Thursday, November 21, 2024

Khotbah Minggu 7 September 2014

Khotbah Minggu 7 September 2014

 

Minggu XIII Setelah Pentakosta

 

kasih adalah kegenapan hukum Taurat

(Rm 13:8-14)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kel 12:1-14 atau Yeh 33:7-11; Mzm 149 atau Mzm 119:33-40; Mat 18:15-20

 

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

Daftar selengkapnya khotbah untuk tahun 2014 dan tahun berikutnya dapat dilihat di website ini -> klik Pembinaan -> Teologi

 

Khotbah ini dipersiapkan sebagai bahan bagi hamba Tuhan GKSI di seluruh nusantara. Sebagian ayat-ayat dalam bacaan leksionari minggu ini dapat dipakai sebagai nas pembimbing, berita anugerah, atau petunjuk hidup baru.

 

Nas Rm 13:8-14 selengkapnya dengan judul: Kasih adalah kegenapan hukum Taurat

 

(13.8) Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. (13.9) Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (13.10) Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat. (13.11) Hal ini harus kamu lakukan, karena kamu mengetahui keadaan waktu sekarang, yaitu bahwa saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur. Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita dari pada waktu kita menjadi percaya. (13.12) Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang! (13.13) Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. (13.14) Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.

 

----------------------------------

 

Pendahuluan

Nas minggu ini merupakan kelanjutan pasal 13:1-7 tentang perintah tunduk pada pemerintah yang resmi berkuasa dan dari Allah. Salah satu sikap tunduk itu adalah kepatuhan dalam membayar pajak dan cukai sehingga tidak menjadi hutang berkepanjangan. Sikap ini didasari atas kebenaran dan kasih kepada pilihan Allah yang memerintah untuk dipergunakan bagi kepentingan masyarakat banyak, yang kemudian kita menerima manfaatnya sebagai warga. Selanjutnya nas minggu ini menekankan kasih yang lebih menyeluruh di dalam hidup umat-Nya, sebab sesuai yang dituliskan, kasih sejatinya adalah kegenapan hukum Taurat. Sikap kasih itu dijabarkan dari larangan berpura-pura hingga wajib diwujudkan segera dalam kehidupan saat ini sebab waktu yang sempit sebelum kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran tetang pelaksanaan kasih sebagai berikut.

 

Pertama: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (ayat 8-9)

Pertanyaan untuk nas ini adalah: Mengapa hutang dikaitkan dengan kasih. Dalam ayat-ayat sebelumnya kita diingatkan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban kita di dalam kehiduan sehari-hari dengan tepat dan benar, termasuk kepada pemerintah untuk pembayaran pajak, cukai, rasa takut dan hormat. Alasannya jelas; Kalau dalam hubungan dunia, kita mendapatkan hal dari pemerintah seperti perlindungan keamanan, fasilitas publik, dan lain-lain, maka untuk itu kita perlu membayar pajak dan bea (band. Mat 22:21). Dalam hal ini firman Tuhan mengatakan jangan kita berhutang apalagi “ngemplang” kepada pemerintah sebab kita sudah memerima kebaikannya. Hukum timbal balik dalam pengertian positip adalah sesuatu yang baik dan wajar. Maka kita juga yang sudah percaya pada Yesus dan menerima anugerah-Nya berupa penebusan dan keselamatan kekal, maka kita juga jangan sampai berhutang kepada Tuhan Yesus, sebab kasih Allah yang melimpah dicurahkan secara permanen kepada kita. Jalan terbaik untuk membayar hutang kasih kepada Allah itu adalah dengan memenuhi kewajiban kasih kepada sesama di samping terus mengikuti perintah-Nya serta menyembah dan memuliakan-Nya (1Yoh 5:2). Kasih Yesus selalu jauh lebih besar dari yang bisa kita berikan, Ia juga lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh 4:19) sehingga tidak mungkin terbayarkan meski dengan nyawa kita. Oleh karena itu dikatakan kasih kepada sesama disebut sebagai hutang, bahkan hutang yang tidak dapat dibayar habis dan untuk membayarnya hanya dengan jalan kasih saja.

