Tuesday, December 03, 2024

Khotbah Minggu Kesembilanbelas setelah Pentakosta - 8 Oktober 2023 (Opsi 2)

Khotbah Minggu Kesembilanbelas setelah Pentakosta - 8 Oktober 2023 (Opsi 2)

 

 MENGENAL DIA DAN MENJADI SERUPA DENGAN DIA (Flp. 3:4b-14)

 

 

Bacaan lainnya: Kel. 20:1-4, 7-9, 12-20 atau Yes. 5:1-7; Mzm. 19 atau Mzm. 80:7-15; Mat. 21:33-46

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Apakah kita sudah utuh mengenal Kristus? Apakah kita sudah puas dengan pengenalan tentang Pribadi-Nya dan kuasa-Nya? Salah satu bahaya orang percaya adalah merasa telah mengenal dengan baik dan berhenti untuk mencari kebenaran yang lebih dalam akan Pribadi-Nya. Adalah benar bahwa kita telah dibenarkan karena iman dan itu hanya merupakan awal dari kebenaran penuh mengenai hubungan kita dengan-Nya. Apabila kita telah merasa puas mengenal-Nya, maka itu menjadi sebuah kemandekan dan menjadi sebuah bahaya, sebab gangguan yang lebih besar dapat terjadi dan pengetahuan kita menjadi terbatas khususnya dalam pengalaman bersama Dia. Melalui nas minggu ini kita diberi pengajaran tentang bagaimana mengenal Dia dan menjadi serupa dengan Dia.

 

 

 

Pertama: Percaya bukan pada hal-hal lahiriah (ayat 4b-6)

 

Sekilas, Rasul Paulus seolah-olah ingin menyombongkan diri dengan semua latar belakang dan prestasinya. Ia menjelaskan khususnya kepada umat non-Yahudi bahwa dirinya adalah orang yang istimewa dan sempurna secara lahiriah sebagai orang Yahudi tulen. Ia dari bangsa Israel (2Kor. 11:22), orang Ibrani asli yang artinya tidak tercampur dengan suku lain, disunat pada hari kedelapan (Luk. 1:59), dan orang Farisi yang berpendirian orthodok terhadap hukum Taurat. Ia dari keturunan suku Benyamin (Rm. 11:1), garis silsilah yang dianggap istimewa bagi orang Yahudi, sebab dari suku ini lahirnya Raja Israel pertama yakni Saul (1Sam. 10:20-24). Suku Benyamin dan Yehuda adalah suku yang kembali dari pembuangan dan merasa tetap murni (Ezr. 4:1). Rasul Paulus termasuk golongan kaum Farisi (Kis. 23:6), suku Yahudi yang dianggap paling religius dan saleh serta paling teliti dalam aturan-aturan hukum Musa yang begitu banyaknya. Mereka sangat ketat dalam pengamalan hukum taurat, adat-istiadat, ritual legalistik dan mengutamakan moralitas. Ia juga memiliki beberapa keistimewaan lainnya, seperti pendidikan yang bagus dan kewarganegaraan (untuk keunggulan lainnya lihat di 2Kor. 11; Gal. 1:13-24).

 

 

 

Begitu pula sebagai pemimpin Yahudi yang ortodok, Paulus sangat bersemangat menganiaya jemaat Kristen (Kis. 8:3). Ia bahkan mengejar umat Kristen hingga keluar Yerusalem untuk dapat dibunuh. Sepikiran dengan pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang telah mapan, mereka melihat Kekristenan sebagai kegiatan sesat. Mereka melihat Yesus tidak seperti gambaran Mesias yang diharapkan, sehingga ucapan-Nya menyamakan diri-Nya dengan Allah dinilai sebagai tindakan menghina Allah. Ini dianggap sebagai kejahatan. Kesaksian Yesus bagi mereka dianggap palsu. Kemampuan-Nya membuat mukjizat dianggap bersumber dari kuasa jahat dan bukan karena Ia adalah Allah yang menjadi manusia. Di lain pihak, mereka juga melihat Kekristenan sebagai ancaman politik, yang dapat mengganggu hubungan yang baik antara pemimpin Yahudi dengan pemerintah Romawi. Banyak hal yang selama ini telah mereka nikmati dengan saling memanfaatkan dan menguntungkan bagi kedua belah pihak, itu dapat terganggu dan merugikan pemimpin Yahudi. Namun kemudian, Rasul Paulus menyadari kalau semua yang dia lakukan sebelumnya adalah salah, pengabdian kepada Allah berdasar Taurat yang ditafsirkan secara salah.

