Saturday, July 05, 2025

2025

Khotbah Minggu Keempat Setelah Pentakosta - 6 Juli 2025

Khotbah Minggu Keempat Setelah Pentakosta - 6 Juli 2025

 

 TUAIAN BANYAK PEKERJA SEDIKIT (Luk 10:1-11, 16-20)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: 2 Raj 5:1-14;   Mzm 66:1-9; Gal 6:(1-6), 7-16

 

 

 

Pendahuluan

 

Dalam nats minggu ini Tuhan Yesus mempersiapkan para murid-Nya untuk melakukan misi pekabaran Injil ke berbagai sasaran. Kalau sebelumnya yang diutus hanya 12 murid dan khusus kepada suku bangsa Israel saja, maka pada kesempatan ini Tuhan Yesus mengutus lebih banyak lagi yakni 70 murid dan tidak hanya kepada suku-suku bangsa Israel, tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain sehingga semakin banyak yang percaya dan mengikut Dia. Yesus tidak hanya mempersiapkan mereka dalam hal fisik dan rohani, melainkan juga memberi kuasa agar misi tersebut lebih berhasil. Dari bacaan yang cukup panjang minggu ini, kita menarik beberapa pelajaran hidup sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: tuaian banyak pekerja sedikit (ayat 1-2)

 

Umat Yahudi yang terdiri dari 12 suku pada saat itu diam di berbagai wilayah yang cukup luas dan terdapat juga suku-suku lainnya yang terbaur. Oleh karena itu pengutusan 12 murid dirasakan tidak cukup untuk mengabarkan ke semua penduduk yang ada, sehingga Yesus menambah jumlahnya. Pengutusan juga dilakukan tidak sendiri-sendiri melainkan berdua-dua, dengan maksud agar mereka dapat saling mendukung dan menguatkan baik dalam iman, hikmat maupun menghadapi persoalan praktis (band. Pkh 4:9-12; Mat 18:16; Mrk 6:7; Luk 7:9; Kis 9:38). Tuhan Yesus memberi contoh bahwa pemberitaan Injil itu harus mengutus semakin banyak orang di luar kelompok kita, dan penyebarluasan Injil tidak cukup hanya perbuatan baik oleh orang percaya maupun gereja. Hal ini yang harus menjadi perhatian kita saat ini.

 

 

 

Terlebih, permasalahan yang ada di sekitar kita semakin nyata dan berat saat ini. Kita umat Kristen adalah kaum minoritas di tengah-tengah keberadaan agama lain yang mayoritas. Lingkungan kecil di tempat kerja, organisasi, atau kumpulan informal, atau tempat tinggal di lingkup RT, RW, kelurahan hingga provinsi menantang kita harus menganggap semua itu sebagai ladang tuaian. Mungkin sebagian kelompok atau wilayah itu memang masih memerlukan persiapan membajak dan menabur benih, tetapi sebagian lagi pasti sudah ada yang menguning dan siap untuk dipanen. Kita tidak dapat menunggu atau menyalahkan pihak lain jika tidak ada lembaga penginjilan atau gereja yang melakukan misi itu, apalagi secara khusus dan terorganisir, karena banyak hal penyebabnya. Maka inisiatif itu haruslah ada pada diri kita untuk menerima panggilan memberitakan Kristus dan kasih-Nya kepada sesama tadi, dimanapun kita berada. Oleh karena itu, Tuhan Yesus mengatakan, tuaian banyak tetapi pekerja sedikit.

 

 

 

Seandainya kita merasa tidak terpanggil untuk melakukannya secara langsung dengan berbagai alasan dan pertimbangan, maka kita dapat melakukannya secara tidak langsung, yakni dengan memberikan dukungan kepada pihak yang melakukan penginjilan, meski perbuatan baik dan tindakan yang mengherankan umat lain juga harus kita lakukan bagi semua orang. Tantangan kita adalah bagaimana menghadirkan Kristus dan kasih-Nya ke tengah-tengah mereka. Setiap orang Kristen tidak hanya berani menyatakan iman kepada gereja dan sesama orang percaya, melainkan juga harus berani menyebut dirinya sebagai Penginjil meski dalam bentuk dan penampilan yang beragam. Perintisan rohani untuk menghadirkan Kristus dapat dilakukan melalui perbuatan konkrit, obrolan pertemanan hingga percakapan khusus bagaikan konseling. Yang utama adalah kesediaan menyatakan diri di hadapan Allah bahwa kita adalah utusan-Nya, dan bersedia mempersiapkan diri sebagaimana layaknya maju dalam pertempuran rohani. Kita adalah pekerjanya, dan kita adalah penuainya. Hanya mereka yang bersikap demikian merupakan bukti  pengikut sejati Yesus dan yang berkenan kepada Allah.

 

 

 

Kedua: diutus ke tengah serigala (ayat 3-4)

 

Tuhan Yesus mengibaratkan pengutusan para murid bagaikan mengutus ke tengah serigala. Alasannya saat itu cukup sederhana, yakni sikap penerimaan umat Yahudi dan juga suku lainnya pada Yesus dan murid-Nya tidak semuanya bersahabat, bahkan ada yang secara terbuka memusuhi mereka. Sikap permusuhan ini kadang kala dibumbui ancaman kekerasan bagi fisik dan jiwa mereka, sebagaimana serigala yang siap menerkam mangsanya.

