Thursday, November 21, 2024

Khotbah Minggu 6 November 2022

Khotbah Minggu Kedua Puluh Dua Setelah Pentakosta Tahun 2022

 

IA BUKAN ALLAH ORANG MATI, MELAINKAN ALLAH ORANG HIDUP (Luk. 20:27-38)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Hag. 1:15b-2:9 atau Ay. 19:23-27a; Mzm. 145:1-5, 17-21 atau 17:1-9 atau 98; 2Tes. 2:1-5, 13-17

 

Pendahuluan

Minggu ini bacaan kita sudah mendekati masa akhir minggu-minggu pentakosta dan sebentar lagi akan masuk ke dalam minggu adven. Kalau dalam beberapa minggu-minggu terakhir kita diceritakan tentang banyak perumpamaan, maka minggu ini bacaan kita tentang percakapan Tuhan Yesus dengan orang Saduki, yang tidak percaya dengan kebangkitan setelah kematian. Orang Farisi sendiri kesulitan menjawab hal ini kepada orang Saduki, akan tetapi Tuhan Yesus menjawabnya dengan lugas dan langsung ke titik masalahnya. Dari bacaan minggu ini kita diberikan pelajaran hidup sebagai berikut.

 

Pertama: perkawinan dan hukum turun ranjang (ayat 28-33)

Dalam perkawinan sistim patriarki, silsilah dan garis keturunan dari laki-laki sangat dijunjung dan berusaha dipertahankan. Hal itu kadang ditekankan untuk menjaga kemurniannya bahkan dapat berlebihan sebagaimana tradisi umat Yahudi yang diceritakan dalam nats ini. Begitu pentingnya garis keturunan dari laki-laki itu sehingga Musa memerintahkan, apabila ada seorang suami meninggal sementara istrinya yakni janda wanita ditinggalkan masih muda, maka hukum Yahudi memperbolehkan adiknya untuk menggantikan suami yang meninggal, memperistri janda kakaknya itu dengan berpengaharapan agar ada keturunan yang meneruskan silsilah tadi (Ul 25:5-10). Memang ada faktor lain yang membuat tradisi itu dipertahankan, yakni agar harta yang sudah menjadi milik janda itu, tidak dibawa dan menjadi miliknya pribadi atau keluarga pihak wanita.

 

Sistim ini juga banyak berlaku di dalam adat istiadat kita di Indonesia. Istilah turun ranjang yang berarti mengawini adik istri atau suaminya menjadi umum, baik dalam suku Jawa, Batak, dan suku-suku lainnya. Bahkan di beberapa suku, ketentuan turun ranjang itu tidak hanya berlaku kepada adik atau kakak, bahkan juga bisa dengan paman atau keponakan. Demikian juga, sistim itu tidak hanya berlaku bagi wanita yang ditinggalkan suaminya, melainkan juga bagi suami yang ditinggalkan istri dapat berlaku sistim turun ranjang. Memang kalau dilihat secara hukum positip, moral atau kesopanan, tidak ada yang dilanggar dalam hal itu, sepanjang tidak ada paksaan dan dasarnya adalah saling mengasihi. Oleh karena itu tepat juga yang dikatakan Tuhan Yesus, "Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan."

 

Namun apabila dasar perkawinannya adalah mengenai harta sebagaimana diduga yang menjadi sebagian dasar tradisi umat Yahudi, maka hal itu sangat tidak baik apalagi sampai ada pemaksaan. Allah menciptakan perkawinan atau pernikahan untuk meneruskan generasi manusia dan kebaikannya, bukan mementingkan silsilah, apalagi dalam pengertian sempit harus pernikahan ras atau suku. Dari pengalaman manusia dan juga bukti ilmu pengetahuan, perkawinan dalam satu suku/ras (incest) justru sangat membahayakan karena faktor kesamaan darah dan genetik, sementara perkawinan beda suku atau ras justru akan meningkatkan kualitas generasi berikutnya. Inilah yang menjadi pegangan kita dalam tujuan dan ikatan perkawinan, yakni menghormati keputusan Allah, adanya dasar saling mengasihi, saling menghormati dan terutama untuk melahirkan generasi-generasi baru yang lebih baik di masa mendatang.

