2025
2025
Khotbah Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025
Khotbah Minggu 7 September 2025 - Minggu XIII Setelah Pentakosta
MEMIKUL SALIB DAN MENGIKUT DIA (Luk 14:25-33)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: Fil 1-21; Yer. 18:1-11 atau Ul. 30:15-20;
Mzm. 139:1-6, 13-18 atau Mzm. 1
Pendahuluan
Sering sekali gambaran yang diperoleh bahwa mengikut Yesus akan mendapatkan jalan yang mudah dan mulus serta penuh dengan kemuliaan dan kekuasaan. Akan tetapi Tuhan Yesus dalam nats minggu ini memberikan pengajaran yang berbeda total. Kadang kala jalan mengikut Dia itu tidak penuh dengan damai dan bahkan perlu dengan kebencian. Demikian pula gambaran “kehormatan dan kemuliaan” yang harus dibayar terlebih dahulu dengan memikul kuk dan kesediaan berkorban untuk menderita demi kemuliaan Bapa di sorga. Dari bacaan minggu ini kita memperoleh pengajaran beberapa hal sebagai berikut.
Pertama: membenci keluarga dan diri sendiri (ayat 25-26a)
Benci atau kebencian merupakan kata yang sangat negative dan buruk bagi jiwa kita. Perasaan benci atau kebencian timbul karena ketidaksukaan terhadap sesuatu (seperti makanan/minuman, seni atau lukisan tertentu, atau barang/benda lain) atau seseorang yang timbul karena perbedaan pandangan dan sikap terhadap hal-hal tertentu. Tingkat kebencian juga memiliki gradasi, dari benci dalam pengertian tidak suka saja sampai kepada kebencian yang menghasilkan dampak fisik dan psikis, seperti amarah, tangisan, mual dan dampak negative lainnya. Menyimpan atau memendam kebencian dalam waktu lama bahkan akan menimbulkan dampak pada kesehatan dan secara langsung akan mengurangi sukacita dalam kehidupan sehari-hari.
Firman Tuhan minggu ini seolah-olah Tuhan Yesus memerintahkan kita membenci ibu-bapa, istri dan keluarga. Tentu menjadi pertanyaan mengapa Tuhan Yesus berkata demikian dalam pengajaran-Nya. Hal pertama adalah, Yesus ingin menekankan bahwa membangun hubungan dan kesetiaan kepada Kristus haruslah di atas segalanya. Kasih dan pengabdian kepada Kristus harus mengalahkan kasih dan pengabdian kepada semua termasuk keluarga. Kasih kepada Tuhan Yesus itu harus dilakukan dengan sepenuh hati dan bukan setengah hati atau kompromi terhadap nilai-nilai dasar kristiani. Yesus adalah nomor satu dan tidak boleh menjadi nomor dua.
Hal kedua yakni Tuhan Yesus menggunakan kata yang keras dan tegas dalam hal prasyarat mengikut Dia. Penggunaan kata membenci muncul ketika nilai-nilai yang kita anut dan sesuai dengan ajaran Kristus sudah berbeda jauh dengan nilai-nilai yang dipegang oleh keluarga kita. Ketika nilai-nilai yang menyimpang itu dipegang oleh ibu-bapa kita, istri atau keluarga lainnya, maka kita harus membencinya. Demikian juga ketika memegang teguh nilai-nilai itu kita pegang, maka mungkin ada yang tidak menyukai bahkan membenci kita. Namun perlu dijelaskan di sini bahwa kita tidak membenci pribadi mereka, melainkan membenci nilai-nilai yang mereka anut dan tampak dalam perbuatan dan sikap sehari-hari.
Kedua: memikul salib untuk mengikut Dia (ayat 26b-27)
Pesan Tuhan Yesus sangat jelas pada bagian kedua ini bahwa mencintai Yesus itu harus melebihi mencintai nyawanya sendiri. Semua orang percaya umumnya menghafal ayat penting dalam Yoh. 3:16, yakni bahwa begitu besar kasih Allah kepada manusia sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita. Tetapi baiklah juga kita mengingat firman Tuhan dalam 1Yoh. 3:16 (perhatikan hanya menambah angka 1 di depan) yang mengatakan, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa perlu kesiapan menyerahkan nyawa untuk berkorban bagi saudara-saudara kita. Ini tentu harus juga ditafsirkan dalam pengertian positip yakni kalau situasi dan kondisi tertentu meminta demikian, yakni dalam hal pembelaan iman, menyelamatkan hidup seseorang, dan sejenisnya.
