Monday, November 25, 2024

Khotbah Minggu 30 Agustus 2020 Minggu XIII Setelah Pentakosta

 

Minggu XIII Setelah Pentakosta

 

HIDUP DALAM KASIH DAN BUKAN PEMBALASAN (Khotbah Rm. 12:9-21)

Bacaan lainnya: Kel. 3:1-15 atau Yer. 15:15-21; Mzm. 105:1-6, 23-26, 45c atau Mzm. 26:1-8; Mat. 16:21-28

 

Pendahuluan

Allah melengkapi karunia rohani kepada setiap orang percaya, dan penggunaannya memerlukan dasar yang kokoh agar tidak berbelok kepada kepentingan diri sendiri. Dasar itu hanya ada pada kasih, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama yang merupakan inti pengajaran Kristiani. Nas minggu ini tentang kasih sebagai pengajaran terhadap jemaat di Roma dan merupakan penggambaran sisi lain dalam 1Kor. 12-13, yakni mahkota karunia rohani adalah kasih. Allah memberikannya kepada kita karena kasih-Nya dan kita pun menggunakannya karena kasih. Dalam nas minggu ini juga diberikan makna kasih yang lebih dalam, bukan larangan dalam bentuk kepura-puraan, atau bukan pula terbatas hanya kepada pengertian sesama saja, tetapi juga pengertian kasih kepada yang membenci kita atau musuh. Inilah cara hidup orang percaya sebagai salah satu keunggulan ajaran Kristus yang merupakan pembaharuan ajaran mata ganti mata, gigi ganti gigi. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran bagaimana hidup di dalam kasih sebagai berikut.

 

Pertama: Kasih tidak pura-pura dan memberi hormat (ayat 9-10)

Banyak dari kita mempunyai kemampuan untuk mengasihi orang lain dengan berpura-pura, seperti berusaha berbicara dengan ramah dan sopan, menghindari persoalan karena takut perasaan orang lain terluka, atau mencoba mencari perhatian dan pujian dari teman kita berbicara. Bahkan mungkin juga kita ahli bersikap pura-pura menunjukkan belas kasihan ketika orang lain membutuhkan sesuatu, seolah ingin membantu tapi berujung hanya manis di bibir; atau kita pura-pura ikut merasa geram ketika orang lain menceritakan sebuah ketidakadilan. Akan tetapi melalui firman minggu ini, Allah meminta kita agar mengasihi dengan tulus dan nyata serta jauh dari sikap berpura-pura dan kesopanan semata. Karunia rohani yang diberikan kepada kita sejatinya dipakai untuk mewujudkan kasih kepada sesama, bukan hanya dalam perkataan tapi juga dalam perbuatan (Yak. 1:22). Kasih yang tulus memerlukan perhatian serius dan usaha, yang bagi orang lain menjadi berarti dan merasa lebih baik. Keterlibatan seperti itu jelas membutuhkan waktu, hati, bahkan materi. Oleh karenanya kasih tidak dapat dilakukan dengan berpura-pura, sebab itu merupakan sikap topeng kemunafikan (band. 2Kor. 6:6; 1Tim. 1:5). 

Sikap berpuara-pura juga dapat menjadi kejahatan, yakni menipu diri sendiri sekaligus mendustai orang lain. Kasih adalah sikap timbal balik yakni kita terima dari Allah dan kita berikan kepada Allah melalui sesama manusia. Pengertian kasih yang dipakai dalam nas ini merupakan kasih dalam hubungan keluarga, hubungan sesama yang erat, bukan kasih agape yang merupakan hubungan Allah dengan manusia. Oleh karenanya sikap kasih itu harus saling menghormati, sejajar sebagai saudara. Akan tetapi kita perlu cermati sebab kita juga bisa menghormati orang lain dengan dua cara: Pertama, terlibat dengan cara yang tersembunyi. Misalnya, kita bersikap manis terselubung kepada pimpinan untuk mengharapkan imbalan atau penghargaan darinya; pada karyawan bawahan agar mereka mau bekerja lebih keras; atau kepada orang kaya agar mereka memberi sumbangan yang lebih besar; atau kepada orang yang berkuasa atau memiliki jabatan supaya bisa kita manfaatkan atau agar tidak memusuhi kita. Cara kedua adalah yang dinyatakan Allah, kasih yang tulus, tidak pura-pura, dan berwujud nyata (1Tes. 4:9; Ibr. 13:1; 1Pet. 1:22). Sebagai orang Kristen, kita menghormati orang lain sebab mereka diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, mereka adalah saudara-saudara kita di dalam Kristus, dan mereka diciptakan secara unik untuk memberi kontribusi yang unik dalam pelayanan gereja bersama. 

