Kotbah Minggu 6 September 2020
Minggu XIV Setelah Pentakosta
kasih adalah kegenapan hukum Taurat (Khotbah Rm. 13:8-14)
Bacaan lainnya: Kel. 12:1-14 atau Yeh. 33:7-11; Mzm. 149 atau Mzm. 119:33-40; Mat. 18:15-20
Pendahuluan
Nas minggu ini merupakan kelanjutan Roma pasal 13:1-7 tentang perintah tunduk pada pemerintah yang resmi berkuasa dari Allah. Salah satu sikap tunduk itu adalah kepatuhan dalam membayar pajak dan cukai sehingga tidak menjadi hutang berkepanjangan. Sikap ini didasari atas kebenaran dan kasih kepada pilihan Allah yang memerintah untuk dipergunakan bagi kepentingan masyarakat banyak, yang kemudian kita menerima manfaatnya sebagai warga. Selanjutnya nas minggu ini menekankan kasih yang lebih menyeluruh di dalam hidup umat-Nya, sebab sesuai yang dituliskan, kasih sejatinya adalah kegenapan hukum Taurat. Sikap kasih itu dijabarkan dari larangan berpura-pura hingga wajib diwujudkan segera dalam kehidupan saat ini sebab waktu yang sempit sebelum kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran tetang pelaksanaan kasih sebagai berikut.
Pertama: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (ayat 8-9)
Pertanyaan untuk nas ini adalah: Mengapa hutang dikaitkan dengan kasih. Dalam ayat-ayat sebelumnya kita diingatkan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban kita di dalam kehiduan sehari-hari dengan tepat dan benar, termasuk kepada pemerintah untuk pembayaran pajak, cukai, rasa takut dan hormat. Alasannya jelas. Kalau dalam hubungan dunia, kita mendapatkan dari pemerintah, seperti perlindungan keamanan, fasilitas publik, dan lain-lain, maka untuk itu kita perlu membayar pajak dan bea (band. Mat. 22:21). Dalam hal ini firman Tuhan mengatakan jangan kita berhutang apalagi “ngemplang” kepada pemerintah sebab kita sudah memerima kebaikannya. Hukum timbal balik dalam pengertian positif adalah sesuatu yang baik dan wajar. Maka kita juga yang sudah percaya pada Tuhan Yesus dan menerima anugerah-Nya, kasih Allah yang melimpah dicurahkan secara permanen, maka kita juga jangan sampai berhutang kepada-Nya. Jalan terbaik untuk membayar hutang kasih kepada Allah adalah dengan memenuhi kewajiban kasih kepada sesama di samping terus mengikuti perintah-Nya serta memuliakan-Nya (1Yoh. 5:2). Kasih Yesus akan selalu jauh lebih besar dari yang bisa kita berikan, Ia juga lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh. 4:19) sehingga tidak mungkin terbayarkan meski dengan nyawa kita. Oleh karena itu kasih kepada sesama disebut sebagai hutang, bahkan hutang yang tidak dapat dibayar habis dan untuk membayarnya hanya dengan jalan kasih saja
Demikian juga dikatakan bahwa kasih terhadap sesama dimulai seperti kasih kepada diri sendiri. Kita tidak boleh berpikir bahwa mengasihi diri sendiri adalah salah. Mengasihi diri sendiri dalam arti memberi respek terhadap diri sendiri dan mengakui karunia rohani Allah di dalam diri kita. Mengasihi diri sendiri dalam arti memelihara dan mengembangkan pikiran, tubuh, dan potensi diri kita, menggunakan seluruh karunia rohani tujuan yang baik bagi Tuhan, jelas sangat menyenangkan hati Tuhan. Hal yang dilarang dan ditolak Tuhan adalah mencintai diri sendiri secara berlebihan, narsis memuja berlebihan, dan itu akan menjadi tanpa ujung dan bisa tak habis-habisnya. Mengendalikan diri demi untuk mewujudkan kasih kepada sesama adalah pilihan orang Kristen. Hakekat Kristiani adalah pengorbanan. Tidak ada arti dan makna yang lebih dalam dari KASIH di dalam bahasa Indonesia yang berarti BERI. Kasih artinya memberi. Memberi artinya berkorban dan tidak menuntut bagian dan kepentingan kita. Apabila kita belum mampu memberi, maka bisa dengan meminjamkan yang kita punyai (Kel. 22:25; Mzm. 37:26; Mat. 5:42). Kalau kita meminjam maka segeralah lunasi atau mengembalikannya tanpa membuat orang lain susah dan menderita (band. Mat. 7:12). Firman Tuhan mengatakan, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh. 3:18).
