Saturday, November 23, 2024

Khotbah Minggu 26 Juni 2022

 

Khotbah Minggu Ketiga Setelah Pentakosta Tahun 2022

 

 

HARGA MENGIKUT YESUS (Luk. 9:51-62)

 

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: 2 Raj. 2:1-2, 6-14; Mzm. 16; Gal. 5:1, 13-25

 

 

Pendahuluan

 

Pada minggu ini bacaan kita tentang perjalanan Tuhan Yesus beserta murid-murid-Nya yang akan pergi ke Yerusalem sebab saat Yesus dimuliakan dan ditinggikan sudah hamper tiba. Mereka berniat untuk melintasi wilayah Samaria sebab rutenya akan lebih dekat. Namun sikap permusuhan yang selama ini terjadi antara orang Yahudi dan orang Samaria membuat rombongan Tuhan Yesus tidak diperkenankan untuk melewati wilayah itu, sehingga timbul respon dari beberapa murid. Dari nats tersebut kita mempelajari beberapa hal dalam kehidupan ini sebagai berikut.

 

 

Pertama: dendam kesumat lama (ayat 51-53)

 

Suku Samaria sering disebut sebagai Setengah Yahudi sebab mereka merupakan campuran antara orang Yahudi dengan bangsa Assyria. Hal ini berawal ketika kerajaan Assyria mengalahkan kerajaan Israel Utara pada tahun 721 sM dan rajanya menempatkan serdadu-serdadu mereka di Palestina (2Raj. 17:24-41). Pergaulan yang terjadi membuat mereka saling kawin dan juga sekaligus merubah kebiasaan termasuk ritual agamanya. Bagi orang Samaria yang sudah tercampur, Yerusalem bukan lagi menjadi pusat ibadah, melainkan mereka lebih menyukai gunung Garizim sebagai tempat pemujaan dan pemberian persembahan kurban-kurban. Maka bagi orang Yahudi, suku ini dipandang tidak murni lagi dan murtad sehingga membenci mereka. Sebaliknya, suku Samaria karena sikap dan perbedaan itu juga tidak menyukai orang Yahudi dan membuat kedua suku ini menjadi bermusuhan.

 

 

Orang Yahudi dari Galilea apabila ingin melakukan perjalanan menuju Yerusalem atau wilayah Yudea selatan termasuk dalam melakukan ziarah, sebenarnya bisa langsung melalui wilayah Samaria ini. Oleh karena sikap bermusuhan tadi, maka orang Yahudi biasanya menghindar dan berjalan memutar ke utara terlebih dahulu sehingga jarak yang ditempuh lebih jauh. Akan tetapi Yesus berpikiran berbeda, Ia berusaha mendekatkan diri pada mereka, sebagaimana kisah Yesus beristirahat di tepi sumur dan berdialog dengan perempuan Samaria (Yoh. 4:1-26). Oleh sebab itu ketika hendak kembali ke Yerusalem, Yesus mengirimkan utusan untuk menanyakan apakah mereka boleh melewati wilayah tersebut, namun sambutan orang Samaria ini tertutup dan tidak bersahabat.

 

 

Pelajaran pertama yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah tidak ada gunanya membuat permusuhan, sebab buah permusuhan selalu merugikan dan tidak pernah menguntungkan. Sikap bermusuhan ini karena adanya dendam yang bersemayan di hati, padahal dendam itu hanya merupakan beban kepahitan yang merusak diri sendiri. Bermusuhan terhadap orang yang "jahat" sekalipun pasti merugikan, apalagi bermusuhan terhadap orang-orang baik, maka itu akan lebih merugikan lagi. Sikap bermusuhan akan menutup dialog dan interaksi, sekaligus tidak dapat mengembangkan peluang adanya kerjasama atau sinergi. Padahal, sinergi hanya bisa terjadi apabila ada kesatuan dan kesejajaran, sehingga untuk membangun sinergi semua pihak harus mengutamakan sikap terbuka dan kebersamaan dan bukan egoisme. Tuhan Yesus mengajarkan agar kita tetap rendah hati dan mengasihi musuh yang membenci kita dan dengan demikian maka tujuan kita untuk menyampaikan kabar baik dari Tuhan Yesus akan tercapai.

