Saturday, November 23, 2024

Khotbah Minggu 13 September 2020

Minggu XV Setelah Pentakosta

 

JANGAN MENGHAKIMI SEBAB KAMU AKAN DIHAKIMI

(Khotbah Rm. 14:1-12)

Bacaan lainnya: Kel. 14:19-31 atau Kel. 15:1b-11, 20-21 atau Kej. 50:15-21; Mzm. 114 atau Mzm. 103:1-7, 8-13; Mat. 18:21-35

 

Pendahuluan

Pada masa surat ini ditulis pengkut-pengikut Kristus di Roma, masih banyak yang baru percaya dan mereka belum dapat membedakan kehidupan orang percaya dengan kehidupan dalam agama Yahudi. Bagi mereka, hal yang dipercayai dan dijalani menurut Taurat seolah-olah masih berlaku dan ini jelas menjadi sumber perdebatan. Tetapi itu tidak mencerminkan mereka kurang percaya dan dapat dituduh beriman lemah. Mereka yang sudah hidup di dalam kebebasan Kristus atau yang beriman kuat langsung kadang menghakimi dan merendahkan yang lainnya. Ini sangat mengganggu kesatuan jemaat dan suasana damai sejahtera yang menjadi inti kehidupan orang Kristen. Setiap orang tidak dipanggil untuk menjadi hakim bagi orang lain, apalagi yang diperdebatkan seringkali tidak hal mendasar dan bukan pokok keimanan kita. Untuk semua itu ada Hakim yang lebih benar dan adil bagi semua orang. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajarannya sebagai berikut:

 

Pertama: Terimalah kelemahan dan perbedaan orang lain (ayat 1-3)

Ayat ini memberikan gambaran terjadinya perbedaan pendapat dalam jemaat di Roma tentang hal-hal yang dianggap belum terlalu jelas. Mereka senang berdebat dan berbeda dalam pandangan tentang sikap yang benar di tengah-tengah masyarakat dan pemerintahan saat itu, yang dianggap menyimpang dari kehidupan orang Kristen. Mereka berdebat soal makanan yakni sayuran, daging dan darah, tentang memakan daging bekas persembahan pagan, atau soal merayakan hari-hari kebesaran pagan yang dijadikan hari kebesaran umat Kristiani. Mereka melihat cara memotong hewan yang dianggap masih menyisakan darah, dianggap tidak halal. Perbedaan soal makanan berangkat dari permasalahan keinginan bebas serta batasan-batasannya, pemahaman dan makna kebebasan dalam Kekristenan yang terbatas. Akhirnya mereka yang tidak mau makan daging atau sisa penyembahan berhala, dianggap imannya lemah.

Akan tetapi bagaimana bisa terjadi orang Kristen sampai ikut memakan bekas makanan berhala saat itu? Seperti diketahui, sistem ritual zaman dahulu termasuk ibadah Yahudi, peranan korban persembahan sangat penting dan menjadi pusat ibadah, sosial dan kehidupan keseharian orang-orang di Roma. Prosesinya, setelah korban dipersembahkan kepada allah di kuil pagan, hanya sebagian daging korban yang dibakar. Sebagian lagi dagingnya umumnya sering dijual di pasar, dan harganya jauh lebih murah. Maka ada orang Kristen yang tidak peduli atau tidak tahu asal usulnya, membeli daging tersebut dan memakannya di rumah atau dengan teman-temannya. Sebagian lagi berpendapat orang percaya perlu bertanya asal usul daging tersebut sebelum membelinya; ini perlu untuk menghindari rasa bersalah (1Kor. 10:14-33). Persoalan moril rasa bersalah ini menjadi berat bagi mereka yang pernah menyembah allah pagan dan ikut dalam ritual seperti itu. Bagi mereka, hal yang mengingatkan mereka akan allah pagan sebelumnya, akan membuat iman mereka yang baru menjadi lemah. Tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa daging yang sudah dipersembahkan tidak masalah untuk dimakan, sebab mereka mempersembahkan kepada allah pagan yang tidak punya arti alias palsu. Rasul Paulus juga menjelaskan hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (1Kor. 8).

