Thursday, November 21, 2024

Khotbah Minggu 28 September 2014

Khotbah Minggu 28 September 2014

 

Minggu XVI Setelah Pentakosta

 

MENGANGGAP YANG LAIN LEBIH UTAMA

(Flp 2:1-13)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kel 17:1-7; atau Yeh 18:1-4, 25-32; Mzm 78:1-4, 12-16 atau Mzm 25:1-9; Mat 21:23-32

 

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

Daftar selengkapnya khotbah untuk tahun 2014 dan tahun berikutnya dapat dilihat di website ini -> klik Pembinaan -> Teologi

 

Khotbah ini dipersiapkan sebagai bahan bagi hamba Tuhan GKSI di seluruh nusantara. Sebagian ayat-ayat dalam bacaan leksionari minggu ini dapat dipakai sebagai nas pembimbing, berita anugerah, atau petunjuk hidup baru.

 

Nas Flp 2:1-13 selengkapnya dengan judul: Bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus

 

2:1 Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, 2:2 karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, 2:3 dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; 2:4 dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. 2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, 2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. 2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, 2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 2:11 dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa! 2:12 Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, 2:13 karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.

 

-----------------------------------

 

Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari prinsip umum yang mudah diterima bahwa berkawan lebih baik daripada bermusuhan, dan bersama-sama lebih baik daripada sendiri. Keakraban dan kesatuan yang didasarkan latar belakang dan tujuan yang sama, minat yang sama, seharusnya membuat hidup lebih indah dan setiap rintangan dan tantangan menjadi lebih mudah dilampaui. Akan tetapi hal yang seharusnya mudah itu sering menjadi sulit, ternyata banyak orang (termasuk orang percaya) lebih memilih bermusuhan atau memilih terasing dari persekutuan atau kelompok. Tidak dapat disangkal bahwa kecendrungan manusia untuk menonjolkan diri dan mengharapkan pujian, merupakan dorongan kodrati yang melekat dengan ego masing-masing. Pendorong semua itu adalah egoisme dan tidak adanya keinginan merendahkan diri dengan menerima orang atau pandangan lain yang berbeda. Melalui nas bacaan kita minggu ini, firman Tuhan melalui Rasul Paulus menekankan lahirnya sukacita karena melihat saudara seiman hidup dalam kesatuan, kesehatian, sepikir dan satu kasih. Inilah yang dicoba disampaikan Rasul Paulus sebagai pengajaran sebagai berikut.

 

Pertama: Sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan (ayat 1-4)

Pada awal suratnya di pasal 1 Rasul Paulus menjelaskan dengan lengkap perihal pentingnya ungkapan dan sikap rasa syukur, doa, pengorbanan dan perjuangan di dalam menjalani kehidupan ini. Tujuan semua itu dikatakannya, "sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus" (Flp 1:10). Filipi adalah kota kosmopolitan. Komposisi anggota jemaat menunjukkan keragaman yang tinggi dengan latar belakang yang berbeda dan juga bidang pekerjaannya. Kis 16 menggambarkan wajah keragaman yang membuat jemaat ini unik di masa itu, yakni di antara jemaat ada Lydia orang Yahudi pengusaha kaya dari Asia (Kis 16:14); seorang budak perempuan yang mempunyai roh tenung, mungkin orang pribumi Yunani (Kis 16:16-17); seorang sipir penjara yang melayani kekaisaran Romawi dan mungkin orang Roma (Kis 16:25-36). Dengan begitu ragamnya latar belakang anggota jemaat tersebut maka potensi perbedaan tinggi, dan mempertahankan kesatuan kadang lebih sulit. Egoisme dan mementingkan diri sendiri kerap yang menjadi sumber pertikaian, terlebih kita tidak mudah mengabaikan jahatnya si Iblis yang membuat perpecahan gampang terjadi.