 

 

Kedua: penghakiman dan penghukuman hak Tuhan (ayat 54-56)

 

Dalam ayat sebelumnya diceritakan bagaimana sikap kita apabila suatu rumah atau kota tidak menerima kita dengan ramah dan baik, maka sebagai pemberita Injil  kita diajarkan agar keluar dari kota itu dan mengkebaskan debu dari kaki kita sebagai peringatan terhadap mereka (Luk. 9:4-5). Artinya, kita tidak perlu memaksa atau beradu argumentasi akan maksud baik kita dalam mengunjungi mereka. Demikianlah yang terjadi pada rombongan Tuhan Yesus, suku Samaria tidak bersedia memberikan izin kepada mereka untuk melintasi wilayah tersebut dalam tujuan mereka menuju Yerusalem. Penolakan ini membuat reaksi keras pada murid-murid Tuhan Yesus.

 

 

Rasul Yohanes dan Yakobus rupanya belum memahami perkataan Tuhan Yesus tersebut, sehingga mereka berdua berpikir lain dan ingin menghukum penduduk Samaria dengan cara menurunkan api dari langit untuk membinasakan mereka. Yohanes dan Yakobus terpengaruh akan perbincangan sebelumnya (ayat 8, 19 dan 30), bahwa Yesus itu sama dengan Elia, sebagaimana Elia pernah melakukannya pada pelayan raja yang jahat (2Raj. 1). Yakobus dan Yohanes merasa tersinggung dengan menganggap penolakan itu merupakan penghinaan terhadap Tuhan Yesus. Kedua murid ini merasa sombong dan berpikir seharusnya Tuhan Yesus harus diperlakukan dengan hormat dan tidak perlu melarang mereka melintasi wilayah Samaria tersebut dan ingin langsung menghukum orang Samaria tersebut.

 

 

Ini cara berpikir yang salah, yakni kita yang menjadi hakim dan pelaksana hukuman. Semangat dan hasrat yang berkobar-kobar serta kesetiaan pada Kristus tidak perlu menjadikan kita pelaku tindak kekerasan pada orang yang hidup di dalam dendam dan kegelapan. Kita harus mengendalikan roh mana yang menguasai diri kita sehingga tidak terjerembab dalam dosa dan akibatnya tujuan mulia yang kita emban malah tidak akan tercapai. Kita dipanggil bukan untuk membinasakan orang, melainkan untuk menyelamatkan mereka. Firman Tuhan mengatakan biarlah penghakiman dan penghukuman itu menjadi milik dan hak Allah (Rm. 12:19; Ibr. 10:30; Ul. 32:35-36) dan Allah tidak pernah memberi kuasa atau wewenang kepada kita untuk melakukan hal itu.

 

 

Ketiga: jangan mencari alasan untuk tidak mengikut Dia (ayat 57-61)

 

Dengan banyak melakukan kebaikan kasih dan mukjizat, maka semakin banyak orang yang ingin mengikuti Tuhan Yesus, meski dengan motivasi yang beragam. Ada yang terpanggil memang untuk melayani dan siap berkorban meninggalkan segala kehidupan lamanya, namun tidak sedikit yang ingin untuk kepentingan diri sendiri seperti penonjolan diri, kehebatan, keuntungan atau kesombongan. Tuhan Yesus mengetahui motivasi mereka ini, sehingga  hal yang diungkapkan oleh-Nya adalah akan kemiskinan-Nya atas harta benda duniawi, dan Ia mengatakan yang sebenarnya kepada seseorang yang ingin mengikut Dia, "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Yesus secara tidak langsung mengungkan bahkan orang Samaria juga menolak kehadiran-Nya.

 

 

Tetapi kepada orang lain Yesus mengajak agar dia mengikut Dia, orang tersebut bersedia namun dengan syarat, agar ia bisa pulang terlebih dahulu untuk menguburkan ayahnya. Respon Tuhan Yesus cukup keras dengan mengatakan, "Biarlah orang mati menguburkan orang mati." Dalam hal ini kita perlu hati-hati menafsiran ucapan Tuhan Yesus ini. Tafsiran pertama mengatakan tidak jelas persis apakah memang ayah orang ini benar-benar sudah meninggal atau dalam keadaan sakit kritis, sehingga ia hanya berdalih saja. Tafsiran kedua mengatakan bahwa pengertian orang mati dalam hal ini adalah mereka yang mati rohani, yang tidak merasa terpanggil untuk mengikut Dia, maka biarlah orang yang mati rohani juga mengurusnya. Tafsiran lainnya menyebutkan mungkin ayahnya memang sudah meninggal dan ia hanya ingin melakukan tugasnya sebagai anak untuk menguburkannya. Tetapi Yesus bukan berarti mengajarkan agar kita mengabaikan tanggungjawab kepada keluarga, melainkan Ia menyadari sering kali orang melepaskan tanggungjawab melayani dan mengabarkan Injil atau perbuatan kasih hanya dengan alasan keluarga.

