Thursday, November 21, 2024

Khotbah 1 Minggu Kesepuluh setelah Pentakosta - 6 Agustus 2023

KHOTBAH 1 MINGGU X SETELAH PENTA KOSTA – 6 Agustus 2023

 

 

ALLAH YANG HARUS DIPUJI SELAMA-LAMANYA (Rm. 9:1-5)

 

 Bacaan lainnya: Kej. 32:22-31 atau Yes. 55:1-5; Mzm. 17:1-7, 15 atau Mzm. 145:8-9, 14-21; Mat. 14:13-21

 

 

 

Pendahuluan

 

Menurut banyak penafsir, Rasul Paulus dalam kitab Roma menyelesaikan pokok bahasan pertama dan diuraikan pasal 1 - 8. Sementara pasal 9-11 menguraikan suatu pokok baru, yang tidak berkaitan dengan pasal 1-8. Mereka berkata, Paulus melanjutkan surat ini bukan untuk memperkembangkan pokok sebelumnya, tetapi untuk menyatakan beban hatinya mengenai keadaan rohani bangsa Israel, bangsanya sendiri. Menurut pengertian mereka, pasal 9-11 hanya merupakan sisipan saja, sehingga bisa dianggap Surat Roma tidak memiliki kesatuan. Tetapi kalau kita percaya bahwa Surat Roma merupakan ilham dari Allah dengan bentuk yang sempurna, maka kita menolak pendapat tersebut, dan kita mengamati Surat Roma untuk mengerti susunannya.

 

 

 

Pertama: Kebenaran Kristus dan suara hati (ayat 1)

 

Seringkali orang mengatakan bahwa hal yang dia putuskan berdasarkan hati nuraninya, dengan pengertian sudah menjadi jaminan kebenaran dan ketulusan. Dalam Alkitab bahasa Yunani hati nurani disebut dengan suneidesis (dalam bahasa Inggris conscience), yang Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah, seperti nas ini memakai istilah “suara hati” yang maksudnya sama dengan hati nurani atau hati yang tulus (band. Kej 20:5-6). Maka pertanyaannya adalah: apa itu hati nurani atau suara hati? Hati nurani dapat diartikan sebagai “alat” yang membedakan antara hal yang secara moral baik dan buruk, mendorong untuk melakukan yang baik dan menghindari yang buruk; memuji yang pertama dan mengutuk yang lain. Dalam pengertian sederhananya “kesadaran akan sesuatu yang diyakininya benar.” Jadi ini merupakan buah proses justifikasi atau penghakiman oleh diri sendiri terhadap kebenaran atau kebaikan sesuatu, berupa standar atau sensitivitas moral atau resistensi (keberatan-keberatan) terhadap sesuatu. Hati nurani sendiri tidak secara otomatis sama dengan keinginan atau kehendak Allah, sebab manusia dengan standar moral yang dimilikinya akan memutuskan hal yang baik atau jahat sesuai dengan pemahaman dan kedekatannya dengan Allah. Jadi, kalau standar moralnya salah, maka keputusan yang diambilnya pasti juga salah, meski kadang keputusannya bisa dipengaruhi oleh faktor atau pengaruh lingkungan sesaat. Ini sama dengan yang dikatakan oleh Amsal Salomo: "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut" (Ams. 14:12; 16:25). Dalam hal ini dapat dikatakan hati nurani merupakan hasil sebuah proses antara kehendak hati mencari yang baik dan benar dengan kemampuan akal pikiran tentang hal yang benar.