Firman Tuhan dalam nas ini mengingatkan secara tidak langsung agar mereka jangan terjebak kaku pada pendapat masing-masing. Perbedaan pendapat juga tidak perlu ditakuti dan dihindari, tetapi diterima dan ditanggapi dengan kasih. Mereka jangan berharap juga setiap orang di dalam suatu jemaat selalu memiliki pendapat yang sama tentang segala hal. Justru melalui kekayaan perbedaan pendapat yang berkembang, mereka akan lebih memahami tentang hal yang diajarkan oleh Kitab Suci. Terima, dengarkan, dan hormati pendapat orang lain, itu yang penting. Kedewasaan iman membutuhkan proses yang panjang dan pembinaan. Perbedaan adalah wajar tetapi tidak perlu menjadi perdebatan panjang yang tidak akan membangun kesatuan jemaat, apalagi sampai membuat perpecahan dan pengelompokan. Perbedaan justru sebagai sumber pembelajaran dan kekayaan dalam hubungan di antara jemaat. Misalnya, apabila seseorang menganggap orang lain berdosa atas perilakunya; akan tetapi orang yang "dihakimi" mengatakan bahwa yang menghakimi adalah mereka berpikiran sempit dan tidak punya pengharapan. Dalam situasi tersebut, siapa yang benar? Tentu kita sadari, beberapa pokok permasalahan dapat berubah dan dilihat berbeda sesuai latar belakang budaya, pendidikan, dan kepercayaan masing-masing. Rasul Paulus menyampaikan tetap ada suatu kebenaran yang dapat diterapkan bagi siapa saja. Ia tidak berusaha hidup di dalam kehidupan intelektual yang terasing di dalam menara gading. Ia menerapkan teologi ke dalam kehidupan sehari-hari yang nyata, melakukan sesuai dengan yang dikhotbahkannya. Satu kata dengan perbuatan.

 

Kedua: Semua yang dilakukan adalah untuk Tuhan (ayat 4-6)

Apa yang menjadi perdebatan umat Kristen saat ini sehingga orang percaya saling menghakimi? Apakah soal makanan? Soal cara beribadah dan bernyanyi? Soal perayaan natal yang megah atau paskah? Makan daging yang dicampur dengan darah? Soal tradisi budaya leluhur atau kain/barang tradisional yang dianggap sinkritisme? Minum anggur atau minuman beralkohol? Pertanyaannya: bagaimana sikap kita dengan mereka yang berbeda pendapat dengan kita? Menurut Rasul Paulus, mereka yang lemah adalah orang yang baru di dalam iman dan sebagai orang percaya baru membutuhkan banyak aturan dan ketentuan. Rasul Paulus menasihatkan kepada mereka yang lemah dan juga yang kuat tentang perbedaan budaya dan kebiasaan, melihat soal makan atau tidak memakan makanan tertentu itu lebih kepada pilihan, bukan persoalan moral. Namun, pandangan dan sikap soal makanan bisa menjadi masalah moral ketika mereka menghakimi orang lain dengan tidak bijak dan benar. Demikian juga soal peringatan hari-hari penting, agar mereka tetap mendasarkan kepada penyembahan kepada Yesus Kristus, Tuhan kita semua.

Apa yang disebut dengan iman yang lemah? Rasul Paulus berbicara tentang iman yang belum dewasa bagaikan tubuh yang otot-ototnya belum dikembangkan dan siap menerima tekanan-tekanan dari luar. Misalnya, jika seseorang yang tadinya penyembah pagan dan menjadi Kristen, dia sangat mengerti dengan jelas bahwa Kristus telah menebus dan menyelamatkannya melalui iman dan allah pagan tidak memiliki kuasa itu. Begitu juga dengan latar belakang kehidupan pagan, dia mungkin akan merasa tergoncang berat jika dia tahu memakan makanan bekas atau sisa penyembahan berhala adalah sesuatu yang salah (band. 1Kor. 8:9-12; 9:22). Jika seseorang Yahudi yang terbiasa mengikuti aturan-aturan hari besar dan suci bagi agama Yahudi, seperti Sabat beristirahat harus di hari Sabtu (Kej. 2:2-3; Kel. 20:11; Yes. 58:13-14; band. Kis. 20:7; 1Kor. 16:2; Gal. 4:10), hari berpuasa, dan kemudian menjadi seorang Kristen, dia sangat tahu bahwa ia diselamatkan karena iman dan bukan karena ketaatannya pada aturan-aturan ritual hari raya tersebut. Demikian juga ketika hari raya lainnya tiba, dia dapat merasa hampa tidak berarti jika dia tidak melakukan sesuatu pada hari raya itu kepada Tuhan.