Ini juga yang dimaksudkan dengan memikul salib untuk mengikut Dia. Memikul salib adalah lambang kesiapan dalam penderitaan sebagaimana saat Tuhan Yesus dalam keadaan yang sudah demikian terluka disiksa tetap memikul salib menuju Golgota. Salib awalnya adalah lambang kutuk dan penistaan. Memikul salib berarti bersedia hidup di dalam “pengorbanan”, meski tidak harus dalam bentuk asketisme atau pengucilan diri. Memikul salib adalah kesediaan dan kesiapan dalam melepaskan kepentingan diri sendiri dan berkorban untuk kepentingan orang lain. Memikul salib berarti meningkatkan kepekaan akan adanya penderitaan orang lain dan untuk itu kita siap untuk berbagi baik secara emosi, kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani.
Ini juga yang dimaksudkan agar ketika mengikut Tuhan Yesus, sudah harus mengetahui harga yang harus dibayar untuk mempertahankan dan meningkatkan iman dan kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak dapat berbangga dan berbesar hati menjadi pengikut Tuhan Yesus, tetapi tidak mau menjadi murid yang sejati. Kita tidak dapat mengambil hak namun melupakan kewajiban. Atau hanya mengambil “yang manisnya” tetapi tidak mau menerima “yang pahitnya”. Seorang pengikut dan murid harus membayar semua harga itu, baik dalam pandangan dan nilai-nilai etika dan moral yang dianut, pergaulan dan sikap pribadi, sampai kepada perbuatan dan kasih yang harus diperlihatkan dalam hubungan dengan pihak lain. Atau sebagaimana digambarkan dalam bagian pertama di atas, sikap kita yang berbeda menjadi alasan dibenci oleh keluarga atau kelompok, namun itu adalah harga yang harus kita bayar, dan kita harus siap dengan harga itu.
Ketiga: pentingnya perencanaan dalam kehidupan (ayat 28-32)
Dalam bagian ini Tuhan Yesus menggambarkan untuk mengikut Yesus dan memikul salib mengambil contoh dengan membangun menara. Pengertian menara dalam hal ini sebenarnya adalah menara tempat penjaga kebun anggur yang dipakai untuk mengawasi kebun sehingga tidak ada pencuri atau perusak kebun yang datang. Membangun menara jelas membutuhkan bahan, peralatan, ketrampilan dan khususnya biaya. Maka jangan sampai ketika menara yang cukup tinggi untuk dipakai tempat mengawasi, saat membangun tidak selesai atau terkatung-katung, karena tidak adanya bahan, peralatan dan biaya. Bukankah itu menjadi mubazir dan bahkan memalukan?
Demikian pula kiasan Tuhan Yesus ketika hendak pergi berperang. Seorang raja atau perwira harus memperhitungkan dengan cermat kekuatan lawan dan juga kelebihan atau keunggulan pasukannya. Meski jumlah yang disebut dalam ayat ini kekuatan lawan lebih besar, namun harus dicari peluang untuk memenangkan peperangan. Tanpa memperhatikan hal tersebut maka dengan mudah kita akan menjadi pasukan yang kalah. Hasilnya akan membuat banyak korban dan kerusakan yang parah bagi diri sendiri. Ini karena kurangnya perhitungan dan perencanaan dan jelas sangat merugikan dan memalukan.
Perencanaan dalam mengikut Tuhan Yesus juga demikian halnya. Ada iman, pengharapan dan kasih yang akan dibangun. Kekuatan pikiran dan diri sendiri tidak akan mampu melawan tantangan dan godaan iblis dan dunia ini. Demikian juga kelihaian iblis dalam memanipulasi kelemahan daging membuat kita mudah jatuh. Maka kita harus melepaskan diri dari ambisi-ambisi pribadi yang lepas dari kehendak Allah. Memang betul, semua harus diupayakan mendapatkan yang terbaik dalam hidup kita, tetapi biarlah itu semua dengan tahapan dan jalan yang berkenan kepada Tuhan. Dengan demikian kita terhindar dari sikap munafik yakni mau mengambil manisnya tetapi tidak siap dengan yang pahitnya. Hukuman dari Tuhan akan lebih besar bagi mereka yang bersikap seperti ini.
Keempat: melepaskan diri dari harta milik (ayat 33)
Kepemilikan memang membuat seseorang menjadi egoistis. Banyak pihak merasa bahwa apabila ia memiliki “sesuatu” maka itu adalah hasil kerja atau karyanya. Apalagi yang dimiliki itu menjadi sesuatu yang banyak, melimpah dan bernilai, maka sikap egoistis akan semakin menonjol, seolah-olah semua hasil capaiannya itu adalah hasil kerja kerasnya. Sikap ini bahkan sering terjadi dalam kelompok, dengan menganggap pemimpin atau seseorang dalam posisi tertentu yang membuat keberhasilan itu terjadi. Inilah efek samping dari rasa kepemilikan.