 

 

 

Kata nurani sendiri berasal dari bahasa Arab yang akar katanya adalah nur= cahaya, sehingga hati nurani seolah-olah selalu diterangi cahaya. Kesalahan manusia dalam mengerti dan berpikiran kehendak nuraninya sama dengan "kehendak Allah" juga pernah dilakukan oleh Rasul Paulus, ketika ia masih bernama Saulus dengan berpikir bahwa mengejar dan menganiaya orang-orang Kristen adalah sama dengan melayani Allah (Kis. 22:5; 26:9; band. 10:28). Demikian juga bapa-bapa gereja ketika menghukum mati para pemikir-pemikir atau teolog yang saat itu dianggap berbeda dengan aliran pemikiran gereja, jelas merupakan tindakan yang salah, meski mereka mengatakan bahwa itu adalah kehendak Tuhan. Jadi bisa saja seseorang mengatakan bahwa keputusan hati nuraninya sudah hasil doa atau penerangan Roh Kudus, namun sebetulnya yang terjadi adalah keinginan hati atau ambisi-ambisi pribadi yang terselubung yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Untuk mengukur  hati nurani yang di dalam penerangan Roh Kudus, bisa dilihat dari beberapa ukuran kebenaran, seperti adanya kasih, adanya semangat pengampunan, adanya pemberian kesempatan bertobat, bebas dari niat penghukuman khususnya hukuman fisik dengan kekerasan. Tanpa itu maka dapat dikatakan yang terjadi sebenarnya adalah hasil pikiran dan kehendak manusia melalui "hati nurani" yang tidak lagi suci dan murni. Oleh karena itu hati nurani membutuhkan penerangan Ilahi dalam pengujian tersebut. Bagaimanapun juga, proses penilaian seseorang sangat tergantung pada pemahaman dan kesadaran akan fakta, pengetahuan dan akal sehat. Proses hati nurani yang bersih dan baik yang sesuai dengan kehendak Roh Kudus akan terwujud lebih efektif dengan rajin membaca firman Tuhan, rendah hati, dan selalu disertai doa serta pergumulan yang panjang. Dengan proses tersebut hati nurani akan lebih terasah dan lebih sesuai dengan kehendak Allah. Dalam nas ini, Rasul Paulus yang sudah bertobat memahami semua itu dan berani mengatakan bahwa hal yang dikatakannya adalah kebenaran dalam Kristus dan ia tidak berdusta (band. Gal. 1:20; 1Tim. 2:7).

 

 

 

Allah dapat bekerja di dalam suara hati manusia tanpa harus lewat firman yang tertulis, meski kita akui firman yang tertulis dapat mengajar, memperbaiki kelakuan dan mendidik dalam kebenaran (2Tim. 3:16). Sebagaimana dijelaskan dalam Rm. 2:13-15 yang mengatakan, "Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.” Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka meski mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela." Jadi jelas dari nas itu bahwa Allah tetap bisa bekerja langsung melalui hati nurani seseorang meski yang bersangkutan tidak memahami atau mengenal firman tertulis. Hal ini terjadi sebab Allah mengendalikan seluruh kehidupan manusia tanpa terkecuali dan tidak terbatas. Situasi ini akan berbeda dan khusus, ketika seseorang yang telah mengenal Yesus dan mengetahui firman Allah yang tertulis, maka ia perlu terus mengembangkan, memahami, bertumbuh, sehingga hati nuraninya semakin murni bebas dari kepentingan pribadi (band. 1Pet. 3:16). Apabila tidak melakukannya, dan ia mengikuti lebih keinginan hatinya, maka Tuhan pasti akan menghukumnya.

 

 

 

Kedua: Tanggung jawab bagi sesama saudara (ayat 2-3)

 