Pertanyaannya, apakah kita mengasihi dengan cara Allah ini susah dilakukan? Atau, menghormati orang lain itu kita anggap mengganggu kepentingan kita dalam penonjolan kehebatan diri? Kita ingat firman Tuhan yang berkata, "Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?" (1Kor. 4:7). Padahal, lebih mudah memenangkan orang lain dengan memberinya rasa hormat.  Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri (Flp. 2:3). "Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah" (1Pet. 2:17a). Kita tidak boleh memperlakukan orang lain jauh di bawah kita. Yesus Kristus memperlihatkan dan mengajarkan bahwa kita haruslah memperlakukan semua orang dengan penuh hormat, kepada mereka yang berbeda kedudukan dan latar belakang, mereka yang memiliki keterbatasan, miskin, muda dan tua, laki-laki atau perempuan.  Kita diminta terus melakukan hal yang baik dan menjauhi yang jahat dan bukan untuk mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia (Mzm. 97:10; 1Tes. 5:21, 22). Bahkan, diingatkan, kalau tidak hati-hati, karunia rohani dan berkat yang telah kita terima dapat membawa kita pada kesombongan atau kemalasan dengan alasan kesibukan-kesibukan.

 

Kedua: Melayani dengan roh menyala-nyala (ayat 11-12)

Kasih adalah landasan kedua gereja setelah landasan pertama sekaligus sebagai batu penjuru yakni Yesus Kristus. Penggunaan karunia rohani akan semakin efektif bila dasarnya adalah kasih, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Dengan landasan itu, tidak ada lagi alasan untuk bermalas-malas atau menikmati karunia rohani untuk kepentingan diri sendiri. Di dalam persekutuan gereja-Nya, kita wujudkan kasih sebagai hubungan timbal-balik antara sesama dan dengan Allah. Kristus telah mempersatukan kita dalam rencana-Nya untuk menjadi saksi dan teladan. Oleh karenanya, kita tetap harus bersemangat dan kerajinan kita tidak kendor dalam melayani-Nya. Semangat dan kerajinan yang kendor seseorang biasanya terjadi karena dia tidak memahami arti dan tujuan yang dilakukannya. Apabila memahaminya, maka biasanya akan tetap semangat dan berusaha untuk tetap mempertahankan ritme semangatnya. Seseorang yang mengejar kekayaan maka akan tetap semangat dalam berbisnis. Seseorang yang mengejar keilmuan maka akan terus semangat belajar hingga mencapai puncak yakni bergelar Profesor. Tetapi itu semua tujuan duniawi. Maka apabila kita memahami tujuan hidup kita adalah masuk sorga, maka kita akan tetap taat dan semangat melayani Tuhan. 

Dalam melayani Tuhan kita diminta bukan sekedar rajin tapi juga dengan roh yang menyala-nyala. Maksudnya, semangat itu bermula dari diri kita untuk memiliki keinginan yang kuat melakukan sesuatu. Ketika roh kita yang bersemangat itu dipadukan dengan Roh dari Tuhan, maka semangat yang kita miliki semakin berkobar-kobar. Kata bahasa Inggris dalam hal ini adalah enthusiastic yang berasal dari en = di dalam dan theos = Tuhan. Jadi pengertian enthusiastic atau antusias bersemangat itu sebenarnya hanya ada ketika kita melakukannya bersama dengan Tuhan, yakni roh kita dipersatukan dalam sinergi dengan Roh Tuhan. Semua dapat terjadi jika kita memiliki pengharapan yang pasti yakni jaminan masuk sorga dan mendapatkan mahkota kemenangan dari Allah. Dengan demikian, kita juga melakukannya dengan sukacita, yakni sukacita pengharapan di dalam Tuhan. Bersikap malas dalam hal ini menjadi perasaan bersalah, sebab tidak menghargai waktu dan karunia yang Tuhan berikan. Apabila kita tidak memiliki semangat itu, maka kita perlu memohon pertolongan Roh Allah agar cara berpikir kita diubah sesuai dengan akal budi yang dikehendaki Tuhan (Rm. 12:2). 