Namun Tuhan Yesus mengatakan bahwa seseorang yang mengikut Dia harus melepaskan semua itu. Melepaskan bukan dalam arti kata harus menjual/melepas apa yang kita miliki dan memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Konteks ini berlaku kepada pemuda kaya yang hatinya terus pada hartanya. Akan tetapi Tuhan Yesus maksudkan adalah bahwa memiliki sesuatu yang sangat kita kasihi atau berharga menurut ukuran duniawi, semua itu semata-mata adalah titipan pemberian Allah. Kita hanya pemegang amanah. Tanggung jawab itu akan diminta kelak bagaimana kita melihat dan memperlakukan amanah (harta) milik itu, apakah itu untuk kepentingan diri semata, atau memang untuk kemulian nama Allah.
Keselamatan memang gratis karena telah dibayar lunas oleh darah Yesus. Tetapi bukan berarti keselamatan itu murah dan gampang. Ini jelas berbeda. Menerima keselamatan kekal sejak di dunia ini memerlukan kesungguhan hati dan kesiapan melepaskan sesuatu. Mengikut Tuhan Yesus harus melihat jauh yakni kepada kekekalan, bukan hanya kepentingan saat ini saja yang dapat menipu. Kalau kita melihat ayat lanjutan dari nats minggu ini (ayat 34-35), maka Tuhan Yesus mengumpakan seperti garam yang tidak punya rasa asin, maka akan hambar dan pasti akan dibuang. Demikian jugalah kiranya gambaran hidup orang yang mengutamakan kepemilikan dalam hidupnya, merasa hebat dan berguna padahal sebenarnya siap untuk dibuang.
Kesimpulan
Mengikut Tuhan Yesus berarti siap untuk membenci dan juga dibenci (dalam pengertian tujuan positip) oleh keluarga, yakni ketika pandangan dan pegangan nilai-nilai Kristiani harus dipertahankan. Untuk mengikut Dia memang tidak mudah dan murah. Ada harga yang harus dibayar yakni dengan kesediaan untuk berkorban. Semua itu memerlukan perencanaan dan pengetahuan tentang jalan mengikut Tuhan Yesus. Sebab kalau tidak, maka perjalanan iman akan menjadi sia-sia. Tuhan Yesus juga menekankan pentingnya melepaskan diri dari sikap kepemilikan (harta), sebab segala sesuatu itu diberikan oleh Tuhan, sebagaimana garam yang harus asin, semua itu adalah untuk menjadi berkat bagi orang lain.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah (2) Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025
Khotbah Minggu 7 September 2025
Minggu XIII Setelah Pentakosta (Opsi 2)
BEJANA YANG SEMPURNA (Yer. 18:1-11)
“Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya” (Yer. 18:4)
Salam dalam kasih Kristus.
Kita pasti pernah mendengar dan suka dengan lagu ini.
Bagaikan bejana siap dibentuk, demikian hidupku di tangan-Mu
Dengan urapan kuasa Roh-Mu, Ku dibaharui selalu....
Lagu indah ini di Youtube sudah mencapai 1,4 juta penonton. Liriknya, ungkapan berserah kepada Tuhan, dan kerinduan untuk dibentuk dan disempurnakan, agar sama seperti Tuhan Yesus. Sebuah kutipan dari 1Yoh. 2:5-6, senada lagu NKB 138: “Makin serupa Yesus, Tuhanku, inilah sungguh, kerinduanku….”
Allah sebagai Bapa dan sebagai Gembala telah kita tahu. Gambaran lain sebagai Tukang Periuk, dituliskan dalam Yer. 18:1-11 yang menjadi bacaan kita di hari Minggu berbahagia ini. Penegasan Allah sebagai Tukang Periuk juga diberikan dalam Rm. 9:20: “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: “Mengapakah engkau membentuk aku demikian?” (bdk. Yes. 29:16).
Dalam renungan dua minggu lalu dari Yer. 1:4-10, dijelaskan bahwa jalan hidup manusia ditentukan oleh empat kekuatan yang tarik-menarik. Pertama, rencana Tuhan dengan kedaulatan sekaligus pemeliharaan-Nya. Kedua, adanya dosa asal dan natur berdosa manusia. Ketiga, kemauan dan kemampuan diri sendiri, yakni roh kehendak bebas, dalam ketaatan dan memahami keberadaan dan panggilannya di dunia ini. Dan terakhir, keberadaan iblis si jahat.
Allah sebagai Tukang Periuk menegaskan kembali kedaulatan Allah melalui nas ini. Kita tidak dapat menolak menjadi anak dari ayah-ibu kita, atau terlahir tidak jenius, kaya atau tidak terlalu rupawan, bahkan dengan tubuh yang tidak sempurna. Jangan juga menyesali terlahir bukan sebagai anaknya Presiden RI. Alkitab mengingatkan, “Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya; dia tidak lain dari beling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: "Apakah yang kaubuat?" atau yang telah dibuatnya: "Engkau tidak punya tangan!" (Yes. 45:9).