 

 

 

Tetapi kalau dilihat lebih dalam isi suratnya, ia sebenarnya ingin menekankan bahwa pencapaian manusia - betapa pun hebatnya, tidak memiliki arti dalam memperoleh keselamatan dari Allah dan kehidupan kekal. Ia menekankan perubahan statusnya menjadi orang percaya pada Kristus bukanlah atas apa yang dia capai (Kis. 9), melainkan anugerah Allah semata. Ia tidak menonjolkan keistimewaan yang dimilikinya sebagai hal khusus yang menyenangkan hati Tuhan, sebab dalam pandangannya itu ternyata sia-sia. Hal yang paling hebatpun dari seluruh keistimewaan dan prestasinya, sangat jauh dari standar kekudusan Allah. Rasul Paulus juga mengingatkan kesombongan Yahudi sebagai keturunan Abraham dan membuat mereka puas diri. Ia tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah tersebut, sebagaimana dikatakan Tuhan Yesus, “…Allah dapat menjadikan anak-anak Abraham dari batu-batu ini” (Mat. 3:9). Pertanyaan bagi kita: apakah kekristenan kita tergantung kepada kedudukan ayah/kakek kita, denominasi dan jabatan gerejawi, dan merasa sudah menjadi orang baik dan benar di hadapan Allah? Apakah kita menjadi manusia palsu dengan bermegah dalam persekutuan dan ibadah dengan menonjokan hal-hal lahiriah, seperti kekayaan, jabatan, atau hal lainnya? Semua tidak berguna. Kelebihan dan keistimewaan melalui pencapaian, reputasi, tidak dapat menghasilkan keselamatan, sebab keselamatan hanya datang dari iman kepada Yesus Kristus.

 

 

 

Kedua: Masa lalu milik masa lalu (ayat 7-9)

 

Sama seperti kecenderungan banyak orang, Rasul Paulus mengungkapkan hal yang sudah dia capai dalam hidupnya. Sejumlah kehebatan dan keistimewaan yang dicapainya dapat dianggap sebuah nilai dan memiliki harga. Itulah sebabnya Rasul Paulus berbicara tentang keuntungan dalam nas ini. Ia merasakan pencapaian, martabat dan kesuksesannya memiliki nilai dan harga. Namun ketika ia merasakan dirinya telah diselamatkan oleh Yesus, maka ia menganggap semua kelebihan dan pencapaiannya itu sebagai "sampah", dibanding dengan nilai yang dia dapatkan ketika menerima Kristus. Dia menganggap semua yang lalu itu tidak hanya sebagai kerugian, melainkan juga “keuntungan” yang dirampas dari yang seharusnya ia dapat peroleh sejak dahulu (band. Mat. 13:44-46). Namun ia tidak menyesalinya, karena baginya masa lalu adalah masa lalu, the past belongs to the past. Oleh karena itu kita perlu berhati-hati dalam menilai prestasi masa lalu yang dianggap penting yang dapat mempengaruhi hubungan kita dengan Kristus. Menunda mengenal Kristus jelas salah, apalagi demi memprioritaskan yang lain sia-sia. Tidak satupun dari perbuatan baik, ketaatan pada hukum-hukum legalistik, pengembangan diri, disiplin, atau upaya badani lainnya yang dapat membuat kita benar di hadapan Allah. Kita tetap manusia berdosa yang tidak layak masuk dalam kerajaan-Nya yang kudus. Pembenaran hanya datang dari Allah dan kelayakan untuk masuk ke hadirat-Nya hanya melalui percaya kepada Kristus, sebab Kristus Yesus telah menggantikan dosa-dosa dan kelemahan kita dengan kebenaran yang utuh (2Kor. 5:21).

 

 

 

Melalui nas ini juga diperbandingkan kebenaran manusia melalui ketaatan pada hukum Taurat dan perbuatan baik, dengan kebenaran melalui iman karena kepercayaan kepada Kristus yang merupakan anugerah Allah (Ef. 2:8). Hal yang diyakini Paulus adalah semua itu bukan kebenarannya sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan (Gal. 2:16; Rm. 3:21). Dengan kata lain, Rasul Paulus mengatakan kepercayaan itu sebenarnya adalah karunia iman yang diberikan Allah (1Kor. 12:9), bukan karena latar belakang atau prestasi. Tak seorang pun benar karena usahanya sendiri. Untuk bisa memahami hal itu, kita perlu melakukan perubahan radikal dalam cara berpikir dan pola hidup keseharian. Seperti Rasul Paulus yang meninggalkan semua masa lalunya, yakni keluarga, teman-teman, dan kebebasannya untuk dapat berada dalam Dia. Dengan cara itu ia berusaha mengalahkan pandangan umat Yahudi yakni dasar yang salah tentang kebanggaan mereka sebelumnya tentang keturunan Abraham dan hal yang mereka telah capai. Hal yang penting supaya memperoleh Kristus ialah bersedia dan terbuka menerima panggilan-Nya. Dengan menerima panggilan-Nya, mengenal-Nya, kemudian berada di dalam Dia melalui persekutuan yang menghasilkan kebenaran sejati sebagai karunia Allah (Flp. 1:10-11; 1Kor. 1:30). Semua hal yang dapat mengganggu proses pengenalan itu harus dibuang.

