Thursday, November 21, 2024

Khotbah Minggu Paskah IV – 3 Mei 2020

Khotbah Minggu Paskah IV – 3 Mei 2020

 

YESUS GEMBALA PEMELIHARA JIWAMU (1Pet. 2:19-25)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kis. 2:42-47; Mzm. 23; Yoh. 10:1-10

 

Nas Selengkapnya:

19 Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. 20 Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. 21 Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. 22 * Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. 23 Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. 24 Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. 25 Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu.

 

Pendahuluan

Surat Rasul Petrus di sekitar tahun 60-an Masehi ini ditujukan kepada umat Yahudi yang telah percaya dan mereka masih banyak hidup sebagai budak-budak yang tidak memperoleh haknya yang layak. Ayat 18 yang mengawali nas ini mengatakan: “Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis.” Pengikut Kristus yang berlatar belakang Yahudi lainnya juga mengalami penindasan dari Nero, yang membuat mereka ketakutan dan menyebar keluar dari Yerusalem untuk menghindari penyiksaan dan pembunuhan karena iman Kristiani mereka yang tidak disukai oleh Nero. Menghadapi penderitaan itulah tema nas minggu ini yang memberi pengajaran kepada kita sebagai berikut.

 

Pertama: penderitaan yang tidak seharusnya ditanggung (ayat 19-21)

Wilayah tempat tinggal kita di Indonesia pasti berbeda satu sama lain dalam kehidupan kekristenannya. Ada beberapa daerah yang umat kristennya sangat bebas dalam menjalankan ibadah dan membangun gedung gereja. Namun, ada beberapa daerah yang sangat sulit khususnya untuk membangun gedung gereja, karena penolakan beberapa kelompok yang beraliran keras.  Ada juga kesulitan lain dalam melakukan ibadah di luar gedung gereja, apalagi bila melakukan kegiatan pekabaran injil, maka kemungkinan dianiaya dapat terjadi. Atas perlakuan seperti itu, ada yang diam dan menyembunyikan imannya, padahal semestinya panggilan kita justru harus berusaha masuk dalam tantangan untuk mengabarkan Yesus dengan menyebarkan kasih-Nya. Memang dalam hal ini pemerintah daerah yang seharusnya menjamin dan melindungi serta bersikap netral, namun kenyataannya sering tidak membantu dan malah memilih berpihak. Alkitab memang mengatakan bahwa kita perlu taat pada pemerintah dengan tetap mengacu pada akal sehat dan meneguhkan iman (Rm. 13:1). Ketaatan kita lakukan demi tujuannya yakni "hanya untuk kemuliaan-Nya” (Rm. 11:36), sehingga semua melihat Kabar Baik dan Kasih Yesus dinyatakan dan orang percaya mendapat respek dan nama Tuhan dimuliakan.

 

Di lain pihak orang percaya memiliki kekebasan di dalam Kristus, meski pengertiannya tidak melebar yang menjurus ke arah penyalahgunaan. Kebebasan dipergunakan sebagai alat atau jalan bagi kehidupan pelayanan yang penuh antuasias, dalam pengertian melalui profesi pekerjaan atau setiap usaha yang dilakukan. Kehendak Allah adalah kita dipanggil berbuat baik dan melayani, yang dilakukan dengan kesadaran Ilahi. Dalam pelayanan itulah bisa saja timbul tantangan seperti di atas yang membawa ke dalam penderitaan, atau sebab-sebab lain yang mungkin karena sikap orang lain yang berlebihan ekstrim tidak masuk akal. Sebagai bangsa yang mengaku dasar negara Pancasila, kita mestinya tidak perlu menanggung beban itu, tapi kenyataannya demikian, dan kita harus terima dan hadapi. Apabila penderitaan yang tidak kita harus tanggung datang, maka kita mengambil teladan dari Yesus. Adalah merupakan kehormatan apabila orang percaya menderita bagi Kristus dan pemberitaan Injil (2Tim. 2:3; 1Pet. 3:14; band. Mat. 5:10). Kalau penderitaan itu konsekuensi dari pelayanan, maka firman Tuhan minggu ini mengatakan itu adalah kasih karunia (1Pet. 4:13). Kasih karunia berarti kita melakukan yang baik dan benar, menerima kasih karunia dari Allah dalam arti kesempatan yang diberikan oleh Allah untuk kita melayani-Nya (Luk. 12:43; Flp. 1:29; 1Pet. 4:14).

