Saturday, November 23, 2024

Khotbah Minggu 2 Oktober 2022

 Minggu Ketujuh Belas Setelah Pentakosta

HAMBA-HAMBA YANG TIDAK BERGUNA (Luk. 17:5-10)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Rat. 1:1-6 atau Rat. 3:19-26 atau Hab. 1:1-4, 2:1-4; Mzm. 37:1-9 atau Mzm. 137; 2Tim. 1:1-14

 

Pendahuluan

Mungkin kita pernah diperlakukan oleh orang lain tidak sepantasnya atau bahkan menimbulkan kerugian atau penderitaan, maka melalui nats yang kita baca minggu ini kita belajar tentang hubungan iman dengan pengampunan dosa. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kita tersesat oleh karena tergoda untuk melakukan pembalasan. Ajaran perjanjian lama mengatakan bahwa mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Cara berpikir seperti ini memang ada pada orang Yahudi (Mat. 5:38-44). Akan tetapi apakah untuk memberikan pengampunan diperlukan iman yang besar? Dan bagaimana iman tersebut menghasilkan sesuatu yang besar, serta hubungannya dengan penggunaannya yang tidak membuat kita sombong rohani. Maka melalui bacaan minggu ini, kita diajarkan oleh Tuhan Yesus beberapa hal sebagai berikut.

 

Pertama: Menambah iman (ayat 5)

Pada ayat 1-4 sebelumnya Tuhan Yesus mengingatkan pentingnya pengampunan dosa bagi sesama, agar jangan sampai ada orang percaya yang jatuh ke dalam dosa karena menyimpan beban sakit hati atau dendam. Namun untuk bisa memberi pengampunan dosa, menurut para murid waktu itu, dibutuhkan iman yang besar sehingga kekuatiran tidak terjadi sebaliknya, malah iman yang memberi pengampunan justru yang tergerus menghilang. Oleh karena itu, para murid kemudian meminta kepada Tuhan Yesus: "Tambahkanlah iman kami". Mereka berpikir polos dan sederhana, pertambahan iman itulah yang dibutuhkan dalam memberi pengampunan.

 

 Menjawab hal ini Tuhan Yesus menjelaskan bahwa yang diperlukan dan utama dalam memberi pengampunan bukanlah ukuran besar-kecilnya iman, akan tetapi bagaimana iman itu diyakini dan dilaksanakan. Oleh karena itu Tuhan Yesus memberi kiasan iman itu seperti biji sesawi. Biji sesawi sangat kecil (bayangkan sebesar gula pasir) sehingga melalui yang dikatakan-Nya, iman yang kecil pun sebenarnya memiliki kuasa untuk memberi pengampunan dan tidak memerlukan iman yang besar. Justru melalui pemberian pengampunan itu, iman orang percaya berkarya dan bertumbuh semakin besar serta dikuatkan. Jadi, bukan sebaliknya yang terjadi, yakni perlu iman besar untuk pengampunan melainkan dengan iman kecil kita memberi pengampunan dan menghasilkan pertumbuhan iman yang semakin besar.

 

Maka kesusahan atau penderitaan sebesar apa pun yang kita alami karena perlakuan orang lain, baik oleh pihak yang kita tidak kenal maupun oleh orang yang kita kenal, maka semua itu tidak perlu kita balaskan secara langsung (apalagi bila itu terjadi bukan karena kesengajaan). Penderitaan yang kita tanggung karena perbuatan orang lain itu sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan, agar kita mampu untuk mengatasinya dan melewatinya, tanpa ada dampak dan efek lanjutannya yang merugikan diri sendiri. Justru dengan iman kecil yang kuat kepada Tuhan, dengan penderitaan itu iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan. Penderitaan dan tantangan sebesar apa pun pada prinsipnya bisa kita lalui selama kita berjalan bersama Tuhan dalam mengatasi dan melewatinya (Flp. 4:13).