 

 

 

Kita bisa mendapatkan jalan untuk pengetahuan ini dan kuasa-Nya, namun kita harus rela berkorban untuk dapat menikmatinya dengan penuh. Apa yang bisa kita berikan dari hidup kita saat ini untuk dapat menerima dan lebih mengenal Kristus? Tapi apapun itu, mengenal Kristus lebih berharga dari semua pengorbanan itu (Yoh 17:3; Ef 4:13). Menyisihkan waktu dari semua kesibukan beberapa menit untuk dapat berdoa dan belajar firman? Atau beberapa dari semua rencana dan kesenangan pribadi? Pertanyaannya: Apakah kita siap mengubah drastis nilai-nilai yang kita miliki saat ini untuk bisa mengenal-Nya dengan lebih baik? Apakah kita bersedia menetapkan atau mengatur kembali jadwal tertentu di tengah-tengah kesibukan yang ada agar dapat menyisihkan beberapa menit setiap hari untuk bersekutu dengan-Nya dan belajar firman? Apakah kita mengubah rencana, sasaran, dan keinginan agar sesuai dengan hidup Kristus yang kita pelajari? Atau, perlu persetujuan teman atau keluarga? Apapun yang kita rubah dan serahkan, memiliki Kristus dan berada menjadi satu dengan Dia merupakan hal yang lebih berharga dibanding persembahan yang kita berikan. 

 

 

 

Ketiga: Mengenal Dia dan menjadi serupa dengan Dia (ayat 10-11)

 

Apakah kita mengenal Kristus dengan baik dan mengenal kuasa-Nya? Mengenal Kristus secara pribadi dan juga mengetahui Pribadi-Nya seperti yang dinyatakan dalam Alkitab, seyogianya menjadi tujuan akhir hidup kita. Berikut beberapa pedoman untuk kita bisa mengenal-Nya dengan baik:

 

  1. Dengarkan Firman-Nya melalui khotbah di gereja, radio, TV lainnya;
  2. Pelajarilah kehidupan Kristus dalam Injil. Lihat bagaimana Yesus menjalani kehidupan dan memberi respon terhadap yang lain (Mat. 11:29);
  3. Pelajarilah seluruh referensi bacaan yang berhubungan dengan pelayanan Kristus di dalam perjanjian baru (Kol. 1:15-2:15);
  4. Berusahalah membaca Alkitab dari kitab Kejadian hingga Wahyu. Alkitab bahasa Indonesia sehari-hari lebih baik mencernanya;
  5. Bertekunlah dalam doa dan menyembah-Nya, biarkan dan ikuti Roh Kudus mengulang kembali perkataan-perkataan Kristus (Yoh. 14:26);
  6. Beri respon atas segala pemberian-Nya dengan iman dan ketaatan penuh;
  7. Ambillah bagian dalam misi Kristus seperti pelayanan kasih atau memberitakan Injil, dan teladanilah pengorbanan dan penderitaan-Nya (Mat. 28:19; Flp. 3:10).

 

 

 

Rasul Paulus mengatakan bahwa tujuannya adalah mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya. Dengan mengenal kedua hal ini, ia berkeinginan menjadi serupa dengan Dia. Ada orang yang mengenal Yesus dalam pengertian hafal dan tahu riwayat hidup Yesus dan bahkan mengetahui segala mukjizat-Nya. Namun kalau sebatas menghafal seperti itu, pengenalan Pribadi dan khususnya kuasa kebangkitan-Nya belum terlaksana. Segala pengetahuan dan teori hanya menjadi efektif ketika kita mengalaminya secara pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita sudah mengalami mukjizat Yesus? Apakah kita sudah melihat hidup kita saat ini adalah sebuah mukjizat? Mengalami kuasa kebangkitan-Nya berarti memahami diri sendiri yang sudah lepas dari kuasa dosa, terus dalam proses pembaharuan budi, dan bersaksi atas karya Allah dalam hidup kita (Rm. 6:4; Ef. 2:5-6). Kuasa yang perkasa ini akan menolong kita untuk membaharui kehidupan rohani dan hidup yang baru, dan menjadi serupa dengan Yesus serta pikiran Kristus ada di dalam diri kita. Menjadi serupa berarti tetap taat, menyangkal diri dan menyalibkan manusia lama, menyebarkan kasih, mengambil bagian dalam penderitaan Kristus yakni kerelaan berkorban (Kis. 9:16; Rm. 6:5-6; 2Kor. 4:10; Kol. 1:24; 1Pet. 4:13).

