Thursday, November 21, 2024

Khotbah Minggu 29 Januari 2023

 

 

Khotbah Minggu IV Epifani - 29 Januari 2023

 

 HIKMAT ALLAH DAN HIKMAT MANUSIA (1Kor. 1: 19-31)

 

 Bacaan lainnya: Mi. 6:1-8; Mzm. 15; Mat. 5:1-12

 

 

 

Pendahuluan

 

Cara berpikir Allah tidak sama dengan cara berpikir manusia dengan segala kemampuan dan kebijaksanaannya. Kita bisa belajar sepanjang hidup dan mengumpulkan segala hikmat manusia, tetapi kita tidak akan pernah mendapatkan pembelajaran bagaimana menjalin dan membentuk hubungan pribadi dengan Allah yang hidup. Melalui nas minggu ini, firman Tuhan menekankan bahwa melalui Yesus yang tersalib dan kebangkitan-Nya, kita mendapatkan hubungan pribadi itu melalui Juruselamat yaitu Tuhan Yesus. Apa yang dibanggakan dan berharga bagi manusia sangat berbeda dengan hikmat Allah. Manusia mencari kemegahan, akan tetapi Allah menawarkan kehidupan abadi yang tidak bisa ditawarkan dunia. Pemikiran bahwa melihat baru percaya bukanlah hikmat Allah. Melalui pembacaan minggu ini, kita diberikan pelajaran berharga sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Di mana hikmat dunia? (ayat 19-20)

 

Sebagaimana dinyatakan pada minggu lalu berkaitan dengan ayat 18, mereka yang mengutamakan penggunaan akal pikiran untuk mencerna penebusan dosa oleh Yesus di salib tentu akan berpikiran kalau itu hal yang tidak masuk akal. Kesombongan intelektual orang Yunani membuat mereka menolak berita penyelamatan itu. Demikian pula bagi umat Yahudi, yang terus berpikir bahwa mereka keturunan (badani) Abraham masih berpikir sombong bahwa mereka adalah umat pilihan Allah dan akan terus diselamatkan tanpa syarat. Kabar baik bahwa Yesus yang mati di kayu salib sebagai jalan keselamatan (yang baru) jelas merupakan kebodohan bagi mereka. Terlebih, bagi umat Yahudi, seseorang yang mati tergantung di kayu salib adalah orang yang terkutuk bagi Allah (Ul. 21:23), sehingga Yesus yang mati di kayu salib itu tidak mungkin dapat menyelamatkan manusia.

 

 

 

Firman Tuhan melalui Rasul Paulus yang mengutip Yes. 29:14 merupakan penggambaran kembali bagaimana bangsa Israel adalah bangsa yang buta, yang tidak memahami maksud Allah meski mereka memiliki banyak nabi-nabi dan berjalan menuruti kemauan sendiri. Dalam kitab Yesaya itu dinyatakan ibadah mereka palsu dan hanya di bibir saja, pujiannya hampa dan hafalan, kehidupan keagamaan hanya dipenuhi oleh peraturan-peraturan buatan manusia dan bukan untuk menyenangkan Allah. Ancaman yang ada dari bangsa Asyur tidak direspon menurut hikmat dari Allah, melainkan hanya berdasarkan hikmat manusia. Peringatan dari Allah mereka abaikan dan akhirnya bangsa Israel meminta pertolongan dari bangsa Mesir; ini jelas merupakan kesalahan fatal dan akibatnya mereka kalah dan kembali tertindas. Kengerian akibat kekalahan itu digambarkan pada Yes. 29: 1-12.

 

 

 

Hikmat manusia lebih mementingkan kepentingan diri sendiri dan berjangka pendek. Manusia tidak mudah melihat masa depannya dengan baik dan cenderung melihat jangka pendek saja, dan itulah yang sering menjadi sumber kesalahan utama. Ini berlainan dengan hikmat Allah, sebab yang mendasarinya adalah kasih. Ayat 20 menjadi peneguh dari kutipan Ayb. 12:17 dan Yes. 33:18 yang menekankan hikmat Allah itu demikian kuasanya melampaui segala akal pikiran manusia. Dengan sendirinya, hikmat manusia cenderung mengesampingkan hikmat Allah dan akibatnya sebagaimana dinyatakan dalam Yes 27:14, mereka akan dibinasakan dan dilenyapkan, yakni Allah menyatakan murka-Nya kepada mereka yang mengutamakan hikmat manusia, seperti kepada ahli Taurat mewakili umat Yahudi dan para pembantah mewakili orang Yunani. Hikmat dari Allah yang merupakan karunia seharusnya dipakai, sehingga bisa lebih mengenal Allah dalam rencana-Nya untuk kita semua, yang melepaskan kepentingan diri sendiri dan kesombongan.