 

Demikian juga dikatakan bahwa kasih terhadap sesama itu dimulai dan seperti kasih kepada diri sendiri. Kita tidak boleh berpikir bahwa mengasihi diri sendiri adalah salah. Mengasihi diri sendiri dalam arti memberi respek terhadap diri sendiri dan mengakui karunia rohani dari Allah di dalam diri kita, itu adalah sikap yang baik. Mengasihi diri sendiri dalam arti memelihara dan mengembangkan pikiran, tubuh, dan potensi diri kita, menggunakan seluruh karunia rohani tujuan yang baik bagi Tuhan, jelas akan menyenangkan hati Tuhan. Hal yang dilarang dan ditolak Tuhan adalah mencintai diri sendiri secara berlebihan, yang dalam hal ini itu akan menjadi tanpa ujung dan bisa tak habis-habisnya. Mengendalikan diri demi untuk dapat menyatakan dan mewujudkan kasih kepada sesama adalah pilihan orang Kristen. Hakekat kristiani adalah pengorbanan. Tidak ada arti dan makna yang lebih dalam dari KASIH di dalam bahasa Indonesia yang berarti MEMBERI. Kasih artinya memberi. Memberi artinya berkorban dan tidak menuntut apa yang menjadi bagian dan kepentingan kita. Apabila kita belum mampu member, maka bisa dengan meminjamkan yang kita punyai (Kel 22:25; Mzm 37:26; Mat 5:42). Kalau kita meminjam maka segeralah lunasi atau mengembalikan apa yang kita pinjam tanpa membuat orang lain sudah dan menderita (band. Mat 7:12). Oleh karenanya Firman Tuhan mengatakan, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh 3:18).

 

Mungkin kita memiliki rasa harga diri yang rendah, akan tetapi tidak mungkin membiarkan diri kita kelaparan. Baju yang kita pakai pun mungkin bisa sederhana saja. Kita juga pasti akan marah apabila seseorang mencoba menghancurkan rumah tangga kita, sebab kita mengasihi anak-anak kita. Ini semua adalah kasih yang kita butuhkan untuk sesama. Oleh karena itu pastikanlah bahwa ada ukuran plafon atau atap di atas kepala kita, agar kita tidak narsis besar kepala mencintai diri sendiri berlebihan. Kita perlu melihat apakah tetangga kita cukup makan bergizi, mereka memiliki pakaian yang layak, atau tempat tinggal yang layak huni? Apakah kita peduli dengan masalah ketidakadilan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat? Atau, apakah kita tergerak bilamana ada sebuah bencana sosial terjadi di wilayah tertentu dan tergerak memberikan sumbangan? Mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri berarti kita secara aktif terlibat dan terbeban akan kebutuhan mereka tercukupi secara layak. Hal yang menarik dari kehidupan, justru mereka yang memberi perhatian pada orang lain lebih banyak disbanding kepada dirinya sendiri, sangat jarang menderita rasa harga diri yang rendah. Ada kebanggaan, optimisme dan percaya diri. Maka, wujudkanlah kasih itu sepanjang kita bisa (Yoh 13:34; Kol 3:14). Dengan mewujudkan kasih seperti itu, maka kita telah menjalankan hukum Taurat.

 

Kedua: Kasih adalah kegenapan hukum Taurat (ayat 10)

Allah mengasihi umat-Nya dengan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Dalam perjalanan keluar itu, Allah memberikan petunjuk dan pedoman hidup berupa hukum Taurat bagi bangsa Israel agar mereka tetap bebas merdeka dan selamat melalui kesetiaan pada hukum itu, dan seluruh umat manusia juga ikut diselamatkan melalui keteladanan bangsa itu. Hukum itu diturunkan kepada mereka melalui Musa dan itulah yang mereka pakai selama ribuan tahun. Inti hukum Taurat adalah “Sepuluh Perintah Allah” yang pada bagian pertama mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (perintah kesatu hingga keempat) dan hubungan manusia dengan sesamanya (perintah kelima sampai kesepuluh). Uraian rinci atas sepuluh perintah itu tersebar dalam kitab Keluaran, Bilangan, Imamat dan Ulangan, serta beberapa penegasan dan tambahan dalam kitab-kitab para nabi dan kitab puisi dan Mazmur. Namun kemudian oleh para ahli Taurat dan pemimpin Yahudi, mereka mengembangkan hukum-hukum itu sedemikian rupa yang lebih kepada kepentingan mereka sendiri dan bukan mengutamakan kepentingan Allah, sehingga hukum Taurat lebih dilihat sebagai kewajiban mutlak tanpa ada hikmat dan kasih. Hal ini dapat kita lihat pada aturan persembahan harus tidak bercacat yang mengakibatkan hewan dijual di depan Bait Allah (Mat 21:12), pembayaran persepuluhan hingga dari hasil tanaman di halaman (Mat 23:23), beribadah harus ke Yerusalem, dan sebagainya yang menghilangkan makna kasih sejati Allah.