 

Semua pengikut Kristus memang harus siap sedia masuk dalam penderitaan (Mrk. 8:34-35). Rasul Petrus menggambarkan mereka yang menderita sebagai buah dari perbuatan baik, sama seperti Yesus yang tidak berdosa harus menderita dan mati yang kemudian menghasilkan kemerdekaan kita. Kita mungkin menderita dengan berbagai latar belakang. Beberapa penderitaan bisa saja terjadi karena hasil dari dosa-dosa kita; beberapa mungkin terjadi karena kebodohan kita; beberapa hal lainnya karena kita hidup ditengah-tengah dunia yang sudah cenderung rusak. Yang penting jangan sampai kita menderita karena tidak mematuhi Allah atau karena pelanggaran hukum moral dan hukum sipil, atau mencari-cari penderitaan itu sendiri, seperti karena keinginan daging, karena kesombongan atau ingin menguji Allah, yang disebutkan sebagai dosa dalam nas ini dan tidak layak mendapat pujian dari Allah (1Pet. 3:17). 

 

Kedua: Menderita tapi tidak membalas (ayat 22-23)

Penderitaan Yesus adalah bagian dari rencana Allah (Mat. 6:21-23; Luk. 24:25-27, 44-47) dengan maksud untuk menyelamatkan kita orang percaya (Mat. 20:28; 26:28). Kehidupan pribadi dan perjalanan hidup-Nya memberikan gambaran tentang hal itu yang penuh kuasa, penuh kasih, dan hidup-Nya dalam ketergantungan penuh kepada Allah Bapa. Alkitab mencatat Yesus selalu mengungkapkan kebenaran Ilahi dan tidak ada tipu daya dari mulut-Nya. Ia dipersiapkan dari sorga sebagai korban Anak Domba dan hidup-Nya di dunia tetap taat membuat Ia tidak bercacat (Ibr. 5:8). Namun fitnah dan kejahatan yang berangkat dari kecemburuan dan ketakutan para kaum Farisi dan para imam, membawa Dia pada pengadilan dunia. Proses yang dipaksakan demikian cepat dan sepihak menunjukkan proses pengadilan itu tidak benar. Ia dihukum dengan berat dan bahkan dengan cara terkutuk disalibkan dengan para penjahat.

 

Namun Yesus menghadapi semua itu dengan keteguhan yang kuat. Meski awalnya ada penolakan dari-Nya agar cawan penderitaan itu berlalu (Mat. 26:39), tetapi kemudian Ia dengan teguh mengatakan bahwa biarlah kehendak Bapa yang jadi. Kemanusiaan (sejati) Yesus membuat ada rasa takut, bahwa Allah Bapa yang mengutus-Nya akan meninggalkan Dia, tetapi kerendahan hati-Nya meneguhkan bahwa Ia harus melalui semua itu. Hal yang sama dikatakan-Nya di atas kayu salib dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat 27:46). Memang terbukti dari awal pengadilan dan perjalanan via dolorosa Ia tidak mengeluh, Ia tidak menghujat, melewati semua dengan sabar dan cerdas, bahkan tetap mengasihi mereka-mereka yang menghukum-Nya. Ia melalui dengan sabar, tenang, dan penuh keyakinan bahwa Allah mengendalikan hidup-Nya. Apa yang diajarkan-Nya sebelumnya kepada para murid dibuktikan yakni "Kasihilah musuhmu", "Janganlah membalas orang yang menampar pipi kirimu", membuktikan Roh Allah bekerja penuh pada-Nya. Ia mengatakan, “Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya.” Sungguh sebuah parameter dan cara pandang yang berbeda dan luar biasa.

 

Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk menggapai tujuan hidup sesuai dengan kemampuan yang diberikan. Itu juga keyakinan kita. Allah memberi kebebasan dari aturan-aturan keagamaan dan rasa bersalah yang berekepanjangan, bahwa kita tidak mengikuti kesenangan-kesenangan kita, melainkan mencapai yang terbaik dari Tuhan bagi diri kita. Allah menghendaki kebebasan itu kita pakai untuk meninggikan kuasa, sukacita, dan kasih yang bertanggungjawab kepada Allah dan dipersembahkan kepada sesama. Kalau kita jujur, banyak orang Kristen masih menjadi budak rasa takut. Memang lebih mudah tunduk kepada tuan yang baik dan adil, tetapi Rasul Petrus meneguhkan kesetian dan ketekunan dalam situasi diperlakukan tidak adil, sebagaimana perlakuan yang diterima para budak. Kita juga harus taat kepada majikan kita, apakah mereka itu penuh perhatian atau bersikap keras (Ef. 6:5). Kita jangan sampai menghakimi orang lain sebab itu adalah hak Allah (Rm. 12:19; Mzm. 9:5). Kita juga jangan hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, sebab kalau demikian itu tidak ada nilainya (Luk. 6:32). Dengan melakukan hal itu kita menang melalui keteladanan yang memperlihatkan kasih Kristus dan membawa mereka kepada Dia. Rasul Paulus juga menuliskan hal yang sama pada Ef. 6:5-9; Kol. 3:22-25, sebagaimana juga Yesus mengatakan-Nya dalam Mat. 5:46 dan Luk. 6:32-36.