 

 

 

Kedua: Orang-orang Yahudi menghendaki tanda (ayat 21-24)

 

Banyak pihak menganggap sebuah kebiasaan atau tradisi sudah menjadi sebuah kebenaran mutlak. Hal yang sudah berjalan selama bertahun-tahun dapat dianggap sebagai sebuah pakem mati, dan tak seorang pun dapat mengubahnya. Bahkan dalam mempertahankan kebiasaan, tradisi atau kebenaran manusia, seringkali kita mengorbankan hubungan dengan sesama dan bahkan hubungan dengan Allah. Kita lebih “ngotot” demi hikmat manusia dibandingkan dengan menarik hikmat Allah ke dalam kebenaran itu sehingga tercipta sesuatu yang baru. Melalui ayat-ayat inilah kita diminta untuk merelatifkan kebenaran kita yang bersumber dari akal pikiran dan kebiasaan, dan menghadapkan kebenaran dari Allah sebagai sumber sukacita dan kemaslahatan bersama.

 

 

 

Acapkali kalau ada keinginan untuk terbuka bagi kebenaran yang baru, orang-orang yang bertahan dalam prinsip lama ini selalu meminta tanda-tanda. Orang Yahudi berpikir bahwa Mesias yang mereka nanti-nantikan adalah seorang raja yang datang dari keturunan Raja Daud dan dengan kemegahan duniawi untuk membebaskan mereka dari kekuasaan Romawi. Sementara yang mereka lihat, Yesus adalah seorang anak tukang kayu yang dalam kesehariannya tidak berkuasa bagaikan seorang raja yang penuh dengan tanda-tanda dan mukjizat. Mereka meminta tanda-tanda bahwa ajaran dan konsep itu merupakan kebenaran (band. Mat 12:38; Yoh 4:48). Ia juga tidak memulihkan kerajaan Daud dan bahkan mati di gantungan salib pula. Ini jelas berbeda dengan pengharapan mereka.

 

 

 

Demikian pula bagi orang Yunani, Yesus bukanlah seorang pemikir besar yang menuliskan pikiran-pikirannya seperti Socrates atau Aristoteles yang dapat memuaskan akal pikiran mereka dalam perbantahan. Mereka juga tidak percaya pada kebangkitan tubuh dan tidak melihat tanda-tanda karakter Allah yang sesuai dengan mitologi mereka. Hal yang mereka dengarkan sebagai pikiran-pikiran Yesus seperti khotbah di bukit dan perumpamaan-perumpamaan, banyak yang tidak masuk akal mereka. Bagaimana mungkin, misalnya, pernyataan "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:3, dab Khotbah di Bukit). Semua pernyataan itu jelas tidak masuk akal, sehingga bagi umat Yahudi dan orang Yunani, hal yang diberikan Yesus sebagai berita keselamatan adalah jelas tidak masuk akal. Akan tetapi, hikmat manusia yang sebenarnya mereka miliki belum dapat menjangkau dan memahami hikmat Allah yang dasarnya adalah kasih.

 

 

 

Sebuah wahyu atau pernyataan dari Allah melalui nabi-nabi atau hal yang disampaikan oleh Tuhan Yesus, tidak memerlukan pembuktian fisik atau penerimaan sesuai hikmat/kebijaksanaan manusia. Wahyu adalah sebuah kebenaran yang diterima dengan iman, kemudian dihayati dan dengan penerangan Roh Allah kita mengakui bahwa wahyu itu adalah benar. Tidak mungkin menerima wahyu dengan hikmat manusia dan kemudian mencernanya, melainkan hanya menerima dengan iman bahwa itu adalah kebenaran wahyu atau hikmat Allah. Manusia tidak dapat membatasi cara dan langkah Allah dan sering kali manusia gagal untuk memahaminya (band. Rm. 1:19-21). Konsep jalan keselamatan dan perdamaian dengan Allah yang selama ini dianut oleh umat Yahudi jelas berbeda total dengan penyelamatan yang diberikan Allah melalui Yesus. Inilah yang dimaksudkan ayat tersebut sebagai batu sandungan bagi umat Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani. Namun bagi mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan dan hikmat Allah.

