Monday, November 25, 2024

Khotbah Minggu 25 Oktober 2020

Minggu XXII Setelah Pentakosta

BERBICARA BUKAN UNTUK MENYUKAKAN MANUSIA (Khotbah 1Tes. 2:1-8)

Bacaan lainnya: Ul. 34:1-12; atau Im. 19:1-2, 15-18  atau Mzm. 90:1-6, 13-17

atau Mzm.. 1; Mat 22:34-46

 

Pendahuluan

Bagaimana kita seharusnya melayani Tuhan? Rasul Paulus telah memberikan gambaran dan keteladanan melalui perjalanan hidupnya. Melayani membutuhkan persiapan terutama kesadaran paling pokok yakni kita wajib melayani sebab Allah telah memberikan yang terbaik bagi kita dan melayakkan kita untuk melayani-Nya. Pelayanan tidak hanya membutuhkan keahlian (teknis praktis), tetapi juga keteguhan, keberanian dan motivasi yang baik dan benar sehingga yang kita lakukan bukan untuk menyenangkan manusia (diri sendiri, keluarga atau pihak tertentu). Kesalahan dalam motivasi dapat membuat semua pelayanan hampa tidak berarti dan bahkan gereja dapat dirugikan. Melalui bacaan nas minggu ini kita diberikan pengajaran tentang keteladanan pelayanan Rasul Paulus dengan pokok-pokok sebagai berikut:

 

Pertama: Nasihat yang murni dan bukan tipu daya (ayat 1-2)

Perjalanan penginjilan Rasul Paulus merupakan mukjizat jalan yang Tuhan berikan sehingga Kekristenan dapat meluas hingga ke seluruh pelosok bumi saat ini. Tidak ada yang membantah bahwa penginjilan oleh Rasul Paulus (dan juga para rasul dan penginjil lainnya sebelum dan sesudahnya) kepada umat yang bukan Yahudi, merupakan berkat anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita semua. Kita bisa belajar bagaimana Rasul Paulus memulai penginjilannya ke benua Eropa pada perjalanan penginjilan keduanya (Kis. 16:36-18:22), setelah Allah menuntun-Nya melalui suara panggilan untuk menuju ke Makadonia. Dalam semua perjalanan penginjilannya hingga terakhir sebagai tawanan ke Roma, banyak rintangan dan halangan yang diterima Rasul Paulus. Jemaat mengetahui pengalamannya dihina dan dianiaya di Filipi sebelum ia berkunjung ke Tesalonika (Kis. 16:11-17:1). Namun dengan semangat siap berkorban dan tidak mengenal menyerah, disertai pertolongan dan kekuatan Roh Kudus, seluruh penderitaan yang dialaminya tidak menyurutkan hati Paulus untuk terus mengabarkan Injil. Upaya itulah yang membuat kekristenan semakin meluas di seluruh Eropa dan kemudian melebar ke seluruh dunia.

Demikian juga dengan kita. Apabila Tuhan menginginkan kita untuk melakukan sesuatu, maka Ia akan memberi kita kekuatan dan keperluan, termasuk keberanian dalam mengabarkan kabar baik dengan keteguhan, meski kita tahu akan ada tantangan dan rintangan yang muncul (band. Yer. 1:6-9; Flp. 1:30). Keteguhan tidak diartikan sebagai respon impulsif yang sembrono; Keteguhan memerlukan keberanian untuk menekan ketakutan dan melakukan yang baik dan benar. Kini pertanyaannya: Bagaimana caranya agar kita lebih teguh dan berani? Sebagaimana Rasul Paulus, kita harus lebih banyak menerima kuasa Roh Kudus, lebih banyak memberi kesempatan mengenal Tuhan Yesus, dan terjun langsung memulai tindakan dalam kesempatan yang lebih kecil dan mudah dahulu. Tiada perjalanan yang jauh dan panjang yang tidak dimulai langkah pertama. Semua memiliki tahapan dan latihan, seperti bersekolah harus lewat SD sebelum sampai ke puncak S3. Melangkah pertama masuk dalam pelayanan yang nyata akan mendorong kita untuk terus memberikan yang terbaik, sepanjang kita menyerahkan semua pelayanan itu bagi kemuliaan Tuhan semata.