 

Hal itu mudah sekali tampak. Banyak orang - termasuk orang Kristen, berusaha membuat hidupnya tampil berkesan baik bahkan hebat di mata orang lain, yang tujuannya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Hal itu dapat kita lihat dari hal sederhana yakni saat ini sedang berkembang yakni kebiasaan selfie (memfoto diri sendiri), bahkan sudah tersedia alat khusus yang intinya bertujuan “menyenangkan dan memuji diri sendiri” tersebut.  Foto-foto ini kemudian diunduh di Facebook atau sebagai profile picture di HP. Semua itu wajar sepanjang tidak berlebihan dan malah menjadi “kerjaan” rutin yang sia-sia. Sikap seperti ini yang disebut narsis tentu mengurangi perhatian bagi orang lain. Oleh karena itu Rasul Paulus menekankan pentingnya kekuatan rohani, meminta jemaat Filipi untuk memberi perhatian dan mengasihi satu sama lain dan menjadi satu dalam Roh. Ia juga meminta agar jemaat sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Ambisi yang egoistis atau kesombongan yang sia-sia tidak akan membuahkan apa-apa dan sangat mudah mengakibatkan perselisihan dan pertentangan. Padahal, ketika kita bekerjasama, sebenarnya kita peduli terhadap persoalan orang lain dan membuat persoalan orang lain menjadi persoalan kita bersama. Oleh karenanya janganlah kita melulu terlalu pusing mengurusi soal kesan baik dan dipuji untuk kemegahan sendiri dan mengabaikan kasih di antara keluarga jemaat Allah (Rm 12:10).

 

Ambisi yang egoistis tidak dikenal dalam kehidupan Kristiani. Egoisme dapat merusak tetapi kerendahan hati yang tulus akan membangun jemaat. Memberi waktu dan perhatian kepada orang lain jelas panggilan utama bagi pengikut Kristus. Setiap orang harus siap berkorban dalam satu Roh untuk bersekutu dan saling mendukung. Alkitab berkata rendah hati mengekresikan prespektif yang benar akan diri kita (Rm 12:3). Rendah hati bukan berarti menempatkan diri kita di bawah dan bukan pula memberi hormat berlebihan kepada orang lain. Kita menempatkan ke belakang kepentingan diri sendiri dan memperlakukan orang lain penuh hormat dengan sopan santun yang lazim. Menganggap kepentingan orang lain lebih utama dari pada diri kita menghubungkan kita dengan Kristus yang telah memberi keteladanan dalam kerendahan hati. Di hadapan Tuhan, kita adalah orang-orang berdosa, diselamatkan oleh anugerah-Nya, yang berarti kita diselamatkan karena kita berharga di dalam Kerajaan Allah. Rasul Paulus mendorong kita semua agar melawan egoisme, prasangka, cemburu yang membawa perselisihan dan perpecahan (Rm 15:5). Memperlihatkan kepentingan orang lain yang tulus adalah langkah positip dalam menjaga kesatuan di antara jemaat. Sikap menganggap yang lain lebih utama menyatukan dan bukan kepentingan sendiri atau puji-pujian bagi diri sendiri yang sia-sia (Gal 5:26). Roh Allah mampu bekerja bagi siapa saja yang bersedia memberikan dirinya sebagai agen pembawa damai sejahtera (Mat 5:9; 2Ko 13:13-dab; Kol 3:12).

 

Kedua: Mengosongkan diri untuk merendahkan diri (ayat 5-8)

Yesus Kristus adalah Pribadi yang rendah hati, bersedia mengorbankan diri-Nya demi untuk mematuhi keinginan Allah Bapa dan melayani manusia (Yoh 17:4). Ia miskin supaya kita menjadi kaya (2Kor 8:9). Inkarnasi adalah tindakan pre-eksistensi Anak Allah yakni Yesus yang rela menjadi manusia dan memiliki sifat-sifat manusia. Ia telah ada sejak awal (Yoh 1:1; 8:58; Kol 1:15-17). Dia tidak meninggalkan ke-Allahan-Nya dengan menjadi manusia tetapi menyampingkan hak-Nya yang penuh kuasa dan dimuliakan (Ibr 5:8). Untuk menggenapkan tujuan sesuai rencana-Nya, kesetaraan dengan Allah itu tidak dianggap sebagai harga yang harus dipertahankan (dalam ayat 6 dan 7 nas ini dipakai kata morphe untuk menjelaskan rupa yang menunjukkan suatu ungkapan permanen tentang sifat-sifat hakiki, sedangkan dalam ayat 8 dipakai kata schema yang lebih mengacu pada penampilan lahiriah yang bisa berubah-ubah). Hal yang membuat kemanusiaan-Nya unik adalah Ia bebas dari dosa. Di dalam kesejatian-Nya sebagai manusia, Yesus memperlihatkan kepada kita tentang karakter Allah yang dapat dimengerti dan dimaknai oleh manusia (untuk memahami inkarnasi lebih lanjut dapat membaca Yoh 1:1-14; Rm 1:2-5; 2Kor 8:9; 1Tim 3:16; Ibr 2:14; 1Yoh 1:1-3). Yesus sebagai Anak Allah mengosongkan diri-Nya. Mengosongkan diri berarti membuat diri sendiri tidak sama sebagaimana adanya, seperti kita berbicara kepada anak kecil maka untuk lebih efektipnya komunikasi, kita juga harus bersikap seperti anak kecil meski hal itu tidak menghilangkan diri kita sebagai orang dewasa. Dengan pengosongan diri-Nya itulah pengorbanan diberikan dan itu yang membuat terwujudnya keselamatan bagi kita semua orang percaya. Sikap pengosongan diri itu pula yang diminta dari kita untuk lebih mampu mewujudkan kasih kepada orang lain.