 

Kedua: Iman yang memindahkan pohon (ayat 6)

Sebagaimana biji sesawi, iman (yang dalam bahasa Yunani disebut dengan pistis) memang merupakan kata benda. Akan tetapi meski kata benda, iman adalah hidup dan sesuatu yang bisa bertumbuh serta berbuah sebagaimana biji sesawi yang asalnya juga sangat kecil. Dalam hal ini sebagaimana biji, maka iman yang bertumbuh haruslah berakar pada sesuatu, yakni dalam hal ini berakar pada Tuhan. Jadi inti dari iman adalah ketergantungan total pada Allah dan menempatkan-Nya sebagai sumber pertumbuhan yang diperkuat dengan keinginan untuk melakukan kehendak-Nya sebagai buah. Maka dalam hal ini ukuran besarnya iman tidaklah menjadi penting sebab yang diperlukan adalah dasar dan sikap ketergantungan tadi kepada Allah.

 

Kalau iman diberi kiasan sebagai biji sesawi, maka sama halnya dengan perpindahan pohon ara yang terbantun dan tertanam di dalam lautan, itu juga hanya kiasan. Jelas terbantunnya itu sebuah peristiwa “besar dan ajaib”, tidak masuk akal. Akan tetapi apa yang ingin disampaikan oleh Yesus adalah melalui iman kita bisa melakukan hal yang besar dan ajaib dan tidak masuk akal pikiran manusia. Jadi iman membuat hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Ini yang dikatakan-Nya bahwa jika orang percaya memiliki iman, maka “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk. 9:3; Mat. 9:23). Inilah yang yang ditekankan-Nya bahwa iman tidak mengenal hal yang mustahil.

 

Sebagaimana biji sesawi maka biji itu bertumbuh terus dan kemudian berbuah. Iman yang bertumbuh akan menghasilkan buah dan buahnya semakin lebat, yang tadinya impossible menjadi possible. Semua itu terjadi bukan karena kehebatan manusia, akan tetapi karena pertolongan dan kuasa Allah yang tidak terbatas. Biji sesawi yang kecil itu awalnya juga kecil dan tidak tampak, akan tetapi melalui pertumbuhan dengan buah-buah yang kelihatan, maka iman itu semakin kelihatan dan kuat teruji. Jadi kita tidak membutuhkan iman yang besar melainkan iman yang sehat dan kuat dan siap untuk bertumbuh. Semua itu hanya mungkin apabila iman itu berdasar dan kokoh ketergantungannya kepada Tuhan Yesus.

 

Ketiga: Kedudukan hamba di hadapan Tuan (ayat 7-9)

Pada awalnya sangat sulit bagi kita untuk memahami mengapa ayat tentang iman yang dapat memindahkan pohon ini dikaitkan dengan kedudukan hamba. Akan tetapi hubungan itu menjadi jelas, sebab umumnya para hamba Tuhan memiliki iman yang lebih besar dibandingkan dengan orang percaya lainnya. Melalui iman mereka, karya Allah diwujud-nyatakan kepada anggota jemaat dalam pendampingan maupun keteladanan diri mereka mengarungi permasalahan kehidupan sehari-hari. Para hamba Tuhan ini diminta memperlihatkan bahwa dengan iman yang kecil dan kuat, semua permasalahan kehidupan apapun akan dapat dilewati dengan kemenangan, sebab dengan iman kita tidak berjalan sendirian melainkan beserta dengan Allah.

 

Akan tetapi poin lainnya para hamba Tuhan ini melakukan itu semua karena memang itu tugas dan panggilannya. Tidak ada alasan bagi para hamba Tuhan untuk menganggap bahwa Allah berhutang atas semua karya iman yang dilakukannya itu. Semua pekerja dalam ladang Tuhan dan orang percaya memiliki kedudukan hamba dan melayani Tuhan dengan tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan, sebab itu memang kewajibannya. Sama seperti dalam ayat di atas, ketika hambanya pulang dari ladang dan berkata kepada hamba itu: “Mari segera makan. Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum…”. Artinya secapek apapun hamba, tetap tujuannya adalah melayani Tuannya.

 

Jadi tidak ada alasan untuk sombong apalagi bermegah atas pelayanan iman yang diberikan. Pekerjaan hamba sebagaimana kita di hadapan Allah adalah hal yang selayaknya kita lakukan dan justru diminta ketaatan, termasuk taat dalam memberi pengampunan tadi. Kalau pun semua itu kita lakukan maka tidak ada keistimewaan yang layak kita terima. Ketaatan dan tunduk pada perintah-Nya bukanlah sesuatu yang istimewa melainkan suatu kewajiban dasar saja. Jangan kita berpikir adanya hak atau imbalan khusus untuk itu. Seperti ayat yang kita baca: “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” Maka semua sikap ini akan membuktikan karakter kita sebagai orang percaya (dan hamba Tuhan) sehingga menjadi berkat bagi orang lain.

