Saturday, November 23, 2024

Khotbah 1 Minggu III Paskah 23 April 2023

Khotbah 1 MINGGU III PASKAH

 DILAHIRKAN BUKAN DARI BENIH YANG FANA (1Pet. 1:17-23)

 Bacaan lainnya: Kis. 2:14a, 36-41; Mzm. 116:1-4, 12-19; Luk 24:13-35

 

Pendahuluan

Dalam masa minggu pasca kebangkitan Tuhan Yesus saat ini kita kembali diingatkan bahwa Ia mati untuk penebusan dosa-dosa agar kita tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal. Penebusan oleh Tuhan Yesus bukanlah penebusan yang murah melainkan dengan darah-Nya yang mahal dan murni tidak bercacat. Firman Tuhan melalui surat Rasul Petrus ini ditujukan kepada orang-orang miskin, sehingga penggunaan kata yang berhubungan dengan nilai dan harga agak menonjol. Keselamatan sebagai karunia penebusan harus dihargai tak terhingga, sehingga hidup orang percaya pasca kebangkitan Yesus harus tetap menjaga kekudusan. Orang percaya harus menganggap pembebasan dari dosa-dosa sebagai warisan sorgawi yang harus dipertahankan. Melalui bacaan nas minggu ini kita diberikan pokok pengajaran sebagai berikut.

 

Pertama: Sikap takut dan penebusan yang mahal (ayat 17-19)

Sikap takut yang berangkat dari rasa hormat (reverent fear) adalah sikap respek yang sehat dari orang percaya terhadap Allah. Allah adalah pencipta, penguasa, dan hakim bagi seluruh bumi dan isinya (Why. 14:7; 15:4), sehingga mau tidak mau kita tidak dapat bersikap acuh terhadap-Nya atau memperlakukan Dia dengan sembarangan. Hukum ketiga Taurat juga menyebutkan jangan menyebut nama Allah dengan sembarangan (Kel. 20:7). Alkitab mengatakan jangan takut kepada yang membunuh tubuh, tapi takutlah kepada yang dapat membunuh jiwa (Mat. 10:28). Kita tidak boleh beranggapan bahwa status istimewa kita sebagai anak-anak Allah memberi kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang kita kehendaki, tanpa tetap menaruh rasa takut dan hormat akan Dia. Tapi kita juga tidak perlu merasa harus tertekan akan sikap takut itu, melainkan hal itu kita lihat sebagai sikap sukacita ketergantungan seorang anak yang memperlihatkan kasih-Nya kepada Allah Bapa di sorga.

 

Perjanjian Lama dan sejarah pada umumnya memperlihatkan kekalahan manusia pada dosa dan ketakutan terhadap kematian. Kematian semata-mata dilihat sebagai sebuah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukan yang disertai dengan hukuman berupa penderitaan baik di masa kini maupun kelak di masa kekekalan. Betul, Allah akan menjadi hakim atas segala perbuatan manusia baik yang kelihatan maupun tersembunyi, baik ucapan dan tindakan, atau melalui motivasi dan tujuan mereka melakukannya. Namun ketidaktahuan mereka terhadap kasih Allah yang demikian besar dan pengajaran yang salah, membuat semua orang terus menerus dilanda rasa takut terhadap pengadilan itu, melihat Allah adalah Hakim yang siap mengganjar setiap orang akibat dosa-dosanya. Pengadilan seolah-olah sebuah proses yang gelap menakutkan. Pengajaran dan ritual penebusan dosa melalui upacara-upacara pemberian korban dan persembahan di era PL, tidak dapat membangun keyakinan iman, bahwa pada dasarnya Allah ingin menyelamatkan manusia secara permanen (band. Ibr. 10:4). Manusia terus merasa sendirian tanpa pertolongan dan akhirnya terjebak dalam kesalahan yang berulang dan jeratan yang kuat. Dalam keadaan ini, manusia sudah menjadi budak dari dosa dan rasa takutnya pada penghukuman dan kematian itu (Rm. 8:15).