Mungkin kita memiliki penilaian diri yang tidak tinggi, tetapi tidak mungkin membiarkan diri kita kelaparan. Baju yang kita pakai pun mungkin bisa sederhana saja. Kita juga pasti marah apabila seseorang mencoba menghancurkan rumah tangga kita, sebab kita mengasihi anak-anak kita. Semua ini adalah kasih yang kita butuhkan untuk sesama. Oleh karena itu pastikanlah bahwa ada ukuran plafon atau atap di atas kepala kita, agar kita tidak narsis dan besar kepala mencintai diri sendiri dengan berlebihan. Kita perlu melihat apakah tetangga kita cukup makan bergizi, mereka memiliki pakaian yang layak, atau tempat tinggal yang layak huni? Apakah kita peduli dengan masalah ketidakadilan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat? Atau, apakah kita tergerak bilamana ada sebuah bencana sosial terjadi di wilayah tertentu dan tergerak memberikan sumbangan? Mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri berarti kita secara aktif terlibat dan terbeban terhadap kebutuhan mereka agar tercukupi secara minimal. Hal yang menarik dari kehidupan, justru mereka yang memberi perhatian lebih banyak pada orang lain dibanding kepada dirinya sendiri, sangat jarang menderita rasa harga diri yang rendah. Ada kebanggaan, optimisme dan percaya diri. Maka, wujudkanlah kasih itu sepanjang kita bisa (Yoh. 13:34; Kol. 3:14). Dengan mewujudkan kasih seperti itu, maka kita telah menjalankan hukum Taurat.
Kedua: Kasih adalah kegenapan hukum Taurat (ayat 10)
Allah mengasihi umat-Nya dengan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Dalam perjalanan keluar itu, Allah memberikan pedoman hidup berupa hukum Taurat bagi bangsa Israel, agar mereka tetap selamat dan bebas merdeka, dan seluruh umat manusia juga ikut diselamatkan melalui keteladanan bangsa itu. Hukum itu diturunkan melalui Musa dan itulah yang mereka pakai selama ribuan tahun. Inti hukum Taurat adalah “Sepuluh Perintah Allah” yang pada bagian pertama mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (perintah kesatu hingga keempat) dan hubungan manusia dengan sesamanya (perintah kelima sampai kesepuluh). Uraian rinci atas sepuluh perintah itu tersebar dalam kitab Keluaran, Bilangan, Imamat dan Ulangan, serta beberapa penegasan dan tambahan dalam kitab-kitab para nabi dan kitab puisi dan Mazmur. Namun kemudian oleh para ahli Taurat dan pemimpin Yahudi, mereka mengembangkan hukum-hukum sedemikian rupa yang lebih kepada kepentingan mereka sendiri, bukan mengutamakan kepentingan Allah; hukum Taurat lebih dilihat sebagai kewajiban mutlak tanpa ada hakekat hikmat dan kasih. Hal ini dapat kita lihat pada aturan persembahan harus tidak bercacat yang mengakibatkan hewan dijual di depan Bait Allah (Mat. 21:12), pembayaran persepuluhan hingga dari hasil tanaman di halaman (Mat. 23:23), beribadah harus ke Yerusalem, dan sebagainya yang menghilangkan makna kasih sejati Allah.