Jalan kehidupan kita pun, bisa saja tidak sesuai dengan harapan. Atau merasa tidak tahu jalan mana yang terbaik ditempuh. Bahkan, mungkin kita sedang terjatuh, hancur menjadi puing, kotor tidak berdaya dan melihat jalan saat ini buntu dan gelap. Untuk itu tetaplah dalam kerendahan hati dan bersyukur atas kehidupan yang diberi. Datanglah kepada Tuhan Yesus, Allah kita, Tukang Periuk yang hidup dan baik, memohon pertolongan-Nya agar mengasihi, memberi petunjuk dan membentuk diri kita kembali, menjadi pribadi yang lebih baik, utuh, dan lebih dapat dipakai sesuai dengan pengharapan baru.
Jangan merasa terlambat melakukan sesuatu yang baru, terlebih untuk kemuliaan Tuhan. Tidak ada salahnya hidup berputar, bahkan berbalik ke awal. Banyak contoh kehidupan yang berpindah jalur, atau memulai pilihan baru yang tidak terpikirkan sebelumnya; dan ternyata sangat sukses. Kita hanya perlu mengikuti petunjuk Alkitab, yakni bertekun dan rajin (Ams. 6:6-8; 12:24), bekerja keras (Ef. 4:28; 2Tes. 3:7-8), cerdik, cerdas dan berhikmat (Mat. 10:16; Ams. 1:7).
Tetapi landasan utamanya adalah tetap setia dalam iman (Mat. 24:13), menjalani hidup dengan kekuatan Roh dan bukan lagi oleh keinginan daging (Gal. 5:16-17; Rm. 8:1-11). Selalu siap berkorban dan memikul salib.
Dengarkanlah panggilan-Nya, dan dendangkanlah lanjutan lagu di bawah:
“Inilah hidupku di tangan-Mu, bentuklah s'turut kehendak-Mu, Pakailah sesuai rencana-Mu….”
Maka, kita akan menjadi bejana yang sempurna kelak di hadapan Yesus Kristus (1Kor. 1:8-9).
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Kabar dari Bukit, Minggu 31 Agustus 2025
Kabar dari Bukit
KEMESRAAN YANG CEPAT BERLALU (Yer. 2:4-13)
”Mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, dan menggali tempat penampungan air bagi mereka sendiri, penampung yang bocor, yang tidak dapat menahan air” (Yer. 2:13 TB2)
Refrain sebuah lagu populer sangat sering dinyanyikan bersama, ciptaan Franky Sahilatua bersama adiknya Johnny Sahilatua:
Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin 'ku kenang selalu
Hatiku damai jiwaku tent'ram di sampingmu
Hatiku damai jiwaku tent'ram, bersamamu....
Tentu kemesraan ini antar sesama manusia. Bagaimana halnya kemesraan dengan Tuhan? Mengapa orang bisa berpindah agama atau berpaling dari Tuhan? Tentu ada alasannya, meski biasanya perpalingan prosesnya cukup panjang.
Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Yer. 2:4-13; nas yang menggambarkan kekecewaan Tuhan terhadap umat Israel yang berpaling kepada dewa-dewa dan Baal. Memang sejarahnya, kemurtadan umat Israel terjadi saat itu karena Raja Yosia yang terkenal rohani, mati terbunuh saat Mesir menyerang Israel sehingga raja yang baru hanyalah boneka dan sering berganti, yang semuanya tidak setia kepada Tuhan.
Oleh karena itu faktor pertama penyebab umat berpaling yakni jika para pemimpin tidak memperlihatkan integritas dan kekuatan iman, serta tidak memberi teladan yang baik. Situasi ini yang terjadi membuat umat Israel terpengaruh, karena para imam, gembala, nabi dan pelaksana hukum durhaka (ay. 8). Ini menjadi pelajaran bagi para pemimpin (gereja) saat ini, perlu menyadari peran vital pada kerohanian jemaat.
Faktor kedua seseorang berpaling karena tidak memiliki dasar iman yang kokoh. Kerohaniannya dangkal dan kering. Mereka tidak memahami mengikut Kristus yang mengajarkan kasih itu lebih baik dan benar. Mereka menjadi Kristen bukan karena kelahiran atau KTP saja, tetapi atas kesadaran dan pemahaman bahwa Kristus adalah jalan terbaik menuju sorga kekekalan dan merasakan kehidupan di dunia penuh damai sejahtera.
Jangan sampai terjadi kebingungan dan ketertarikan pada agama lain, memicu pencarian jati diri dan pemikiran dunia yang berdampak mereka murtad. Ini merupakan tanggungjawab para gembala (pendeta dan penatua) untuk memberi pengajaran yang dalam, baik dan benar.
Faktor ketiga bersifat sosial. Misalnya dampak pergaulan sehingga mengikuti agama istri/suami dalam pernikahan. Hal ini termasuk mengejar jabatan, berpaling sesuai mayoritas atau pimpinan di tempat kerja. Pengikut Yesus perlu diyakinkan dan menyadari bahwa meninggalkan-Nya adalah perbuatan sia-sia; menukarkan ilahnya meskipun itu sebenarnya bukan Allah ..., menukar Allahnya yang mulia dengan ilah-ilah yang tidak berguna (ay. 11). Berpaling berarti meninggalkan Sumber Air Hidup dan menggali penampungan air yang bocor (ay. 13).
