Khotbah Minggu Kedelapanbelas setelah Pentakosta - 1 Oktober 2023 (Opsi 2)
Khotbah Minggu XVIII setelah Pentakosta - 1 Oktober 2023 (Opsi 2)
MENGANGGAP YANG LAIN LEBIH UTAMA (Flp. 2:1-13)
Bacaan lainnya: Kel. 17:1-7; atau Yeh. 18:1-4, 25-32; Mzm. 78:1-4, 12-16 atau Mzm. 25:1-9; Mat. 21:23-32
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari prinsip umum yang mudah diterima ialah: berkawan lebih baik daripada bermusuhan, dan bersama-sama lebih baik daripada sendiri. Keakraban dan kesatuan yang didasarkan latar belakang dan tujuan yang sama, minat yang sama, seharusnya membuat hidup lebih indah dan setiap rintangan dan tantangan menjadi lebih mudah dilampaui. Akan tetapi hal yang seharusnya mudah itu sering menjadi sulit, ternyata banyak orang (termasuk orang percaya) lebih memilih bermusuhan atau memilih terasing dari persekutuan atau kelompok. Tidak dapat disangkal bahwa kecenderungan manusia untuk menonjolkan diri dan mengharapkan pujian, merupakan dorongan kodrati yang melekat dengan ego masing-masing. Pendorong semua itu adalah egoisme dan tidak adanya keinginan merendahkan diri dengan menerima orang atau pandangan lain yang berbeda. Melalui nas bacaan kita minggu ini, firman Tuhan melalui Rasul Paulus menekankan lahirnya sukacita karena melihat saudara seiman hidup dalam kesatuan, kesehatian, sepikir dan satu kasih. Inilah yang dicoba disampaikan Rasul Paulus sebagai pengajaran sebagai berikut.
Pertama: Sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan (ayat 1-4)
Pada awal suratnya di pasal 1, Rasul Paulus menjelaskan dengan lengkap perihal pentingnya ungkapan dan sikap rasa syukur, doa, pengorbanan dan perjuangan di dalam menjalani kehidupan. Tujuan semua itu dikatakannya, "sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus" (Flp. 1:10). Filipi adalah kota kosmopolitan. Komposisi anggota jemaat menunjukkan keragaman yang tinggi dengan latar belakang yang berbeda dan juga bidang pekerjaannya. Kisah Para Rasul pasal 16 menggambarkan wajah keragaman yang membuat jemaat unik di masa itu, yakni di antara jemaat ada Lydia orang Yahudi pengusaha kaya dari Asia (Kis. 16:14); seorang budak perempuan yang mempunyai roh tenung, mungkin orang pribumi Yunani (Kis. 16:16-17); seorang sipir penjara yang melayani kekaisaran Romawi dan mungkin orang Roma (Kis. 16:25-36). Dengan begitu ragamnya latar belakang anggota jemaat maka ada potensi perbedaan yang tinggi dan mempertahankan kesatuan kadang lebih sulit. Egoisme dan mementingkan diri sendiri kerap menjadi sumber pertikaian, dan sulitnya mengabaikan jahatnya si Iblis membuat perpecahan gampang terjadi.
Hal itu mudah sekali tampak. Banyak orang – termasuk orang Kristen, berusaha membuat hidupnya berkesan baik bahkan hebat di mata orang lain, yang tujuannya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Hal itu dapat kita lihat dari hal sederhana yang saat ini sedang berkembang yakni kesukaan selfie (foto diri sendiri), bahkan sudah tersedia alat khusus seperti tongkat untuk “menyenangkan dan memuji diri sendiri” tersebut. Foto-foto ini kemudian diunduh di Facebook atau sebagai profile picture di HP. Semua itu wajar sepanjang tidak berlebihan dan malah menjadi “kerjaan” rutin yang sia-sia. Sikap seperti ini disebut narsis, meminta perhatian orang lain. Sebaliknya Rasul Paulus menekankan pentingnya kekuatan rohani, meminta jemaat Filipi tidak fokus pada diri sendiri melainkan memberi perhatian dan mengasihi satu sama lain dan menjadi satu dalam Roh. Ia juga meminta agar jemaat sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Ambisi yang egoistis atau kesombongan yang sia-sia tidak akan membuahkan apa-apa. Padahal, ketika kita bekerjasama, sebenarnya kita peduli terhadap persoalan orang lain dan membuat persoalan orang lain menjadi persoalan kita bersama. Oleh karenanya, janganlah terlalu pusing mengurusi soal kesan baik dan dipuji melulu untuk kemegahan sendiri dan mengabaikan kasih di antara keluarga jemaat Allah (Rm. 12:10).