Dengan kita melakukan semua di dalam Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya, khususnya dalam memberitakan Tuhan Yesus baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui pemberitaan firman atau perbuatan kasih dalam nama Tuhan Yesus, maka yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia. Kuncinya agar setiap tindakan harus dilakukan dengan keyakinan yang teguh, keberanian yang didasarkan pada semangat untuk belajar dan melayani lebih baik, dan motivasi yang benar tentang tujuan pelayanan. Pelayanan kita bukan melihat kebesaran dan hebatnya hal yang kita lakukan, melainkan didasari kesadaran bahwa Tuhan telah memberikan yang lebih banyak dan lebih baik kepada kita sebelumnya. Dengan kesadaran itu, maka niscaya pelayanan kita amat berharga di hadapan Tuhan.

 

Kedua: Berbicara bukan untuk menyukakan manusia (ayat 3-4a)

Rasul Paulus perlu menegaskan ulang tentang pengajaran dan nasihat yang pernah diberikannya, sebab waktunya di Tesalonika sangat singkat. Hal yang diajarkannya bukanlah tentang kesesatan, sebagai respon atas tuduhan para pemimpin Yahudi yang menghasut banyak orang, menyebut motifnya tidak benar sehingga ajaran yang disampaikan juga tidak benar (Kis. 17:5; 1Kor. 9:1-2). Tujuan pemimpin Yahudi adalah agar mereka meragukan Paulus dan menjadi goyah. Memang pada masa itu ada filsuf yang bertualang dari satu kota ke kota lain dengan mengajar, seolah-olah guru yang hebat tapi motivasinya untuk mendapatkan penghasilan dan keuntungan. Mereka hidup dari pemberian orang setelah mengajar. Tapi tujuan Rasul Paulus jelas tidak untuk mencari uang dan kekayaan, atau ketenaran dengan membagikan Injil. Dia memperlihatkan ketulusan motif dengan menunjukkan dia bersama Silas telah cukup menderita untuk mengabarkan Injil di Filipi. Mereka juga bekerja keras mencari nafkah karena tidak ingin menggantungkan hidup pada orang lain (hal ini akan dibahas di nas lain minggu depan). Ini merupakan bukti bahwa mereka juga siap berkorban demi berbagi keselamatan melalui kabar baik di dalam Injil.

Banyak orang terlibat dalam pelayanan dengan alasan yang berbeda dan bermacam-macam, meski kita akui tidak semua alasan yang tulus dan murni. Ketika motif buruk mereka terlihat, maka pekerjaan Kristus menjadi tercoreng dan gereja menjadi korban. Memang kalau dilihat, tidak seorang pun layak untuk memberitakan firman, sebab kita adalah orang berdosa. Akan tetapi melalui kasih karunianya, kita kemudian dilayakkan untuk menjadi hamba pelayan-Nya. Dalam suratnya ke jemaat Filipi, disebutkan tentang motivasi orang yang berbagai ragam dalam memberitakan Injil termasuk karena dengki dan perselisihan, atau memberitakan untuk maksud kepentingan sendiri yang tidak ikhlas. Tetapi banyak juga maksud baik seperti membagikan kasih. Rasul Paulus menutup dengan mengatakan, “Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita” (Flp. 1:15-18). Inilah yang menjadi alasan mengapa semua harus bersukacita sepanjang firman diberitakan.

Memang ketika kita dilayakkan, kita perlu menjaga agar kelayakan tersebut jangan dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan kepentingan Tuhan yang menugaskan dan melayakkan. Kelayakan kita membutuhkan ujian sebagaimana Rasul Paulus mengalaminya. Ini juga mungkin yang akan kita hadapi. Ujian bisa datang dari diri sendiri atau godaan iblis. Namun Allah tidak pernah mencobai manusia (Yak. 1:13). Ia mengetahui kesetiaan seseorang meski orang tersebut pernah jatuh seperti yang terjadi pada Petrus. Kini pertanyaannya kembali kepada kita: ketika kita terlibat dalam pelayanan, apa motivasi kita dalam melayani? Seberapa besar tingkat keberanian kita dalam menghadapi risiko penderitaan yang mungkin timbul karena pelayanan itu? Keteguhan dan keberanian tidak hanya dalam sisi materi, tetapi juga dalam kesiapan untuk menderita baik dalam segi jasmani maupun kejiwaan, dalam arti dihina dan dicela. Iblis tidak akan membiarkan kita untuk melakukan pelayanan yang terbaik dan ia akan gencar menggoda dan menjerat kita, meski semua itu ada dalam sepengetahuan dan kendali Allah. Apakah kita akan tunduk pada iblis atau taat pada Allah?