Faktor keempat terjadi karena kurangnya pelayanan kasih. Ada saat-saat orang percaya terpuruk karena kesehatan dan kemiskinan. Ketika tidak ada pendampingan pastoral dan pelayanan kasih yang nyata, mereka pun lari, apalagi jika agama lain menawarkan lebih besar. Ini tantangan yang terjadi di wilayah Indonesia Timur atau bagian Barat seperti Mentawai dan Nias.
Pemimpin penting menjaga saat iman seseorang terpuruk, tidak menimbulkan kekecewaan dan kepahitan, merasa imannya tidak menjawab kebutuhannya. Ini dapat mendorong pencarian identitas baru dan mendapatkan jawaban dari keyakinan lain. Pendampingan yang meneguhkan sangatlah diperlukan.
Mari kita sebagai pribadi atau kelompok maupun sebagai pemimpin gereja, menjaga hubungan dan kedekatan kita dengan Tuhan. Mari suka berdendang: "Hanya dekat Allah saja aku tenang". Perlihatkan juga bahwa hidup di dalam Kristus: “Hatiku damai jiwaku tent'ram di samping-Mu; Hatiku damai jiwaku tent'ram, bersama-Mu."
Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah (3) Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025
Khotbah Minggu 7 September 2025
Minggu XIII Setelah Pentakosta (Opsi 3)
BERSYUKUR DAN PEDULI (Fil. 1-25)
"Dan aku berdoa, agar persekutuanmu di dalam iman turut mengerjakan pengetahuan akan yang baik di antara kita untuk Kristus" (ayat 6).
Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XIV setelah Pentakosta ini diambil dari Surat Paulus kepada Filemon, satu keseluruhan kitab yang hanya 1 pasal berisi 25 ayat. Filemon adalah rekan pekerja Rasul Paulus, orang terpandang di Kolose, pemilik para budak. Salah satu budaknya, Onesimus, pernah melarikan diri dan kemudian menjadi pelayan Paulus di penjara. Surat Paulus ini meminta agar Filemon menerima Onesimus kembali dan memaafkannya.
Permintaan Paulus tersebut ada dasarnya, setelah ia melihat hidup Filemon yang sudah menerima Kristus dan berbuah. Filemon membuka persekutuan jemaat di rumahnya (ayat 2), penuh dengan iman dan kasih. Rasul Paulus sangat bersyukur dan sangat bergembira tentang hal itu dan terus mendoakan Filemon bersama rekan-rekannya, seperti Apfia dan Arkhipus. Inilah pelajaran pertama dari nas ini, agar kita selalu bersyukur atas kemajuan orang lain, terus mendoakan, dan tidak malah iri hati.
Rasul Paulus dalam meminta, tidak dengan paksa atau menggunakan wewenangnya sebagai rasul. Ia meminta dengan rendah hati, memakai bahasa kasih, meminta Filemon menyetujuinya dengan sukarela (ayat 14). Rasul Paulus bahkan bersedia mengganti kerugian yang diderita Filemon atas larinya Onesimus, yang tidak sepatutnya dilakukan seorang hamba (ayat 18). Kerendahan hati, tidak merasa hebat dan sok berkuasa. Ia tanpa penonjolan diri tidak lupa menyertakan salam dari teman-teman sepelayanan (ayat 1, 23). Ini menjadi pelajaran kedua bagi kita dari nas ini, yakni merendahkan hati dan mengutamakan kebersamaan.
Pelajaran ketiga, kita perlu mengikut teladan Paulus, bagaimana ia peduli dan penuh kasih terhadap orang lain khususnya orang-orang baik, meski ia sendiri sedang susah di penjara. Onesimus hanya seorang hamba yang melayaninya, tetapi telah dianggapnya menjadi anaknya. Sikapnya ia perlihatkan dengan menyebut Onesimus sebagai buah hatinya (ayat 12) dan saudara kekasih (ayat 16). Mari berefleksi, bila kita sering mengganti staf, supir atau pembantu, perlu bertanya: apakah kita sudah memperlakukan orang lain dengan kasih, dan selalu peduli. Peduli dan kasih adalah ciri pengikut Kristus.