 

Sistem sosial pada masa dahulu menjelaskan bahwa seorang budak boleh ditebus apabila seseorang membayar dengan uang yang cukup untuk membeli kebebasannya, atau mengganti dengan budak lain. Pemilik budak tidak mau rugi sebab hakekatnya budak tersebut dibeli, termasuk biaya-biaya dalam menanggung hidupnya. Oleh karena itu konsep penebusan menjadi konsep ganti diri. Allah menetapkan bahwa manusia perlu diselamatkan dari semua hal itu. Allah yang Mahakasih menganugerahkan Anak-Nya yang tunggal, yaitu Yesus, menjadi manusia untuk tebusan bagi semua orang (Yoh. 3:16). Kita tidak dapat membebaskan diri kita sendiri dari perbudakan karena kita orang berdosa, sebab tebusan haruslah korban yang tidak bercacat (Kel. 12:5). Oleh karena itu Allah menetapkan Yesus sebagai tebusan bagi kita dari tirani dosa, bukan dengan uang dan materi, melainkan dengan darah Putra-Nya yang mahal (Rm. 6:6, 7; 1Kor. 6:20; Kol. 2:13,14; Ibr. 9:12). Yesus, sebagai Anak Domba Allah, korban yang tidak berdosa dan tidak bercacat, hanya Dia saja yang memungkinkan pembebasan itu (Yoh. 1:29; Rm. 3:25).

 

Kedua: Dipilih sebelum dunia dijadikan (ayat 20-21)

Pertanyaannya kemudian adalah: Mengapa harus Putra tunggal-Nya yaitu Yesus sebagai tebusan dan harus menjadi manusia? Bahkan, mengapa harus melalui penderitaan dengan cara kematian yang begitu terkutuk? Firman minggu ini meneguhkan bahwa Yesus telah ada sebelum dunia dijadikan. Allah Bapa bersama-sama dengan Putra dan Roh Kudus dalam Trinitas yang satu hakekat dan Satu Roh serta telah memahami adanya rencana penebusan itu. Allah Pencipta adalah sekaligus Allah Penebus. Melalui Alkitab kita digambarkan bahwa Allah memberikan kepercayaan kepada manusia Adam dan Hawa untuk hidup sesuai dengan rencana dan konsep Allah tetapi akhirnya mereka jatuh. Allah memberikan kepada manusia kepercayaan kemampuan, namun akhirnya menyombongkan diri dalam peristiwa menara Babel (Kej. 11:1-9). Allah membiarkan manusia bertumbuh melalui fase-fase sejarah dengan adanya Hakim-hakim, Raja-raja, Nabi-nabi, namun semua gagal dalam mewujudkan umat Allah yang kudus. Manusia takluk. Allah kemudian “menyesal” dalam pengertian, mengapa manusia harus kalah?

 

Allah dalam hal ini bukan bereksperimen melakukan semuanya sehingga manusia harus kalah terhadap dirinya sendiri dan kekuatan pengaruh iblis. Allah tetap Allah yang Mahakasih yang ingin umat-Nya tidak binasa. Allah tidak sekedar menyesal melainkan bertindak, dan jalan yang ditempuh Allah adalah jalan yang dapat masuk ke dalam akal pikiran manusia, yang dibentuk berdasarkan tradisi dan kepercayaan yang sudah ada pada manusia pada saat itu. Allah dalam pengertian melalui hikmat-Nya memakai jalan demikan untuk memudahkan dalam penyampaian dan kesuksesan rencana penyelamatan-Nya. Rencana itu yang terbaik dan bukan rencana darurat: Nubuatan-nubuatan Perjanjian Lama harus digenapi. Mesias yang dinantikan umat Yahudi harus segera datang. Keturunan Raja Daud harus digenapi. Itulah yang membuat Allah melalui Tuhan Yesus harus menjadi manusia untuk dapat menyelamatkan umat-Nya dari kebinasaan. Tebusan harus diberikan dan untuk itu darah dari Anak Domba yang tidak berdosa harus tercurah sehingga ritual dan ibadah itu menjadi lengkap. Dia adalah Penyelamat yang sempurna dan sesungguhnya telah ada sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4; Kol 1:17).

 

Yesus yang harus menderita bagi dosa-dosa kita bukanlah sekedar perenungan, bukan juga sesuatu yang diberikan Allah ketika dunia ini berjalan tanpa kendali. Pesan utamanya adalah umat Yahudi seyogiayanya mengetahui bahwa Kristus datang ke dunia dan karya penyelamatan-Nya adalah rencana Allah jauh sebelum kehidupan dunia ini. Ini otomatis memberikan jaminan bahwa Taurat tidak dibatalkan karena hukum itu tidak bekerja efektif sebab diperlakukan lebih kepada kehendak dan kepentingan para Imam dan kaum Farisi. Sejatinya Taurat dan Kedatangan Yesus adalah paralel bagian dari rencana kekekalan Allah. Dengan melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya, ketetapan Yesus menjadi hakim bagi semua orang adalah sesuatu yang mudah diterima, sebab Ia pernah menjadi manusia dan tahu mengenai manusia dan menang dalam kemanusiaan-Nya. Ia menjadi hakim yang lengkap (Yoh. 5:22). Namun semua itu akan dinyatakan sempurna pada zaman akhir, agar kita tetap percaya dalam iman dan pengharapan yang selalu tertuju kepada-Nya.