 

Padahal, sangat jelas hukum Taurat diberikan bukan bermaksud membatasi kebebasan manusia, melainkan sebagai kaidah moral dan rohani untuk menjaga agar mereka tidak masuk dalam bahaya jeratan Iblis. Kita juga tahu betapa mudahnya untuk memaafkan kelalaian kita terhadap orang lain demi semata-mata karena kita merasa tidak memiliki kewajiban untuk menolong mereka; bahkan membenarkan tindakan kita untuk menyusahkan orang lain apabila secara legal hal itu memungkinkan. Sebagai orang berdosa kita akan lebih mudah memaafkan dan membenarkan diri sendiri. Padahal, kalau dilihat Im 19:18 sebagai sumber awal nas ini bahwa inti dan hakekat hukum Taurat adalah kasih, kasih kepada Allah dan kepada sesama, sebagaimana diungkapkan, "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Perintah kasih kepada sesama ini merupakan lanjutan dari hakekat pertama hukum Taurat, yakni: "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu" (Ul 6:5). Kedua hakekat hukum inilah inti dari semua kaidah-kaidah itu dan kemudian ditegaskan kembali oleh Tuhan Yesus di dalam perjanjian baru (Mat 22:37-40; Mrk 12:30-31; Luk 10:27).

 

Perjanjian baru mengatakan bahwa Allah adalah kasih (1Yoh 4:8). Hukum Taurat sebenarnya adalah ekspresi sifat Allah dalam bentuk perintah positip dan perintah larangan/negative (band. Kej 2:17; 1Kor 13:4-6; dan lainnya). Dengan demikian prinsip hukum dalam kehidupan orang Kristen harus mengikuti hukum kasih yang melampaui hukum moral, hukum adat dan hukum negara. Tuhan Yesus menetapkan kasih dan tidak meninggalkan celah kelemahan di dalam hukum kasih itu. Setiap saat kasih dibutuhkan, kita harus bisa melewati persyaratan hukum-hukum legal dunia dan meniru kasih Allah (band. Yak 2:8,9; 4:11 dan 1Pet 2:16,17 tentang hukum kasih Allah). Hal ini wajar, sebab tujuan hukum hanya dua, yakni:  ketertiban dan keadilan. Oleh karena hukum Allah hakekatnya adalah kasih, maka apa yang dituliskan dalam hukum Taurat pada dasarnya untuk tujuan ketertiban/keberaturan dan keadilan yang berdasarkan kasih. Dengan demikian, meski ada hukuman dalam sistim hukum Taurat, itu pada dasarnya untuk jalan menuju kebaikan dengan tujuan pertobatan. Memang dalam hal tertentu untuk mencegah dampak yang lebih luas, seseorang yang melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum Taurat dapat dihukum mati. Dalam hal ini kita melihat kasih diutamakan bagi mereka yang masih setia agar mereka tidak terjerat dalam perbuatan jahat yang sama.

 

Ketiga: Menanggalkan perbuatan kegelapan (ayat 11-12a)

Rasul Paulus menekankan pentingnya kasih kepada Allah dan sesama itu diwujudkan segera dan saat ini. Perbuatan kasih itu tidak boleh ditunda-tunda, sebagaimana hutang harus dibayar dengan segera. Konsepnya bukan "time is money" tetapi "time is love". Setiap kesempatan yang ada dimanfaatkan untuk menyatakan kasih, sekecil apa pun itu wujudnya, seperti pemberian senyum bagi semua orang yang kita temui. Segala keengganan dan kelesuan harus dibuang, apalagi kesombongan. Demikian juga dengan aturan-aturan yang membuat kita harus terhalang mengungkapkan kasih. Kisah orang samaria yang murah hati dapat kita ambil sebagai contoh, bagaimana seorang imam berjalan turun dari Yerusalem ke Yerikho dan ditengah jalan ia melihat seseorang tergeletak terluka korban perampokan. Imam tersebut melewatinya begitu saja karena berpikir ia akan najis bila tubuhnya kena darah; orang Lewi juga melewatinya begitu saja karena berpikir orang tersebut mungkin berpura-pura terluka dan punya rencana jahat. Keduanya sama sekali tidak terpikir dan tergerak untuk menolong korban itu. Namun yang dilakukan oleh orang Samaria sungguh penuh kasih; ia berhenti dan menolong, membawa korban itu ke penginapan, dan bahkan mengobatinya. Itulah kasih yang tidak boleh ditunda.