 

Ketiga: Tidak mencari loba dan pujian (ayat 4b-6)

Di dalam upaya kita untuk mempengaruhi orang lain, kita mungkin diuji atau digoda untuk mengganti posisi kita atau mengubah pesan yang ingin disampaikan; atau menggunakan sanjungan atau pujian yang berlebihan. Rasul Paulus tidak pernah mengubah pesan yang disampaikan agar hal itu lebih dapat diterima, tetapi ia menyesuaikan metodenya kepada para pendengar atau pembacanya. Jadi dalam hal ini pesannya sama, hanya kadang cara penyampaiannya bisa berbeda. Meskipun penyampaian kita harus diubah supaya sesuai dengan situasi tertentu, kebenaran Injil tidak dapat dikompromikan. Apalagi, akan sangat menjijikkan mendengar seseorang menyanjung berlebihan bahkan "menjilat" orang lainnya demi mencapai tujuannya. Sanjungan itu bisa palsu, dan kepalsuan seseorang itu pasti menutupi maksud sebenarnya. Orang Kristen tidak boleh menjadi penjilat. Kita yang memproklamasikan kebenaran Allah memiliki tanggungjawab khusus untuk selalu jujur. Pertanyaannya: apakah kita jujur dan bersikap terbuka terus terang dalam kata-kata atau perbuatan? Atau, apakah kita menceritakan pada orang lain tentang apa yang mereka hanya ingin dengarkan agar kita mendapatkan sesuatu atau pujian?

Ketika Rasul Paulus masih bersama mereka di Tesalonika, ia tidak mau memuji-muji mereka, tidak berharap akan penghargaan, bahkan tidak menjadi beban (ekonomi) bagi mereka (Kis. 20:33; 2Tes. 3:8; 2Kor. 11:9). Meski sebagai penginjil mereka berhak atas hal itu, tetapi mereka tidak memanfaatkannya (band. Gal. 6:6). Rasul Paulus dan Silas benar-benar dengan dorongan yang murni untuk pelayanan dan tidak ada maksud tersembunyi, seperti para filsuf yang sering berkelana mencari penghasilan. Mereka memusatkan perhatiannya pada usaha memperluas pekabaran Injil dan keselamatan kepada jemaat di Tesalonika (Gal. 2:7; 1Tim. 1:11). Ini yang sangat penting. Mereka tidak memilih yang enak didengar saja dan di balik itu ada maksud tersembunyi, udang di balik batu (2Kor. 2:17; 4:2). Memang kadang sulit bagi manusia untuk mengetahui semuanya, sebab manusia juga memiliki kemampuan untuk bermuka ganda bahkan topeng yang berlainan. Namun, Allah mengetahui dan mengujinya sehingga semua dibukakan pada saatnya nanti (1Kor. 4:4).

Orang percaya di Tesalonika hidupnya berubah oleh kuasa Allah, bukan oleh kuasa Rasul Paulus; semua itu dari pesan Kristus yang mereka percayai dan bukan pesan Paulus. Ketika kita menjadi saksi bagi Kristus, fokus kita bukan pada pesan dari diri kita, melainkan pada Pribadi Kristus dan pesan atas hal yang sudah dilakukan-Nya bagi kita orang berdosa. Sebagai orang Kristen dalam pelayanan sejati, kita harus mengarahkan semua kepada Tuhan Yesus dan bukan pada diri sendiri untuk mendapatkan hormat dan pujian atau menyombongkan diri (Yoh. 5:41, 44). Untuk itu pertanyaannya: Apakah kita melakukannya sekedar untuk menyukakan manusia sehingga mengorbankan kebenaran yang hakiki? Rasul Paulus telah memberikan teladan bagi kita sebagai hamba yang dipakai Tuhan, yakni menyadari kasih anugerah yang diterimanya. Ia juga tidak membanggakan diri atas hal yang dilakukannya, melainkan meletakkannya semua bagi kemuliaan Tuhan. Inilah panggilan dan sekaligus tantangan bagi kita, dan mari kita lakukan semua itu bukan untuk menyukakan manusia, tetapi menyukakan Allah sebab kita mengasihi Kristus dan jemaat-Nya (Gal. 1:10).