Perlu kita sadari bahwa Allah tidak menjamin seluruh pelayanan kita memiliki jalan yang mulus. Adakalanya situasi dan lingkungan yang menantang datang dan apabila kita sudah dipanggil masuk dalam tugas itu, seperti penginjilan di wilayah susah, berhadapan dengan orang-orang sulit dan pemarah disertai kekerasan, kelelahan fisik, atau menderita sakit karena hal yang tidak bisa kita lihat dengan mata duniawi faktor penyebabnya, maka dalam hal ini kita masuk dalam kesesakan. Namun kita tidak perlu langsung menyerah menghadapi situasi demikian, melainkan melalui firman ini kita diminta sabar. Ada yang mengatakan kesabaran adalah jalan tol untuk mengetahui dan melakukan kehendak Allah. Kesabaran pada diri sendiri dalam hal ini diperlukan sebagai pengharapan, dan kesabaran untuk Allah sebenarnya adalah iman. Iman membawa kita kepada salib, kasih mengikatnya kepada jiwa kita, dan kesabaran membawa semua itu kepada akhirnya. Yang bisa menolong kita dalam sikap bersabar adalah doa (Luk. 18:1; Ibr. 10:36), sebab melalui doa kita terus dikuatkan, kita berhubungan terus dengan Allah, sehingga ada yang mengatakan doa yang terbesar adalah kesabaran. Untuk tidak masuk ke dalam panggilan iblis, maka kita perlu belajar firman Tuhan. Membaca dan merenungkan setiap hari isi Alkitab ketika dalam kesesakan, akan sangat menolong mengetahui kehendak Allah yang sebenarnya, dan dengan demikian kita akan merasakan semua demi kemuliaan Tuhan.

 

Ketiga: Menjadi berkat bagi sesama dengan sukacita (ayat 13-16)

Kebaikan dan keramahtamahan Kristiani berbeda dengan perbuatan membuat senang atau menghibur orang lain, seperti mengundang teman-teman ke rumah untuk pesta bersenang-senang. Menyenangkan orang lain secara sosial berpusat pada tuan rumah, seperti mempersiapkan rumah dengan baik dan apik, makanan harus disiapkan dengan beragam dan melimpah, dan tuan rumah harus tampil elegan dengan berpenampilan bagus. Sementara kebaikan dan keramahtamahan Kristiani berpusat pada tamu, khususnya yang menumpang menginap, jadi bukan pada tuan rumah. Nas minggu ini menekankan hal itu, yakni agar kita berusaha membantu hamba-hamba Tuhan dan penginjil (dalam masa itu disebut sebagai orang-orang kudus) untuk menumpang sementara (1Tim. 3:2; 5:10; Ibr. 13:2). Perhatian terhadap kebutuhan mereka sebagai tamu, seperti tempat yang layak untuk tinggal, tersedianya makanan sehat, kesediaan mendengarkan, penerimaan yang sukacita, adalah hal yang utama. Keramahtamahan tetap dapat terwujud di dalam rumah yang berantakan, di tengah meja makan yang hanya menyediakan lauk pauk sederhana, bahkan lebih terwujud jika tuan rumah dan tamu dapat melakukan tugas bersama. Jangan kita enggan untuk menawarkan keramahtamahan karena kita terlalu capek, sibuk atau tidak merasa cukup kaya dan mampu untuk menjamu tamu. 

Memang ada kalanya tamu yang datang bersikap "ngelunjak" atau tidak tahu diri. Kita bukannya mendapatkan balasan kasih (atau ucapan terima kasih) dari membuka diri, melainkan memperoleh omelan atas kekurangan atau bahkan menyebarkan fitnah jahat. Dalam hal ini kita yang berbuat baik jangan menghapusnya dengan balasan, tapi berkatilah mereka (1Pet. 4:9). Rasul Paulus melalui nas ini menekankan agar kita lebih baik hidup dalam harmoni keseimbangan dengan orang lain, dan selalu merasa sukacita bergabung dengan setiap orang. Dalam berhubungan sosial, mungkin banyak orang menggunakan kenalan atau hubungan yang ada untuk kepentingan diri sendiri atau ambisi pribadi. Mereka memilih teman dan pergaulan yang bisa bermanfaat membantu, dengan maksud bisa dijadikan sebagai anak tangga atau mengangkat status mereka. Namun panggilan kita bukanlah demikian. Kita ada untuk orang lain yang membutuhkan, itu prinsip orang Kristen. Untuk itu, pertanyaannya: apakah kita cukup mampu untuk melakukan tugas-tugas yang biasa dan tampak rendah? Apakah kita bisa ikut dalam percakapan yang tidak menarik dengan orang-orang yang tidak penting? Apakah kita bersedia menerima pendatang baru dan pemula? Atau kita hanya berhubungan dengan mereka-mereka yang bermanfaat atau menguntungkan kita saja? 