 

Pengosongan diri Yesus menghilangkan hak dan keistimewaan juga kerelaan menerima penderitaan, penganiayaan dan kematian yang terkutuk di salib. Mati di kayu salib adalah bentuk hukuman yang dilakukan oleh pemerintahan Romawi bagi penjahat berat. Penyaliban itu sungguh luar biasa menyakitkan dan merendahkan martabat. Seorang tahanan yang dipaku dan diikat di kayu salib biasanya dibiarkan sampai mati. Kadang kala kematian tidak datang cepat, perlu beberapa hari, dan kematian datang ketika berat tubuh yang melemah membuat semakin sulit untuk bernafas. Yesus menerima mati seperti itu sebagai lambing kutukan (Gal 3:13). Sungguh mengherankan yakni manusia yang sempurna harus mati dengan cara yang memalukan agar kita tidak menghadapi penghukuman yang kekal. Yesus dari Nazaret telah menempatkan diri-Nya sesuai dengan tempat, waktu, dan keterbatasan manusiawi lainnya. Sikap kerendahan hati Yesus ini berarti mengabaikan diri sendiri dan membuatnya tidak berarti dan di luar dirinya adalah lebih penting dan utama serta rela untuk berkorban. Kepentingan diri sendiri merupakan hal terakhir. Keteladanan kerendahan hati Yesus ini memberi pelajaran penting bagi kita, sekaligus memberi peringatan bahwa kita adalah manusia berdosa dan tidak layak untuk berbangga, menyadari kelemahan diri, serta selalu berpegang pada Tuhan (Mat 11:29; Luk 18:9-14; Yak 4:6).

 

Memang, acapkali manusia berusaha membenarkan atau memberi pemaafan atas sikap buruk yang dimilikinya, seperti egoisme, kebanggaan, atau kejahatan lainnya, atau dengan mengklaim itu adalah haknya. Mereka berpikir, "Saya bolehlah berbuat curang dalam ujian ini; setelah itu saya kan tidak di kelas ini lagi"; atau, "Saya boleh dong membelanjakan semua uang saya - sebab saya kan sudah bekerja keras untuk itu"; atau, "Saya boleh melakukan aborsi, saya kan berhak mengatur tubuh saya sendiri." Akan tetapi sebagai orang percaya kita harus memiliki perilaku yang berbeda, yang mampu mengenyampingkan kepentingan kita sendiri untuk melayani dan memberi contoh bagi yang lain. Jika kita mengatakan mengikut Kristus, kita juga harus mengatakan kita hidup sama seperti Dia. Pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus ada dalam diri kita. Kita perlu ingat, kitalah yang memilih perilaku kita sendiri. Semua dapat dilihat, dicermati, dievaluasi dan bahkan dirubah. Pilihannya, kita dapat menjalani kehidupan ini dengan berharap terus dilayani, atau kita mencari kesempatan untuk melayani orang lain. Inilah yang ditegaskan-Nya dengan berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28; Mrk 10:45). Apakah kita bersikap egois dengan terus melekatkan hak-hak kita, atau kita ingin melayani orang lain? Apakah kita mencari puji-pujian yang sia-sia dan melupakan kepentingan orang lain dan terus mengurusi kepentingan diri sendiri. Inilah yang diminta dari kita.