Perasaan duka dapat dialami oleh hati seorang anak yang masuk Kristen tetapi kemudian keluarga menolaknya. Pilihan yang menjadi sukacita baginya sebab ia menerima berkat dan anugerah keselamatan, menyisakan hal yang menyedihkan, mengingat keluarganya belum diselamatkan. Perasaan inilah yang dialami Paulus, yang tetap merasa ia adalah keturunan Israel secara daging; hatinya bergolak memperlihatkan keprihatinan atas kerohanian saudara-saudaranya orang Israel sebagai teman sebangsa secara jasmani. Kesedihan hatinya diungkapkan dengan mengatakan ia bersedia dikutuk dan terpisah dari Kristus demi orang Yahudi, agar mereka dapat diselamatkan (band. Rm. 10:1; 11:14; 1Kor. 9:22; lihat juga ratapan Yesus dalam Rm. 3:24-25). Paulus telah mengimani bahwa Yesus Kristus-lah satu-satunya jalan keselamatan. Ia juga mengetahui bahwa Yesus telah memberikan nyawa-Nya untuk berkorban bagi keselamatan orang lain, sehingga ia pun rela berkorban bagi saudara-saudaranya orang Israel. Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Nabi Musa ketika orang Israel membuat anak lembu tuangan melawan Allah: "kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu -- dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kau tulis" (Kel. 32:32).

 

 

 

Rasul Paulus mengungkapkan pada pasal sebelumnya bahwa tidak ada yang dapat memisahkan anak-anak-Nya dari kasih Allah. Pertanyaan di dalam hati Paulus adalah: umat Israel adalah umat yang mendapat tempat khusus di hati Allah dan dipilih sejak awal untuk menjadi anak sulung dan anak kesayangan-Nya, namun ketika Yesus Kristus Anak Allah datang, yang juga keturunan Israel melalui kedagingan Yusuf dan Maria (band. Mat. 1), mengapa mereka harus menolaknya dan bahkan membunuhnya? Bukankah ini menjadi suatu pertanyaan dan dapat menimbulkan keraguan terhadap kasih Allah yang selalu setia? Bahkan dalam ayat berikutnya ia pun bertanya: Apakah Allah tidak adil (ayat 14)? Yang kemudian dijawabnya: Mustahil! Firman Allah tidak mungkin gagal (ayat 6a). Hatinya dihiburkan bahwa bagaimana pun, tidak semua orang Israel menolaknya, bahkan ada yang menjadi murid-murid setia-Nya. Dalam hal ini Paulus mulai memahami bagaimana pilihan atas umat Israel sebagai bangsa sedikit berbeda dengan pilihan sebagai individu-individu. Kepedulian ini yang membuat Paulus mengabdikan hidupnya dalam pekabaran Injil ke seluruh dunia, meski ia tahu bahwa tugasnya lebih kepada orang-orang bukan Israel, namun untuk tetap bisa memanggil bangsa Yahudi berdasarkan kecemburuan (Rm. 11:13-14).

 

 

 

Pertanyaannya: sejauh mana kita peduli dengan keselamatan orang lain? Sejauh mana kita terbeban ketika kita tahu masih banyak yang belum mengenal kasih Kristus? Sejauh mana kita peduli akan keselamatan saudara-saudara kita dalam satu lingkungan, satu daerah, satu suku, satu bangsa, sampai mereka mengenal Kristus dan menerimanya sebagai Juruselamat hidup mereka? Sejauh mana kita juga bersedia berkorban dari sisi waktu, tenaga, pikiran, energi, kesenangan, pundi-pundi, bahkan keamanan diri demi untuk keselamatan saudara-saudara kita tersebut? Apakah kita ikut mendukung penyebaran berita Injil dan keselamatan bagi mereka? Kita tahu banyak warga yang harus meninggalkan Yesus untuk bisa sekolah seperti mereka di Mentawai, atau untuk bisa bekerja di Malaysia seperti yang dialami penduduk NTT. Pemilihan Presiden Indonesia baru saja selesai dan kita melihat hasil yang cukup menggembirakan, namun kita prihatin bahwa isu-isu agama di beberapa wilayah masih “efektif” untuk menjatuhkan seseorang dalam pemilihan tersebut. Ini menjadi tanggungjawab gereja-gereja untuk dapat membuat pembaharuan di wilayah tersebut sehingga masyarakat semakin dewasa dan bersikap lebih inklusif.