Dalam berbagi berkat dan sukacita kita perlu berhikmat, yakni melihat situasi secara jernih. Tatkala orang bersukacita, kita pun bersukacita, bukan malah iri hati atau cemburu. Tatkala orang susah, maka kita pun ikut merasakan dan menanggung kesusahan orang itu. Sudah menjadi hukum rohani kalau saat sukacita dibagikan, maka sukacitanya akan bertambah; dan apabila kesusahan dibagikan, maka kesusahannya juga berkurang. Bahkan bila orang lain menangis karena kesedihan dan penderitaan, maka kita ikut menangis sebagai jalan mengurangi beban yang kita kasihi (Ayb. 30:25; Yes. 5:21; Yer. 45:5). Maka mulailah berbagi dengan hidup berinteraksi dalam sebuah komunitas (termasuk gereja) dan rasakan hidup yang penuh makna. Melalui kehidupan komunitas, kita dituntut untuk sehati sepikir dalam hidup bersama, tidak merasa hebat atau pandai sendiri (Ams. 3:7), melainkan berusaha mencari pelayanan yang efektif melalui kelompok gereja untuk kehidupan luar gereja. Kita juga tidak diminta untuk memikirkan perkara-perkara yang terlalu tinggi, terjebak dalam teori atau diskusi-diskusi panjang lebar, tetapi justru diminta mengarahkan diri kepada perkara-perkara yang sederhana bagi mereka orang-orang kecil (Mat. 25:40; Yoh. 13:34-35). Lihat sekeliling kita, sekeliling gereja, pasti ada yang membutuhkan pertolongan. Maka mulailah mencari orang yang tepat untuk dikasihi secara pribadi dan ajaklah teman-teman orang percaya lainnya untuk mengasihi sebuah komunitas atau kelompok lainnya.

 

Keempat: Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan (ayat 17-21)

Nas minggu ini menyimpulkan inti pola hidup kekristenan: Jika kita mengasihi seseorang dengan cara Kristus mengasihi kita, maka kita akan bersedia mengampuni. Jika kita sudah merasakan berkat anugerah Kristus, maka kita akan menyalurkan berkat itu kepada orang lain. Perlu diingat, anugerah adalah sesuatu berkat yang kita tidak layak menerimanya, maka kita pun wajib menyalurkan berkat itu kepada mereka yang tidak layak menurut kita, yakni musuh kita (Mat. 5:44-45; Luk. 6:28-31). Nas minggu ini mengatakan kita harus mengasihi musuh kita dan bahkan memberinya makan dan minum. Dengan memberi makan dan minum kepada yang membenci kita, itu tidak berarti kita menyetujui perbuatan mereka yang salah. Kita hanya melihat mereka sebagai saudara sesama ciptaan Allah, memafkan mereka, dan mengasihi meskipun mereka adalah orang yang bersalah atau berdosa, sebagaimana Kristus memberikannya kepada kita. Pengampunan melibatkan sikap dan tindakan. Jika kita mengalami kesulitan dalam perasaan mengampuni, maka cobalah melakukannya dengan tindakan. Adalah sangat bagus bila kita berpikir bahwa sebuah tindakan bisa memulihkan hubungan kita dengannya. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pertolongan kecil atau bantuan tenaga, mengirimkan hadiah, atau tersenyum kepadanya. Banyak kejadian melalui tindakan-tindakan seperti itu akan memulihkan dan menutup perasaan yang sebelumnya terluka. 

