Khotbah 1 Minggu Keenam setelah Pentakosta - 9 Juli 2023
KHOTBAH 1 MINGGU VI SETELAH PENTA KOSTA – 9 Juli 2023
PERJUANGAN MELAWAN DOSA (Rm. 7:15-25a)
Bacaan lainnya: Kej. 24:34-38, 42-29, 58-67 atau Za. 9:9-12; Mzm. 45:10-17 atau Mzm. 145:8-14 atau Kis. 2:8-13; Rm. 7:15-25a; Mat. 11:16-19, 25-30
Pendahuluan
Nas minggu ini kembali mengulas kedudukan hukum Taurat sebagai bagian dari salah satu cara Allah membawa manusia untuk dapat menyenangkan hati-Nya, yang diturunkan saat bangsa Israel dalam perjalanan kembali ke tanah Kanaan melalui pimpinan nabi Musa. Dalam perjalanannya, manusia berusaha berjuang untuk mematuhi hukum tersebut dan dalam kenyataannya sejarah mencatat melalui berbagai pergumulan dalam sejarah Israel; manusia gagal mematuhi hukum Taurat. Allah tidak menginginkan manusia ciptaan-Nya menjadi binasa karena tidak seorang pun bisa selamat. Melalui nas minggu ini kita diberi pengajaran penting sebagai berikut.
Pertama: Kuasa dosa di dalam tubuh (ayat 15-17)
Ayat-ayat ini merupakan jeritan hati seseorang yang putus asa - menggambarkan pengalaman setiap orang percaya yang berjuang melawan dosa atau mencoba berusaha menyenangkan hati Allah dengan memelihara hukum-hukum dan aturan, tanpa bantuan pertolongan Roh Kudus. Hukum Taurat sendiri itu baik dan bersifat kudus, memperlihatkan sifat dan keinginan Allah terhadap manusia untuk menjadi kudus, yang menggambarkan rupa Allah. Tetapi dosa dan kuasanya telah mengelabui manusia dengan memutar balikkan aturan yang ada. Di dalam Taman Eden, ular menipu Hawa dengan menantang kebebasannya dan menyudutkannya di satu pembatasan yang Allah telah buat. Hawa digoda penipu licik dan berhasil. Bahkan setelah kejadian itupun, manusia terus memberontak terhadap Allah. Dosa memang bisa menjadi sesuatu yang menarik dan menantang, sebab Allah mengatakan hal itu adalah salah. Itu bisa kita lihat sederhananya dengan berpikir mangga curian lebih enak rasanya dibanding mangga yang dibeli di pasar. Namun perlu waspada, ketika kita digoda untuk berbuat dosa, kita perlu melihat hukum Taurat dan aturannya yang tertulis dengan sudut pandang yang lebih luas, yakni dari cahaya kebaikan dan anugerah Allah. Jika kita melihat kasih Allah Bapa yang demikian besar, kita akan mengerti bahwa Allah sebenarnya membatasi tindakan dan sikap kita yang tujuannya membuat kita jauh dari bahaya dan penderitaan.
Rasul Paulus berbagi tiga hal yang dipelajarinya dalam usahanya untuk mengendalikan keinginan berbuat dosa. Pertama, pengetahuan tentang hukum dan aturan bukanlah sebuah jawaban atau jaminan akan ketaatan. Kita tahu, banyak hakim, polisi, jaksa, pengacara, dan bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi RI pun akhirnya menjadi tersangka dan dihukum. Oleh karena itu, Rasul Paulus mengatakan ia merasa lebih nyaman apabila ia tidak mengerti apa yang diinginkan oleh hukum. Ia tahu hukum Taurat itu baik tapi ia sendiri tidak mampu melaksanakannya. Ketika kita mengetahui bahwa yang kita lakukan itu sebetulnya bukan yang kita kehendaki, maka seolah-olah kita membenarkan kuasa hukum Taurat itu. Justru sebaliknya, ketika ia belajar tentang kebenaran, ia tahu bahwa dirinya sudah diselamatkan. Kedua, keyakinan diri, berupa perjuangan sesuai kekuatan diri sendiri pasti tidak berhasil. Rasul Paulus menemukan dirinya berdosa dengan jalan yang sebenarnya tidak menarik hatinya, cara-cara yang bahkan tidak menarik baginya, bahkan membenci tindakan-tindakannya yang bertentangan dengan hukum itu (Rm. 7:15-20).
