Sunday, November 24, 2024

Khotbah Minggu 30 Januari 2022

 

 Khotbah Minggu Keempat Setelah Epifani

 

 

YANG PALING BESAR ADALAH KASIH (1Kor. 13:1-13)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 1:4-10; Mzm. 71:1-6; Luk. 4:21-30

 

 

Pendahuluan
Dalam 1Kor 12 Rasul Paulus banyak mempersoalkan jemaat Korintus yang lebih mempertentangkan karunia-karunia Roh sehingga seolah-olah seorang lebih berharga di mata Tuhan dari seorang lain berdasarkan karunia rohani yang dimilikinya. Rasul Paulus mengatakan janganlah seorang merasa dirinya hebat dan memandang lainnya lebih rendah karena ia memiliki berkat atau karunia-karunia khusus tersebut. Tokh sebagaimana dijelaskan dalam nats tersebut, sumber karunia Roh adalah adalah dari Allah dan kita harus mempertanggungjawabkan kepada-Nya dalam penggunaannya. Dalam pasal 13 yang merupakan nats minggu ini - dan nats yang cukup terkenal ini, merupakan lanjutan dari penjelasan karunia rohani tersebut, yang kemudian Rasul Paulus menutup penjelasannya dalam 1Kor. 14: 1 dengan berkata: “Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat” (1Kor. 14:1). Oleh karena itu dari bacaan minggu ini kita mencoba mengambil beberapa pelajaran hidup untuk kita pakai sehari-hari.

 

 

 

Pertama: Kasih dasar dari segala pelayanan karunia (ayat 1-3)

 

Seperti dijelaskan dalam nats sebelumnya, semua karunia rohani yang diberikan Allah kepada orang percaya atau jemaat adalah untuk membangun gereja Tuhan. Dengan demikian motivasi yang menjadi dasar untuk pelayanan karunia Roh tersebut haruslah kasih terhadap Tuhan dan kasih terhadap sesama yang belum diselamatkan, maupun mereka yang imannya perlu dikuatkan untuk bertumbuh. Kalau seandainya karunia rohani atau berkat-berkat yang menyertainya dipakai jemaat atau hamba Tuhan untuk kepentingan dirinya sendiri dan kemegahannya, maka hal itu sudah lari dari hakekat sejati penggunaan karunia Roh tersebut.

 

 

Oleh karena itu firman Tuhan dalam nats ini mengatakan, sia-sialah karunia Roh tersebut kalau itu tidak didasari dan bertujuan kasih, ibaratnya seperti gong yang berkumandang atau canang yang bergemerincing. Artinya, penggunaan karunia itu hanya menghasilkan gaung atau gaya artikulasi, tidak kepada ketulusan hati dalam memberi manfaat sejati bagi kemuliaan Tuhan. Maka sekalipun kita memiliki karunia iman yang hebat atau pintar bernubuat, tetapi kalau tidak didasari kasih, maka itu akan sia-sia dan tidak berguna. Maksud dari sia-sia dan tidak berguna di sini tentu dalam kaitannya dengan pelayanan karunia Roh tersebut bagi pelayanan gereja Tuhan. Bahkan, dapat dikatakan apabila itu bukan untuk kemuliaan Tuhan, maka sumber “karunia” tersebut bukanlah dari Roh Allah, melainkan dari roh jahat.

 

 

 

Kasih harus menjadi prinsip dalam mengendalikan semua wujud rohani, merupakan sumber motivasi bagi kita dalam membagikan karunia Roh dan berkat-berkat yamg menyertainya. Kalau, misalnya, seseorang diberi “karunia memberi” berkat jasmani yang tentu didahului oleh kepintaran mencari harta atau uang, maka dasar memberi atau membagi-bagikan uang tersebut adalah karena kasih dari Allah dan kasih kepada manusia. Kita tidak diperbolehkan menonjolkan kehebatan dan kelebihan kita serta mengakui bahwa saat kita memberi karena merasa terpaksa, bermegah, atau dipuji untuk kemegahan kita.

 

 

 

Kalaupun kita melakukan sesuatu yang hebat menurut dunia, seperti “membakar diri” tetapi kalau dasarnya bukan kasih kepada Allah dan kepada manusia, maka itu semua tidak akan diperhitungkan dalam kerajaan-Nya. Segala kegiatan dan pelayanan hidup kekristenan kita haruslah berlandaskan kasih yang dari Kristus. Mungkin karunia yang diberikan kepada kita berbeda-beda, atau menerima karunia dalam jumlah dan kapasitas terbatas, tetapi kasih itu selalu ada dan tersedia bagi setiap orang untuk kita bagikan.