 

Ketiga: Kasih persaudaraan yang tulus ikhlas (ayat 22)

Allah telah menebus dosa-dosa manusia dan menjadikan umat-Nya kudus, maka manusia harus memelihara dan menjaga kekudusannya itu (1Pet. 1:2). Penebusan dimaksudkan untuk kebebasan dan kemerdekaan dari belenggu dan bukan kebebasan untuk kembali berbuat dosa, sehingga kekudusan harus dipertahankan. Kekudusan itu diperlukan sebagai syarat utama untuk tetap menjadi anak-anak Allah. Namun Allah juga tidak membiarkan manusia bertarung dengan kekuatan sendiri dalam kehidupan ini menghadapi musuh-musuh. Kalau sebelumnya pada masa perjanjian lama manusia menjalani kehidupan ini dengan sendirian (meski kadang Roh Allah datang menolong), maka kini pasca Tuhan Yesus naik ke sorga, Roh Allah diam dan bersemayam di dalam hati orang percaya akan kebangkitan-Nya, percaya akan kuasa-Nya, dan menjadikan Yesus sebagai Juruselamatnya. Sikap dan keyakinan iman itu perlu dengan sepenuh hati, dengan hati yang murni dan bersih yang diwujudkan dalam ketatatan.

 

Kita terus menyucikan diri melalui ketaatan kepada kebenaran dan terus menerus dalam pertobatan yang membuat kita semakin sempurna dan mencapai patokan serupa dengan Yesus (Rm. 12:2; Yak. 4:8; Flp. 3:10). Hidup orang percaya harus tetap dalam sikap hormat dan takut kepada Allah. Allah lebih dahulu mengasihi kita sehingga kita pun layak untuk mengasihi-Nya dan mengikuti firman-Nya. Allah memerintahkan: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh. 13:34; Rm. 12:10; 1Tes. 4:9). Tujuan semua itu bukan hanya kita semakin berkenan kepada Allah, melainkan juga kita dapat menjadi teladan, sinar dan cahaya di tengah-tengah kegelapan dunia, dan terutama kita dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas bagi sesama (1Tes. 1:7; Mat. 5:13-15). Kita diselamatkan untuk menjadi berkat dan berbuah bagi banyak orang. Dengan mengasihi setiap orang, nama Tuhan Yesus dimuliakan dan semakin banyak yang percaya dan tidak binasa.

 

Dalam melakukan penyucian dan pengamalan kasih persaudaraan itu, firman Tuhan minggu ini mengatakan hendaklah kita bersungguh-sungguh dengan segenap hati. Kita mewujudkan kasih bukan lagi untuk mendapatkan keselamatan, sebab keselamatan sudah pasti melalui iman dan kebangkitan Kristus. Hanya kita perlu memperlihatkan dan membuktikan iman dan pertobatan dengan berbuah bagi banyak orang. Iman yang tidak berbuah dan berwujud adalah mati (Yak. 2:24-26). Karenanya mengasihi adalah perbuatan nyata iman dari orang-orang yang sudah dilahirkan kembali melalui kehidupan pribadi, keluarga, kehidupan gereja dan sosial kemasyarakatan. Kasih Allah yang telah terwujud dalam penebusan itu harus disebarkan dan mengalir melalui kasih kita kepada mereka, menjadi pengikat dalam pergaulan dan dalam persekutuan sehari-hari. Sama seperti kasih Allah yang tidak pamrih, kasih kita juga harus tulus dan tidak berpura-pura, munafik (Rm. 12:9), yang sebenarnya untuk kepentingan atau keuntungan diri sendiri saja.

 

Keempat: Dilahirkan kembali dari benih yang tidak fana (ayat 23)

Semua hal keyakinan, pengharapan dan buah-buah keselamatan dalam kasih persaudaraan serta upaya menjaga kekudusan merupakan bukti bahwa kita adalah manusia baru dan hidup baru di dalam Tuhan Yesus. Manusia baru berarti kehidupan lama sudah berlalu, dan kita dilahirkan kembali dalam hidup baru dengan tabiat dan sifat yang baru. Perubahan itu bukan karena adanya kesadaran psikologis atau kesadaran kontemplasi yang mengandalkan kemampuan manusia mengubah dirinya sendiri, melainkan didasari oleh ucapan syukur dan penyerahan diri total kepada Allah. Ada cara pandang atau paradigma bagi yang hidup baru bahwa hidup kita bukan lagi milik kita, bukan lagi tanpa asal muasal, bukan lagi tanpa tujuan dan kesia-siaan, melainkan sudah jelas bahwa keberadaan kita berasal dari rencana Allah dengan maksud dan tujuan Allah juga. Tujuan hidup kita bukan lagi kesenangan di dunia ini yang bersifat sementara, melainkan tujuan kekekalan dalam naungan hadirat Allah dengan sukacita yang berkelimpahan.