Tetapi dosa tetap dosa kalau sudah terjadi. Ketika dosa sudah terjadi maka sebenarnya dosa telah menjadi Penguasa atau Bos dalam kehidupan, meski kita tidak suka. Dalam hal inilah terjadi kebingungan dalam diri kita, sama seperti yang dirasakan Rasul Paulus. Ia merasa memiliki pribadi ganda: satu yang asli dengan keinginan baik dan batin yang ingin ketenangan, tetapi di lain pihak ada pribadi lain yakni pribadi palsu yang mengendalikan hidupnya. Ada sebuah kekuatan yang mengendalikan sisi hidupnya yang lain, yang sulit dikalahkan dan selalu membawa dia ke bagian yang tidak menyenangkan batinnya dan secara otomatis juga hati Allah. Dengan demikian ia berkata, bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. Dalam suratnya yang lain, Rasul Paulus mengkategorikan hal yang baik dan batin itu sebagai kekuatan roh, dan hal yang jahat itu adalah kekuatan daging. "Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki" (Gal. 5:17).
Kedua: Kehendak bebas untuk berbuat jahat (ayat 18-20)
Rasul Paulus merendah dengan mengatakan tidak ada sesuatu yang baik di dalam dirinya. Ia mengulangi kalimat-kalimat dalam ayat sebelumnya (15-17) sebagai penegasan bahwa hal itu benar dan merupakan pergumulan yang hebat baginya. Mungkin ia merasa bahwa hal baik yang dilakukannya pun tidak memuaskan dirinya; Ia merasa dirinya tidak berhasil melakukan yang terbaik bagi Tuhan yang telah memberinya begitu banyak. Ia merasa terlalu sedikit melakukan hal baik yang membuat batinnya bergejolak dalam ketidakpuasan. Ia juga merasa bahwa segala hal baik yang ia lakukan itu hanyalah sikap rasa syukur atas apa yang diperolehnya dari Tuhan, sehingga tidak layak untuk dibanggakan. Sementara itu ia merasa terlalu banyak melakukan hal yang jahat dan itu semua disadarinya, ada kuasa didalam dirinya beban yang terbawa-bawa sehingga membuat demikian.
Kita perlu melihat perihal yang disampaikannya pada pasal sebelumnya yakni tentang beban dosa yang diembannya. Beban dosa ini menurutnya merupakan "warisan" dari Adam yang sering disebut sebagai dosa asal atau dosa warisan. Tentang dosa asal ini kaum Palagianisme berpendapat bahwa dosa Adam tidak mempunyai pengaruh terhadap keturunannya. Jadi dosa Adam terputus hanya pada Adam saja. Kaum Arminianisme mengatakan bahwa dosa Adam telah mengakibatkan seluruh manusia mewarisi kecenderungan untuk berdosa, yang membuat kita memiliki “natur dosa.” Natur dosa ini terjadi secara alamiah yang menyebabkan kita berdosa sebagaimana halnya natur seekor kucing yang menyebabkannya mengeong. Sama seperti Palagianisme, menurut pandangan ini, kita tidak bertanggung jawab atas dosa Adam, tapi hanya dosa kita sendiri. Memang manusia tidak dapat menghilangkan kecenderungan dan berhenti berdosa dengan kemampuannya sendiri, oleh sebab itu Allah memberi suatu anugerah umum kepada semua orang yang memampukan kita untuk berhenti berdosa atau MENJADI orang yang tidak berdosa. Dalam Arminianisme, anugerah ini disebut anugerah asal. Namun sayangnya, pandangan anugerah asal sebenarnya tidak memiliki dasar alkitabiah. Sementara Yohanes Calvin berpendapat lain, bahwa dosa Adam bukan hanya mengakibatkan kita memiliki natur dosa, tetapi juga atas kesalahan kita di hadapan Allah, maka untuk itu kita patut dihukum. Oleh karena Adam telah ditemukan bersalah dan dia berdosa, maka dosa dan hukumannya (termasuk maut dan kematian) itu menjadi bagian kita juga (Rm. 5:12-19). Ada dua alasan menurut Calvin mengapa kesalahan Adam harus dilihat sebagai dosa kita juga. Alasan pertama menyatakan bahwa suku-suku bangsa adalah di dalam Adam dalam bentuk bibit; dengan demikian ketika Adam berdosa, kita berdosa di dalam dia. Alasan lainnya adalah bahwa Adam sebagai wakil kita dan karena itu ketika dia berdosa, kita juga dinyatakan bersalah.