Kesimpulan nas ini mengajarkan kita pengikut Kristus, pertama, tentang cara bersikap dalam menjalin hubungan antar sesama. Iman tetap menjadi dasar, yakni Tuhan bekerja dan punya rencana dalam hidup kita dan memakai kita menjadi duta-duta-Nya. Kedua, dasar hubungan kita kepada sesama adalah kasih. Kita perlu menaruh rasa hormat dan tidak bersikap sombong tanpa melihat status dan latar belakang orang. Ketiga, segala yang kita lakukan perlu tuntas, all-out; dengan segenap hati, perbuatan kita seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Ada kesediaan dan sigap untuk rela berkorban, kesediaan untuk memberi dan menjadi berkat. Itulah buah dari kasih karunia yang sudah kita terima. Dengan demikian kita menjadi terang, buku yang terbuka dilihat orang, dan ikut membangun kerajaan-Nya dan meninggikan nama-Nya.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah Minggu XII Setelah Pentakosta - 31 Agustus 2025
Khotbah Minggu 31 Agustus 2025 – Minggu XII Setelah Pentakosta
YANG MERENDAHKAN DIRI AKAN DITINGGIKAN (Luk. 14:1, 7-14)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: Ibr. 13:1-8, 15-16; Yer. 2:4-13 atau Ams. 25:6-7; Mzm. 81:1,10-16;
Pendahuluan
Nats yang kita baca minggu ini bercerita tentang Tuhan Yesus saat berbicara di rumah seorang pemimpin Farisi. Dia memberi pengajaran kepada tamu maupun kepada tuan rumah. Ada dua perumpamaan yang disampaikan dan keduanya saling berkaitan. Keduanya memperingatkan tentang kecendrungan manusia untuk mencari dan meninggikan status, sebab kedudukan sosial sangat penting bagi masyarakat baik pada waktu itu maupun masa kini. Setiap orang ingin menduduki tempat yang terhormat. Namun, di lain pihak ada kecendrungan untuk melupakan mereka yang miskin, orang catat dan yang berkekurangan. Nats ini terkait juga dengan Luk. 18:14 dan Mat. 23:12. Dari nats ini, kita diberikan pelajaran kehidupan sebagai berikut.
Pertama: merendahkan diri (ayat 1, 7-8, 10a)
Kata “rendah” dapat berkonotasi ganda ketika digabung dengan kata lainnya. Pertama, kata rendah memiliki arti negatip ketika kata itu dipadukan menjadi rendah diri. Pengertian rendah diri yakni perasaan yang tidak sesuai dengan hakekat dan kodratnya, merasa inferior atau memiliki derajat kehidupan yang jauh lebih rendah dari orang lain. Menurut pemikiran psikologis, munculnya perasaan rendah diri dapat diakibatkan oleh latar belakang "penindasan" mental pada masa kecil, mungkin sering dilecehkan, dipinggirkan, atau adanya kelemahan atau “cacat” fisik, atau karena peristiwa tertentu yang membuat "harga dirinya" seolah-olah hilang dan terhempas ke titik nadir. Namun kata kerja merendahkan diri dapat juga diartikan positip ketika bermakna sama dengan merendahkan hati.
Arti kedua menjadi positip ketika kata “rendah” dipadukan dengan kata “hati” dan menjadi rendah hati. Pengertian ini menjadi positip karena meski ia bersikap merendah (hati), namun kenyataannya kerendahan itu hanyalah di hati, bukan realitas yang sesungguhnya. Artinya, kerendahan hati yang diekspresikan melalui sikap hati, tubuh dan penampilan, itu tidak mencerminkan yang sebenarnya atas dirinya. Ia melakukan itu juga bukan dalam sikap berpura-pura, melainkan didasari perasaan bahwa apa yang dia "capai dan miliki" sebenarnya bukanlah miliknya, melainkan titipan atau amanah, sehingga tidak perlu diperlihatkan, apalagi dibanggakan dan dipertontonkan. Ia juga berpikiran bahwa prestasi atau pencapaiannya saat ini, masih akan ada yang lebih banyak dan lebih baik dari dirinya. Ia menganggap sikap rendah hati itu lebih baik, mencerminkan yang sebenarnya dan menempatkan pihak lain di atasnya, tidak egosentris. Pihak lain itu bisa Allah-nya, pimpinannya, koleganya, ataupun keluarganya.
Maka dari kedua itu Allah lebih berkenan kepada arti kedua. Allah menciptakan manusia dalam derajat yang sama dan setara (1Kor. 16:11a). Kalaupun seseorang memiliki kelebihan tertentu maka biasanya selalu ada kekurangan yang menyertainya. Tidak ada manusia yang sempurna, sebab hanya Allah yang sempurna. Maka kita janganlah memiliki perasaan rendah diri, merasa dari kelas yang berbeda, merasa kita tidak mampu berbuat apa-apa, karena Allah tidak menginginkan demikian. Kita semua menerima mandat yang sama, dan hanya mereka yang mengenal dirinya dengan baik dan dapat mengembangkan pribadinya menjadi "seseorang" yang berguna atau berkarya, melalui kegiatan fisik atau rohani, itulah yang berkenan kepada Allah.