 

 

 

Ketiga: Bangsa Israel mendapat keistimewaan (ayat 4)

 

Allah menciptakan dunia ini dengan isinya serta alam semesta dengan maksud baik dan memberikan kepercayaan kepada manusia dengan mandat budaya (Kej. 1:28, 31). Manusia ditempatkan di Firdaus meski akhirnya jatuh ke dalam dosa dan kejahatan manusia semakin besar (Kej. 2; 3: 6). Allah kemudian menghukum manusia dan menyisakan keluarga Nuh dan sebuah kehidupan baru, dan Allah membuat perjanjian dengan Nuh (Kej. 7; 9). Tetapi penyebaran dan perkembangan manusia akhirnya membuat kecongkakan dan ingin menyamai Allah dengan membuat menara Babel dan Allah menghukum dengan membuat saling tidak mengerti sebab tidak satu bahasa (Kej. 10-11), sampai akhirnya Allah memanggil Abraham (Kej. 13). Dari garis keturunan Abraham lahirlah Isak dan Ismael dan dari Isak kemudian lahir Esau dan Yakub. Dari pemilihan Abraham hingga kemudian Allah memilih Isak (dibanding Ismael) dan memilih Yakub (dibanding Esau) sebagai anak kesayangan-Nya. Sangat jelas bahwa pemilihan adalah konsep yang sudah ada sejak awal, bahkan jauh sebelumnyanya sudah terjadi saat Allah lebih menerima persembahan Habel dibanding Kain.

 

 

 

Nama Yakub kemudian berganti menjadi Israel setelah melalui pergumulan dengan Allah dan keturunan Yakub kemudian dinyatakan sebagai bani Israel (Kej. 32:28; 33:20). Pola hidup keagamaan bagi Israel ini sebagian besar adalah menurut hukum Yahudi, sehingga istilah Yahudi lebih tepat dikatakan sebagai agama atau suku bangsa, meski awalnya Yahudi sendiri berasal dari nama bani Yehuda anak Yakub. Namun kemudian istilah Yehuda atau Yahudi menjadi umum bagi seluruh keturunan Yakub, dan kita ketahui keturunan Yakub kemudian ada juga yang beragama Kristen, Islam dan lainnya sesuai dengan berpencarnya umat Israel saat pembuangan dan diaspora pasca keruntuhan penyerbuan Nero. Israel sebagai nama Negara sendiri baru ada setelah zaman modern saat dideklarasikan pada tahun 1848, setelah kerinduan umat diaspora untuk kembali ke tanah asal mereka di “Kanaan”. Memang dalam pemakaian sehari-hari, kadang kala beberapa istilah ini bercampur meski kita tahu intinya adalah berbeda, sebab saat ini yang beragama Yahudi juga sudah ada yang tidak memiliki keturunan darah Yakub, melainkan hanya mengikut hukum-hukum Yahudi berdasar baptisan proselit.

 

 

 

Memang menjadi misteri dan sangat susah dipahami mengapa Allah memilih keturunan Yakub menjadi bangsa/umat pilihan. Kalau melihat Kel. 19:6, Allah memilih Israel untuk menjadi kerajaan imam dan bangsa yang kudus bagi-Nya, meski dengan syarat pada ayat 5 dikatakan mereka harus sungguh-sungguh mendengarkan firman-Nya dan berpegang pada perjanjian yang telah dilakukan dengan Abraham, Isak dan Yakub. Dengan demikian rencana Allah bagi bangsa Israel tetap berdasarkan kasih-Nya kepada umat manusia dengan menjadikan bangsa itu sebagai imam (Yes. 61; Mzm. 98:3), dalam arti sebagai pemimpin, teladan dan panutan bagi bangsa-bangsa lain dengan melayan bangsa-bangsa lain dengan tetap menjaga kekudusan mereka (Ul. 7:6). Tetapi ini telah gagal karena kedegilan hati mereka.