Akan tetapi, bagaimana Allah dapat meminta kita bertanggung jawab untuk dosa yang kita tidak lakukan secara pribadi? Untuk ini ada sebuah penjelasan yang dapat diterima yaitu bahwa kita bertanggung jawab untuk dosa asal ketika kita memilih untuk menerima, dan bertindak menuruti natur kita yang berdosa. Ada satu titik dalam hidup ketika kita menjadi sadar terhadap keinginan berdosa diri kita sendiri. Pada saat itu kita harus menolak natur dosa yang ada dan bertobat. Sebaliknya, apabila kita “menyetujui” natur berdosa, mengikuti dan menikmati keberdosaan tersebut, maka kita sebenarnya menyatakan persetujuan dengan perbuatan Adam dan Hawa di Taman Eden; oleh karena itu kita bersalah atas dosa mereka tanpa ikut melakukannya. Bagian atau porsi kita dalam hal ini terjadi ketika kita menerima dosa sebagai bagian hidup kita, yakni saat pertama kali kita melakukan hal yang tidak sesuai dengan firman dan kehendak Allah. Inilah yang menjadi "beban" di dalam diri setiap orang, sehingga menurut Paulus, "bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku" (ayat 19-20).
Ketiga: Menjadi tawanan hukum dosa (ayat 21-23)
Menjadi manusia baru bukan sekedar mengambil momen iman sesaat, melainkan menjadi serupa dengan Yesus yang membutuhkan proses panjang dan seumur hidup. Untuk itu Rasul Paulus mencoba membandingkan pertumbuhan kerohanian Kristen seperti latihan pertandingan badani (1Kor. 9:24-27; 2Tim 4:7). Sebab itu dalam awal suratnya, Rasul Paulus menyatakan tidak satupun di dunia ini yang bebas dari dosa; tidak seorangpun yang layak diselamatkan, baik mereka yang hidup dalam aliran sinkritisme yang tidak mengenal Allah, maupun mereka yang mengetahui hukum dan mencoba memelihara hukum-hukum itu. Memang dalam hal ini Rasul Paulus memberi nilai pada hukum Taurat dengan menegaskan bahwa sesungguhnya ia suka dan merindukan apa yang baik dari hukum itu, meski mengakui bahwa tetap saja ia melakukan hal yang buruk dan jahat. Dengan kata lain, ia mengakui bahwa dosalah yang membuat seseorang menjadi jahat.
Memang ada tekanan yang besar pada pengalaman kehidupan kekristenan setiap hari. Sering terjadi konflik bathin antara kita setuju dengan perintah Allah, akan tetapi kita tidak dapat mengikutinya. Sebagai hasilnya, kita merasakan penderitaan yang besar karena pertentangan itu. Manusia lahiriah kita diperadukan dengan manusia batiniah yang dilengkapi oleh akal budi, sebagai wujud hukum Allah dalam pemahaman Paulus. Ini menjadi sebuah pertentangan batin yang setiap orang alami. Dalam hal ini Rasul Paulus memberi pelajaran menyikapi hal tersebut. Apabila kita merasa takluk dalam pertentangan batin itu, maka kembalilah pada dasar kehidupan kerohanian kita, yakni bagaimana dosa-dosa kita telah dibebaskan oleh hukum kasih karunia (band. 2Kor. 4:16). Ini bisa membebaskan dari rasa bersalah. Dalam hal ini kita yang sudah lahir baru, yang sudah menerima kasih karunia pembebasan dosa, perlu mengingat firman-Nya: "Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya" (Gal. 5:24).
Oleh karena itu jangan pernah menyepelekan kekuatan dosa. Jangan juga mencoba melawannya dengan kekuatan diri sendiri. Setan itu penggoda yang licik, dan sebaliknya kita manusia mempunyai kemampuan yang hebat dalam mencari pembenaran diri sendiri. Kita sangat ahli dalam memberi dalih dan alasan mengapa kita jatuh ke dalam dosa. Padahal, itu sebenarnya tanda-tanda kita telah menjadi tawanan dosa. Menjadi tawanan (hukum) dosa atau hamba dosa berarti ada benih-benih atau racun di dalam anggota-anggota tubuh kita. Ini menjadi sesuatu yang mudah berbiak menjadi dosa, yang memperlihatkan hakekat kesetiaan pada jalan lama yakni menyenangkan dan melayani kesenangan diri sendiri dibanding dengan menyenangkan hati Allah. Manusia lama kita yang masih suka dengan dan takluk dengan hukum dosa, itulah yang perlu berubah menjadi manusia baru yang menuruti akal budi yakni hukum Allah melalui kuasa Roh Kudus (band. Kol. 3:9-10; Gal. 5:17; 1Pet. 2:11).
