam kitab Filipi dikatakan, “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya” (Flp. 3:20-21). Dengan demikian, kita diminta membuat penilaian dan pertimbangan segala aspek kehidupan dari sudut pandang sorgawi.
Kita hidup di dunia bukan berarti kita harus membenci dunia, dan menjadi terpisah dengannya. Kita hanya memperlakukan dunia di sekitar kita sebagaimana Allah menciptakan dengan maksud tujuan-Nya, dan kita hidup secara harmoni di dalamnya. Membenci dunia haruslah dalam pengertian sifat-sifat duniawinya, bukan membenci isi ciptaan-Nya, sebab tugas dan tanggungjawab kita ada juga di dalamnya, yakni sebagai orang-orang yang menerima mandat budaya dari Allah untuk mengelola demi kemuliaan-Nya (Kej. 1:28).
Tersembunyi di dalam Kristus pada ayat 3 berarti, yang terjadi bukan lagi penonjolan diri. Apa yang kita perbuat dan capai dalam hidup saat ini, pekerjaan dan pelayanan, harus kita akui itu adalah kehendak dan pertolongan Allah, sehingga Dia-lah yang ditinggikan, bukan diri kita. Kita bermegah hanya dalam salib Tuhan (Gal. 6:14; Luk. 9:23). Apa yang kita lakukan, tidak masalah tersembunyi bagi mata dan pujian manusia, akan tetapi itu semua akan terbuka dan terungkap dalam buku kehidupan.
Kita jangan terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang membawa kita seolah-olah rajin bersekutu, ikut beribadah, membaca firman Tuhan, bahkan melayani, namun kemudian kita merasa tidak bahagia. Pasti ada yang salah dalam hal ini. Jangan sampai dalam melakukan itu kita sebenarnya melupakan hakekat dan tujuan melakukan itu, sehingga kita kecewa dan merasa tidak puas. Jangan sampai ibadah dan pelayanan kita berpusat pada diri sendiri, dan bukan pada Kristus. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi atas tujuan dan penyertaan Roh dalam melakukan semua itu, sebelum akhirnya kekecewaan membawa kita kepada dosa. Perlu dilihat dan diperhatikan komunitas kita bergaul, yang sangat menentukan dalam cara berpikir kita, di samping tentu saja kecenderungan bawaan dari bawah sadar yang merupakan hasil pendidikan dan masa kecil.
Saat ini Tuhan Yesus sudah duduk bertakhta di sorga (Mzm. 110:1; Ef. 1:20). Rumah kediaman orang Kristen adalah tempat di mana Kristus hidup (Yoh. 14:2, 3). Semangat kita adalah semangat pengabdian dan rasa syukur, bukan semangat mencari imbal jasa. Upah adalah sesuatu hak yang melekat dan bukan tujuannya. Kesempurnaan dalam panggilan dan pilihan Tuhan yang membuat kita sebagai orang yang merdeka dimaksudkan supaya kita semakin memberi buah, menjadi serupa dengan gambar Kristus (2Kor. 3:18); Hidup semakin berbuahkan kebenaran (2Kor. 9:10). Kita perlu memahami itu dan rindu untuk berbakti, melayani Allah dengan segenap hati dan melayani sesama kita. Maka semua itu nanti hasilnya akan dibukakan dan dinyatakan pada saat Parusia, kedatangan Tuhan kembali, dan janji kemuliaan itu datang bersama-sama dengan Dia (Yoh. 17:24).
Nas Minggu IX setelah Pentakosta ini meminta perubahan cara berpikir kita yang akan mempengaruhi dan membuat pengakuan: hal yang kita lakukan adalah semua karena pertolongan Tuhan, dan membuat kita tidak menonjolkan diri. Diri kita menjadi tersembunyi di dalam Kristus yang sudah hidup di dalam diri kita. Kita tidak perlu kecewa atau kesal meski manusia tidak melihat dan menghargai hal itu. Seperti dikatakan ayat terakhir nas ini, “Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamu pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.” Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia; Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm. 11:36).