 

 

 

Ketiga: Yang bodoh bagi dunia dipilih Allah (ayat 25-27)

 

Bagi mereka yang mengandalkan akal pikiran semata, kematian Kristus membuat mereka tidak percaya. Bagi mereka, kematian sebagaimana dialami Yesus adalah akhir dari perjalanan; kematian adalah kekalahan, puncak kekalahan, bukan kemenangan. Akan tetapi mereka lupa, Yesus tidak mati selamanya, Ia bangkit di hari ketiga. Kebangkitannya membuktikan kuasa-Nya atas kematian. Ini sekaligus membuktikan bahwa Ia mampu dan berkuasa menyelamatkan kita dari kematian dan akan memberi kita hidup yang kekal, sepanjang kita percaya Ia adalah Juruselamat dan Tuhan. Memang ini seolah-olah tampak begitu sederhana dan mudahnya bagi yang tidak percaya. Mereka lebih berpikir berusaha mencari keselamatan dan perdamaian dengan Allah melalui banyaknya perbuatan baik, berusaha menjadi bijak, mematuhi peraturan legalistik agama, dan lainnya. Tetapi sebenarnya usaha mereka sia-sia dan tidak akan berhasil.

 

 

 

Memang dapat menjadi pertanyaan: apakah kekristenan bertentangan dengan akal sehat? Mengapa demikian sederhana soal keselamatan itu? Justru itu yang ditekankan dalam nas ini melalui Rasul Paulus, agar orang-orang yang mendengarnya harus dengan jernih menggunakan hati nuraninya beserta pikirannya untuk menimbang pilihan jalan itu dan membuat keputusan yang bijak. Rasul Paulus merasa itu perlu dijelaskan dengan tegas bahwa tidak cukup akal pikiran dan hikmat manusia untuk dapat menggantikan atau melampaui apa yang dilakukan oleh Yesus di atas kayu salib. Sebab kalau memakai akal pikiran, maka hanya orang-orang pintar dan berpendidikan saja yang memahami, bukan orang-orang biasa atau anak-anak. Dan inilah yang dikatakan dalam nas ini, “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” Serupa dengan jemaat di Korintus, kita harus mengingat bagaimana keadaan kita saat dipanggil: “Menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang” (ayat 26).

 

 

 

Ini juga yang dikatakan dalam ayat 27: “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat.” Allah memilih orang-orang bodoh di Korintus yang menerima tawaran keselamatan dari Yesus, mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil, tetapi justru mereka adalah orang-orang yang paling berhikmat dari semua orang, dan mereka akan menerima hidup yang kekal itu. Kebangunan kembali kerajaan Daud atau pengetahuan Socrates tidak akan dapat memberikan hidup yang kekal.

 

 

 

Dunia ini memang menyembah kekuasaan, pengaruh dan kekayaan. Tetapi Yesus datang dengan kerendahan hati, pelayan yang miskin, dan menawarkan kerajaan-Nya bagi mereka yang percaya kepada-Nya, bukan kepada orang yang melakukan perbuatan baik untuk mendapatkan imbalan dan kehormatan. Ini tampak sebagai suatu kebodohan bagi dunia. Akan tetapi Kristus adalah kuasa bagi kita, satu-satunya jalan untuk kita bisa diselamatkan. Mengenal Yesus secara pribadi adalah hikmat terbesar yang pernah diberikan dan kita miliki (Kol. 2:1-3, Rm. 1:16).

 

 

 

Keempat: Jangan ada seorang pun yang memegahkan diri (ayat 28-31)

 

Rasul Paulus melihat orang Yahudi dan Yunani di Korintus sangat sukar untuk mengenali kelemahan dan dosa mereka. Ketrampilan dan hikmat manusia tidak membawa mereka ke dalam kerajaan Allah; akan tetapi sebagaimana dijelaskan di atas, melalui iman yang sederhana kita dapat melakukannya. Orang yang percaya pada Kristus yang disalibkan, akan lebih mudah mengenali dosa mereka, kelemahan dan kekurangannya sebagai manusia, dan itu adalah jalan untuk masuk dan berada di dalam kerajaan-Nya. Kerendahan hati dan penyerahan diri seperti ini membenarkan yang dikatakan pada ayat 28, “dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti.” Jadi di sini hikmat yang diberikan Allah bukanlah menyangkut perbuatan, melainkan lebih kepada status dan keadaan, yakni rencana Allah untuk keselamatan kita.   