 

 

 

Ketika kita bersatu dengan Kristus dan percaya kepada-Nya, hal yang lebih utama adalah kita mengalami kuasa kebangkitan-Nya dari kematian. Sebagaimana Yesus telah bangkit dari kematian, maka kita pun kelak dibangkitkan dari kematian sebab kuasa itu tetap ada pada Yesus. Sama seperti Kristus ditinggikan setelah kebangkitkan-Nya, kita juga menerima kemuliaan Kristus di suatu hari kelak (Why. 20:5 ,6; 22:1-7). Untuk kita dapat masuk ke dalam kehidupan kekekalan, kita harus terlebih dahulu mati dalam perbuatan dosa. Kita tidak dapat mengetahui kemenangan kebangkitan tanpa menerapkan penyaliban dosa-dosa pribadi. Sama seperti kebangkitan memberi kita kuasa Kristus untuk hidup di dalam Dia, penyaliban-Nya juga merupakan tanda kematian dari sifat-sifat keberdosaan kita. Ketika Rasul Paulus menuliskan, "supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati", sama sekali tidak memperlihatkan ketidakpastian atau keraguan. Sebagai orang yang di penjara, Rasul Paulus tahu bahwa ia akan mati segera, namun tidak merasa pasti bagaimana dan kapan saatnya ia akan bertemu dengan Tuhan: apakah dengan jalan hukuman mati atau kematian yang alami. Tetapi ia memiliki iman yang akan dibangkitkan dari antara orang mati dan kembali hidup (Ef. 1:18-20). Dia tidak ragu tentang dibangkitkan, tetapi pencapaiannya merupakan kuasa Allah dan bukan oleh dirinya.

 

 

 

Keempat: Mengejar kesempurnaan keselamatan (ayat 12-14)

 

Paulus memiliki alasan untuk melupakan yang di belakangnya saat ia masih bernama Saulus - ia yang memegang jubah Stefanus martir pertama Kristen (Kis. 7:57, 58). Dirinya menerima anugerah ketika "ditangkap" oleh Kristus dalam perjalanan ke Damsyik (Kis. 9). Ia ditangkap bukan karena kehebatannya, tapi dipilih seperti hewan yang ditangkap pemburu. Mungkin kita melakukan sesuatu di masa lalu yang membuat kita malu, dan saat ini hidup di dalam tarikan sebelumnya, dan tidak berkuasa hendak kemana kita pergi untuk berubah. Oleh karena pengharapan kita adalah Kristus, bagaimanapun, kita boleh melupakan semua kesalahan yang lalu dan melihat ke depan yang menjadi kehendak Allah. Jangan terjebak dalam masa lalu. Tetapi, tetaplah bertumbuh dalam pengenalan Kristus dan berkonsentrasi pada hubungan pribadi dengan-Nya. Yakin dan sadarlah bahwa kita sudah diampuni dan mulailah hidup dengan iman dan ketaatan. Lihat ke depan pada kehidupan yang penuh, sebab pengharapan kita ada dalam Kristus. Sebagaimana Rasul Paulus ingin berlari dalam perlombaan dengan memusatkan pikiran dan mengerahkan segala daya untuk dapat mengejar kesempurnaan dalam pengenalan itu (band. 1Kor. 9:24; Ibr. 12:1) maka demikianlah juga kita diminta fokus sungguh-sungguh mencapai sasaran.

 

 

 

Dalam persekutuan dengan Tuhan, ada tiga tahapan kesempurnaan yang terjadi:

 

1.      Kesempurnaan dalam hubungan: kita menjadi sempurna sebab kesatuan kekal kita dengan Kristus yang kekal sempurna. Ketika kita menjadi anak-anak-Nya, kita dinyatakan “Tidak Bersalah” dan dibenarkan, sebab Kristus Anak Allah telah menebus kita dengan lunas. Kesempurnaan yang dimiliki adalah mutlak dan tidak terubahkan, dan dengan hubungan yang sempurna memberikan jaminan bahwa suatu saat kelak kita akan sempurna penuh (band. Kol. 2:8-10; Ibr. 10:8-14)

 