Ambisi yang egoistis tidak dikenal dalam kehidupan Kristiani. Egoisme dapat merusak, tetapi kerendahan hati yang tulus akan membangun jemaat. Memberi waktu dan perhatian kepada orang lain jelas panggilan utama bagi pengikut Kristus. Setiap orang harus siap berkorban dalam satu Roh untuk bersekutu dan saling mendukung. Alkitab berkata sifat rendah hati mengekresikan prespektif yang benar akan diri kita (Rm. 12:3). Rendah hati bukan berarti menempatkan diri kita di bawah dan bukan pula memberi hormat berlebihan kepada orang lain. Kita menempatkan kepentingan diri sendiri ke belakang dan memperlakukan orang lain penuh hormat dengan sopan santun yang lazim. Menganggap kepentingan orang lain lebih utama dari pada diri kita menghubungkan kita dengan Kristus yang telah memberi keteladanan dalam kerendahan hati (Flp. 2:3). Di hadapan Tuhan, kita adalah orang-orang berdosa, diselamatkan oleh anugerah-Nya, yang berarti kita diselamatkan karena kita semua berharga di dalam Kerajaan Allah. Rasul Paulus mendorong kita agar melawan egoisme, prasangka, cemburu yang membawa perselisihan dan perpecahan (Rm. 15:5). Memperlihatkan kepentingan orang lain yang tulus adalah langkah positif dalam menjaga kesatuan di antara jemaat. Sikap menganggap yang lain lebih utama menyatukan dan bukan kepentingan sendiri atau puji-pujian bagi diri sendiri yang sia-sia (Gal. 5:26). Roh Allah mampu bekerja bagi siapa saja yang bersedia memberikan dirinya sebagai agen pembawa damai sejahtera (Mat. 5:9; 2Kor. 13:13-dab; Kol. 3:12).
Kedua: Mengosongkan diri untuk merendahkan diri (ayat 5-8)
Yesus Kristus adalah Pribadi yang rendah hati, bersedia mengorbankan diri-Nya demi mematuhi keinginan Allah Bapa dan melayani manusia (Yoh. 17:4). Ia miskin supaya kita menjadi kaya (2Kor. 8:9). Inkarnasi adalah tindakan pre-eksistensi Anak Allah yakni Yesus yang rela menjadi manusia dan memiliki sifat-sifat manusia. Ia sudah ada sejak awal (Yoh. 1:1; 8:58; Kol. 1:15-17). Dia tidak meninggalkan ke-Allahan-Nya dengan menjadi manusia tetapi menyampingkan hak-Nya yang penuh kuasa dan dimuliakan (Ibr. 5:8). Untuk menggenapkan tujuan sesuai rencana-Nya, kesetaraan dengan Allah itu tidak dianggap sebagai harga yang harus dipertahankan (dalam ayat 6 dan 7 nas ini dipakai kata morphe untuk menjelaskan rupa yang menunjukkan suatu ungkapan permanen tentang sifat-sifat hakiki, sedangkan dalam ayat 8 dipakai kata schema yang lebih mengacu pada penampilan lahiriah yang bisa berubah-ubah). Hal yang membuat kemanusiaan-Nya unik adalah Ia bebas dari dosa. Di dalam kesejatian-Nya sebagai manusia, Yesus memperlihatkan kepada kita tentang karakter Allah yang dapat dimengerti dan dimaknai oleh manusia (untuk memahami inkarnasi lebih lanjut dapat membaca Yoh. 1:1-14; Rm. 1:2-5; 2Kor. 8:9; 1Tim. 3:16; Ibr 2:14; 1Yoh. 1:1-3). Yesus sebagai Anak Allah mengosongkan diri-Nya. Mengosongkan diri berarti membuat diri sendiri tidak sama sebagaimana adanya, seperti kita berbicara kepada anak kecil maka untuk lebih efektifnya komunikasi, kita juga harus bersikap seperti anak kecil, meski hal itu tidak menghilangkan diri kita sebagai orang dewasa. Dengan pengosongan diri-Nya itulah pengorbanan diberikan dan itu yang membuat terwujudnya keselamatan bagi kita semua orang percaya. Sikap pengosongan diri itu pula yang diminta dari kita untuk lebih mampu mewujudkan kasih kepada orang lain.