 

 

 

Hal kedua adalah masih banyaknya perampokan yang sekaligus mengancam jiwa para murid. Hal inilah yang ditekankan oleh Tuhan Yesus ketika Ia mengatakan agar para murid tidak membawa bekal apapun juga, sebab hal itu dapat mengundang perhatian untuk dirampok. Keberanian berangkat tanpa bekal juga untuk menguji iman dan kesiapan berkorban bahkan menderita apabila kondisi buruk datang yakni tidak mendapatkan makanan dan minuman. Ini sekaligus menguji kemampuan para murid dalam melakukan pendekatan terhadap umat yang dikunjunginya. Hal ini juga akan menjadikan mereka orang yang rendah hati dan secara otomatis membuat mereka lebih mudah diterima orang lain. Kegagalan dalam pendekatan untuk diterima sebagai utusan Tuhan, secara otomatis akan menggagalkan menyampaikan pesan keselamatan yang akan ditawarkan kepada yang mereka kunjungi. Memang menghadapi orang yang tidak bersahabat, kita harus dengan kasih, kelembutan, dan komitmen yang tulus dan kuat.

 

 

 

Saat ini demikian juga yang kita hadapi di negara kita tercinta ini. Ketika kita ingin melakukan pekabaran Injil ke beberapa wilayah, sikap beberapa wilayah sangat tidak bersahabat bahkan kadang ingin berbuat kekerasan. Mereka seolah menjadi masyarakat yang tertutup, meski di lain sisi mereka juga melakukan hal yang sama ke wilayah yang banyak umat Kristennya, dan kita tidak pernah menghalanginya. Pandangan doktrin teologi kita memang harus bersikap seperti itu, tidak memperbolehkan sikap tertutup apalagi mengancam dengan kekerasan. Tetapi kita tidak perlu kecil hati untuk itu atau membuat hati kita ciut. Kita justru harus bangga dan bersyukur pada Tuhan Yesus karena diberi pemikiran dan sikap seperti itu. Motivasi kita harus sama dengan motivasi pengikut Kristus di awal abad pertama hingga abad keempat pada masa zaman kekaisaran Romawi, ketika umat Kristen masih harus bersaksi sembunyi-sembunyi dan seringkali dihukum berat. Namun, Allah sumber segala hikmat dan kuasa memberi kesempatan umat Kristen menjadi pemenang, tatkala Kaisar Konstantinus Agung sepenuhnya melegalisir Kekristenan menjadi agama negara. Puji Tuhan, kita memang harus menjadi pemenang karena Tuhan kita Yesus adalah dahsyat. Itulah yang kita yakini dan sikapi saat ini sehingga kita tetap harus bersemangat dan bertindak.

 

 

 

Ketiga: memberi salam dan sikap sukacita (ayat 5-11,16)

 

Tuhan Yesus memberi nasihat kepada para murid agar mereka jangan memberi salam kepada (sembarang) orang dalam perjalanan. Memang dalam budaya Timur Tengah waktu itu, memberi salam seolah ingin mengundang pembicaraan, padahal itu mungkin tidak perlu dan bahkan dapat menghabiskan waktu. Hal ini juga dilatarbelakangi agar terhindar dari timbulnya kesalahpahaman, sekaligus memperlihatkan agar mereka bersikap hati-hati. Dalam nats ini yang ditekankan sasaran mereka dalam pemberitaan kerajaan Allah adalah penghuni rumah-rumah dan bukan orang di jalanan. Dari penghuni rumah-rumah kemudian mereka beranjak ke kota-kota sebagai sasarannya. Inilah fokus tujuan utama mereka.

 

 

 

Namun, untuk sasaran yang dituju yakni ke rumah-rumah, sebagaimana dikatakan Tuhan Yesus, mereka harus memberi salam damai sejahtera (syalom). Pembuka pembicaraan dengan salam damai tentu lebih menyenangkan bagi tuan rumah, karena hal itu merupakan doa berkat bagi mereka. Kita diminta selalu bersikap bersahabat dan menjadi berkat, agar memudahkan dalam pembicaraan yang akrab dan kekeluargaan. Hal itu harus tampak dari sikap tubuh dan intonasi bahasa yang dipakai, serta dari wajah kita yang mesti mudah tersenyum. Tetapi kita juga harus terhindar dari pembicaraan yang  berpanjang-panjang, basa-basi yang tidak relevan. Demikian juga dalam memasuki kota-kota, sikap yang sama harus diperlihatkan. Sikap orang Kristen haruslah selalu dalam sukacita menerima apapun respon mereka.