Kedua: yang meninggikan diri akan direndahkan (ayat 9, 11)
Kerendahan hati mencerminkan pengenalan akan status diri sendiri, baik di hadapan Allah maupun sesama. Kerendahan hati bukan karena kita tidak menghargai diri sendiri, melainkan kita mengenal dan tahu menempatkan diri dalam status sebagai anak-anak Allah, khususnya dalam tugas panggilan pelayanan. Tidak dapat disangkal bahwa secara manusiawi semua orang ingin dihargai dan ditinggikan. Memang manusia saat ini cenderung mengejar status sosial. Hal itu bisa diraih dengan mengejar harta atau kedudukan, atau berusaha bergaul dan dekat mereka-mereka yang memiliki hal tersebut. Kadang juga dipaksakan dengan memiliki barang-barang berharga, berupa mobil, perhiasan, gadget, dan lainnya. Akan tetapi persoalannya adalah: apakah penghargaan itu berasal dari penilaiannya sendiri atau penilaian orang lain? Apabila itu berdasarkan penilaian diri sendiri, apalagi yang tidak sesuai dengan hakekatnya, maka itu akan beresiko dipermalukan dan direndahkan kembali.
Ini yang terjadi pada kisah perumpamaan Tuhan Yesus. Seseorang yang “merasa” dirinya cukup terhormat dan diundang dalam suatu acara, kemudian mengambil tempat duduk yang paling bagus atau paling depan. Namun tak lama kemudian, tuan rumah memberitahukannya bahwa tempat duduk itu adalah untuk orang lain yang lebih terhormat menurut tuan rumah. Bukankah itu menjadi sesuatu yang memalukan? Apalagi, kemudian, sisa tempat duduk yang tersedia sudah di posisi paling belakang atau paling ujung, maka itu akan memperlihatkan status yang sebenarnya. Hal itu akan berbeda apabila kita menempatkan diri pada posisi yang rendah hati dan mencari tempat duduk yang “bisa-biasa” saja, dan lantas tuan rumah mengatakan kita tidak seharusnya disitu, melainkan harus di depan di tempat terhormat, maka alangkah sukacita dan bangganya kita menerima hal itu. Kerendahan hati memang milik orang-orang besar, meski orang besar ada juga yang tinggi hati, namun biasanya akan berakhir dengan kesedihan.
Kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan rasa percaya diri. Itu dua hal yang berbeda. Percaya diri berhubungan dengan pengenalan kemampuan diri yang terbatas namun dikuatkan dengan kemampuan Allah yang tidak terbatas. Percaya diri tidak membuat kita menjadi sombong, sebab kita tahu Allah memakai diri kita untuk melakukan tugas-tugas tententu bagi kemuliaan-Nya. Apabila peran dan tugas itu membawa keberhasilan, maka disadari Allah turut bekerja dalam peran dan tugas itu, sehingga tidak ada yang perlu disombongkan atau ditinggikan. Prestasi tidak selalu berhubungan dengan gengsi pribadi. Gambaran inilah yang dipakai Tuhan Yesus dalam kerajaan Allah. Oleh karena itu Tuhan Yesus berkata, siapa yang merendahkan diri maka ia akan ditinggikan, dan siapa yang meninggikan diri maka akan direndahkan (band. Mat. 23:12). Ini peringatan yang memiliki nilai rohani yang dalam.
Ketiga: mengundang yang miskin (ayat 12-13)
Kadang kala untuk memperlihatkan bahwa status dan kedudukan “tinggi” dan “orang penting”, maka apabila seseorang mengadakan pesta atau hajatan, maka biasanya dia akan mengundang teman-teman yang memiliki kedudukan yang tinggi juga, seperti pejabat-pejabat tinggi atau pengusaha kaya. Ini adalah usaha untuk menaikkan citra diri. Apabila mereka hadir maka akan merupakan suatu kebanggaan bagi tuan rumah. Sebenarnya mengundang teman-teman yang berkedudukan “tinggi” tidaklah salah dan merupakan hal yang lumrah. Namun Tuhan Yesus mengingatkan agar kita tidak melupakan teman-teman atau saudara-saudara yang miskin dan berkekurangan, berkedudukan “rendah”, teman-teman biasa, bahkan mereka yang belum beruntung dalam arti kata memiliki keterbatasan.
Peristiwa hajatan atau pesta adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah dan juga kepada sesama, karena kita diberi kesempatan mendapatkan suatu berkat dan anugerah pencapaian dalam kehidupan ini. Pemberian itu jelas bukan atas kemampuan diri kita semata, melainkan ada berkat dan perkenaan Tuhan yang menyertainya. Pengingkaran peran Allah dalam keberhasilan dan pencapaian jelas merupakan hal yang tidak benar dan tidak berkenan kepada Allah. Allah kita melalui Tuhan Yesus adalah Allah yang hidup dan berkuasa aktif dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila dalam ungkapan rasa syukur dan terima kasih itu, kita jangan melupakan Tuhan yang diekspresikan melalui mereka yang belum beruntung, mereka yang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta, janda-janda, mereka yang tinggal di panti asuhan atau panti jompo, sebab itulah pesan Tuhan bagi kita.