 

 

 

Kedua: Sifat-sifat kasih yang sejati (ayat 4-7)

 

Kasih sangat berkaitan dan mencerminkan sifat Kristus: Sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Kasih itu tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu (dalam arti tidak mudah curiga), mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu. Jadi, ada tiga belas sifat-sifat kasih digambarkan dalam nats ini.

 

 

 

Kita tahu bahwa mewujudkannya semua itu tidak mudah dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi kalau kita menyadari bahwa memperjuangkan segala sifat-sifat kasih itu dalam kehidupan sehari-hari berbuahkan kemenangan, maka kita tidak akan mudah terjatuh seperti jemaat Korintus yang kehilangan kasih itu. Kesabaran, misalnya, tidak kita lihat sebagai sebuah kelemahan dan sikap menyerah, melainkan kita lihat sebagai kekuatan dan kemenangan. Seseorang yang dapat memberikan kesabaran berarti itu merupakan tanda kehadiran Roh Kudus dalam dirinya. Ada yang mengatakan, kesabaran kepada orang lain adalah kasih, kesabaran kepada diri sendiri adalah pengharapan, dan kesabaran kepada Allah adalah iman. Kesabaran bersaudara dengan hikmat.

 

 

 

Gambaran sifat-sifat kasih yang diberikan dalam nats ini tidak kita uraikan satu persatu. Buku William Barclay tentang Pemahaman Alkitab Setiap Hari memberikan uraian yang lengkap dari setiap sifat-sifat tersebut. Namun, yang perlu kita fahami dan utama dari “kasih” itu adalah dari arti harafiahnya sendiri yakni “kasih =  memberi”. Memberi dalam arti kata bahwa diri kita tidak lagi menjadi tujuan dan yang utama, melainkan orang lainlah yang lebih utama dari kita. Kasih berarti memberi. Kasih berarti berkorban bagi diri sendiri untuk kebahagiaan orang lain. Bahkan kita harus ingat firman Tuhan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima (Kis. 20:35).

 

 

 

Sifat-sifat kasih itulah yang diharapkan menjadi ciri khas orang Kristen, menjadi jatidiri orang percaya sebagai jalan untuk memuliakan Allah. Rasul Paulus menyampaikan firman Allah ini kepada jemaat di Korintus karena dilihatnya jemaat ini sudah menyimpang dari ketulusan kasih dalam pelayanan karunia yang mereka terima.

 

 

 

Ketiga: Karunia lain bisa berhenti atau berubah (ayat 8-10)

 

Ayat 4-8 ini dapat ditafsirkan dalam dua makna. Makna pertama adalah bahwa karunia rohani yang diberikan kepada seseorang atau jemaat dapat ditarik kembali, apabila Tuhan memandang karunia tersebut tidak lagi efektip bagi pelayanannya. Seseorang yang memiliki satu atau dua karunia rohani dari Allah, seperti gabungan kemampuan mengajar dan melayani, atau bernubuat, membuat mujizat, menyembuhkan, dan lainnya, pada prinsipnya dapat Tuhan ambil kembali dari seseorang, karena sumber karunia tersebut adalah dari Allah sendiri. Demikian juga halnya, kita dapat menafsirkan bahwa karunia rohani itu dapat diberikan dalam sekejap atau waktu yang pendek saja dengan tujuan tertentu dan khusus dalam situasi yang khusus, dan kemudian Allah menariknya kembali. Hal ini sering menimbulkan kesalahan pengertian karunia dalam hidup orang-orang percaya, bahwa karunia itu sifatnya tidak kekal. Penafsiran ini wajar agar orang yang diberikan karunia khusus tersebut tidak menjadi sombong.

 

 

 

Karunia diberikan kepada orang percaya dan hamba Tuhan untuk memperlengkapi dan menunjang pelayanan, agar mereka melayani lebih efektif. Itu juga dasarnya mengapa karunia tidak diberikan seluruhnya kepada seseorang dan menjadi manusia super hebat, melainkan umumnya beberapa karunia saja diberikan kepada orang tertentu untuk pelayanan tertentu. Bila pelayanan tertentu tersebut sudah selesai, maka karunia yang diberikan dapat ditarik kembali. Dengan dasar itu karakter orang percaya dan hamba Tuhan yang harus dikembangkan adalah karakter yang berselubungkan kasih dan melekat dalam hidupnya. Orang percaya harus melihat karunia adalah alat dan sarana, sementara kasih adalah dasar motivasi dan tujuan karunia diberikan.