 

 

 

Mengingat sikap orang yang mungkin timbul bisa saja tidak bersahabat atau bermusuhan, dalam kitab Matius 10 dinyatakan agar dalam penginjilan kita cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, serta harus waspada terhadap semua orang (Mat 10:16-17). Kita jangan seperti pengemis yang berpindah dari satu rumah ke rumah orang lain, dan mampu melihat yang terbaik rumah atau kota mana yang layak menerima dengan sukacita. Kalau kita diterima oleh sebuah rumah, maka sebaiknya menetap di rumah itu dan jangan berpindah-pindah rumah yang dapat menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan bagi orang lain. Kita harus bersikap sama baik diterima atau ditolak, dan itu adalah hal yang lumrah. Hasil penginjilan adalah pekerjaan Allah, yang utama adalah kita setia menyampaikan keselamatan yang sudah kita terima dan ingin membagikannya dengan orang lain, meski ada baiknya kita juga mengingatkan akan konsekuensi murka Allah apabila mereka menolaknya.

 

 

 

Keempat: iblis harus ditaklukkan (ayat 17-19)

 

Tuhan Yesus berkata Ia melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit. Yesus mungkin sudah melihat lebih awal kemenangan-Nya di kayu salib (band. Yoh. 12:31-32). Tetapi Ia juga sudah membayangkan bahwa apabila para murid bekerja dengan keras dan setia, maka kekalahan setan akan tampak, sebab prinsipnya Yesus memperlengkapi kuasa untuk melawannya. Memang melawan iblis dalam pekerjaan penginjilan adalah tugas yang paling berat. Iblis dapat bekerja melalui diri kita secara langsung dengan melemahkan pikiran kita, tetapi iblis dapat juga bekerja melalui pihak lain yang merupakan sasaran kita.

 

 

 

Meski iblis itu memiliki kuasa, dan kita memiliki kelemahan dan kekurangan, hal itu tidak membuat kita ciut. Pegangan dasar kita dalam melakukan penginjilan bukan didasarkan pada kemampuan kita yang terbatas, melainkan pada kuasa yang dahsyat dari Tuhan Yesus yang tidak terbatas, itulah yang menjadi pegangan kita. Sebagaimana disebutkan dalam nats ini, kuasa itu diberikan kepada mereka dan kita yang bersedia memberitakan injil agar kita dimampukan melawan dan mengalahkan iblis (band. Mrk 16:17-18). Bahkan dalam ayat 2 nats ini juga semua orang percaya diminta, apapun pekerjaan atau profesinya, untuk terus menerus mendoakan para penuai ini, yang secara otomatis memberi kekuatan tambahan bagi mereka.

 

 

 

Kuasa iblis yang digambarkan berwujud ular dan kalajengking adalah istilah untuk kekuatan yang paling berbahaya dari musuh rohani. Semua itu merupakan kekuatan lawan yang harus diinjak dan ditaklukkan. Salah satu gambaran yang diberikan adalah penyakit yang bersumber dari iblis harus disembuhkan dengan kuasa dari Tuhan Yesus, sehingga tidak lagi membahayakan pelayanan mereka. Kemampuan untuk menyembuhkan penyakit yang bersumber dari iblis, merupakan kesaksian yang ampuh bagi penginjil untuk lebih meyakinkan mereka akan kuasa Tuhan Yesus. Dengan demikian, mereka lebih efektip memberitakan Kerajaan Allah dan sekaligus menyembuhkan orang sakit.

 

 

 

Hal yang lebih penting lainnya adalah, keberhasilan para murid memberikan antusiasme pada mereka. Mereka melaporkan pada Yesus penuh semangat akan takluknya iblis. Akan tetapi Tuhan Yesus memperingatkan para murid bahwa mereka jangan bersukacita karena keberhasilan mengalahkan kuasa iblis, melainkan karena mereka telah terpilih dan nama mereka ada tercatat di sorga. Demikian juga kepada kita semua, keberhasilan pelayanan bukanlah sebagai sumber pokok sukacita kita, melainkan harus lebih kepada rasa syukur kita telah dibebaskan dari dosa dan nama kita ada terdaftar di sorga (band. Ibr 12:23; Why 22:19). Kehormatan ini jelas melebihi dari segala hasil yang dicapai dan kita tidak tertipu oleh kebanggaan duniawi yang bersifat sementara.

 

 

 

Kesimpulan

 

Dalam minggu ini kita diingatkan kembali tentang pentingnya penginjilan, khususnya pengiriman tenaga-tenaga penginjil ke luar kelompok kita. Penginjilan melalui perbuatan baik memang diperlukan, akan tetapi pekabaran Injil melalui pengutusan merupakan keharusan. Tuaian begitu banyak dan pekerja sedikit. Dalam menuai itu memang kadang kala kita dihadapkan pada serigala, namun Tuhan Yesus melengkapi kita dengan kuasa untuk menaklukkannya. Sikap rendah hati dengan memberi salam serta sukacita haruslah menjadi ciri khas umat percaya, dan sukacita kita yang terbesar adalah kita sudah diselamatkan dan nama kita tercatat di dalam buku kehidupan.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (2) Minggu Keempat Setelah Pentakosta - 6 Juli 2025

Khotbah (2) Minggu Keempat Setelah Pentakosta - 6 Juli 2025

 

 IMAN DAN PEMULIHAN (2Raj. 5:1-14)

 

 “Mengapa engkau mengoyakkan pakaianmu? Biarlah ia datang kepadaku, supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel” (2Raj. 5:8b)

 

 

 

 

Ketaatan dan pemulihan melalui iman adalah tema firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini, yakni 2Raj. 5:1-14. Ini kisah Naaman, panglima raja Aram (Syria), yang sembuh dari penyakit kusta dengan mandi di sungai Yordan. Namun sesungguhnya ini kisah berantai, tentang cara Allah bekerja pada berbagai tipe manusia.