Pengosongan diri Yesus menghilangkan hak dan keistimewaan juga kerelaan menerima penderitaan, penganiayaan dan kematian yang terkutuk di salib. Mati di kayu salib adalah bentuk hukuman yang dilakukan oleh pemerintahan Romawi bagi penjahat berat. Penyaliban itu sungguh luar biasa menyakitkan dan merendahkan martabat. Seorang tahanan yang dipaku dan diikat di kayu salib biasanya dibiarkan sampai mati. Kadang kala kematian tidak datang cepat, perlu beberapa hari, dan kematian datang ketika berat tubuh yang melemah membuat semakin sulit untuk bernapas. Yesus menerima mati seperti itu sebagai lambang kutukan (Gal. 3:13). Sungguh mengherankan, manusia yang sempurna harus mati dengan cara yang memalukan agar kita tidak menghadapi penghukuman yang kekal. Yesus dari Nazaret telah menempatkan diri-Nya sesuai dengan tempat, waktu, dan keterbatasan manusiawi lainnya. Sikap kerendahan hati Yesus ini berarti mengabaikan diri sendiri dan membuatnya tidak berarti, dan di luar dirinya lebih penting dan rela untuk berkorban. Kepentingan diri sendiri merupakan hal terakhir. Keteladanan dari kerendahan hati Yesus ini memberi pelajaran penting bagi kita, sekaligus memberi peringatan bahwa kita adalah manusia berdosa, memiliki kelemahan diri, tidak layak untuk berbangga (Mat. 11:29; Luk. 18:9-14; Yak. 4:6).
Memang, acapkali manusia berusaha membenarkan atau memberi maaf atas sikap buruk yang dimilikinya, seperti egoisme, kebanggaan, atau kejahatan lainnya; bahkan mengklaim hal itu adalah haknya. Mereka berpikir, "Saya boleh berbuat curang dalam ujian ini, setelah ini kan saya tidak di kelas ini lagi"; atau, "Saya boleh dong membelanjakan semua uang saya sebab saya sudah bekerja keras untuk itu"; atau, "Saya boleh melakukan aborsi, saya kan berhak mengatur tubuh saya sendiri." Akan tetapi sebagai orang percaya kita harus memiliki perilaku yang berbeda, yang mampu mengenyampingkan kepentingan kita sendiri untuk melayani dan memberi contoh bagi yang lain. Jika kita mengatakan mengikut Kristus, kita juga harus mengatakan kita hidup sama seperti Dia. Pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus harus ada dalam diri kita. Kita perlu ingat, kitalah yang memilih perilaku kita sendiri. Semua dapat dilihat, dicermati, dievaluasi dan bahkan diubah. Pilihannya, kita dapat menjalani kehidupan ini dengan berharap terus dilayani, atau kita mencari kesempatan untuk melayani orang lain. Inilah yang ditegaskan-Nya dengan berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28; Mrk. 10:45). Apakah kita bersikap egois dengan terus melekatkan hak-hak kita, atau kita ingin melayani orang lain? Apakah kita hanya mencari puji-pujian yang sia-sia, terus mengurusi kepentingan diri sendiri dan melupakan kepentingan orang lain?