Padahal, sangat jelas hukum Taurat diberikan bukan bermaksud membatasi kebebasan manusia, melainkan sebagai kaidah moral dan rohani untuk menjaga agar mereka tidak masuk dalam bahaya jeratan Iblis. Kita juga tahu betapa mudahnya untuk memaafkan kelalaian kita terhadap orang lain demi semata-mata karena kita merasa tidak memiliki kewajiban untuk menolong mereka; bahkan membenarkan tindakan kita untuk menyusahkan orang lain apabila secara legal hal itu memungkinkan. Sebagai orang berdosa kita akan lebih mudah memaafkan dan membenarkan diri sendiri. Padahal, kalau dilihat Im. 19:18 sebagai sumber awal nas ini, inti dan hakekat hukum Taurat adalah kasih, kasih kepada Allah dan kepada sesama, sebagaimana diungkapkan, "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Perintah kasih kepada sesama ini merupakan lanjutan dari hakekat pertama hukum Taurat, yakni: "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu" (Ul. 6:5). Kedua hakekat hukum inilah inti dari semua kaidah-kaidah itu dan kemudian ditegaskan kembali oleh Tuhan Yesus di dalam Perjanjian Baru (Mat. 22:37-40; Mrk. 12:30-31; Luk. 10:27).
Perjanjian Baru mengatakan Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8). Hukum Taurat adalah ekspresi sifat Allah dalam bentuk perintah positif dan perintah larangan/negatif (band. Kej. 2:17; 1Kor. 13:4-6; dan lainnya). Dengan demikian, prinsip hukum dalam kehidupan orang Kristen harus mengikuti hukum kasih yang melampaui hukum moralitas dunia, hukum adat dan hukum negara. Tuhan Yesus menetapkan kasih dan tidak meninggalkan celah kelemahan di dalam hukum kasih itu. Setiap saat kasih dibutuhkan, kita harus berusaha melewati persyaratan hukum-hukum legal dunia dan meniru kasih Allah (band. Yak. 2:8,9; 4:11 dan 1Pet. 2:16,17). Hal ini wajar, sebab tujuan hukum hanya dua, yakni ketertiban dan keadilan. Oleh karena hukum Allah pada hakekatnya adalah kasih, maka apa yang ditulis dalam hukum Taurat pada dasarnya untuk tujuan ketertiban/keberaturan dan keadilan yang berdasarkan kasih. Jadi, meski ada hukuman dalam sistem hukum Taurat, pada dasarnya itu untuk jalan menuju kebaikan dengan tujuan pertobatan. Memang untuk mencegah dampak yang lebih luas, seseorang yang melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum Taurat dapat dihukum mati. Dalam hal ini kita melihat kasih diutamakan bagi mereka yang masih setia agar mereka tidak terjerat dalam perbuatan jahat serupa.
Ketiga: Menanggalkan perbuatan kegelapan (ayat 11-12a)
Rasul Paulus menekankan pentingnya kasih kepada Allah dan sesama diwujudkan segera dan saat ini. Perbuatan kasih tidak boleh ditunda-tunda, sebagaimana hutang harus dibayar dengan segera. Konsepnya bukan "time is money" tetapi "time is love". Setiap kesempatan dimanfaatkan untuk menyatakan kasih, sekecil apa pun wujudnya, seperti pemberian senyum bagi semua orang yang kita temui. Segala keengganan dan kelesuan harus dibuang, apalagi kesombongan. Demikian juga dengan aturan-aturan yang membuat kita harus terhalang mengungkapkan kasih. Kisah orang Samaria yang murah hati dapat kita ambil sebagai contoh, bagaimana seorang imam berjalan turun dari Yerusalem ke Yerikho dan di tengah jalan ia melihat seseorang tergeletak terluka korban perampokan. Imam tersebut melewatinya begitu saja karena berpikir ia akan najis bila tubuhnya kena darah; orang Lewi juga melewatinya begitu saja karena berpikir orang tersebut mungkin berpura-pura terluka dan punya rencana jahat. Keduanya sama sekali tidak terpikir dan tergerak untuk menolong korban itu. Namun yang dilakukan oleh orang Samaria sungguh penuh kasih; ia berhenti dan menolong, membawa korban itu ke penginapan, dan bahkan mengobatinya (Luk. 10:25-35). Itulah kasih yang tidak boleh ditunda.