 

 

 

Atas nasihat gadis Israel tawanan yang menjadi pembantunya, Naaman pergi menghadap raja Israel dengan surat pengantar dari raja Aram, agar dapat disembuhkan (ay. 2-5). Berbagai persembahan dibawanya, berharap raja Israel bersedia. Tetapi raja Israel malah marah, mengoyakkan pakaiannya, merasa dilecehkan (ay. 7).

 

 

 

Namun, nabi Elisa meminta agar mengirimkan Naaman kepadanya. Naaman pun datang. Nabi Elisa, tanpa keluar rumah, meminta Naaman pergi mandi tujuh kali di sungai Yordan. Naaman gusar. Kok? Tetapi pegawainya mengatakan, sebaiknya mencoba dan taat, dan Naaman melakukannya. Mukjizat pemulihan pun terjadi, penyakit kusta Naaman sembuh dan tahir (ay. 14).

 

 

 

Allah bekerja kadang berliku, tidak mudah ditangkap akal. Pada masa itu, penyakit kusta jelas belum dapat disembuhkan. Tetapi Allah memakai semua orang, untuk mengambil bagian menjadi saksi bagi kebesaran-Nya. Seorang tawanan pembantu rumah dengan imannya, berpikir sederhana, memberi informasi, ingin menolong tuannya meski dari lain bangsa, untuk sembuh dan sekaligus mengenalkan Allah Israel.

 

 

 

Raja Aram berpikir bahwa kuasa dan harta dapat menyelesaikan semua masalah. Ada salah pengertian dan cara berpikirnya. Ia meminta menyembuhkan dengan imbalan hadiah, yang membuat raja Israel marah. Nabi Elisa justru melihat peluang bagus untuk menyatakan kebesaran Tuhannya, maka ia meminta Namaan dikirimkan kepadanya. Ketaatan Namaan akhirnya membuktikan, bahwa kuasa mukjizat Allah tidak mesti melalui proses yang rumit dan meriah. Cukup mandi tujuh kali di sungai Yordan.

 

 

 

Melalui nas minggu ini, kita diajarkan beberapa hal. Pertama, kita semua diminta untuk ikut menjadi saksi kebesaran dan kekuasaan Allah. Tidak harus menjadi orang penting. Nyatakanlah bahwa Allah Israel, Allah yang kita kenal dalam Yesus Kristus, adalah Allah yang dahsyat, berkuasa atas semua umat manusia. Berikan informasi sekecil apapun, sebagai kesaksian, tabur benih pembuka pengenalan terhadap Allah kita.

 

 

 

Kedua, maklumi, penyampaian informasi mudah terdistorsi dan dibelokkan. Pembantu kecil mengatakan yang menyembuhkan Allah Israel melalui nabi Elisa, ternyata berbelok menjadi raja Israel yang tidak percaya mukjizat. Oleh karena itu, jika ada informasi tidak menyenangkan diterima, jangan cepat kesal, ngambek, apalagi marah. Usahakan mencari informasi yang benar. Jangan juga cepat-cepat pasrah berserah. Allah bukanlah pembantu kita, melainkan kitalah pembantu-Nya untuk menyatakan kebaikan dan kebenaran.

 

 

 

Ketiga, iman dan ketaatan adalah inti semua solusi. Iman setia pembantu Namaan yang berani berbicara. Iman Elisa yang tahu Allah juga berkarya bagi mereka yang tidak mengenal-Nya. Iman pegawainya yang membuat Namaan taat. Iman yang menjadi kunci segalanya, sepanjang dilakoni untuk menyatakan kasih dan kemuliaan Tuhan.

 

 

 

Saudaraku dalam Kristus. Mungkin saat ini kita dalam situasi beban penyakit atau beban hidup lainnya. Jangan pernah putus harapan. Jangan juga terkesima dengan bentuk atau proses ritualnya. Allah tidak selalu bekerja demikian. Bila dokter sudah angkat tangan, atau kita tidak punya dana dan daya, air putih yang kita minum dalam iman dan doa, akan menjadi “obat” jalan mukjizat bagi kesembuhan dari Allah. Semua dalam kehendak-Nya.

 

 

 

Mintalah kesediaan hamba Allah untuk ikut mendoakan (Yak. 5:14). Roh Allah dapat bekerja dengan perkataan saja (Mat. 8:13; Yoh. 5:9), apalagi dengan air putih. Dalam bidang lain juga sama, ketika jalan lain sudah buntu. Imanlah yang membuat segalanya mungkin bagi orang percaya, tetapi cobalah untuk taat dan jadikan kesaksian yang hidup.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Kabar dari Bukit, Minggu 29 Juni 2025

Kabar dari Bukit

 

 KRISIS DAN PURNA TUGAS (1Raj. 19:15-21)

 

 “Pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun ke Damsyik" (1Raj. 9:15a)

 

 

 

Ada kalanya kita merasa lelah dalam menjalani kehidupan pekerjaan/pelayanan sehari-hari, apalagi ditambah dengan krisis yang datang bersamaan, baik dari diri sendiri maupun dari luar. Dampaknya bisa muncul perasaan lebih baik mati saja. Bagi yang tidak kuat imannya, ini bisa pemicu tindakan bunuh diri atau masuk rumah sakit jiwa.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah 1Raj. 19:15-21. Nas ini merupakan respon Allah terhadap Nabi Elia yang merasa kelelahan dalam pelayanannya dan ingin mati saja. Perasaan seperti ini tidak hanya terjadi pada Elia, juga pada Nabi Yunus yang lari dari perintah Tuhan dan akhirnya dimakan ikan dan dalam perutnya tiga hari. Demikian juga Musa dan Yeremia.