 

Keempat: Hamba yang rendah hati (ayat 10)

 Akan tetapi Tuhan Yesus juga tidak mengatakan bahwa yang kita perbuat itu sia-sia dan tanpa arti, atau beranggapan itu tidak berguna dan bermanfaat, melainkan Ia mengecam mereka-mereka yang menonjolkan diri sendiri dan membuat itu sebagai kesombongan rohani. Tuhan Yesus menekankan agar kita jangan merekam dan berhitung apalagi bermegah dan menyombongkan diri untuk itu. Anugerah iman dan kuasanya yang besar sangat mudah menimbulkan kesombongan rohani, dan itulah yang Tuhan tidak inginkan. Kuasa iman juga bukan sesuatu yang perlu kita tonjolkan dan pamerkan, apalagi obral, melainkan semua itu hanyalah ketaatan dalam meninggikan dan memuliakan Dia.

 

Oleh karena itu Tuhan Yesus mengajarkan hubungan iman ini dengan kerendahan hati. Iman tidak dipakai dengan kesombongan apalagi menguji Allah membuktikan Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Memang Allah mampu melakukan segala sesuatu dan tidak ada yang mustahil bagi Dia (Luk. 1:37; Mrk. 14:36) akan tetapi itu semua sesuai kehendak-Nya. Allah sanggup dan orang percaya menjadi sanggup melalui kuasa-Nya, akan tetapi itu tidak dipakai untuk bermegah apalagi untuk mengharapkan kedudukan yang istimewa di hadapan Allah. Justru sebagai orang percaya apalagi hamba Tuhan, kita semakin dipanggil untuk melakukan semua itu dengan kerendahan hati dan hasrat yang kuat dan berakar pada Kristus, ketergantungan total dalam meninggikan Dia sehingga perbuatan kita hanya untuk menyenangkan hati-Nya.

 

Bagian terakhir dari pesan Tuhan Yesus adalah iman yang kita miliki harus dipakai untuk berkarya melalui perbuatan-perbuatan kasih. Untuk itu tidak dipersoalkan besarnya dan bentuknya iman yang kita miliki, akan tetapi yang utama adalah keinginan untuk berbuah nyata dalam tindakan kasih kepada sesama terutama yang membutuhkan. Sebab jikalau tidak demikian, iman yang dianugerahkan kepada kita itu tidak berbuah nyata, maka Allah akan menganggap kita sebagai hamba yang tidak berguna. Kalau soal kekuatiran akan tidak cukupnya iman adalah sesuatu yang wajar, sebagaimana kisah seorang ayah yang membawa anaknya untuk disembuhkan karena kerasukan roh yang membisukan anaknya: “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mrk. 9:14-27). Maka tetaplah berdoa agar iman kita semakin bertumbuh dan dikuatkan.

 

Kesimpulan

Melalui nats minggu ini kita diajarkan pentingnya iman bagi orang percaya (band. Ibr. 11:6; Rm. 14:23). Pelayanan kita dalam berhadapan dengan orang lain mungkin akan berhadapan dengan tantangan yang berat namun semua itu harus kita siapkan dengan iman. Dalam hal ini tidak masalah soal besar kecilnya iman sepanjang itu bertumbuh dengan berakar pada Tuhan dan kokoh di dalam Dia. Dalam melaksanakan iman itu haruslah kita ingat kedudukan kita adalah tetap sebagai hamba, dan diajarkan untuk tidak berhitung dengan Tuhan. Pelayanan adalah kewajiban kita yang sudah diselamatkan melalui darah Tuhan Yesus. Dalam pelayanan itu hendaklah kita melakukannya dengan kerendahan hati, sebab apabila diri kita yang ditonjolkan, maka kita akan dianggap hamba yang tidak berguna.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 688 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7529410
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
48462
65706
282176
7204198
564272
1386923
7529410

IP Anda: 162.158.162.146
2024-11-23 15:24

Login Form