 

Kedua: orang Saduki dan kebangkitan (ayat 27 dan 34)

Kelompok Saduki adalah kelompok konservatif yang hanya mengakui kitab pentatekh yakni Kejadian sampai Ulangan sebagai kitab suci. Mereka menganggap kita lainnya hanya tradisi atau penafsiran para manusia saja dan menempatkannya dengan derajat yang tidak sama. Mereka tidak mengakui kebangkitan sebab hal itu tidak tercatat di lima kitab itu. Memang menjadi pertanyaan yang lazim, apakah ada kehidupan setelah kematian? Kira-kira bagaimana bentuknya? Orang Saduki sebagai kelompok kecil namun merasa cukup intelektual dan elit, juga mempertanyakan hal itu. Sebab menurut mereka, seandainya ada kebangkitan, bagaimana status seorang istri yang memiliki banyak suami? Mereka juga tidak percaya keberadaan malaikat atau  roh sesudah kematian, termasuk kedatangan Mesias (band. Kis. 23:8).

 

Inilah yang ditanyakan orang Saduki kepada Tuhan Yesus. Tujuan mereka  adalah untuk mempermalukan Yesus di depan banyak orang apabila jawabannya tidak tepat. Orang Saduki mengambil argumentasi, apabila istri yang ditinggal mati itu secara berurutan memiliki tujuh suami di dunia, maka apabila nanti ada kebangkitan, siapakah diantara yang tujuh itu yang diakui sebagai suaminya? Apabila suaminya diakui tujuh orang, maka timbul masalah, yakni bagaimana mungkin di dunia ini yang dilarang oleh hukum Taurat perempuan bersuami lebih dari satu, namun di sorga kemudian diperkenankan?

 

Memang kalau dilihat secara logika duniawi, pertanyaan orang Saduki ini seolah-olah membuat hal itu menjadi aneh. Akan tetapi Tuhan Yesus menjawab, bahwa manusia dunia saja yang memikirkan perkawinan dan urusan kenikmatan duniawi, gengsi atau status dan garis keturunan seperti itu. Menurut Yesus, di kehidupan nanti situasinya berbeda dengan kehidupan masa kini. Di kehidupan sorga nanti tidak lagi dipersoalkan soal garis keturunan, ikatan suami-istri, kepemilikian harta benda, dan status social duniawi lainnya. Kehidupan sorgawi adalah kehidupan yang hanya berdasarkan roh, bukan fisik atau tubuh duniawi yang membuat manusia berdosa. Dengan demikian, logika orang Saduki bahwa tidak ada kebangkitan setelah kematian menjadi salah. Asumsi yang salah yakni berpikir bahwa kehidupan sorgawi sama dengan duniawi, memang akan membawa kesimpulan yang salah, yakni bahwa tidak ada kebangkitan setelah kematian. Kita harus belajar dari kesalahan cara berpikir yang demikian.

 

Ketiga: kita akan sama dengan malaikat (ayat 35-36)

Kehidupan setelah kematian termasuk kebangkitan orang mati sangatlah logis dan mudah diterima akal sehat. Dasar yang paling utama yakni manusia melakukan banyak hal di dunia dengan berbagai perbuatan baik atau jahat, baik dan buruk, dengan tingkatan kebaikan dan kejahatan yang tinggi rendah, besar kecil.  Maka, pertanyaannya, apakah semua itu menjadi sama perlakuannya setelah seseorang itu mati? Apakah tidak ada perbedaan atau konsekuensi di antara mereka yang berbuat baik dan jahat, yang berbuat semaunya menyenangkan dirinya sendiri dengan seseorang yang selalu peduli dengan orang lain? Tidak masuk akal, bukan? Alkitab berkata, segala perbuatan seseorang itu tidak akan berhenti, akan tetapi selalu menyertainya dan Tuhan akan membalaskannya (Rm. 2:6; Why. 14:13; 22:12).

 

Memang kehidupan setelah kematian tidak mungkin berupa kehidupan fisik atau kebendaan. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah maka secara akal sehat dan tata ruang hal itu akan sangat sulit dibayangkan. Bagaimana mungkin "menempatkan" manusia yang berpuluh atau bahkan nanti ratusan milyar dalam suatu bumi atau planet? Memang betul, Allah bisa menciptakan apa saja, akan tetapi hal itu menjadi sebuah kesulitan diterima oleh akal sehat. Memang ada pandangan agama lain bahwa manusia yang jahat akan terus berinkarnasi hingga mencapai kesempurnaan, sehingga secara teoritis yang menjadi sempurna sampai di sorga hanya sedikit orang saja. Tetapi bagi kita, Allah yang penuh kasih itu tidak "cocok" memiliki pemikiran yang seperti itu.