 

 

 

Elia setelah bertempur di Gunung Karmel melawan nabi-nabi Baal dan mengalahkannya, ia dikejar oleh Ratu Izebel yang ingin membunuhnya. Elia pun ketakutan dan melarikan diri ke Gunung Horeb. Ia merasa sendirian, ingin berhenti melayani Tuhan dan bersembunyi dari-Nya. Tapi tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, bahkan Elia mendapat pengalaman rohani yang baru yakni Tuhan menyatakan diri-Nya di angin yang sepoi-sepoi. Dalam keheningan, Tuhan memerintahkan Elia untuk menyelesaikan tugasnya, yakni mengurapi Hazael sebagai raja Aram, Yehu sebagai raja Israel, dan Elisa sebagai nabi penggantinya.

 

 

 

Rencana Tuhan selalu tetap, pasti dan terwujud; tidak ada satu kuasa apapun yang dapat menghentikan. Melihat kondisi Elia, Allah memaklumi dan membekali Elia dengan makanan dan minuman serta memberi semangat (ay. 5-8). Elia juga meresponnya dengan positif, siap menyelesaikan perintah-Nya. Elia sadar bahwa proses suksesi akan berjalan.

 

 

 

Sebagaimana Elia, bila kita merasakan lelah, atau takut menjalani tugas, pekerjaan dan pelayanan, Tuhan dapat memaklumi. Ia akan memberi kekuatan. Tetapi kadang Tuhan marah seperti dialami Yunus, dimakan ikan. Tapi kasih setia-Nya tetap selama-lamanya. Allah penuh kesabaran dan kasih sayang (Mzm. 103:8). Yang penting, sebagaimana Elia dan Elisa. kita memperlihatkan ketaatan dan kesetiaan serta berespon positif dalam menjalankan perintah-Nya. Ada kalanya kita akan mengalami kesulitan dan tantangan, namun Tuhan akan menolong sebagaimana dialami Musa dan Yeremia.

 

 

 

Hal kedua, manusia terbatas pemahamannya dan seringnya berorientasi pada diri sendiri. Padahal, Tuhan memiliki rencana dan tujuan yang lebih besar. Tuhan juga tidak mesti bekerja melalui satu orang, dapat melalui banyak orang yang dipilih dan dipanggil-Nya. Oleh karena itu, percayalah, jika hal yang kita lakukan seturut kehendak atau kepentingan Tuhan, Ia tidak akan membiarkan kita sendirian dan kalah; jalan dan kuasanya tidak terbatas. Bila pun kita tidak dapat menyelesaikannya, Tuhan punya cara untuk menuntaskan sesuai rencana-Nya.

 

 

 

Mari kita menjalankan tugas panggilan, pekerjaan dan pelayanan dengan penuh percaya diri dan tekun. Tantangan dan situasi boleh berubah yang membuat kita merasa kelelahan, kurang dukungan dan sumber daya, takut dan khawatir gagal, kecewa sehingga tidak termotivasi, kurang percaya diri, godaan iblis dan ego yang membuat prioritas berubah. Tapi tetaplah teguh dan setia, minta pertolongan Tuhan untuk membuka perspektif pandangan kita dan jujur kepada-Nya, maka Tuhan akan membuka jalan, menolong dan kita mampu menyelesaikan dengan baik. Krisis pasti berlalu, dan tugas selesai paripurna.

  

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (3) Minggu Keempat Setelah Pentakosta - 6 Juli 2025

Khotbah (3) Minggu Keempat Setelah Pentakosta - 6 Juli 2025

 

 TABUR TUAI (Gal. 6: [1-6] 7-16)

 

 Firman Tuhan bagi kita pada Minggu IV setelah Pentakosta ini diambil dari Gal. 6: [1-6] 7-16. Nas ini berbicara tentang hukum tabur tuai dan kewajiban membantu mereka yang berkekurangan. "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus" (ayat 1b-2). Saling menanggung dalam nas ini tidak terbatas pada kebutuhan hidup, tetapi juga dalam berbagai kesulitan hidup lainnya. Ada yang miskin, ada yang lemah secara rohani, belum kuat dan teguh dalam kepribadian, dan lainnya. Maka kita yang lebih mampu dan lebih kuat, baik secara ekonomi atau keteguhan rohani, perlu menolong dan mendukung. Mereka yang terjatuh dalam dosa, perlu dituntun keluar dari kubangan itu (ayat 1a; Yoh. 13:34).