 

Rasul Paulus mengatakan bahwa waktu sudah sangat sempit sehingga jangan terlena dan terlelap, melainkan harus bangun dan sigap. Waktu sisa yang sempit diekspresikannya dengan mengaitkan pada kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Kalau kita lihat peristiwa kenaikan Tuhan Yesus sekitar tahun 33M dan surat ke jemaat di Roma ini ditulis sekitar tahun 55 – 57 M, maka sebenarnya waktunya baru sekitar dua puluhan tahun saja. Namun ia sudah berkata, “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang.” Istilah siang di sini jelas berarti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Ini juga yang dimaksudkan dalam kalimat "Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita daripada waktu kita menjadi percaya." Meski kenyataannya bahwa Yesus tidak datang pada masa itu dan bahkan masa kini, hal itu tidak berarti bahwa hal yang disampaikan Paulus tidak benar atau bohong. Kita melihatnya dari dua sisi: pertama, Paulus merindukan secara pribadi kedatangan Yesus kembali dan ingin melihat Tuhannya itu kembali saat ia masih hidup, dan itu harus menjadi sikap kita sebagai orang Kristen. Setiap orang Kristen harus mengatakan sebagaimana Doa Bapa Kami: “datanglah kerajaan-Mu” dan “jadilah kehendak-Mu”. Faktor kedua, Rasul Paulus mengambil istilah malam dalam nas ini berarti masa saat itu adalah masa yang sangat jahat ketika semakin banyak orang melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan, dan hal itu sangat mengganggu hatinya untuk secepatnya berlalu.

 

Hal yang cukup menarik dari firman ini adalah kasih dihubungkan dengan perbuatan kegelapan. Kita juga heran dengan daftar yang dibuat oleh Rasul Paulus yakni perselisihan dan kecemburuan disejajarkan dengan dosa-dosa yang nyata-nyata berat, seperti pesta pora, mabuk, dan kemerosotan moral seksual. Hal ini tidak mengherankan sebagaimana Tuhan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit, Rasul Paulus juga menekankan sikap dan perbuatan sama pentingnya, dan kecendrungan yang membuat seseorang jatuh lebih dalam lebih baik dicegah dikorbankan sumbernya. Mata yang membuat dosa maka mata bila perlu dicungkil atau tangan yang menyesatkan lebih baik dipotong (Mat 5:29-30). Maka dalam hal ini sama seperti kebencian bisa mengarah pada pembunuhan, kecemburuan juga dapat menuju perselisihan dan nafsu untuk perzinahan, sehingga dosa itu disejajarkan dengan yang berat. Pokok penting yang bisa kita tangkap dari firman ini adalah, ketika Tuhan Yesus kembali, Dia ingin agar murid-murid hidup di dalam kasih dan menanggalkan kegelapan. Mereka yang hidup terlepas dari kasih akan masuk dalam kegelapan dan membuat jauh dari kekudusan. Kasih, sebaliknya, membuat seseorang tetap dalam terang dan berjalan di dalam kekudusan serta kekudusannya di bagian luar sama dengan di dalam (hatinya).

 

Keempat: Tuhan Yesus sebagai perlengkapan senjata terang (ayat 12b-14)

Rasul Paulus memahami kehidupan di dunia yakni dalam melawan kegelapan bukanlah hal yang mudah. Kelemahan tubuh dan daging dan kemampuan iblis menggoda membuat setiap manusia mudah terjerat dan tidak lepas dari kegelapan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa untuk melawannya tidak cukup dengan kemampuan roh manusia dengan keterbatasan emosional dan pikiran, sehingga perlu kekuatan dari luar dirinya. Dalam suratnya kepada jemaat Korintus ia mengatakan, "Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng" (2Kor 10:3-4). Dalam surat kepada jemaat di Efesus, ia kemudian menuliskan, "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; .... Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri. Senjata Allah yang disebutkan adalah:  berdiri tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kaki berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;  mempergunakan perisai iman untuk memadamkan semua panah api dari si jahat; menerima ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dan bertekun dalam segala doa dan permohonan (Ef 6:11-17).