Keempat: Berkorban dengan membagi hidup (ayat 7-8)

Bagaimana Injil disebarluaskan? Apakah dengan kekerasan dan paksaan? Perjalanan Kekristenan memperlihatkan bagaimana semua dilakukan dengan kasih dan pengampunan. Hal yang dialami para rasul dan penginjil berupa penghinaan dan penganiayaan di awal abad gereja mula-mula dan termasuk orang percaya, tidak dibalaskan dengan kekerasan. Kita tidak pernah mendengar atau membaca perluasan Kerajaan Kristus dilakukan dengan peperangan. Justru yang terjadi adalah banyaknya martir-martir iman sehingga Kekristenan semakin terbukti sebagai agama kasih. Memang dunia lebih banyak memberi apresiasi terhadap kuasa dan ketegasan, meski tidak seorang pun mau untuk dilecehkan. Kelemahlembutan sering kali dipandang sebagai ciri atau sifat pribadi di dalam masyarakat dan bukan sebagai sikap. Kelemahlembutan sebenarnya adalah kasih dalam tindakan – dengan kepedulian, memenuhi kebutuhan orang lain, menyediakan waktu bagi orang lain untuk berbicara, memenuhi kebutuhan rohani, dan kesediaan untuk belajar. Itu sangat penting menjadi ciri dan sikap bagi setiap orang, laki-laki maupun perempuan.

Seorang yang mengasihi orang lain dan mengharapkan keselamatan kekal hanya dapat dilakukan dengan berbagi Tuhan Yesus dan Injil dengannya. Kasih yang mementingkan kebaikan dan penyelamatan sementara dari peristiwa khusus itu bagus, tetapi tidak sebanding artinya bila kita dapat memberikan keselamatan kekal pada orang lain melalui iman kepada Tuhan Yesus. Seorang yang berbagi kasih dan Injil pada dasarnya adalah seorang penginjil. Bagian akhir nas ini mengatakan bahwa Rasul Paulus mengasihi mereka dengan cara yang nyata, yakni berbagi hidupnya dengan jemaat. Rasul Paulus memberikan gambaran pelayanan seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawat anaknya. Seorang ibu jelas merawat dan mengasuh dengan kelemahlembutan. Kelemahlembutan adalah bagian dari buah-buah Roh dan penyangkalan diri. Sebagaimana dijelaskan di atas dalam memberi kasih dan kelemahlembutan, tidak ada cara lain yang lebih efektif selain memberi hidup kita kepada orang yang kita kasihi. Seorang ibu yang merawat bayinya pastilah dengan sepenuh hati dan bila perlu rela untuk meninggalkan pekerjaan atau kariernya. Untuk itu, peliharalah sikap lemah lembut dalam berhubungan dengan orang lain.

 

Penutup

Melalui nas minggu ini kita diberi pengajaran tentang pelayanan Rasul Paulus di jemaat Tesalonika yang sangat singkat. Ia tidak lama tinggal sebab ada perlawanan dari pemimpin Yahudi. Namun ia memelihara hubungan yang baik dengan jemaat dan hatinya terus terpaut pada mereka. Ia menegaskan posisinya sebagai Rasul dan juga sebagai seorang ibu yang merawat bayinya. Hal yang dituduhkan pemimpin Yahudi hanyalah tipuan agar iman mereka goyah. Nasihat yang diberikan Rasul Paulus sungguh murni dari Tuhan dan tidak ada maksud untuk tipu daya, apalagi untuk kepentingan keuntungan. Ia perlu berbicara dengan tegas sebab ia tidak bersedia mengkompromikan kebenaran Tuhan, dan ia tahu tugasnya bukan untuk menyukakan manusia tetapi menyukakan hati Allah. Hinaan dan penganiayaan yang diterimanya di Filipi adalah bukti keteguhan dan keberanian yang diperlihatkannya dan tidak menyurutkan motivasinya untuk berbagi keselamatan melalui Yesus dan Injil. Tuhan telah melayakkan dirinya untuk menjadi penginjil karena kasih karunia pengampunan yang diberikan atas semua dosa-dosa yang dilakukannya. Untuk itu, setiap orang perlu berkorban membagi hidup dengan orang lain, memberi perhatian, berbagi waktu dan kepedulian, sambil terus belajar. Hal terakhir yang ditekankannya adalah perlunya kelemahlembutan dalam penginjilan sebab Allah memberi kasih, dan kasih itu kita juga berikan dengan kelemahlembutan. Tuhan Yesus memberkati.

Pdt. Em. Ir. Ramles M. Silalahi, D.Min  

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 8 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7551595
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
286
4419
4705
7247234
586457
1386923
7551595

IP Anda: 172.69.165.16
2024-11-25 08:45

Login Form