Ketiga: Segala yang ada bertekuk lutut dalam nama Yesus (ayat 9-11)
Ayat nas ini kemungkinan berasal dari lagu-lagu pujian di masa awal gereja. Pesannya paralel dengan nubuat dan penderitaan hamba dalam Yes. 53. Sebagai lagu pujian, maka pernyataan itu tidak berarti harus lengkap penggambaran tentang sifat dan pekerjaan Kristus. Beberapa karakteristik utama Yesus Kristus dipuja dalam pujian ini, yakni Yesus Kristus selalu ada bersama Allah sebab Kristus adalah sama dengan Allah dan Dia adalah Allah (band. Yoh. 1:1-dab; Kol. 1:15-19). Ia menjadi manusia mengorbankan hak keilahian dan keistimewaan-Nya untuk menggenapi rencana keselamatan dari Allah bagi seluruh manusia; dan Kristus tidak hanya menampakkan diri sebagai manusia, tetapi Ia menjadi manusia sejati untuk mengidentifikasi tanpa dosa. Semua itu dilakukan-Nya oleh kasih untuk Bapa-Nya dan untuk kita manusia yang mau bertobat dari segala dosa-dosa kita. Dalam kemanusiaan-Nya, Yesus mengalami penderitaan yang demikian hebat dan bahkan sampai meminta agar cawan penderitaan itu berlalu dari-Nya dengan memohon, “Ya Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu! (Mat. 26:39, 42). Oleh karena ketaatan-Nya, Allah memuliakan-Nya dengan membangkitkan Yesus dari kubur dan mengembalikan kedudukan-Nya di sebelah kanan Allah Bapa, dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama dan digelar sebagai TUHAN, Kurios, nama Allah dalam Perjanjian Lama yang menurut pengertian Ibrani menunjuk kepada kedudukan dan kemuliaan (Kis. 2:36; Rm. 14:11; band. Yes. 45:23). Allah yang mengangkat-Nya ke sorga kemudian menunjuk Yesus berkuasa selamanya dengan menjadi Hakim bagi manusia (Ef. 1:21; Ibr. 1:4; Kis. 10:42; 17:31).
Perjanjian Lama menggambarkan Musa dan Salomo sebagai hakim-hakim yang penuh hikmat, di samping beberapa hakim-hakim pada masa sebelum raja-raja. Ini sama seperti hakim Artidjo Alkostar di Mahkamah Agung RI yang dianggap hakim "adil", memahami rasa keadilan rakyat dengan menghukum berat para koruptor bila mereka kasasi. Namun mereka semua adalah hakim di dunia. Sebagian bukti atau fakta mungkin tersembunyi dan tidak terungkap, sehingga bisa muncul rasa tidak adil. Ini berbeda dengan pengadilan akhir, sebab semua fakta terbuka. Yesus adalah Allah Mahatahu sehingga pertimbangan-Nya pasti adil. Oleh karena itu pada pengadilan akhir zaman, semua orang termasuk yang dihukum akan mengaku kekuasaan Yesus dan hak-Nya untuk memutuskan. Bukan hanya orang Kristen yang percaya, melainkan juga mereka yang tidak percaya atau menyangkal-Nya. Dengan kedudukan yang demikian diberikan Allah kepada Yesus, maka semua makhluk yang ada di bumi, di langit di atas, dan yang ada di bawah bumi akan bertekuk lutut untuk menyembah Dia (pengertian alam semesta raya pada saat itu terbagi atas tiga wilayah: bumi, langit sebagai atas bumi dan bawah bumi tempat yang gelap - band Kis. 5:3, 13). Dengan kedudukan yang demikian, Alkitab mengatakan bahwa ibadah agung universal akan dipersembahkan kelak kepada Yesus sebagai Tuhan (Why. 5:13; 15:3-4).