 

Ketiga: Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh (ayat 24)

Perjalanan hidup Tuhan Yesus yang terhenti sejenak setelah mati di kayu salib bukanlah kematian yang sia-sia. Sebagaimana dijelaskan pada minggu lalu bahwa konsep penebusan melalui kematian Yesus sudah ada sebelum dunia diciptakan.  Allah tidak cukup memakai utusan-Nya dan nabi-nabi sesuai dengan yang tertulis di Perjanjian Lama. Umat Yahudi tidak mampu lagi menghadapi tekanan penderitaan oleh bangsa-bangsa lain dan pengharapan mereka juga sudah lenyap. Penyataan Allah melalui umat perlu divitalisasi agar mereka tidak merasa bahwa Allah telah meninggalkan mereka. Mesias perlu datang ke dunia dengan inkarnasi. Ini sekaligus merombak perubahan konsep penebusan yang semula melalui korban persembahan dan perlu berulang-ulang (Ibr. 10:6), kini hanya melalui persembahan korban yang sempurna dan abadi yakni Tubuh Tuhan Yesus. Tubuh Anak-Nyalah yang perlu diberikan dan harus menanggung semua dosa-dosa kita agar dikuduskan melalui iman penebusan itu (Ibr. 10:10). Roh Kudus yang diberi di hati kita menjadi kuasa baru yang memampukan proses itu berlangsung terus menerus sehingga kita tetap menjadi anak-anak-Nya.

 

Persembahan korban Tuhan Yesus hanya sekali dan kita diminta untuk untuk tidak lagi hidup di dalam dosa (Ibr. 9:28). Bagi mereka yang sudah percaya namun murtad dan hidup kembali di dalam jeratan dosa, maka sebenarnya mereka kembali menyalibkan Yesus dalam hidup-Nya (Ibr. 6:6). Inilah yang dimaksud mati terhadap dosa dalam nas minggu ini yang berarti kita menghindari perbuatan-perbuatan dosa yang tidak berkenan kepada Tuhan (Rm. 6:2). Mati terhadap dosa berarti ada perasaan tidak suka dan bahkan jijik terhadap dosa. Allah kudus dan kita pun perlu menjaga hidup kudus. Firman Tuhan Yesus mengatakan, "Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh. 17:19). Alkitab berkata, "Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran" (Rm. 6:20). Arti kedua mati terhadap dosa adalah kita sudah dipisahkan dari dosa-dosa yang lalu. Kehidupan baru telah dimulai di dalam Yesus. Untuk itu dikatakan bahwa kita hidup untuk kebenaran dalam pengertian kita hidup dalam pedoman dan kuasa Firman serta menjaga anugerah itu dan berbuah. Kita diminta hidup sesuai dengan firman-Nya, seperti dikatakan-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yoh. 8:31-32).

 

Penderitaan Tuhan Yesus tidaklah ringan. Gambaran dalam film "The Passion" dengan pukulan bola berduri ke tubuh-Nya bukan kisah isapan jempol, sebab metoda itu yang dipakai pada zaman itu. Kita bisa membayangkan luka yang terjadi akibat pukulan bola berduri itu: tubuh yang terkoyak, daging yang terkuak penuh darah menjadi bilur-bilur yang mengenaskan. Darah Yesus menjadi terpercik kemana-mana saat bola duri itu dihempaskan ke tubuh-Nya. Percikan darah Anak Domba Allah ibarat percikan darah domba di mezbah umat Yahudi. Inilah yang membuat prosesi itu menjadi sempurna: Ada korban yang tidak bercacat dan ada percikan darah melalui bilur-bilur-Nya (Yes. 53:3-5). Yesus tidak saja menjadi korban tetapi menjadi pengganti diri kita sebagai penerima hukuman atas dosa-dosa yang kita lakukan, dan sekaligus memisahkan kita dari kuasa dosa yang lama. Melalui semuanya itu kita disembuhkan dari segala penyakit dosa, dipulihkan dari penyakit ketakutan terhadap penghukuman dan masuk neraka (Mzm. 103:3), terutama sembuh dari penyakit ketakutan akan kematian. Orang yang percaya pada kebangkitan Yesus dan menjadikan Ia sebagai Juruselamatnya, akan memperoleh kesembuhan semua itu melalui bilur-bilur-Nya.