 

 

 

Kasih Allah adalah sumber dan dasar hubungan pribadi kita yang hidup dengan Yesus. Segala pengetahuan, pengertian dan kebijaksanaan, berkat dan karunia-karunia rohani, dan anugerah keselamatan itu adalah pemberian Allah melalui Tuhan Yesus. Kita dipilih dari ketidakberdayaan untuk menjadi alasan bagi dunia bahwa hal yang berharga di dunia ini adalah berbeda dengan di mata Allah. Kesatuan kita dengan-Nya dan identifikasi kita di dalam Kristus berbuah dalam hikmat dan pengetahuan tentang Allah di dalam diri kita (Kol. 2:3; Rm. 4:1-dab), memiliki posisi berdiri kita yang benar di hadapan Allah (2Kor. 5:21), dikuduskan (1Tes. 4:3-7; 2Tes. 2:13-15), dan kita mendapatkan penebusan dosa dari-Nya (Mrk. 10:45; Rm. 3:24; Ef. 4:30). Semua yang lama menjadi tidak berarti dan dilepaskan karena yang mulia telah diberikan kepada kita (Flp. 3:8-9).

 

 

 

Akankah kita bermegah dan sombong? Bagaimana kita bisa bermegah dan sombong? Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk memperoleh keselamatan, kecuali hanya menerima hikmat Allah dan percaya pada hal Yesus lakukan bagi kita. Kita diminta tidak lupa diri, bahwa keberadaan dan keselamatan kita di dalam Kristus adalah anugerah pemberian Allah semata melalui kematian Kristus, sehingga tidak seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah. Jadi jangan seorang pun yang bermegah dan menyombongkan diri bahwa itu atas usahanya atau prestasinya ia memperoleh kehidupan kekal. Kita dapat bermegah karena keberadaan kita yang baru, sebagai manusia baru yang diselamatkan dan bagian dari kerajaan sorga yang kekal. Kita bermegah bukan di hadapan Dia, tetapi di dalam Dia dengan berbuah melalui pemberitaan Injil bagi kemuliaan nama-Nya. Segala puji dan hormat bagi-Nya.

 

 

 

Penutup

 

Melalui nas minggu ini kita diingatkan bahwa pengetahuan, pengertian dan hikmat manusia tidak ada artinya dibandingkan dengan hikmat dari Allah. Keduanya berbeda total, sebab hal yang dipandang berharga oleh manusia, seperti pikiran dan keyakinan akan umat pilihan Allah pada orang Yahudi, atau keunggulan akal pikiran dan diskusi perbantahan bagi orang Yunani, bukanlah hikmat Allah. Hikmat Allah ada dalam penyelamatan manusia melalui kematian Yesus di kayu salib sebagai penebusan dosa dan maut bagi manusia.

 

 

 

Hal ini memang kelihatan begitu sederhana, seolah-olah sebuah kebodohan, yang melihat kematian adalah kekalahan bagi mereka, end of the story. Sebaliknya nas minggu ini menekankan bahwa jalan untuk keselamatan begitu sederhana bagi mereka yang ingin memahaminya, mudah bagi yang bodoh, namun menjadi sulit bagi yang memiliki dan memelihara kebenaran yang lama, bagi mereka yang mengandalkan akal pikiran dan kehebatan ilmu dan filsafat. Semua itu diberikan bagi kita yang diberi anugerah dan karunia, yang dipanggil dan merespon untuk menjalankan pemberitaan Injil, dengan pertolongan kuasa Roh Kudus agar kerajaan-Nya kekal semakin luas dan semakin banyak yang diselamatkan serta nama-Nya semakin ditinggikan.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 697 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7415404
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
162
58357
168170
7204198
450266
1386923
7415404

IP Anda: 172.70.143.100
2024-11-22 00:04

Login Form