 

 

 

Keempat: Allah harus dipuja selama-lamanya (ayat 5)

 

Keistimewaan bangsa Israel yang dinyatakan dalam pasal 9:4-5 dapat menimbulkan empat kesan bagi kita. Pertama, jemaat Kristen berhutang budi kepada mereka. Kedua, ketidakpercayaan mereka kepada TuhanYesus sangat menyedihkan. Ketiga, status mereka sebagai umat pilihan Allah masih tetap berlangsung sepanjang ada pertobatan dan menerima Yesus sebagai Juruselamat dunia. Keempat, keadaan mereka di luar persekutuan dengan Tuhan Allah sangat sulit dipahami. Kita dipilih dan dibenarkan, bukan karena sesuatu yang baik dalam hati kita. Demikian juga Israel dipilih, dan akan dibenarkan, bukan karena sesuatu yang baik dalam mereka, tetapi karena kemurahan Tuhan Allah semata.

 

 

 

Pada ayat 4 dikatakan, “Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan ....” Menurut Cranfield, pemakaian kata “adalah” bersifat Present Tense dan ini menegaskan ayat ini masih berlak, mereka masih tetap umat pilihan Allah. Dalam ayat 5 dikatakan, mereka keturunan bapa-bapa leluhur (Rm. 11:28), menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia (Mat. 1:1-16; Rm. 1:3), tentu ini merupakan kedudukan istimewa. Sayangnya, segala keistimewaan itu tak membuat Israel percaya dan menyambut Mesias. Sebab itu, mereka harus menanggung hukuman. Mengapa demikian? Bukankah mereka juga percaya kepada Allah, meskipun tidak percaya Yesus sebagai Mesias?

 

 

 

Tuhan Yesus adalah penyataan yang lengkap tentang Allah. Kita tidak dapat sepenuhnya mengenal Allah bila dipisahkan dari Tuhan Yesus. Allah juga telah menunjuk Yesus untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Maka tidak ada jalan lain bagi manusia untuk datang kepada Allah, kecuali melalui Yesus. Seperti orang lain, orang Yahudi juga hanya dapat menemukan keselamatan melalui Yesus. Bila mereka menolak Kristus maka mereka akan menemui kebinasaan. Tidak adilkah Allah? Tidak, sebab Ia mengeraskan hati mereka yang memang sudah lebih dulu mengeraskan hati. Dari segi hak, semua manusia hanya berhak untuk menerima hukuman sebab semua telah berdosa. Jadi pemilihan adalah hak dan anugerah Allah yang patut disyukuri dengan takut dan gentar. Oleh karena itu Allah di dalam Yesus Kristus yang harus dipuji sampai selama-lamanya (Rm. 1:25; 2Kor. 11:31).

 

 

 

Penutup

 

Hati nurani adalah sebuah “alat” untuk mengetahui kemurnian dan ketulusan seseorang dalam menetapkan keinginan pribadi atau keinginan Allah. Hati nurani merupakan hasil sebuah proses antara kehendak hati mencari yang baik dan benar dengan kemampuan akal pikiran tentang hal yang benar. Dalam menetapkan sesuatu, pilihan kita adalah kasih dan itu diwujudkan dalam kepedulian kepada sesama. Ada perasaan terbeban melihat orang lain belum selamat sebagaimana Paulus melihat umat Yahudi. Memang menjadi misteri dan sangat susah dipahami mengapa Allah memilih keturunan Yakub menjadi bangsa/umat pilihan. Tetapi itu adalah rencana Allah berdasarkan kasih-Nya kepada umat manusia dengan menjadikan bangsa itu sebagai imam, tetapi gagal karena kedegilan hati mereka. Semua manusia berhak menerima hukuman sebab semua telah berdosa. Jadi pemilihan adalah hak dan anugerah Allah yang patut disyukuri dengan takut dan gentar. Oleh karena itu Allah di dalam Yesus Kristus yang harus dipuji sampai selama-lamanya.

 

 

Selamat beribadah dan melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 746 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7420028
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
4786
58357
172794
7204198
454890
1386923
7420028

IP Anda: 162.158.163.132
2024-11-22 01:46

Login Form