 

 

Tuhan Yesus menekankan bahwa mereka yang siap mengikut Dia haruslah memiliki respon cepat dalam sikap dan tindakan, tidak ragu-ragu dan memberi alasan-alasan tertentu yang tidak benar dan prinsip. Tuhan Yesus dengan segala kebenaran dan panggilan-Nya haruslah ditempatkan pada prioritas yang utama dan kita harus bersedia membayar harga untuk itu, termasuk mengorbankan kepentingan keluarga. Yesus mengatakan demikian kepada orang ini sebab Ia tahu bahwa orang ini hanya mencari-cari alasan agar terhindar dari panggilan untuk melayani Dia dan memberitakan kerajaan Allah. Mengikut Yesus berarti menyadari konsekuensi dan harga yang harus kita bayar dan kita harus siap dengan hal itu. Itulah pelajaran ketiga yang diberikan kepada kita.

 

 

Keempat: jangan melihat ke belakang (ayat 51 dan 62)

 

Pada ayat 51 disebutkan Yesus pergi ke Yerusalem, meski Ia tahu akan penderitaan dan kematian yang menantinya. Yesus menatap terus ke depan akan tanggungjawab dari Bapa yang diemban-Nya. Kita seharusnya juga demikian, panggilan Tuhan kepada kita untuk melayani harus kita sikapi dan bersedia membayarnya dengan rasa sakit dan penderitaan, bukan menghindari atau menyurutkannya. Kalau kita menginginkan mahkota maka kita harus siap dengan memikul salib sekaligus. No gain without pain. Kalau kita berhitung untung dan buahnya saja tanpa bersedia membayar dan menanggung resiko, maka akan mudah terjadi penyesalan dan kita kembali melihat ke belakang.

 

 

Tuhan Yesus memberi perumpamaan dengan menyebut, "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah", maksudnya agar kita selalu menatap ke depan. Seorang yang membajak tanah apabila menoleh ke belakang maka hasil bajakannya pasti akan bengkok-bengkok dan sangat sulit untuk ditanami maksimal. Apabila kita fokus pada arah, maka tidak akan mudah pihak lain untuk menarik kita dari tujuan yang ingin kita capai.

 

 

Inilah harga yang diminta oleh Yesus dari kita yakni komitmen total dan bukan setengah hati. Jangan mudah sebentar-sebentar melihat ke belakang dan berpikir mengapa kita mengambil jalan yang sekarang ini. Kita jangan memilih jalan salib yang kita sukai saja, dan menghindar dari jalan susah dan tidak senangi. Kita harus memiliki prinsip sebagaimana Rasul Paulus nyatakan, "berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus." Rasul Paulus melupakan yang ada di belakangnya yang dahulu dianggap keuntungan, tetapi sekarang dianggap rugi karena telah mendapatkan Kristus" (Flp. 3:7-14).

 

 

Kesimpulan

 

Minggu ini kita diberkati dengan firman Tuhan yang mengajarkan betapa tidak bermanfaatnya permusuhan dan memelihara dendam. Semua itu akan merugikan. Demikian juga dalam sikap kita yang berbeda dengan orang lain, kita tidak diberi hak untuk menghakimi apalagi untuk menghukum, sebab itu adalah hak dan milik Allah. Yang paling utama adalah kita diminta untuk berkomitmen penuh dan total dalam melayani Dia dan jangan melihat ke belakang dalam pengertian seolah-olah terjadi penyesalan. Sebab dengan sikap menerima salib demikianlah kita tahu harga yang harus kita bayar untuk mengikuti Dia sebelum kita menerima mahkota dari-Nya.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 581 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7532408
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
51460
65706
285174
7204198
567270
1386923
7532408

IP Anda: 162.158.163.207
2024-11-23 16:33

Login Form