 

Keempat: Kembali kepada gembala dan pemelihara jiwa (ayat 25)

Perumpamaan domba mengandung dua arti. Pertama, domba secara umum yakni semua umat manusia sama di hadapan Tuhan, dalam pengertian ketika lahir semua ibarat kertas putih bersih. Pengertian kedua, kita memang sudah ditetapkan sehingga pada dasarnya kita adalah anak-anak-Nya sejak awal (Ef. 1:4). Allah menciptakan manusia pasti dengan maksud tujuan baik. Diskusi dan pembahasan soal (kecendrungan) dosa asal bisa berakibat tidak membangun iman. Jadi dalam nas ini pengertian domba tidak perlu dibedakan dengan istilah kambing dalam Mat. 25:31-46, yang bermakna mereka yang terkutuk yang dienyahlah dari hadapan-Nya dan dimasukkan ke dalam api yang kekal. Kedua pengertian itu dapat membawa konsekuensi yang sama bahwa tetap setiap orang bisa sesat sampai ada pertobatan dan anugerah Allah bagi mereka yang diselamatkan. Kambing yang “tidak dipilih” bisa tetap sesat namun “domba yang dipilih” pun tetap bisa jatuh dan sesat. Inilah yang terjadi pada umat Yahudi saat itu menjadi sesat ketika mereka mengambil jalan sendiri-sendiri (Yes. 53:6) dengan tidak berpengharapan dan bersandar lagi kepada Allah yang memilih mereka.

 

Allah melalui kasih-Nya telah mengirim Kristus untuk memberi pengharapan baru bagi umat-Nya. Allah tidak menginginkan seorang pun sesat melainkan diselamatkan. Ia mengirimkan Anak-Nya untuk menjadi Gembala yang baik bagi umat-Nya. Yesus sendiri sudah mengindikasikan dengan mengatakan, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh. 10:11). Ia membuktikan hal itu dengan memberikan nyawa-Nya sebagai penebusan pengganti (substitution atonement) dengan mati dan bangkit bagi yang percaya dan menempatkan-Nya sebagai Gembala Agung. Kalau sebelumnya mereka budak tidak diperlakukan sebagai manusia, yang tidak memiliki jiwa dan hanya dianggap sebagai “barang”, maka dengan kedatangan Gembala Sang Penebus mereka menjadi pribadi-pribadi yang baru, yang berdiri tegak dengan perasaan penuh hak dan harga diri. Tujuan semuanya bukan untuk kesombongan dan membebaskan diri, atau melakukan pemberontakan terhadap majikan, melainkan agar mereka mampu menghadapi segala kemungkinan penderitaan dengan Gembala yang mengendalikan masa depannya.

 

Sebagai budak mereka tetap memperlihatkan sikap sebagai pekerja, tanpa perlu mengurangi kedisiplinan. Yang penting dan utama adalah sudah melihat diri mereka sebagai sebuah pribadi, sebuah jiwa dan menempatkan diri dengan benar. Di mata Tuhan setiap jiwa yang dikasihi-Nya berharga (band. Mzm. 116:15; Mat. 12:12). Di mata Tuhan tidak ada lagi status budak, pekerja, buruh atau pembantu. Setiap orang perlu memberikan yang terbaik dengan menganggap semua pekerjaan adalah bagi Kristus, sang Gembala yang kini menjadi Pemelihara jiwa kita (Kol. 3:17). Tidak masalah bagi Gembala apakah kita dahulunya adalah domba yang sesat, tetapi yang penting menerima dan mau masuk pintu keselamatan itu. Sebagaimana Tuhan Yesus mengatakan, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu (Yoh 10:7).

 

Penutup

Melalui nas minggu ini kita diajarkan tentang sikap seorang Kristen dalam menghadapi penderitaan yang tidak seharusnya ditanggungnya, sebagaimana dialami umat Kristen pada masa itu yang kebanyakan adalah para budak. Pada masa kini pun setiap orang bisa saja mendapat penderitaan yang bukan kehendaknya atau ia merasa tidak layak mendapatkannya, tetapi sikap seorang Kristen adalah menerima dan menghadapi tegar dengan berbekal dan beriman adanya pertolongan Tuhan Yesus. Kita diminta tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, mengurangi komitmen dan tidak terpengaruh situasi, melainkan tetap dalam sikap disiplin dan kasih, dengan memegang prinsip oleh bilur-bilur-Nya kita sudah disembuhkan dan dipulihkan dari segala penyakit dan rasa takut. Kekuatiran kita tidak perlu sebab kita sudah memiliki Gembala Agung yang menjadi Pemelihara jiwa kita, sehingga dalam situasi apapun kita diharapkan menjadi pemenang. Tuhan Yesus memberkati.

 

------------------------------------------

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 769 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7423266
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
8024
58357
176032
7204198
458128
1386923
7423266

IP Anda: 162.158.162.70
2024-11-22 02:47

Login Form