Bagi kita orang percaya, Yesus Kristus adalah Tuhan yang merupakan pokok pengakuan iman (Yoh. 13:13; Rm. 10:9; 1Kor. 12:3). Pembangkitan adalah karya unggul dari kuasa Allah (Rm. 1:4-dab). Manusia dapat memilih untuk mengaku Yesus sebagai Tuhan saat ini sebagai langkah komitmen kasih kepada-Nya, atau kita ”dipaksa” untuk mengakui Dia adalah Tuhan saat kembali-Nya kelak? Kristus dapat kembali setiap saat. Apakah kita sudah siap untuk bertemu dengan-Nya? Apakah kita bisa mempertanggungjawabkan tugas misi yang diberikan kepada kita sebagai utusan-Nya di lingkungan kita terdekat? Pengakuan lidah kita yang “mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah” merupakan sikap yang bersedia menjadi milik Tuhan untuk menjadi hamba yang berguna dan berbuah. Kita berbuah agar segala lidah mengaku Yesus adalah Tuhan. Kalau kita merasa belum berbuah selama ini atau belum maksimal, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan kepada sesama orang percaya (Mzm. 8:5-6; Yoh. 15:1-16). Semua yang kita lakukan adalah pekerjaan hamba dan tidak layak kita banggakan, sebab seperti dikatakan, “bagi kemuliaan Allah”. Kalau kita bermegah harus bermegah di dalam Allah (Rm. 7:18; Gal. 6:3; 2Kor. 10:17). Inilah dasarnya kita perlu memuji Kristus dan mengaku Ia adalah Tuhan dan menyerahkan hidup kita untuk melayaninya (Kol. 2:6).
Keempat: Allah yang mengerjakan kemauan maupun pekerjaan (ayat 12-13)
Alkitab mengatakan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia dan bukan karena hasil usaha kita sendiri (Ef. 2:8). Artinya, anugerah keselamatan yang kita terima bukan karena prestasi dan amal usaha kebaikan yang kita lakukan, melainkan karena iman kepada Tuhan Yesus (Rm. 10:9-10). Dengan adanya iman tersebut maka kita menjadi milik-Nya. Jadi sederhananya, keselamatan bukan karena perbuatan baik, tapi karena iman, dan iman itu yang mengharuskan adanya perbuatan baik. Perbuatan baik saja tidak cukup, sebab dua hal yang penting: pertama, manusia selalu berdosa (dan dosa hanya dapat dihilangkan dengan iman dan pengampunan). Kedua, perbuatan baik mendorong manusia untuk bermegah (sementara iman mendorong terus untuk ketergantungan). Kita menerima keselamatan juga bukan hanya di akhir zaman atau di masa pengadilan, melainkan telah menerima keselamatan itu pada masa lalu ketika kita menerima baptisan kudus dan pengakuan percaya. Kita juga menerima keselamatan itu di masa kini dengan bersikap penuh percaya kepada Tuhan tentang perjalanan hidup kita, dan kita tetap mengerjakan keselamatan dengan bergantung kepada-Nya. Dan terakhir, kita akan menerima kegenapan keselamatan itu nanti pada akhir zaman bersama-sama dengan orang percaya lainnya.
Mengerjakan keselamatan itu perlu dilakukan dengan merasa takut dan gentar (Yes. 66:2; Ams. 3:7; 8:13). Takut dan gentar dalam hal ini maksudnya adalah bersungguh-sungguh. Takut dan gentar membuat kita malah tidak bersungguh-sungguh dan optimal. Rasa takut bersumber dari dua sisi yakni sisi di luar diri sendiri dan sisi dari dalam diri sendiri. Dari luar diri sendiri, ada yang melihat dunia dan kehidupan ini begitu menakutkan, bukan saja oleh sulitnya hidup karena persaingan dan kelangkaan, tetapi juga oleh meningkatnya kekerasan, penyakit, risiko dan perusakan lingkungan (band. Luk. 12:4-5). Dari dalam diri sendiri sering muncul pemikiran bahwa kita adalah orang yang tidak mampu, lemah dan tidak bisa meningkatkan diri. Seolah ada bisikan menerima saja apa adanya dan tidak perlu berusaha keras meningkatkan diri. Sikap ini jelas dari iblis yang merongrong diri kita dan mengabaikan peran dan kuasa Allah dalam hidup orang percaya. Kemampuan manusia memang terbatas, meski manusia sendiri tidak tahu batasnya. Bidang kehidupan manusia demikian luasnya untuk tempat bersekutu dan mengabdi. Kelemahan dalam satu sisi (misalnya, kecerdasan) dapat ditutupi dengan kekuatan emosi dan spiritual, demikian juga sebaliknya. Kelemahan fisik dapat ditutupi dengan kemauan dan latihan seperti dunia melihat “kehebatan” Stephen Hawking, terlepas dari karya-karyanya yang kontroversial yang menihilkan peran Allah.