Hal yang perlu kita lihat, Rasul Paulus merespon kepada mereka yang imannya yang lemah dan kuat dengan penuh kasih. Kedua kelompok itu sebenarnya bertindak sesuai dengan kesadaran dan hati nuraninya, akan tetapi keberatan atau keragu-raguan mereka yang jujur tidak perlu dijadikan sebagai aturan baru di dalam jemaat. Kalau mereka yang ingin makan sesuatu yang menurut orang lain najis, maka tetap saja makan dengan cara yang tidak perlu "bangga" atau pamer apalagi harus berdebat dan berselisih. Lakukanlah semuanya dalam ucapan syukur (1Kor. 10:30, 31; 1Tim. 4:3, 4). Bagi mereka yang mengutamakan aturan, Rasul Paulus berkata: orang percaya yang imannya kuat sebaiknya menekankan untuk tidak membuat banyak aturan dan ketentuan (Kol. 2:16-23). Mungkin beberapa hal pokok penting bagi iman mereka perlu didiskusikan, akan tetapi akhirnya kebanyakan lebih kepada perbedaan pendapat pribadi dan hal itu tidak perlu dikukuhkan menjadi aturan baku jemaat. Prinsip orang percaya dalam bersekutu dan berjemaat haruslah: dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dalam segala hal, kasih. Yang penting, mereka melakukan semuanya dengan keyakinan yang penuh, dan berpegang pada prinsip mereka berdiri karena Allah berkuasa atas diri mereka.

 

Ketiga: Hidup bukan untuk diri sendiri (ayat 7-9)

Siapa yang lemah dan siapa yang kuat? Kita umumnya lemah di satu bidang dan kuat di bidang lainnya. Iman kita dapat disebut kuat ketika kita hidup bersama-sama di sebuah kumpulan orang-orang berdosa dan kita tidak terpengaruh ikut ke dalamnya. Kita adalah orang yang lemah ketika kita menghindar dari sebuah kegiatan, tempat, atau pergaulan dengan orang lain demi untuk menjaga kehidupan rohani kita. Memang sangat penting mengenali setiap kelemahan dan kekuatan kita dalam karunia rohani. Bagi iman yang lemah, kita perlu hati-hati dan waspada dan jangan mencobai Allah. Apabila kita ragu, kita boleh bertanya: apakah saya cukup kuat melakukan hal itu tanpa nanti berdosa? Apakah saya mampu untuk mempengaruhi orang lain untuk lebih baik, atau malah saya yang akan terpengaruh oleh mereka? Tapi apabila iman kita lemah dan kita "ingin menonjolkan diri", maka sebenarnya kita adalah orang yang benar-benar bodoh. Sebaliknya, bagi imannya yang kuat, kita tidak perlu takut akan rusak oleh dunia; dan kita lebih baik ikut bergabung melayani Tuhan. Justru apabila kita sebenarnya kuat namun kita menyembunyikan dan mengabaikannya, maka kita sebenarnya tidak melakukan yang diperintahkan Kristus dilakukan di dunia ini.