 

 

 

Ini pentingnya ada para pengajar, penunjuk jalan atau hamba-hamba Tuhan. Berangkat dari hukum dan tradisi Israel, adanya suku Lewi dan para imam menjadi tanggungan jemaat (ayat 6). Tentu tujuannya agar mereka dapat lebih fokus dalam pelayanan. Memang Rasul Paulus juga memberi arahan dan contoh, agar para pengajar tidak terlalu tergantung pada pemberian orang, berupaya hidup mandiri. Paulus memberi teladan dengan membuat dan menjual tenda, bahkan dengan itu mendukung teman sepelayanannya (Kis. 20:34-35).

 

 

 

Nas minggu ini menekankan agar pengikut Kristus tidak menekankan hal-hal fisik, lahiriah, legalisme semu, seperti bersunat, berpantang makan minum, memakai asesoris rohani khusus, menonjolkan diri agar mendapat pujian orang. Rasul Paulus mengatakan itu nonsens, sia-sia (ayat 12, 15). Untuk itu semua orang perlu menguji dirinya sendiri, dan bertanggung jawab atas tindakannya; merenung dan berefleksi. Kerendahan hati akan membawa orang pada Kristus; Kesombongan dan mencari pujian akan menghambat pelayanan (ayat 3-5). Tujuan utama, kita menjadi manusia baru dan terus bertumbuh menyenangkan hati Kristus (ayat 15).

 

 

 

Firman Minggu IV setelah Pentakosta ini mengajak kita untuk terus menabur kebaikan. "Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu" (ayat 7b-8). Setiap kesempatan, detik, dan menit yang kita miliki bisa menjadi berkat bagi sesama. Mulai dari berbuat ramah menyapa, senyum, memberi kehangatan dan sukacita bagi orang lain, semua itu dapat menjadi berkat. Mereka yang menanam padi akan memanen padi. Mereka yang menanam semak, tentu akan menumbuhkan semak. Hukum tabur tuai adalah keniscayaan. Hukum alam dan hukum Kristus selalu hidup bergandengan.

 

 

 

Firman Tuhan berkata: "Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima". Terutama ini dimaksudkan membantu orang-orang yang lemah (Kis. 20:35). Mereka yang ditebus harus ikut merasakan hadirnya kerajaan sorga saat ini, bukan hanya nanti pada saat semua digenapi. Untuk itu, kebahagiaan memberi dapat dirasakan karena dasarnya adalah kasih Tuhan Yesus. Oleh karenanya, ayat penutup nas ini, dikuatkan dalam doa Rasul Paulus: "Dan semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera dan rahmat atas mereka dan atas Israel milik Allah" (ayat 16). Damai sejahtera dan rahmat. Itulah segalanya. Haleluya.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah Minggu Ketiga Setelah Pentakosta - 29 Juni 2025

Khotbah Minggu Ketiga Setelah Pentakosta - 29 Juni 2025

 HARGA MENGIKUT YESUS (Luk 9:51-62)

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: 2 Raj 2:1-2, 6-14; Mzm 16; Gal 5:1, 13-25

Pendahuluan

Pada minggu ini bacaan kita tentang perjalanan Tuhan Yesus beserta murid-murid-Nya yang akan pergi ke Yerusalem sebab saat Yesus dimuliakan dan ditinggikan sudah hamper tiba. Mereka berniat untuk melintasi wilayah Samaria sebab rutenya akan lebih dekat. Namun sikap permusuhan yang selama ini terjadi antara orang Yahudi dan orang Samaria membuat rombongan Tuhan Yesus tidak diperkenankan untuk melewati wilayah itu, sehingga timbul respon dari beberapa murid. Dari nats tersebut kita mempelajari beberapa hal dalam kehidupan ini sebagai berikut.

 

Pertama: dendam kesumat lama (ayat 51-53)

Suku Samaria sering disebut sebagai Setengah Yahudi sebab mereka merupakan campuran antara orang Yahudi dengan bangsa Assyria. Hal ini berawal ketika kerajaan Assyria mengalahkan kerajaan Israel Utara pada tahun 721 sM dan rajanya menempatkan serdadu-serdadu mereka di Palestina (2Raj 17:24-41). Pergaulan yang terjadi membuat mereka saling kawin dan juga sekaligus merubah kebiasaan termasuk ritual agamanya. Bagi orang Samaria yang sudah tercampur, Yerusalem bukan lagi menjadi pusat ibadah, melainkan mereka lebih menyukai gunung Garizim sebagai tempat pemujaan dan pemberian persembahan kurban-kurban. Maka bagi orang Yahudi, suku ini dipandang tidak murni lagi dan murtad sehingga membenci mereka. Sebaliknya, suku Samaria karena sikap dan perbedaan itu juga tidak menyukai orang Yahudi dan membuat kedua suku ini menjadi bermusuhan.