Memang di zaman sekarang ini orang lebih sering bertindak dengan dasar hukum keadilan dan gencarnya prinsip-prinsip hak asasi. Maka hal yang dituliskan oleh Rasul Paulus dalam nas ini seolah-olah menjadi sesuatu yang mustahil, yakni mengasihi musuh yang membenci atau menganiaya kita. Apabila seseorang membuat kita terluka atau perbuatan merugikan, maka Rasul Paulus mengatakan bukanlah kita membalasnya dengan sepadan.  Jangan mengutuk meski kita merasa dianiaya secara sosial. Demikian juga tatkala kita melakukan kesalahan yang kita anggap "biasa dan manusiawi", atau tanpa alasan yang jelas atau salah, lantas kita dianiaya secara fisik, maka tetaplah memberkati mereka dan hindari mengutuk. Bahkan, kalau bisa tetaplah berdamai dan jadikanlah mereka sebagai teman. Mengapa firman Tuhan ini meminta kita mengampuni musuh? Jawabannya: (1) pengampunan dapat memutus rantai pembalasan dan membangun hubungan rekonsiliasi. (2) pengampunan dapat membuat musuh kita merasa malu dan mengubah cara-cara yang dilakukan sebelumnya. (3) sebaliknya, membalaskan kejahatan dengan kejahatan hanya akan membuat musuh dan kita sendiri menanggung penderitaan dan rasa sakit, tidak menyembuhkan atau memulihkan penderitaan kita sendiri. Bahkan, bilamana musuh kita tidak memperlihatkan penyesalan atau pertobatan, tetaplah mengampuninya, tidak perlu mengingat-ingatnya kembali dengan prinsip the past belong to the past dan kita terbebas dari beban berat kepahitan. 

Nas minggu ini menggunakan pepatah “menumpukkan bara api di atas kepalanya”. Ini mungkin terkait dengan kebiasaan orang Mesir di zaman itu, yakni bilamana seseorang menunjukkan penyesalan dan pertobatan atas tindakannya, maka ia akan membawa panci di kepalanya yang berisi arang yang menyala dan berjalan di hadapan umum. Melalui peribahasa ini, Rasul Paulus ingin mengatakan bahwa kita harus memperlakukan musuh kita dengan cara-cara yang baik dan tidak perlu langsung untuk menghukum mereka. Untuk menghukum, biarlah Tuhan saja yang melakukannya sebab itu adalah hak-Nya (Rm. 12:19; band. Ams. 20:22; Ibr. 10:30). Tugas kita adalah mengampuni, mengasihi dan bahkan menolong mereka bila perlu. Kita diajar Tuhan Yesus untuk tidak kalah terhadap kejahatan, bahkan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Dengan demikian, mereka menjadi malu dan kita berharap mereka berbalik dari perbuatan dosanya yang salah. Cara terbaik untuk menyingkirkan musuh adalah dengan membuat mereka sebagai teman. Kita selalu memiliki prinsip: musuh satu orang terlalu banyak dan teman seribu orang terlalu sedikit.

 

Penutup

Rasul Paulus melalui nas minggu ini mengulang sekaligus mendalami arti dan makna kasih dalam kehidupan orang percaya sebagai dasar dari penggunaan karunia rohani. Kasih adalah sebuah sikap dan berwujud nyata. Kasih tidak boleh dalam bentuk kepura-puraan. Kasih juga diwujudkan dengan menghormati orang lain tanpa ada kecenderungan tersembunyi atau merasa diri lebih tinggi. Dalam kerangka itu pelayanan karunia rohani harus dilakukan dengan roh yang menyala-nyala, penuh kerajinan yang tidak mudah kendor, dan itu dapat terwujud bila kita melakukannya bersama-sama dengan Roh Kudus. Roh manusia mudah goyah atau terombang-ambing oleh godaan iblis, tetapi jika kita mengetahui tujuan dari semua pelayanan karunia rohani adalah untuk memuliakan Allah, maka ritme pelayanan kita tidak akan mudah goyah. Dalam pelayanan kita juga diminta untuk selalu menjadi berkat bagi sesama, menolong orang lain, memberi tumpangan dan semua itu harus dilakukan dengan sukacita tanpa ada kepura-puraan, apalagi omelan dan keluhan. Dan yang paling utama, ketika kita menerima hujatan atau bahkan penganiayaan dari orang-orang yang membenci kita, janganlah kita membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi justru berbuat kebaikan untuk mereka sehingga kita berharap mereka menjadi malu dan bertobat. Inilah yang diminta dari kita sebagai murid Kristus, dan itu pasti bisa, sebab Kristus telah melakukannya sebagai teladan bagi kita. Tuhan Yesus memberkati.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 12 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7552514
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
1205
4419
5624
7247234
587376
1386923
7552514

IP Anda: 172.69.165.57
2024-11-25 10:30

Login Form