 

Ketiga: Segala yang ada bertekuk lutut dalam nama Yesus (ayat  9-11)

Bagian nas minggu ini kemungkinan berasal dari lagu-lagu pujian di masa awal gereja. Pesannya memiliki hal yang paralel dengan nubuatan dan penderitaan hamba dalam Yes 53. Sebagai lagu pujian, maka pernyataan itu tidak harus berarti menjadi yang lengkap tentang sifat dan pekerjaan Kristus. Beberapa karakteristik kunci Yesus Kristus dipuja dalam pujian ini, yakni Yesus Kristus selalu ada bersama Allah sebab Kristus sama dengan Allah dan Dia adalah Allah (Yoh 1:1-dab; Kol 1:15-19). Ia menjadi manusia mengorbankan hak keilahian dan keistimewaan-Nya untuk menggenapi rencana keselamatan dari Allah bagi seluruh manusia; dan Kristus tidak hanya menampakkan diri sebagai manusia, tetapi Ia menjadi manusia sejati untuk mengidentifikasi tanpa dosa. Semua itu dilakukan-Nya oleh kasih untuk Bapa-Nya dan untuk kita manusia yang mau bertobat dari segala dosa-dosa kita. Dalam kemanusiaan-Nya Yesus mengalami penderitaan yang demikian hebat dan bahkan sampai meminta agar cawan penderitaan itu berlalu dari-Nya dengan memohon, “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu! (Mat 26:39, 42). Oleh karena ketaatan-Nya, Allah memuliakan-Nya dengan membangkitkan Yesus dari kubur dan mengembalikan kedudukan-Nya di sebelah kanan Allah Bapa, dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama dan digelar sebagai TUHAN, Kurios, nama Allah dalam Perjanjian Lama yang menurut pengertian Ibrani menunjuk kepada kedudukan dan kemuliaan (Kis 2:36; Rm 14:11; band. Yes 45:23). Allah yang mengangkat-Nya ke sorga kemudian menunjuk Yesus berkuasa selamanya dengan menjadi Hakim bagi manusia (Ef 1:21; Ibr 1:4; Kis 10:42; 17:31).

 

Perjanjian lama menggambarkan Musa dan Salomo adalah hakim-hakim yang penuh dengan hikmat, di samping beberapa hakim-hakim pada masa sebelum raja-raja. Ini sama seperti hakim Artidjo Alkostar saat ini di Mahkamah Agung RI yang dianggap hakim "adil" memahami rasa keadilan rakyat dengan menghukum berat para koruptor bila mereka kasasi. Namun mereka ini semua adalah hakim di dunia. Sebagian bukti atau fakta mungkin tersembunyi tidak terungkap sehingga bisa muncul rasa tidak adil. Ini berbeda dengan pengadilan akhir, sebab semua fakta terbuka. Yesus adalah Allah Mahatahu sehingga pertimbangan-Nya pasti adil. Oleh karena itu pada pengadilan akhir zaman semua orang termasuk yang dihukum akan mengaku kekuasaan Yesus dan hak-Nya untuk memutuskan. Bukan hanya orang Kristen yang percaya melainkan juga mereka yang tidak percaya atau menyangkal-Nya. Dengan kedudukan yang demikian diberikan Allah kepada Yesus, maka semua makhluk yang ada di bumi, di langit di atas, dan yang ada di bawah bumi akan bertekuk lutut untuk menyembah Dia (pengertian alam semesta raya pada saat itu terbagi atas tiga wilayah: bumi, langit sebagai atas bumi dan bawah bumi tempat yang gelap - band Kis 5:3,13). Dengan kedudukan yang demikian, Alkitab mengatakan bahwa ibadah agung universal akan dipersembahkan kelak kepada Yesus sebagai Tuhan (Why 5:13; 15:3-4).

 

Bagi kita orang percaya, Yesus Kristus adalah Tuhan merupakan pokok pengakuan iman (Yoh 13:13; Rom 10:9; 1Ko 12:3). Pembangkitan adalah karya unggul dari kuasa Allah dan itu memperlihatkan kuasa-Nya (Rm 1:4-dab). Manusia dapat memilih untuk mengaku Yesus sebagai Tuhan saat ini sebagai langkah komitmen kasih kepada-Nya, atau kita suatu saat nanti dipaksa untuk mengakui Dia adalah Tuhan saat kembali-Nya kelak? Kristus dapat kembali setiap saat. Apakah kita sudah siap untuk bertemu dengan-Nya? Apakah kita bisa mempertanggungjawabkan tugas misi yang diberikan kepada kita sebagai utusan-Nya di lingkungan kita terdekat? Pengakuan lidah kita yang “mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah” merupakan sikap yang bersedia menjadi milik Tuhan untuk menjadi hamba yang berguna dan berbuah. Kita berbuah demi agar segala lidah mengaku Yesus adalah Tuhan. Kalau kita merasa belum berbuah selama ini atau belum maksimal, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan kepada sesama orang percaya (Mzm 8:5-6; Yoh 15:1-16). Semua yang kita lakukan itupun adalah pekerjaan hamba dan tidak layak kita banggakan, sebab seperti dikatakan, “bagi kemuliaan Allah”. Kalau pun kita bermegah harus bermegah di dalam Allah (Rom 7:18; Gal 6:3; 2Kor 10:17). Inilah dasarnya kita perlu memuji Kristus dan mengaku Ia adalah Tuhan dan menyerahkan hidup kita untuk melayaninya (Kol 2:6).