Selamat beribadah dan selamat melayani
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah Minggu VII Setelah Pentakosta - 27 Juli 2025
Khotbah Minggu VII Setelah Pentakosta - 27 Juli 2025
MINTALAH, MAKA AKAN DIBERIKAN KEPADAMU (Luk. 11:1-13 dan Mat. 6:9-13)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: Hos. 1:2-10 atau Ke.j 18:20-32; Mzm. 85 atau Mzm. 138; Kol. 2:6-15, 16-19
Pendahuluan
Minggu ini bacaan kita adalah tentang Doa Bapa Kami dan hal pengabulan doa. Meski teks dalam nats Lukas ini tidak selengkap dengan Mat. 6:9-13, namun dalam sistim leksionari tahun A (Matius) bacaan Mat. 6 ini tidak dicantumkan, maka pada nats Lukas ini kita akan membahas Doa Bapa Kami tersebut secara bersamaan. Juga pada kitab Luk 11 ini, Doa Bapa Kami digabungkan dengan hal pengabulan doa, yang pada kitab Matius itu nats ini terpisah dalam Mat. 7:7-11. Maka pembahasan nats Luk. 11 ini sebenarnya merupakan pembahasan kedua nats dalam kitab Matius tersebut.
Dari bacaan tersebut kita memperoleh banyak hal tentang pedoman hidup tentang Doa Bapa Kami sebagai berikut.
Pertama: berdoa kepada Allah Bapa (ayat 11:1-2a,11-13 dan Mat 6:13b)
Berdoa adalah menaikkan permohonan kepada Allah yang Maha Kuasa. Kita berdoa kepada-Nya sebab Ia adalah Raja kita dan berkuasa atas diri kita. Ia pencipta kita bagaikan tukang periuk yang menciptakan kita sebagai periuk tanah liat (Rm 9:20-21). Ia berdaulat tetapi Ia juga Bapa kita yang dapat berinteraksi dengan kita dalam mencapai tujuan-Nya melalui hidup kita. Ia menjadi Bapa sebab kita telah percaya dan menerima-Nya sehingga diberi-Nya kuasa dan mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya (Yoh 1:12).
Allah Bapa kita adalah Allah yang penuh rahmat dan penuh kuasa. Ia adalah Allah yang penuh kasih dan selalu memberi yang terbaik bagi kita. Pada ayat 11 dan 12 dikatakan, “Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking?” Demikian juga Bapa kita akan memberikan sesuai dengan kebutuhan kita dalam mengemban misi yang diberikannya dalam hidup kita. Allah kita adalah Allah yang baik dan selalu peduli, meski kata peduli ini tidak harus diterjemahkan sebagai pemenuhan semua keinginan kita. Ia perkasa sebab Ia mampu memberikan semua keperluan itu. Tetapi Ia tidak akan memberikan segala keinginan kita. Keperluan dan kebutuhan sangat berbeda dengan keinginan, apalagi keinginan yang sudah dikuasai oleh keinginan daging. Jelas keinginan seperti itu justru akan merusak dan membahayakan kehidupan kita dan Allah tidak akan mengabulkannya.
Kita menyebut Allah Bapa di sorga bukan berarti Ia jauh dari kita. Ia bukan Allah yang bertakhta bagaikan tuan tanah pemilik bumi dan alam semesta yang sedang berpergian ke sorga. Pengertian sorga lebih kepada pemberitahuan bahwa Allah adalah agung dan berdaulat (band. 2Taw. 20:6; Mzm. 115:3). Pernyataan Bapa di sorga adalah Bapa yang bertakhta dan berdaulat, seorang Bapa yang memerintah atas segala sesuatu. Dia adalah Raja segala Raja.
Kedua: berdoa bagi Allah (ayat 112b; Mat 6:10)
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa kita berdoa bagi Allah? Bukankah Allah itu Maha Kuasa dan Perkasa? Mengapa Ia masih membutuhkan doa kita? Apakah ada manfaatnya? Sebelum menjawab hal itu, perlu kita lihat isi bagian doa bagi Allah ini, yakni ada tiga bagian: berdoa bagi nama Allah, berdoa bagi kerajaan Allah, dan berdoa bagi kehendak Allah.