 

Orang Yahudi dari Galilea apabila ingin melakukan perjalanan menuju Yerusalem atau wilayah Yudea selatan termasuk dalam melakukan ziarah, sebenarnya bisa langsung melalui wilayah Samaria ini. Oleh karena sikap bermusuhan tadi, maka orang Yahudi biasanya menghindar dan berjalan memutar ke utara terlebih dahulu sehingga jarak yang ditempuh lebih jauh. Akan tetapi Yesus berpikiran berbeda, Ia berusaha mendekatkan diri pada mereka, sebagaimana kisah Yesus beristirahat di tepi sumur dan berdialog dengan perempuan Samaria (Yoh 4:1-26). Oleh sebab itu ketika hendak kembali ke Yerusalem, Yesus mengirimkan utusan untuk menanyakan apakah mereka boleh melewati wilayah tersebut, namun sambutan orang Samaria ini tertutup dan tidak bersahabat.

 

Pelajaran pertama yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah tidak ada gunanya membuat permusuhan, sebab buah permusuhan selalu merugikan dan tidak pernah menguntungkan. Sikap bermusuhan ini karena adanya dendam yang bersemayan di hati, padahal dendam itu hanya merupakan beban kepahitan yang merusak diri sendiri. Bermusuhan terhadap orang yang "jahat" sekalipun pasti merugikan, apalagi bermusuhan terhadap orang-orang baik, maka itu akan lebih merugikan lagi. Sikap bermusuhan akan menutup dialog dan interaksi, sekaligus tidak dapat mengembangkan peluang adanya kerjasama atau sinergi. Padahal, sinergi hanya bisa terjadi apabila ada kesatuan dan kesejajaran, sehingga untuk membangun sinergi semua pihak harus mengutamakan sikap terbuka dan kebersamaan dan bukan egoisme. Tuhan Yesus mengajarkan agar kita tetap rendah hati dan mengasihi musuh yang membenci kita dan dengan demikian maka tujuan kita untuk menyampaikan kabar baik dari Tuhan Yesus akan tercapai.

 

Kedua: penghakiman dan penghukuman hak Tuhan (ayat 54-56)

Dalam ayat sebelumnya diceritakan bagaimana sikap kita apabila suatu rumah atau kota tidak menerima kita dengan ramah dan baik, maka sebagai pemberita Injil  kita diajarkan agar keluar dari kota itu dan mengkebaskan debu dari kaki kita sebagai peringatan terhadap mereka (Luk 9:4-5). Artinya, kita tidak perlu memaksa atau beradu argumentasi akan maksud baik kita dalam mengunjungi mereka. Demikianlah yang terjadi pada rombongan Tuhan Yesus, suku Samaria tidak bersedia memberikan izin kepada mereka untuk melintasi wilayah tersebut dalam tujuan mereka menuju Yerusalem. Penolakan ini membuat reaksi keras pada murid-murid Tuhan Yesus.

 

Rasul Yohanes dan Yakobus rupanya belum memahami perkataan Tuhan Yesus tersebut, sehingga mereka berdua berpikir lain dan ingin menghukum penduduk Samaria dengan cara menurunkan api dari langit untuk membinasakan mereka. Yohanes dan Yakobus terpengaruh akan perbincangan sebelumnya (ayat 8, 19 dan 30), bahwa Yesus itu sama dengan Elia, sebagaimana Elia pernah melakukannya pada pelayan raja yang jahat (2Raj 1). Yakobus dan Yohanes merasa tersinggung dengan menganggap penolakan itu merupakan penghinaan terhadap Tuhan Yesus. Kedua murid ini merasa sombong dan berpikir seharusnya Tuhan Yesus harus diperlakukan dengan hormat dan tidak perlu melarang mereka melintasi wilayah Samaria tersebut dan ingin langsung menghukum orang Samaria tersebut.

 

Ini cara berpikir yang salah, yakni kita yang menjadi hakim dan pelaksana hukuman. Semangat dan hasrat yang berkobar-kobar serta kesetiaan pada Kristus tidak perlu menjadikan kita pelaku tindak kekerasan pada orang yang hidup di dalam dendam dan kegelapan. Kita harus mengendalikan roh mana yang menguasai diri kita sehingga tidak terjerembab dalam dosa dan akibatnya tujuan mulia yang kita emban malah tidak akan tercapai. Kita dipanggil bukan untuk membinasakan orang, melainkan untuk menyelamatkan mereka. Firman Tuhan mengatakan biarlah penghakiman dan penghukuman itu menjadi milik dan hak Allah (Rm 12:19; Ibr 10:30; Ul 32:35-36) dan Allah tidak pernah memberi kuasa atau wewenang kepada kita untuk melakukan hal itu.

 

Ketiga: jangan mencari alasan untuk tidak mengikut Dia (ayat 57-61)

Dengan banyak melakukan kebaikan kasih dan mukjizat, maka semakin banyak orang yang ingin mengikuti Tuhan Yesus, meski dengan motivasi yang beragam. Ada yang terpanggil memang untuk melayani dan siap berkorban meninggalkan segala kehidupan lamanya, namun tidak sedikit yang ingin untuk kepentingan diri sendiri seperti penonjolan diri, kehebatan, keuntungan atau kesombongan. Tuhan Yesus mengetahui motivasi mereka ini, sehingga  hal yang diungkapkan oleh-Nya adalah akan kemiskinan-Nya atas harta benda duniawi, dan Ia mengatakan yang sebenarnya kepada seseorang yang ingin mengikut Dia, "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Yesus secara tidak langsung mengungkan bahkan orang Samaria juga menolak kehadiran-Nya.