 

Keempat: Allah yang mengerjakan kemauan maupun pekerjaan (ayat 12-13)

Alkitab mengatakan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia dan bukan oleh karena hasil usaha kita sendiri (Ef 2:8). Artinya anugerah keselamatan yang kita terima bukan karena prestasi dan amal usaha kebaikan yang kita lakukan, melainkan karena iman kepada Tuhan Yesus (Rm 10:9-10). Dengan adanya iman tersebut maka kita menjadi milik-Nya. Jadi sederhananya, keselamatan bukan karena perbuatan baik, tapi karena iman, dan iman itu yang mengharuskan adanya perbuatan baik. Perbuatan baik saja tidak cukup sebab dua hal yang penting: pertama, manusia selalu berdosa dan dosa hanya dapat dihilangkan dengan iman dan pengampunan. Kedua, perbuatan baik mendorong manusia untuk bermegah, sementara iman mendorong terus untuk ketergantungan. Kita menerima keselamatan juga bukan hanya di akhir zaman atau di masa pengadilan, melainkan sudah menerima keselamatan itu pada masa lalu ketika kita menerima baptisan kudus dan pengakuan percaya. Kita juga menerima keselamatan itu di masa kini dengan bersikap penuh percaya kepada Tuhan tentang perjalanan hidup kita, dan itulah yang diminta oleh firman Tuhan saat ini untuk kita tetap mengerjakan keselamatan kita dengan bergantung kepada-Nya. Dan terakhir, kita akan menerima kegenapan keselamatan itu nanti pada akhir zaman bersama-sama orang percaya lainnya.

 

Mengerjakan keselamatan itu perlu dilakukan dengan merasa takut dan gentar (Yes 66:2; Ams 3:7; 8:13). Takut dan gentar dalam hal ini maksudnya adalah bersungguh-sungguh. Takut dan gentar yang bersumber dari dua sisi (yakni sisi di luar diri sendiri dan sisi dari dalam diri sendiri) membuat kita malah tidak bersungguh-sungguh dan optimal. Dari luar diri sendiri, ada yang melihat dunia dan kehidupan ini begitu menakutkan, bukan saja oleh sulitnya hidup sebab persaingan dan kelangkaan, tetapi juga oleh meningkatnya kekerasan, penyakit, resiko dan perusakan lingkungan (band. Luk 12:4-5). Dari sisi dalam diri sendiri sering muncul pemikiran bahwa diri kita adalah orang yang tidak mampu, lemah dan tidak bisa meningkatkan diri. Seolah ada bisikan menerima saja apa adanya dengan tidak perlu berusaha keras meningkatkan diri. Sikap ini jelas dari iblis yang merongrong diri kita dengan mengabaikan peran dan kuasa Allah dalam hidup orang percaya. Kemampuan manusia memang terbatas meski manusia sendiri tidak tahu batasnya. Bidang kehidupan manusia demikian luasnya untuk tempat bersekutu dan mengabdi. Kelemahan dalam satu sisi (misalnya, intelegensia) dapat ditutupi dengan kekuatan emosi dan spiritual, demikian juga sebaliknya. Kelemahan fisik juga dapat ditutupi dengan kemauan dan latihan seperti dunia melihat “kehebatan” Stephen Hawking, terlepas dari karya-karyanya yang kontroversial menihilkan peran Allah.