2.      Kesempurnaan dalam pertumbuhan: Kita bertumbuh dan dewasa secara rohani jika kita sepenuhnya percaya kepada-Nya, terus berupaya mengenal Dia, menjadi dekat dengan-Nya, dan taat kepada-Nya. Ini berbeda dengan kesempurnaan dalam hubungan yang bersifat permanen. Pertumbuhan kita sesuatu yang dinamis dan berubah sesuai dengan perjalanan hidup, dan setiap hari kita semakin dewasa karena pertumbuhan itu. Kita semakin cepat dewasa apabila kita masuk ke dalam penderitaan-Nya. Perbuatan baik tidak membuat kita lebih sempurna, melainkan Allah-lah yang menyempurnakan sebab kita menderita oleh karena Dia.

 

3.      Kesempurnaan penuh. Ketika Kristus datang kembali (K4) membawa kita ke dalam kerajaan-Nya yang penuh, kita dimuliakan dan dijadikan sempurna seutuhnya (band. 1Kor. 13:10; Flp. 3:20, 21).

 

 

 

Setiap tahapan kesempurnaan ini diikat dengan dasar iman kepada Kristus dan semua yang telah Ia lakukan bagi kita, bukan karena hal yang kita lakukan. Kita tidak dapat menyempurnakan diri sendiri, sebab hanya Tuhan yang dapat melakukan-Nya di dalam diri kita sampai kelak Ia datang kembali.

 

 

 

Dalam kehidupan selalu banyak tantangan yang dapat menghalangi hubungan dan arah kita berjalan dengan Kristus (band. Mrk. 4:19; Luk. 8:14; 9:62; 17:32). Namun sebesar apapun itu, yang terbaik adalah mengarahkan hidup kita ke depan yakni panggilan sorgawi dan ini yang menyerap semua tenaga Paulus. Ini merupakan contoh bagi kita. Kita tidak boleh membiarkan mata kita jauh dari tujuan itu yakni kemuliaan sorga. Dengan tetap fokus sebagaimana seorang atlit dalam latihan, kita juga harus mengenyampingkan setiap hal yang dapat merusak atau mengganggu kita untuk menjadi serupa dengan Dia (1Tim. 6:12). Bersikaplah seperti Paulus, yang menyatakan dirinya belum sempurna dan pengenalan tuntas akan Kristus. Ia sadar telah ditangkap. Tapi ia terus mengejar kesempurnaan. Telitilah hal yang membuat kita tidak maju. Kita pun seharusnya menilai hubungan kita dengan Kristus lebih penting dibanding dengan yang lain, dan kedekatan dengan Kristus dijadikan tujuan tertinggi hidup kita.  Mari jadikan kerinduan kita terbesar mengenal Kristus dan mengalami persekutuan pribadi yang akrab dengan Dia. Itulah wujud anak-anak Tuhan sejati yang rindu mahkota sorgawi (2Tim. 4:8; Why. 2:10).

 

 

 

Penutup

 

Setiap orang memiliki latar belakang dan perjalanan hidup yang berbeda. Banyak orang berasal dari keturunan atau keluarga yang dianggap hebat dan memiliki tempat khusus di dalam pergaulan masyarakat. Demikian pula banyak orang yang merasa telah banyak melakukan perbuatan baik sehingga menganggap dirinya layak mendapatkan upah di kekekalan nantinya. Namun melalui nas minggu ini firman Allah mengajarkan agar kita tidak percaya pada hal-hal lahiriah dan keturunan yang menjadikan kita istimewa di hadapan Allah. Demikian juga dengan segala perbuatan dan prestasi tanpa dasar iman kepada Kristus, itu semua adalah sia-sia. Rasul Paulus menekankan bahwa semua masa lalunya yang dianggap penuh dengan keistimewaan dan prestasi itu dianggapnya sebagai sampah. Ia melupakan masa lalunya yang dianggap kelam dan juga tidak berharga. Tujuan hidupnya berubah menjadi lebih mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya, sebab dengan pengenalan yang lebih itu akan membawanya menjadi serupa dengan Dia. Itu tidak berlebihan sebab pengenalan Kristus tidak dapat berhenti dan terus berlangsung. Itulah yang kita kejar dalam hidup yakni: kesempurnaan dalam keselamatan melalui kesempurnaan dalam hubungan, kesempurnaan dalam pertumbuhan dan kesempurnaan penuh saat kita bertemu muka dengan muka dengan-Nya.

 

 

Selamat melayani dan selamat beribadah.

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 710 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8028535
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
593
80866
179820
7546890
179820
883577
8028535

IP Anda: 162.158.189.32
2024-12-04 00:12

Login Form