 

Tetapi kepada orang lain Yesus mengajak agar dia mengikut Dia, orang tersebut bersedia namun dengan syarat, agar ia bisa pulang terlebih dahulu untuk menguburkan ayahnya. Respon Tuhan Yesus cukup keras dengan mengatakan, "Biarlah orang mati menguburkan orang mati." Dalam hal ini kita perlu hati-hati menafsiran ucapan Tuhan Yesus ini. Tafsiran pertama mengatakan tidak jelas persis apakah memang ayah orang ini benar-benar sudah meninggal atau dalam keadaan sakit kritis, sehingga ia hanya berdalih saja. Tafsiran kedua mengatakan bahwa pengertian orang mati dalam hal ini adalah mereka yang mati rohani, yang tidak merasa terpanggil untuk mengikut Dia, maka biarlah orang yang mati rohani juga mengurusnya. Tafsiran lainnya menyebutkan mungkin ayahnya memang sudah meninggal dan ia hanya ingin melakukan tugasnya sebagai anak untuk menguburkannya. Tetapi Yesus bukan berarti mengajarkan agar kita mengabaikan tanggungjawab kepada keluarga, melainkan Ia menyadari sering kali orang melepaskan tanggungjawab melayani dan mengabarkan Injil atau perbuatan kasih hanya dengan alasan keluarga.

 

Tuhan Yesus menekankan bahwa mereka yang siap mengikut Dia haruslah memiliki respon cepat dalam sikap dan tindakan, tidak ragu-ragu dan memberi alasan-alasan tertentu yang tidak benar dan prinsip. Tuhan Yesus dengan segala kebenaran dan panggilan-Nya haruslah ditempatkan pada prioritas yang utama dan kita harus bersedia membayar harga untuk itu, termasuk mengorbankan kepentingan keluarga. Yesus mengatakan demikian kepada orang ini sebab Ia tahu bahwa orang ini hanya mencari-cari alasan agar terhindar dari panggilan untuk melayani Dia dan memberitakan kerajaan Allah. Mengikut Yesus berarti menyadari konsekuensi dan harga yang harus kita bayar dan kita harus siap dengan hal itu. Itulah pelajaran ketiga yang diberikan kepada kita.

 

Keempat: jangan melihat ke belakang (ayat 51 dan 62)

Pada ayat 51 disebutkan Yesus pergi ke Yerusalem, meski Ia tahu akan penderitaan dan kematian yang menantinya. Yesus menatap terus ke depan akan tanggungjawab dari Bapa yang diemban-Nya. Kita seharusnya juga demikian, panggilan Tuhan kepada kita untuk melayani harus kita sikapi dan bersedia membayarnya dengan rasa sakit dan penderitaan, bukan menghindari atau menyurutkannya. Kalau kita menginginkan mahkota maka kita harus siap dengan memikul salib sekaligus. No gain without pain. Kalau kita berhitung untung dan buahnya saja tanpa bersedia membayar dan menanggung resiko, maka akan mudah terjadi penyesalan dan kita kembali melihat ke belakang.

 

Tuhan Yesus memberi perumpamaan dengan menyebut, "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah", maksudnya agar kita selalu menatap ke depan. Seorang yang membajak tanah apabila menoleh ke belakang maka hasil bajakannya pasti akan bengkok-bengkok dan sangat sulit untuk ditanami maksimal. Apabila kita fokus pada arah, maka tidak akan mudah pihak lain untuk menarik kita dari tujuan yang ingin kita capai.

 

Inilah harga yang diminta oleh Yesus dari kita yakni komitmen total dan bukan setengah hati. Jangan mudah sebentar-sebentar melihat ke belakang dan berpikir mengapa kita mengambil jalan yang sekarang ini. Kita jangan memilih jalan salib yang kita sukai saja, dan menghindar dari jalan susah dan tidak senangi. Kita harus memiliki prinsip sebagaimana Rasul Paulus nyatakan, "berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus." Rasul Paulus melupakan yang ada di belakangnya yang dahulu dianggap keuntungan, tetapi sekarang dianggap rugi karena telah mendapatkan Kristus" (Flp 3:7-14).

 

Kesimpulan

Minggu ini kita diberkati dengan firman Tuhan yang mengajarkan betapa tidak bermanfaatnya permusuhan dan memelihara dendam. Semua itu akan merugikan. Demikian juga dalam sikap kita yang berbeda dengan orang lain, kita tidak diberi hak untuk menghakimi apalagi untuk menghukum, sebab itu adalah hak dan milik Allah. Yang paling utama adalah kita diminta untuk berkomitmen penuh dan total dalam melayani Dia dan jangan melihat ke belakang dalam pengertian seolah-olah terjadi penyesalan. Sebab dengan sikap menerima salib demikianlah kita tahu harga yang harus kita bayar untuk mengikuti Dia sebelum kita menerima mahkota dari-Nya.

Selamat beribadah dan selamat melayani.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 50 guests and no members online

Statistik Pengunjung

12418862
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
414
6852
414
12380249
31194
134774
12418862

IP Anda: 216.73.216.185
2025-07-06 02:53

Login Form