Kita hidup di dunia ini bukan sebagai kebetulan, apalagi mengganggap sebuah "kecelakaan". Allah melalui Yesus memiliki rencana bagi setiap individu di tengah-tengah seluruh ciptaan-Nya. Memang seringkali manusia mengabaikan hal itu sehingga melihat hidup itu hanya kebetulan, sambil lewat, "dijalani saja", tanpa berusaha untuk mencari dan memahami rencana terbaik Tuhan dalam dirinya. Setiap orang dalam dirinya ada potensi berkat yang bukan hanya untuk dia sendiri, tetapi juga untuk orang lain meski kadang dengan keterbatasan (band. Yoh. 9:3 dab tentang anak yang lahir buta). Apalagi bagi mereka yang sehat fisik dan jasmani terutama yang diberi karunia rohani khusus termasuk kecerdasan, maka hidupnya pasti penuh dengan potensi berkat yang siap dibagikan kepada orang lain, sesuai dengan rencana Tuhan. Kita sangat mudah memahami bahwa kita hidup bukan untuk diri sendiri saja. Segala "kelebihan" yang kita miliki pasti dipersiapkan dan diperuntukkan untuk menutup "kekurangan" orang lain (2Kor. 8:13-15). Sama halnya, kekurangan diri kita pasti bisa ditutup oleh kelebihan orang lain, sepanjang kita mengakui dan bersedia untuk kerjasama bersinergi.

Dengan demikian, kita dapat sebutkan bahwa penebusan dan penyelamatan ke dalam kerajaan-Nya adalah dalam rencana untuk kemuliaan Tuhan semata. Dengan ditebus dan diselamatkan maka sebenarnya kita sudah menjadi milik Tuhan sebagai Penebus. Kita ditebus dan dibebaskan dari budak dosa dan tuan kita yang lama yakni iblis dan kita masuk dalam kerajaan baru yang damai sejahtera dan penuh kemuliaan. Dengan ditebus maka kita juga diangkat menjadi anak-anak-Nya yang akan ikut mewarisi bagian dari Kerajaan Allah (Yoh. 1:12). Memang dalam hal ini, kita diuji, apakah kasih penyelamatan itu kita sia-siakan dan hidup kita kembali kepada kehidupan yang lama, atau siap dipakai memenuhi panggilan dan rencana Tuhan masuk ke dalam pelayanan? Ini bisa terbagi tiga denga gradasinya, sebagian orang mungkin akan kembali terjerat godaan Iblis, sebagian lagi tetap berusaha setia tetapi tidak terpanggil untuk masuk dalam pelayanan, dan sebagian tetap setia dan masuk dalam pelayanan. Semua itu kelak kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan setelah kita mati, sebab diri kita telah menjadi milik-Nya, maka hidup dan mati kita adalah menjadi milik-Nya.

 

Keempat: Janganlah menghakimi dan menghina saudaramu (ayat 10-12)

Firman Tuhan bertanya ke dalam lubuk hati kita terdalam: mengapa kita (perlu) menghakimi? Mengapa kita sampai menghina mereka yang imannya kita anggap lemah? Apa tujuan semua itu? Memang firman Tuhan memberi peluang "penghakiman" dalam gereja, akan tetapi mesti sesuai dengan prinsip Alkitab (Mat. 18:15-20). Tuhan Yesus mengatakan apabila seorang jemaat kita anggap melakukan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, maka ada tahapan-tahapan "penghakiman" yang dilakukan, yakni tahapan:

  1. Berbicara empat mata;
  2. Berbicara dengan membawa orang lain sebagai saksi;
  3. Membawa kepada sidang jemaat;
  4. Mengeluarkan dari keanggotaan dan dianggap tidak mengenal Allah di dalam Tuhan Yesus (sebaiknya melalui proses panjang didahului dengan mendoakan dan mengingatkan dampak bila tetap berbeda pendapat).

Dengan demikian motivasi dan tujuan kita melakukan penilaian dan memberi nasihat (istilah yang lunak dari penghakiman) adalah bertujuan baik untuk kebaikan orang tersebut, bukan untuk memperlihatkan kehebatan dan kelebihan kerohanian kita. Dalam hal ini tidak ada peluang sedikitpun dari Alkitab untuk kita boleh menghina dan merendahkan (Luk. 18:9).