 

Seseorang bisa saja berubah menjadi baik karena kesadaran diri sendiri dan menyebut tidak ada pertolongan Allah dalam hal itu. Hasil kontemplasi manusia bukanlah tidak berarti atau bisa diabaikan. Manusia memiliki kemampuan melalui meditasi, yoga, semedi, puasa dan penahanan nafsu dan keinginan diri lainnya. Akan tetapi sepanjang hal itu merupakan pengakuan hasil upaya manusia, meniadakan pertolongan Allah dalam perubahan hidup yang baru itu, maka sebenarnya perubahan itu didasarkan pada benih yang fana. Bagi mereka Allah adalah sesuatu yang tidak terjangkau dan penuh misteri. Benih yang fana yakni kekuatan pikiran dan penahanan diri berarti benih yang mudah layu dan rusak, benih yang tidak teruji hingga akhir zaman (1Kor. 3:12-14), yang tidak tahan terhadap goncangan dan dinamika kehidupan. Benih ini sangat berbahaya bila diunggulkan, sebab dapat menipu. Terujinya benih ini adalah tatkala muncul goncangan kehidupan yang hebat, ketika usaha manusia dirasakan tidak ada harapan, maka mereka menolak perubahan itu dan menjadi putus asa bahkan akhirnya bunuh diri (band. Yud.; Mat 27.:5).

 

Seseorang yang didasari rasa syukur dan memiliki pandangan dan sikap berserah, menerima segala tekanan kehidupan tanpa ada penolakan, hanya dimungkinkan apabila dia lahir baru di dalam Kristus. Ia dapat mengatakan bahwa betapa pun beratnya penderitaan yang dia alami, betapa hebatnya sakit yang dia rasakan, ia masih tetap berkata semua yang terjadi padanya itu merupakan kehendak dan persetujuan Allah. Ia bisa sakit menahun, mengalami hal buruk dalam tubuhnya maupun kehidupannya, tapi ia tetap berkata bahwa ada rencana Tuhan di balik semuanya dan akan indah dibukakan pada saatnya. Cara pandang itu terjadi hanya karena ia telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, yang tidak layu dan hancur oleh kekejaman hidup (Yoh. 1:13). Benih yang tidak fana itu yakni firman Allah, yang hidup dan kekal, serta menjadi sumber kehidupan bagi mereka yang setia dan berserah kepada-Nya (1Tes. 2:13; 1Yoh. 3:9).

 

Penutup

Kasih dan kebaikan Tuhan melalui penebusan hidup kita hendaklah dijadikan dasar untuk bersifat takut dan hormat akan Dia. Penebusan-Nya sudah sempurna melalui penderitaan dan kematian Yesus. Allah melakukan semua itu dalam rencana awal dengan Dia sebagai Sang Penebus dan Sang Pencipta. Yesus sudah ada sebelum dunia dijadikan dan itu adalah pokok iman Kristen. Penebusan itu pun harus dijaga dengan terus menyucikan diri sehingga hidup kudus bukan pilihan melainkan cara hidup orang-orang Kristen yang telah menerima anugerah-Nya. Perubahan status dari yang terbelenggu dosa menjadi orang merdeka haruslah diteguhkan dalam mempertahankan kekudusan itu dan diwujudkan dalam sikap hidup yang berbuah dengan menyebarkan kasih persaudaraan bagi sesama. Kasih ini diminta tulus ikhlas dengan bersungguh-sungguh, tidak boleh berpura-pura dan untuk mementingkan atau mengambil keuntungan diri sendiri, kerelaan berkorban sama seperti kasih Yesus yang dinyatakan di kayu salib. Dengan demikian kita membuktikan bahwa terjadinya kelahiran baru dengan perubahan dan buah-buah itu berasal dari benih yang bukan fana yakni firman Allah yang dikaryakan melalui kuasa Roh Kudus.

Tuhan memberkati dan melindungi kita sekalian, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 402 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7547100
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
210
65942
210
7247234
581962
1386923
7547100

IP Anda: 162.158.163.207
2024-11-24 00:07

Login Form