Allah memang Maha Kuasa dan Perkasa. Namun Ia tidak menginginkan semua rencana-Nya dilakukan-Nya sendiri. Allah telah menetapkan menciptakan manusia yang serupa dan segambar dengan Dia dalam mewujudkan misi dan rencana-Nya untuk dunia ini. Allah tidak menciptakan robot-robot yang bertindak menurut program “Tukang Periuk”, melainkan Ia menetapkan menciptakan manusia yang memiliki hati dan kehendak. Manusia yang diciptakan-Nya memiliki “kebebasan” (relative) dalam memutuskan apakah manusia itu ingin bekerjasama dengan Allah dalam mewujudkan rencana dan misi-Nya tersebut? Dalam hal inilah kita sebagai anak-anak-Nya diminta bekerja sama dalam tugas itu.
Kita berdoa bagi nama Allah sebab nama Allah harus dipertahankan dalam keagungan dan kemuliaan-Nya. Sama seperti dalam sambutan protokol, nama-nama selalu disebutkan didahului dengan “yang terhormat”, “yang dimuliakan” (biasanya bagi pembesar dan raja-raja di bumi), atau sebutan lainnya. Nama Allah harus kita pertahankan agar tetap Agung dan Mulia. Demikian juga dengan kerajaan-Nya, kita berdoa bagi kerajaan-Nya dalam pengertian agar semakin banyak orang yang bekerja untuk memperluas dan memperbesar kerajaan-Nya. Kita berdoa bagi kehendak-Nya karena Ia menginginkan agar semua isi dunia ini mengaku dan mengikut Dia melalui Tuhan Yesus yang diutus-Nya sebagai Juruselamat manusia. Allah berkehendak agar tercipta damai sejahtera bagi isi dunia ini sebagaimana pesan pertama Tuhan Yesus bagi dunia. Itulah yang dikehendaki agar kita ikut berpartisipasi dalam tugas itu melalui doa dan perbuatan kita.
Ketiga: berdoalah bagi diri/kita sendiri (ayat 11:3-4; Mat. 6:11-13a)
Tuhan Yesus tidak melupakan bahwa kita sebagai manusia memerlukan beberapa kebutuhan. Dalam Doa Bapa Kami ini, Tuhan Yesus mengajarkan kita agar meminta tiga hal pokok yakni: makanan, pengampunan, dan perlindungan.
Tubuh fisik kita terdiri dari beberapa unsur materi dan dapat berkurang atau rusak sesuai dengan faktor waktu dan usia. Ada proses dalam tubuh kita dengan prinsip kimia-fisika bahwa tubuh membutuhkan materi dan energi, agar bisa berproses lanjut, terutama apabila tubuh dalam pertumbuhan dan melakukan pergerakan maka dibutuhkan energi akan lebih besar lagi. Semua proses itu berlangsung dalam tubuh daging kita yang diciptakan dengan sempurna. Oleh karena itu, kita membutuhkan makanan (dan minuman) untuk proses tersebut. Tubuh tidak baik menyimpan makanan untuk dipakai dalam 1 minggu ke depan. Yang terbaik adalah asupan makanan dan minuman dipakai dan dibutuhkan dalam satu hari ke depan termasuk untuk pertumbuhan fisik. Ini dilakukan secara kontinu. Apabila ada kelebihan, maka akan disimpan dalam bentuk lemak dan itu sangat tidak menyehatkan. Keserakahan memang membawa hal buruk. Kalau ada berkat jasmani yang berlebih, maka sebenarnya itu mesti dipakai untuk kepentingan yang lebih panjang sesuai dengan rencana Allah, bukan untuk dihabiskan atau berfoya-foya dalam sehari. Oleh karena itu, dalam doa tersebut hanya diminta makanan untuk hari ini. Allah kita itu adalah Allah Penyedia (Provider) yang mengetahui kebutuhan kita.
Hal kedua yakni pengampunan. Kita secara sadar atau tidak sadar melakukan hal yang tidak berkenan kepada Tuhan dan juga kepada sesama manusia. Perbuatan yang menyakitkan hati Tuhan dan sesama manusia itu akan menimbulkan luka, apalagi bila kita terlihat tidak menyesalinya. Tiadanya pengampunan dari Tuhan membuat segala sesuatunya menjadi sulit dan buyar. Tanpa pengampunan dari Tuhan (termasuk usaha kita mendapatkan pengampunan dari manusia, terlepas apakah mereka memberikan atau tidak), maka tidak akan ada pengudusan. Tanpa pengudusan, maka komunikasi dan hubungan dengan Allah akan terputus. Dalam konteks Doa Bapa Kami ini, permohonan pengampunan itu menjadi penting, dan Allah kita adalah Allah Pengampun (Pardoner).