 

 

 

Makna kedua dari ayat-ayat tersebut adalah pada saat penghakiman nanti, segala karunia tersebut tidak lagi memiliki arti. Kita mungkin memerlukan karunia pengetahuan dalam mengenal Allah, tetapi ketika sudah dipanggil menghadap Dia, maka pengetahuan tidak diperlukan lagi. Demikian juga dengan nubuat semua akan berakhir dan bahasa roh akan berhenti (ayat 8). Semua itu tidak sempurna. Seperti disebutkan, kalau yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap (ayat 10).

 

 

 

Keempat: Yang terbesar adalah kasih (ayat 11-13)

 

Rasul Paulus menekankan dalam ayat 11-12 tentang kemungkinan keraguan akan datangnya pertanggungjawaban atas penggunaan karunia rohani tersebut. Jemaat Korintus telah tercemar dengan pemikiran semua itu mereka dapatkan untuk kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu ia menyebutkan jangan berfikir seperti anak-anak seolah-olah semua itu diberi dengan kemudahan dan pemberian tanpa timbal balik. Semua anggota jemaat diminta agar berfikir dewasa bahwa karunia tersebut harus dipertanggungjawabkan kelak. Kalaupun saat ini mereka melihatnya masih samar-samar dalam arti kata belum belum sempurna, maka nanti akan muka dengan muka dan sempurna tanpa ada yang terselubung tersembunyi.

 

 

 

Tiga hal yang diungkapkan dalam ayat 13 yakni iman, pengharapan dan kasih, maka menurut firman Tuhan yang terbesar adalah kasih. Kita tidak bisa mengandalkan iman saja tanpa berbuat kasih. Iman kita mungkin besar dan bisa memindahkan gunung (persoalan hidup), tetapi iman seperti itu adalah kosong dan mati. Pengharapan tanpa kasih kepada Allah dan kepada manusia, maka itu adalah sauh yang tidak kuat dan gampang hanyut ditelan gelombang. Kasih meminta pengorbanan kepada orang lain, dan iman yang menjadi fondasinya. Pengharapan adalah fokus dan ekspresi, tetapi buah tindakannya tetap adalah kasih.

 

 

 

Kita bisa memperbesar iman kita menjadi sebesar “biji sesawi”, atau pengharapan akan kehidupan kekal bersama Allah, tetapi kalau jiwa kita dan tindakan kita tidak selalu dalam kasih, maka semua itu akan hampa. Kasih adalah sesuatu yang mutlak dalam kehidupan orang Kristen.. Allah adalah Kasih (1Yoh. 4:8), oleh karenanya seluruh eksistensi hidup dan pelayanan kita haruslah berwujud kasih. Pada saat kerajaan-Nya kelak dinyatakan, yang tinggal adalah kasih dan yang abadi adalah kasih. Maka yang terbesar adalah kasih (ayat 13).

 

 

 

Kesimpulan

 

Setiap orang percaya didorong untuk memiliki karunia rohani dan agar pelayanan lebih efektip. Karunia rohani yang dipakai untuk menolong, mendorong, menguatkan mereka yang membutuhkan yang seluruhnya didasari kasih. Kita harus mengenal 13 sifat-sifat kasih yang diberikan dalam nats ini dan memahami harus berjuang untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menyadari semua berbuahkan kemenangan maka hal itu akan lebih mudah. Hal yang penting lainnya bahwa karunia rohani sendiri itu sifatnya tidak kekal, semua bisa berakhir dan hilang, baik dalam masa pelalayanan di dunia ini, maupun saat nanti kerajaan-Nya dinyatakan. Oleh karena itu, yang utama dan terbesar adalah kasih, bukan iman, dan bukan pengharapan. Mari kita wujudkan kasih itu dalam kehidupan sehari-hari, karena kasih dari Allah itu selalu tersedia melimpah bagi setiap orang dan siap untuk berbagi dengan sesama. 

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 11 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7550924
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
4034
65942
4034
7247234
585786
1386923
7550924

IP Anda: 162.158.162.18
2024-11-24 16:17

Login Form