 

Maka adalah benar seperti dikatakan oleh Tuhan Yesus, kehidupan setelah kematian yang dibangkitkan adalah tubuh kemuliaan, dalam pengertian yang ada hanya keberadaan roh saja dan bukan tubuh, fisik atau "kasat mata". Tapi itu semua nyata, ril! Inilah maksud yang dikatakan oleh Tuhan Yesus bahwa kita nanti anak-anak-Nya akan menjadi seperti malaikat. Ini juga yang dimaksudkan dengan tubuh kemuliaan, yakni "tubuh tanpa fisik", nyata, ril, serta saling mengenali. Kita akan tahu siapa-siapa yang diselamatkan (Luk. 24:31,39; Mat. 28:9). Kita bisa membayangkan saat Tuhan Yesus bangkit dari kematian-Nya, tubuhnya kadang "menghilang" namun para murid mengenali-Nya. Hal yang utama, keberadaan roh setelah kematian ini tidak lagi mempersoalkan hal-hal duniawi, seperti perkawinan, gairah dan nafsu, anak dan keturunan, makan-minum, dan hal status dan biologis lainnya, sebab semua sudah masuk ke dalam sifat kekal dan sama dengan natur keilahian Allah. Semua sudah bertujuan melayani Allah saja dengan penuh kemuliaan. Ini yang dimaksudkan Tuhan Yesus dalam nats ini, “Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah.”

 

Keempat: Dia adalah Allah orang hidup (ayat 37-38)

Jawaban Yesus diluar perkiraan orang Saduki, yang merupakan inti kebangkitan yakni mengacu kepada kitab-kitab Musa dengan mengutip Kel 3: 6 yang menyebutkan kepada Musa: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Dalam hal ini Tuhan Yesus memakai logika orang Saduki yang percaya bahwa Abraham, Ishak dan Yakub hidup bersama dengan Allah, sehingga sebetulnya ada kebangkitan orang mati. Jawaban ini jelas menohok pandangan mereka serta membuktikan kebenaran Allah beserta otoritas ilahi-Nya. Bahkan perlu diperhatikan dalam ayat berikutnya, yakni orang Saduki tidak bisa menjawab pertanyaan Yesus tentang kedatangan Mesias (ayat 41-44). Oleh karenanya tidak layak manusia menguji kebenaran Allah hanya dengan pikirannya sendiri.

 

Jawaban Tuhan Yesus memberi pelajaran kepada kita yakni ketika orang bertanya tentang hal yang seolah-olah tidak akal, misalnya: "Mengapa Allah membiar orang sakit keras berkepanjangan atau kelaparan?" Atau, "Jika Tuhan sudah tahu apa yang kita akan lakukan, apakah kita masih mempunyai pilihan?" Maka sebagai pengikut Tuhan Yesus kita harus menjawab sebisa mungkin dan mencari akar sebab musabab muncul pertanyaan itu. Sering kali mereka bertanya sebenarnya tidak untuk mendapatkan jawaban, tetapi lebih kepada mendapatkan perhatian saja. Oleh karena itu dalam jawaban kita sebaiknya menjauhkan kecurigaan dan masuk ke dalam persoalan pribadi yang mereka hadapi.

 

Jawaban Tuhan Yesus kepada orang Saduki menegaskan agar kita jangan berpikir bahwa kehidupan nanti di dalam kerajaan sorga merupakan "penerusan" dari kehidupan saat ini. Itu dua kehidupan yang berbeda. Hubungan sesama kita di dunia ini masih terpengaruh dengan kedagingan, waktu, dosa dan kematian, sehingga perhatian kita lebih menonjol kepada hal itu. Kita tidak dapat berpikir tentang sorga dalam sudut pandang dan pemahaman duniawi. Memang kita tidak ketahui semuanya tentang kehidupan nanti, akan tetapi kita tahu bahwa hubungan sesama pribadi nantinya akan berbeda di sini dengan di dunia kekekalan nanti. Kita anak-anak Allah yang dibangkitkan akan mendapatkan kemuliaan bersama dengan Allah. Kematian tidak dapat memutuskan hubungan kita dengan Allah yang Mahabaik itu. Firman Tuhan berkata: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1Kor. 2:9).

 

Kesimpulan

Melalui nats minggu ini kita diingatkan kembali tentang kebangkitan kita yang menjadi pengharapan bagi orang-orang yang percaya kepada Allah. Kita di dunia kawin dan dikawinkan dan berpikir dengan cara manusia biasa, akan tetapi kehidupan sorga kelak adalah sesuatu yang berbeda dengan kehidupan saat ini. Kebangkitan itu pasti meski kehidupan nanti tidak seluruhnya merupakan penerusan kehidupan masa kini. Kita percaya bagi mereka yang menjadi anak-anak Allah akan memasuki kehidupan roh yang sama dengan malaikat, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus. Dalam kehidupan seperti itu, maka Allah kita itu benar adalah Allah orang hidup, bukan Allah orang mati, sebab di hadapan-Nya semua orang hidup.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 573 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7407008
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
50123
61324
159774
7204198
441870
1386923
7407008

IP Anda: 172.70.189.111
2024-11-21 20:35

Login Form