Hal ketiga adalah perlindungan. Meski kita berusaha hidup dalam kebenaran dan ketulusan, namun tidak bisa dipungkiri kita berada dalam lingkungan atau masyarakat yang belum benar dan tulus. Banyak hal jahat di sekeliling kita, baik atas inisiatif dari iblis dan setan-setan maupun didorong oleh kedagingan manusia. Kadang hal yang jahat itu datang tidak terelakkan baik atas seizin Tuhan maupun karena godaan iblis pada kita, yang mengetahui titik-titik lemah untuk menyerang kita. Oleh karena itu dalam Doa Bapa Kami kita memohon perlindungan dari-Nya agar menjauhkan kita dari yang jahat, sebab Allah kita itu adalah Allah Pelindung (Protector).
Keempat: tentang meminta, mencari, dan mengetuk (ayat 11:5-10)
Pada ayat 5 Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang seseorang yang pergi ke rumah seorang sahabatnya di tengah malam karena membutuhkan roti untuk tamunya yang baru tiba dari perjalanan, kemudian berusaha mengetuk pintu rumah sahabatnya agar ia mendapatkan roti untuk disajikan. Tuhan Yesus memberi contoh bagaimana orang tersebut harus berusaha meski di tengah malam dan meminta kepada sahabatnya itu, mengetuk pintu rumahnya, meski ada konsekuensi bahwa sahabatnya tersebut akan memberikan dengan “berat hati”, karena ia tidak mau diganggu lebih lama (band. Luk. 18:1-8 tentang hakim yang tidak benar dengan seorang janda).
Tuhan Yesus menakankan bahwa kita harus meminta. Tanpa meminta maka Allah tidak tahu akan kebutuhan yang sesuai dengan rencana kita dalam menjalani hidup sesuai dengan rencana-Nya. Permintaan harus spesifik dan tidak berlebihan. Meminta itu bukan sesuatu yang salah dan sebagaimana dikisahkan oleh Tuhan Yesus, orang tersebut pergi meminta walau malam hari. Artinya dalam meminta tersebut ada perjuangan dan perlu pengorbanan. Hal yang perlu dilihat juga adalah orang tersebut meminta bukan untuk dirinya melainkan untuk sahabatnya yang datang berkunjung yang sedang kelaparan.
Jawaban sahabatnya tidak mungkin mengatakan bahwa pintu sudah tertutup meski sudah malam hari. Artinya, peluang selalu ada dan kita perlu gigih dalam meminta. Tuhan Yesus ingin menekankan bahwa kesungguhan dan kegigihan dalam berdoa merupakan pertimbangan utama bagi Allah untuk mengabulkan doa kita, sepanjang Allah berpikir bahwa hal itu memang kita perlukan. Ketekunan, kegigihan dan pengabulan doa merupakan faktor yang berkaitan. Tetapi kuncinya tidak berhenti disitu, sebab Tuhan Yesus juga menekankan kata mencari, maka kita harus berusaha melihat alternatif yang lebih baik dan setelah berusaha untuk mengetuk kembali agar doa kita mendapatkan jawaban. Kita harus berprinsip bahwa Allah kita adalah Allah yang Maha Baik dan peduli kepada keperluan kita dalam menjalankan misi-Nya di dunia ini.
Kesimpulan
Dalam minggu ini kita diberikan pengajaran isi Doa Bapa Kami dan kaitannya dengan pengabulan doa. Kalau dalam sebelum nats ini Tuhan Yesus menekankan pentingnya doa yang benar (tidak di persimpangan jalan tetapi masuk ke kamar), maka dalam minggu ini kita diajarkan tentang berdoa kepada Allah yang benar, berdoa bagi Allah untuk menyatakan kita adalah bagian dari misi-Nya dan berdoa bagi diri/kita sendiri. Dalam berdoa itu perlu ketekunan dan kesungguhan agar doa kita terjawab, sebab Allah kita adalah Allah Penyedia (Provider), Allah Pengampun (Pardoner) dan Allah Pelindung (Protector). Maka berdoalah: mintalah, carilah dan ketuklah terus menerus.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025Khotbah Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025 ORANG...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025Khotbah (2) Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025 KASIH...Read More...
-
Khotbah (3) Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025Khotbah (3) Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025 PERKARA...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 18 guests and no members online