 

Semua itu dapat terjadi bila kita melakukan dengan penuh ketaatan dan sikap hormat kepada Allah (2Kor 7:15; Kol 3:22). Betul, kita selamat bukan oleh ketaatan sebab keselamatan adalah anugerah Allah tanpa syarat. Ketaatan dan keselamatan dalam hal ini berhubungan dengan sikap tunduk dan patuh pada panggilan Tuhan untuk menunaikan tugas dan memelihara hidup kudus. Kita harus memiliki karakter melayani, dengan penuh kasih kepada Allah dan sesama, mengembangkan perilaku rendah hati saat melayani, dan bukan mencari puji-pujian atas usaha yang kita lakukan. Semua itu hanya terjadi sebab Allah yang mengerjakan kemauan maupun kerelaan kehendak-Nya pada setiap orang (Ef 1:5). Jadi, terwujudnya ketaatan yang kita berikan pun bukan hasil perjuangan kekuatan diri kita, melainkan oleh kuasa Roh Allah yang tinggal di dalam hati orang percaya yang memampukan hal itu (Rm. 8:14-17; Ibr 13:21). Tindakan ketaatan kita adalah hasil mengikuti karya Roh di dalam kita yang bekerja mendorong roh di dalam diri kita. Dalam hal ini semua berjalan dengan kesadaran penuh, dari hikmat dan perenungan pribadi, sehingga untuk melakukannya kita tidak memerlukan pengawasan orang lain. Ini juga yang diminta oleh firman Tuhan melalui Rasul Paulus kepada jemaat Filipi sehingga ketika dia tidak bersama dengan mereka jemaat tersebut terus berusaha mengekpresikan kesatuan. Semua orang diminta menjadi "kawan sekerja Allah" (1Kor 3:9) untuk menyempurnakan keselamatan yang kita miliki saat ini dan kelak di sorga.

 

Penutup

Kehidupan persekutuan Kristen semestinya berjalan bagaikan lingkaran spiral yang terus naik ke atas, bergerak menapak jalan yang lebih tinggi dan bukan kemunduran atau pengulangan yang sia-sia. Dalam jemaat yang beraneka ragam keanggotaannya dengan berbagai latar belakang dan motivasi memang tidak mudah untuk menciptakan kesatuan. Demikianlah yang terjadi pada jemaat Filipi pada masa awal-awal gereja. Mereka cenderung untuk menonjolkan egoisme masing-masing dan keinginan mencari puji-pujian yang sia-sia dan ini yang menjadi benih pemecah kesatuan mereka. Padahal sebagai jemaat yang dipanggil dalam pelayanan, kesatuan dalam sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan merupakan hal yang pokok sebagai pondasi pelayanan. Melalui bacaan minggu ini kita diberi pelajaran dan teladan Tuhan Yesus dengan mengosongkan diri untuk merendahkan diri yang adalah kunci untuk bersatu, dan kesatuan itu yang membuat nama Yesus menjulang tinggi di atas segala nama. Dengan meninggikan Yesus seperti itu, maka segala yang ada di alam semesta ini akan bertekuk lutut dalam nama Yesus, sebab Dialah yang menjadi Hakim segala bangsa. Tugas panggilan untuk meninggikan itu juga ada pada kita orang percaya. Melalui iman dan respon setiap orang, Allah yang mengerjakan kemauan maupun pekerjaan di dalam hidup kita bagi kemuliaan nama-Nya. Semangat Kristus adalah melayani dan kita telah dilayani-Nya. Apakah semangat melayani Dia sudah ada dalam hidup kita? Mari kita berdoa agar Roh Kudus bekerja dalam hidup kita dan memampukan kita melakukannya. Kita juga semakin dipersatukan dengan sesama orang percaya agar menjadi berkat bagi segala bangsa.

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

(Dipersiapkan oleh Pdt. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min, Wakil Sekretaris Umum Badan Pengurus Sinode GKSI dari berbagai sumber dan renungan pribadi. Catatan untuk hamba Tuhan yang menyampaikan firman, menjadi lebih baik jika pada setiap penyampaian bagian khotbah diusahakan ada contoh atau ilustrasi nyata dari kehidupan sehari-hari, dan juga diselingi humor yang relevan. Ilustrasi dapat diambil dari pengalaman pribadi, orang lain, sejarah tokoh, peristiwa hangat saat ini atau lainnya, sementara contoh untuk humor dapat diakses melalui internet dengan mengetik kata kunci yang terkait didahului kata humor atau joke).

 

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 709 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7404737
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
47852
61324
157503
7204198
439599
1386923
7404737

IP Anda: 162.158.163.137
2024-11-21 19:41

Login Form