Rasul Paulus mengatakan bahwa waktu sudah sangat sempit sehingga jangan lalai dan terlelap, melainkan harus bangun dan sigap. Waktu sisa yang sempit diekspresikannya dengan mengaitkan pada kedatangan Tuhan Yesus untuk kedua kalinya. Kalau kita melihat peristiwa kenaikan Tuhan Yesus sekitar tahun 33M dan surat ke jemaat di Roma ini ditulis sekitar tahun 55 – 57 M, maka sebenarnya waktunya baru sekitar dua puluhan tahun saja. Namun ia sudah berkata, “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang.” Istilah siang di sini jelas berarti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Ini juga yang dimaksudkan dalam kalimat "Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita daripada waktu kita menjadi percaya." Meski kenyataannya bahwa Yesus tidak datang pada masa itu dan bahkan saat ini, hal itu tidak berarti bahwa hal yang disampaikan Paulus tidak benar atau bohong. Kita melihatnya dari dua sisi: pertama, Paulus merindukan secara pribadi kedatangan Yesus kembali dan ingin melihat Tuhannya itu kembali saat ia masih hidup, dan itu harus menjadi sikap kita sebagai orang Kristen. Setiap orang Kristen harus mengatakan sebagaimana Doa Bapa Kami: “datanglah kerajaan-Mu” dan “jadilah kehendak-Mu”. Faktor kedua, Rasul Paulus mengambil istilah malam dalam nas ini berarti masa saat itu adalah masa yang sangat jahat ketika semakin banyak orang melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan, dan hal itu sangat mengganggu hatinya untuk secepatnya berlalu.
Hal yang cukup menarik dari firman minggu ini adalah kasih dihubungkan dengan perbuatan kegelapan. Kita juga heran dengan daftar yang dibuat oleh Rasul Paulus yakni perselisihan dan kecemburuan disejajarkan dengan dosa-dosa yang nyata-nyata berat, seperti pesta pora, mabuk, dan kemerosotan moral seksual. Hal ini tidak mengherankan sebagaimana Tuhan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit, Rasul Paulus juga menekankan sikap dan perbuatan sama pentingnya, dan kecenderungan yang membuat seseorang jatuh lebih dalam lagi, lebih baik dicegah meski harus dikorbankan sumbernya. Mata yang membuat dosa maka mata bila perlu dicungkil atau tangan yang menyesatkan lebih baik dipotong (Mat. 5:29-30). Ini sama seperti kebencian bisa mengarah pada pembunuhan, kecemburuan menuju keributan, dan nafsu menuju perzinahan, sehingga dosa sikap disejajarkan dengan perbuatan. Pokok penting yang bisa kita tangkap dari firman ini adalah, ketika Tuhan Yesus kembali, Dia ingin agar murid-murid hidup di dalam kasih dan menanggalkan kegelapan. Mereka yang hidup terlepas dari kasih dan masuk ke dalam kegelapan membuat jauh dari kekudusan. Kasih, sebaliknya, membuat seseorang tetap dalam terang dan berjalan di dalam kekudusan serta kekudusannya di bagian luar sama dengan di dalam (hatinya).
Keempat: Tuhan Yesus sebagai perlengkapan senjata terang (ayat 12b-14)
Rasul Paulus memahami bahwa hidup di dunia untuk melawan kegelapan bukanlah hal yang mudah. Kelemahan tubuh dan daging dan kemampuan iblis menggoda membuat setiap manusia lemah, mudah terjerat dan tidak lepas dari kegelapan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa tidak cukup untuk melawannya dengan kemampuan roh manusia dengan keterbatasan emosional dan pikiran, tapi perlu kekuatan dari luar dirinya. Dalam suratnya kepada jemaat Korintus dituliskan, "Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng" (2Kor. 10:3-4). Dalam surat kepada jemaat di Efesus, ia kemudian menuliskan, "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis.... Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri.... (Ef. 6:11, 13). Senjata Allah yang disebutkan adalah: berdiri tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kaki berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; mempergunakan perisai iman untuk memadamkan semua panah api dari si jahat; menerima ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dan bertekun dalam segala doa dan permohonan (Ef. 6:14-17).