Kita tidak perlu takut dan menghindar dari proses yang dinyatakan dalam Alkitab, apabila ada "tindakan" seseorang yang menjadi pergunjingan dan perdebatan. Kita juga tidak perlu tenggang rasa sebab itu adalah kasih yang berpura-pura dan malah menjerumuskan. Meski kita masuk dalam penilaian dan "penghakiman" gerejawi, kita bisa lolos dan beradu argumen dan keahlian, namun kita tetap akan menghadapi pengadilan Allah. Tak seorang pun akan bisa menghindar dari proses itu dan semua orang bertekuk lutut. Allah mencatat, mengingat, menimbang, memperhatikan, menetapkan dan memutuskan segalanya dengan adil dan benar. Tidak perlu ada saksi-saksi sebab Allah adalah Maha Kuasa. Allah tidak membutuhkan pandangan dan penilaian manusia yang subjektif serta sering terkotori oleh dosa. Setiap orang bertanggungjawab pada Kristus secara langsung, bukan kepada orang lain atau kepada gereja. Ketika kita berdiri di hadapan Yesus dalam pengadilan akhir zaman, kita juga tidak diperlukan mengurusi atau memberitahukan hal yang dilakukan oleh orang lain, semuanya hanya tentang diri kita sendiri (2Kor. 5:10).

Akan tetapi gereja tetap perlu bersikap tidak kompromistis terhadap kelakuan yang jelas-jelas dituliskan dalam Alkitab, seperti perzinahan, homoseksual, pembunuhan, pencurian dan lainnya; terhadap hal-hal yang tidak prinsip gereja tidak perlu membuat aturan atau ketentuan baru di dalam jemaat. Hal yang perlu dihindari dan diajarkan terus menerus yakni agar orang Kristen jangan melakukan penghakiman moral berdasarkan pendapat pribadi, suka atau tidak suka, standar budaya yang bias dan bukan berdasarkan firman Tuhan (Mat. 7:1). Mereka tidak perlu mencari kemenangan atas pendapat dan keunggulan rohani untuk dipuji dan bercongkak, sebab mengutamakan menang dan kalah dalam kehidupan jemaat tidak sesuai dengan sifat kasih. Ketika mereka melakukan hal tersebut, mereka justru memperlihatkan iman yang lemah sebab tidak menyadari bahwa Allah berkuasa dan siap sedia membimbing semua anak-anak-Nya. Kita saling menerima apa adanya. Setiap orang perlu menjaga hubungan yang baik dan penuh kasih dengan tetap berprinsip hanya ada satu Hakim yang adil dan benar dan memberikan ganjaran yakni Tuhan Yesus Kristus. Dia-lah satu-satunya yang memiliki hak dan kewenangan menghakimi manusia.

 

Penutup

Dari bacaan dan uraian di atas kita mengetahui bahwa Allah memberikan dan membiarkan perbedaan dalam kehidupan orang percaya sebagai sumber kekayaan hikmat dari Allah. Kita yang merasa kuat dan berdiri teguh, harus dapat menerima perbedaan terhadap yang kita anggap lemah. Semua hal yang kita terima dan berikan dalam kehidupan ini, bagaimanapun juga, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan semata untuk kemuliaan-Nya. Kita ditebus dan diselamatkan dari kematian kekal oleh Tuhan Yesus, berarti kita telah menjadi milik-Nya. Kita hidup bagi Tuhan dan kita mati pun bagi Tuhan. Hidup dan mati kita dipersembahkan kepada Tuhan. Kita tidak dapat hidup untuk diri sendiri, sebab pemberian berkat dan karunia rohani dari Allah itu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Oleh karenanya, jangan menghakimi apalagi menghina sesama saudara sebab kita juga akan dihakimi. Perintah nas ini adalah agar kita menerima perbedaan dengan prinsip dasar Kekristenan, yaitu dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dan dalam segala hal, kasih. Tuhan Yesus memberkati.

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 789 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7533040
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
52092
65706
285806
7204198
567902
1386923
7533040

IP Anda: 172.69.165.77
2024-11-23 16:44

Login Form