Keempat: Yesus yang melepas kita dari dosa (ayat 24-25)
Inilah yang ingin dijelaskan firman Allah minggu ini melalui Rasul Paulus, yakni menjadi seorang Kristen tidak membuat kita terbebas dari dosa dan juga terlepas dari godaan serta ujian di dalam kehidupan pribadi kita. Perjuangan melawan dosa berlangsung terus menerus. Yang utama, daripada mencoba melawan dosa dengan kemampuan diri sendiri, lebih baik kita berpegang pada kuasa yang luar biasa dari Kristus yang disediakan bagi kita. Kuasa ini adalah penyediaan pemeliharaan Allah untuk menjamin kemenangan kita atas dosa, yakni dengan Ia memberi Roh Kudus untuk hidup di dalam diri kita dan memberi kita kekuatan. Dan ketika kita jatuh, kasih-Nya menggapai untuk menolong kita bangkit kembali.
Maka ketika kita merasakan kebingungan atau ditaklukkan oleh dosa, mari kita mengklaim pembebasan yang diberikan oleh Tuhan Yesus kepada kita. Kuasa-Nya dapat mengangkat kita pada kemenangan. Kita perlu sadar bahwa tubuh dan kedagingan kita memang menjadi ajang pertempuran oleh hukum dosa dan hukum Allah. Kita menjadi orang celaka dan terbelenggu dan bersalah ketika kita takluk, menjadi tidak berdaya dan melihat kesia-siaan. Akan tetapi, kita akan menjadi pemenang ketika kita berhasil melewati pergumulan itu, saat kita bersama Yesus Kristus. Kalaupun kita sesekali kalah, datanglah mengakui kelemahan diri kita dan akan diperdamaikan kembali. Kesadaran akan adanya dua "pribadi" dalam diri setiap orang, jangan membuat kita menjadi apatis. Kita tidak perlu berputus asa dengan situasi itu. Kita hanya perlu datang dengan penyesalan berat dan memohon pengampunan, memohon kekuatan baru untuk dapat tegak kembali (Rm. 8:11,13).
Bagi kita yang utama adalah memahami bahwa pengetahuan tentang hukum dosa tidak memiliki makna untuk mengubah menjadi pribadi yang baik dan berakal budi. Pengharapan selalu ada yakni di dalam Kristus, yang melepaskan kita dari tubuh maut ini, yakni tubuh yang tidak abadi, dan akan digantikan dengan tubuh kemuliaan di akhir zaman. Itulah ucapan syukur kita kepada-Nya. Semua kita pada akhirnya tergantung kepada karya Kristus untuk menyelamatkan kita dari kebinasaan maut. Kita tidak mendapatkan itu dari sikap kita yang baik saja, tetapi dari penyerahan diri sepenuhnya dalam hidup baru (Yoh. 3:3; 2Kor. 5:17). Sepanjang ada dorongan melaksanakan kehendak Allah, maka Allah terus berkuasa membawa hidup kita di jalan kebenaran, dan sejatinya itu pasti berbuah hal yang sangat disukakan oleh Allah.
Penutup
Nas minggu ini sungguh memberikan gambaran pergumulan hati seseorang tentang bagaimana kuasa dosa bekerja di dalam tubuh setiap orang. Ini merupakan pengalaman pribadi Rasul Paulus yang menjadi firman Tuhan. Kuasa itu dapat datang dari dosa asal atau dosa turunan yang merupakan kecenderungan berdosa atau bahkan merupakan bagian kita dari dosa kakek-nenek atau orang tua kita. Kecenderungan dosa yang mengikuti keinginan daging dan dunia juga mendorong setiap orang untuk melakukan hal yang jahat, meski itu bukan kehendaknya. Inilah situasi sebenarnya dan kita menjadi tawanan dosa, hamba dosa yang tidak bisa lagi melakukan hal yang (lebih) baik. Kita bersyukur, dengan kasih Allah yang demikian besar dan melalui anak-Nya Tuhan Yesus Kristus, kita mampu lepas dari perhambaan dan menjadi pemenang dalam perjuangan melawan dosa. Oleh sebab itu kita bersyukur dan berkata, terpujilah Tuhan yang Mahabaik.
Tuhan Yesus memberkati kita sekalian, amin
Pdt. (Em.) Ramles M. Silalahi
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu 24 November 2024 - Minggu XXVII Setelah PentakostaKhotbah Minggu 24 November 2024 - Minggu Kristus Raja - XXVII Setelah...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu 24 November 2024 - Minggu XXVII Setelah PentakostaKhotbah (2) Minggu 24 November 2024 - Minggu Kristus Raja - XXVII...Read More...
-
Kabar dari Bukit, Minggu 17 November 2024Kabar dari Bukit HUKUM DI DALAM HATI (Ibr. 10:11-25) ”Aku...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 775 guests and no members online