 

Bagaimana kita mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang? Pertama, hendaklah kita dipersatukan dengan Kristus melalui baptisan, seperti dikatakan firman, "Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus" (Gal 3:27). Ini memperlihatkan tanda kebersamaan kita seperti umat Kristen lainnya dalam kematian, penguburan, dan kebangkitan Yesus Kristus. Kedua, kita bertekun di dalam pengetahuan dan pemahaman firman. Firman bukanlah semata-mata kata-kata, melainkan memiliki kuasa untuk merubah hidup kita. Ketiga, kuasa Roh Kudus yang kita miliki melalui pengakuan iman dan baptisan serta di dalam firman yang hidup, kita berusaha terus menerus meneladani kualitas Yesus di dalam kehidupan kita di dunia ini, yakni di dalam kasih, kerendahan hati, kebenaran dan pelayanan. Artinya, kita berusaha melakukan peran (role-play) yang sama seperti yang dilakukan Kristus dahulu pada situasi kita saat ini (Ef 4:24-32; Kol 3:10-17). Orang Kristen sekarang diminta menjadi "anak-anak siang" yakni sifat dan perbuatan yang sesuai dengan dekatnya Kerajaan Allah (Ef 5:14; 1Tes 5:6, 10; Yak 5:8; 1Yoh 2:18)

 

Dengan perlengkapan senjata terang di dalam Kristus, maka kita tidak mudah mengikuti keinginan nafsu dalam setiap kesempatan untuk membawa kita ke dalam dosa. Namun ada hal yang perlu kita perhatikan dalam nas ini yakni bahwa pemakaian senjata terang itu hanya akan efektip bekerja terus menerus apabila kita terlebih dahulu meninggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan. Artinya, ada roh pertobatan dan kerinduan dalam hati seseorang untuk datang kembali kepada Tuhan yang mendahului pemakaian senjata terang tersebut. Senjata terang hanya akan bekerja efektip apabila senjata itu berada di tangan yang percaya dan terang di dalam Kristus, sebab apabila tidak setia, maka senjata itu tidak akan efektip pemakaiannya. Ketaatan dan komitmen orang percaya adalah bukti kasih kepada Allah. Bilamana masih kuat hasrat yakni emosi dan motivasi untuk menyenangkan tubuh dan daging dan merawatnya sebagaimana diingatkan melalui firman ini, maka pembaharuan dan penyucian tidak akan berhasil. Keinginan ke dalam kegelapan akan membuka pintu memuaskan keinginan dosa. Oleh karena itu kita tetap dalam sikap waspada (band. Luk 12:35; Mat 24:42-44).

 

Penutup

Kehendak Allah yang disampaikan Rasul Paulus bagi orang percaya adalah pikirannya harus terus menerus dibaharui dan ini perlu diingat dan dilakukan dengan benar. Kasih Allah yang sudah diberikan kepada kita berupa penebusan dan keselamatan harus kita kembalikan dengan mengasihi Allah dan khususnya diwujudkan kepada sesama manusia. Untuk itu pelaksanaan kasih tidak boleh berpura-pura dan menarik keuntungan dari kasih yang diberikan. Pemahaman kasih ini sangat penting sebab kasih adalah kegenapan hukum Taurat dan menjadi hukum utama di dalam kehidupan orang percaya. Untuk dapat mewujudkan kasih dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu meninggalkan dunia lama yakni menanggalkan segala kegelapan, sehingga kasih yang kita lakukan tersebut benar-benar adalah tulus dan bagian dari kasih kita kepada Allah. Kita harus memberi garis pemisah antara kebenaran dan kejahatan, antara hidup lama dengan hidup baru. Hal ini perlu dilakukan segera dan saat ini sebab waktunya sudah sempit yakni akan datangnya Tuhan Yesus kembali. Maka melalui komitmen yang sudah ada, kita memerlukan senjata-senjata agar tidak terperosok lagi di dunia kegelapan itu. Oleh karenanya, senjata-senjata terang yang paling ampuh dan efektip adalah yang bersumber dari Kristus. Mari kita renungkan: Bagaimana kasih nyata di dalam hidupku? Apakah kasihku berpura-pura, tertunda dan kudus? Apakah aku memakai senjata terang dari Kristus?

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

(Dipersiapkan oleh Pdt. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min, Wakil Sekretaris Umum Badan Pengurus Sinode GKSI dari berbagai sumber dan renungan pribadi. Catatan untuk hamba Tuhan yang menyampaikan firman, menjadi lebih baik jika pada setiap penyampaian bagian khotbah diusahakan ada contoh atau ilustrasi nyata dari kehidupan sehari-hari, dan juga diselingi humor yang relevan. Ilustrasi dapat diambil dari pengalaman pribadi, orang lain, sejarah tokoh, peristiwa hangat saat ini atau lainnya, sementara contoh untuk humor dapat diakses melalui internet dengan mengetik kata kunci yang terkait didahului kata humor atau joke).

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 715 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7404908
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
48023
61324
157674
7204198
439770
1386923
7404908

IP Anda: 172.70.92.137
2024-11-21 19:44

Login Form