Kalau kita mengaku bahwa Tuhan yang memberikan berkat bagi kita dan dengan sadar dan sengaja melupakan pesan-Nya, maka sebenarnya kita sudah bersikap munafik. Hati kita tidak sesuai dengan kenyataannya. Tuhan Yesus mengingatkan agar kemunafikan diganti dengan kepedulian kepada mereka yang perlu mendapatkan kasih dan perhatian. Itu bisa dilakukan secara paralel, tidak harus bertentangan, sukacita yang bersamaan. Demikian juga sikap merendahkan hati jangan dipakai untuk memanipulasi demi mendapatkan perhatian orang lain. Bersikap apa adanya saja. Yang penting kita sadari, Kerajaan Allah dengan damai sejahteranya itu harus dihadirkan bagi semua orang.
Keempat: menerima hormat dan buahnya (ayat 10b, 14)
Penghargaan bukanlah sesuatu yang perlu dicari atau dipertontonkan. Itu melekat dan akan datang sendiri dan akan diperlihatkan apabila tiba waktunya yang pas sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya orang yang picik dan miskin hikmat dan pengalaman yang menganggap dirinya hebat, penting dan perlu dipertontonkan. Mereka yang memiliki hikmat dan berjiwa besar menyadari kenyataan bahwa di atas langit masih ada langit. Pengetahuan dan roda pencapaian dalam kehidupan akan berkembang terus. Mereka menyadari karya manusia tidak sebanding dengan karya Tuhan dan buah ciptaan tangan-Nya? Kita harus selalu membandingkan kesempurnaan dan kebesaran-Nya yang abadi dengan apa yang kita raih yang suatu saat mungkin tidak akan berharga.
Maka sebaiknya janganlah kita mencari puji-pujian atau kepentingan sendiri yang sia-sia. Alkitab berkata hendaklah setiap orang rendah hati dan menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri (Flp. 2:3; Ef. 5:21). Sebagaimana digambarkan dalam nats minggu ini, Tuhan Yesus kelak akan bertindak sebagai tuan rumah bagi kita anak-anak-Nya dalam masa penghakiman (band. Luk. 1:51-53). Kita diadili berdasarkan sikap kita terhadap orang lain, khususnya mereka yang berkekurangan dan membutuhkan. Sebab firman Tuhan berkata, barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (Mat. 18:4).
Hukum rohani memang menyatakan bahwa memberi dengan berharap kembali lebih banyak itu salah. Kita memberi harus dengan motif yang baik dan benar. Pemberian sebagai rasa syukur atau hanya kompensasi pengakuan atau memperlihatkan kesombongan? Janganlah membalas kebaikan karena kebaikan (band. Luk. 6:32-35). Berbuat kebaikan bagi mereka yang lemah jelas tidak akan mengharapkan balas jasa, sebagaimana dipesankan pada ayat 14 (band. Luk. 6:20-23). Akan tetapi, ayat ini juga tidak boleh ditafsirkan, bahwa seolah-olah hanya orang benar saja yang akan dibangkitkan. Mereka yang hidup sesuai kehendak Allah dan dibenarkan, mereka akan berhak atas kebangkitan itu. Maka carilah tempat kedudukan untuk melayani yang lebih besar dan luas bagi kerajaan-Nya dengan rendah hati, maka kita akan mendapatkan kehormatan dan kebesaran itu.
Kesimpulan
Tuhan Yesus melalui contoh kehidupan sehari- hari telah memberikan gambaran tentang kehidupan rohani dan kerajaan sorga kelak. Kita tidak perlu mengejar status dan pengakuan yang tinggi di dunia ini. Mereka yang mencoba meninggikan diri maka akan direndahkan. Kerendahan hati sangatlah penting di mata Tuhan, dan jangan menjadi munafik. Sikap Kristiani kita haruslah sejalan dengan sikap dan tindakan kita kepada sesama khususnya mereka yang lemah, berkekurangan dan membutuhkan kasih lebih besar. Orang masuk ke dalam Kerajaan Allah bukan dinilai karena tingginya status, melainkan dari sikap keseluruhan dalam kaitannya dengan tugas pelayanan yang diberikan Tuhan bagi kita. Hanya dengan itu kita menjadi orang benar dan mendapatkan kebangkitan kembali untuk menerima segala mahkota kebesaran yang disediakan-Nya.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025Khotbah Minggu 7 September 2025 - Minggu XIII Setelah Pentakosta MEMIKUL...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025Khotbah Minggu 7 September 2025 Minggu XIII Setelah Pentakosta...Read More...
-
Khotbah (3) Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025Khotbah Minggu 7 September 2025 Minggu XIII Setelah Pentakosta...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 41 guests and no members online