Bagaimana kita mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang? Pertama, hendaklah kita dipersatukan dengan Kristus melalui baptisan, seperti dikatakan firman, "Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus" (Gal. 3:27). Ini memperlihatkan tanda kebersamaan kita seperti umat Kristen lainnya dalam kematian, penguburan, dan kebangkitan Yesus Kristus. Kedua, kita bertekun di dalam pengetahuan dan pemahaman firman. Firman bukanlah semata-mata kata-kata, melainkan memiliki kuasa untuk mengubah hidup seseorang. Ketiga, kuasa Roh Kudus yang kita miliki melalui pengakuan iman dan baptisan serta di dalam firman yang hidup, akan terus menerus berusaha meneladani Tuhan Yesus di dalam kehidupan kita di dunia ini, yakni di dalam kasih, kerendahan hati, kebenaran dan pelayanan. Artinya, kita berusaha melakukan peran (role-play) yang sama seperti yang dilakukan Kristus dahulu pada situasi kita saat ini (Ef. 4:24-32; Kol. 3:10-17). Orang Kristen sekarang diminta menjadi "anak-anak siang" yakni sifat dan perbuatan yang sesuai dengan dekatnya Kerajaan Allah (Ef. 5:14; 1Tes. 5:6, 10; Yak. 5:8; 1Yoh. 2:18).
Dengan perlengkapan senjata terang di dalam Kristus, maka tidak mudah lagi bagi kita mengikuti keinginan nafsu dalam setiap kesempatan untuk membawa kita ke dalam dosa. Namun ada hal yang perlu kita perhatikan dalam nas ini, yakni pemakaian senjata terang hanya efektif bekerja terus menerus apabila kita terlebih dahulu meninggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan. Artinya, ada roh pertobatan dan kerinduan dalam hati seseorang untuk datang kembali kepada Tuhan. Senjata terang hanya akan bekerja efektif apabila senjata itu berada di tangan yang percaya dan terang di dalam Kristus, sebab apabila tidak setia, maka senjata itu tidak akan efektif pemakaiannya. Ketaatan dan komitmen orang percaya adalah bukti kasih kepada Allah. Bilamana masih kuat hasrat yakni emosi dan motivasi untuk menyenangkan tubuh dan daging dan merawatnya, maka pembaharuan dan penyucian tidak akan berhasil. Keinginan ke dalam kegelapan akan membuka pintu memuaskan keinginan dosa. Oleh karena itu, tetaplah dalam sikap waspada (band. Luk. 12:35; Mat. 24:42-44).
Penutup
Kehendak Allah yang disampaikan Rasul Paulus bagi orang percaya adalah pikiran kita harus terus menerus dibaharui dan ini perlu dilakukan dengan benar. Kasih Allah yang sudah diberikan kepada kita berupa keselamatan harus dikembalikan dengan mengasihi Allah dan khususnya diwujudkan kepada sesama manusia. Untuk itu pelaksanaan kasih tidak boleh berpura-pura dan menarik keuntungan dari kasih yang diberikan. Pemahaman kasih ini sangat penting, sebab kasih adalah kegenapan hukum Taurat dan menjadi hukum utama di dalam kehidupan orang percaya. Untuk dapat mewujudkan kasih dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu meninggalkan dunia lama yakni menanggalkan segala kegelapan, sehingga kasih yang kita lakukan tersebut benar-benar adalah tulus dan bagian dari kasih kita kepada Allah. Kita harus memberi garis pemisah antara kebenaran dan kejahatan, antara hidup lama dengan hidup baru. Hal ini perlu dilakukan segera dan saat ini, sebab waktunya sudah sempit yakni datangnya Tuhan Yesus kembali. Melalui komitmen, kita memerlukan senjata-senjata agar tidak terperosok lagi di dunia kegelapan itu. Oleh karenanya, senjata-senjata terang yang paling ampuh dan efektif adalah bersumber dari Kristus. Mari kita renungkan: Bagaimana kasih nyata di dalam hidupku? Apakah kasihku berpura-pura, tertunda dan kudus? Apakah aku memakai senjata terang dari Kristus? Tuhan Yesus memberkati.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu 24 November 2024 - Minggu XXVII Setelah PentakostaKhotbah Minggu 24 November 2024 - Minggu Kristus Raja - XXVII Setelah...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu 24 November 2024 - Minggu XXVII Setelah PentakostaKhotbah (2) Minggu 24 November 2024 - Minggu Kristus Raja - XXVII...Read More...
-
Kabar dari Bukit, Minggu 17 November 2024Kabar dari Bukit HUKUM DI DALAM HATI (Ibr. 10:11-25) ”Aku...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 772 guests and no members online