Semua itu dapat terjadi bila kita melakukannya dengan penuh ketaatan dan sikap hormat kepada Allah (2Kor. 7:15; Kol. 3:22). Betul, kita selamat bukan oleh ketaatan. Ketaatan dan keselamatan dalam hal ini berhubungan dengan sikap tunduk dan patuh pada panggilan Tuhan untuk menunaikan tugas dan memelihara hidup kudus. Kita harus memiliki karakter melayani, dengan penuh kasih kepada Allah dan sesama, mengembangkan perilaku rendah hati saat melayani, dan bukan mencari puji-pujian atas usaha yang kita lakukan. Semua itu dapat terjadi, sebab Allah yang mengerjakan kemauan maupun kerelaan kehendak-Nya pada setiap orang (Ef. 1:5). Jadi, terwujudnya ketaatan yang kita berikan pun bukan hasil perjuangan kekuatan diri kita, melainkan oleh kuasa Roh Allah yang tinggal di dalam hati orang percaya yang memampukan hal itu (Rm. 8:14-17; Ibr. 13:21). Tindakan ketaatan adalah hasil mengikuti karya Roh di dalam diri kita yang bekerja mendorong roh kita sebagai manusia. Dalam hal ini bila semua berjalan dengan kesadaran penuh dari hikmat dan perenungan pribadi, maka untuk melakukannya kita tidak memerlukan pengawasan orang lain. Ini yang diminta oleh firman Tuhan, ketika Paulus tidak bersama dengan mereka, jemaat tersebut terus berusaha mengekpresikan kesatuan. Semua orang diminta menjadi "kawan sekerja Allah" (1Kor. 3:9) untuk menyempurnakan keselamatan yang kita miliki saat ini dan kelak di sorga.
Penutup
Kehidupan persekutuan Kristen semestinya berjalan bagaikan lingkaran spiral yang terus naik ke atas, bergerak menapak jalan yang lebih tinggi dan bukan kemunduran mengecil atau pengulangan yang sia-sia. Dalam jemaat yang beraneka ragam keanggotaannya, dengan berbagai latar belakang dan motivasi, memang tidak mudah untuk menciptakan kesatuan. Demikianlah yang terjadi pada jemaat Filipi pada masa awal-awal gereja. Mereka cenderung untuk menonjolkan egoisme masing-masing dan keinginan mencari puji-pujian yang sia-sia dan ini yang menjadi benih pemecah kesatuan mereka. Padahal sebagai jemaat yang dipanggil dalam pelayanan, kesatuan dalam sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan merupakan hal yang pokok sebagai pondasi pelayanan. Kita diberi pelajaran dan teladan oleh Tuhan Yesus dengan mengosongkan diri sebagai kunci untuk bersatu, dan kesatuan itu membuat nama Tuhan Yesus menjulang tinggi di atas segala nama. Dengan meninggikan Yesus, maka segala yang ada di alam semesta ini akan bertekuk lutut dalam nama-Nya, sebab Dialah yang menjadi Hakim segala bangsa. Tugas panggilan untuk meninggikan itu juga ada pada kita orang percaya. Melalui iman dan respon setiap orang, Allah mengerjakan kemauan maupun pekerjaan di dalam hidup kita bagi kemuliaan nama-Nya. Semangat Kristus adalah melayani dan kita telah dilayani-Nya. Apakah semangat melayani Dia sudah ada dalam hidup kita? Mari kita berdoa agar Roh Kudus bekerja dalam hidup kita dan memampukan kita melakukannya menjadi berkat bagi segala bangsa.
Selamat melayani dan beribadah.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu 8 Desember 2024 - Minggu Adven IIKhotbah Minggu 8 Desember 2024 – Minggu Adven II KEBENARAN...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu 8 Desember 2024 - Minggu Adven IIKhotbah (2) Minggu 8 Desember 2024 – Minggu Adven II PEMURNIAN...Read More...
-
Kabar dari Bukit, Minggu 1 Desember 2024Kabar dari Bukit MENYEGARKAN DAN MEMPERBARUI PERJANJIAN (Mzm....Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 745 guests and no members online