Sunday, November 24, 2024

Khotbah Minggu 5 April 2020 - Minggu Pra Paskah VI – Masa Sengsara

Khotbah Minggu 5 April 2020 - Minggu Pra Paskah VI – Masa Sengsara

 

SEGALA LIDAH MENGAKU: YESUS KRISTUS ADALAH TUHAN

(Flp 2:5-11)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yes 50:4-9a; Mzmr 31:9-16; Mat 26:14-27:66 atau Mat 27:11-54 (berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)



Nas Flp 2:5-11 selengkapnya dengan judul: Nasehat supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus

 

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, 2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. 2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, 2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 2:11 dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!

 

------------------------

 

Pendahuluan

 

Dari beberapa referensi yang ada nas bacaan ini dianggap sebagai kutipan kidung populer di masa awal gereja. Tetapi mungkin juga merupakan kutipan tentang nubuatan seorang hamba yang menderita pada Yes 53, meski penggambarannya tidak lengkap tentang Tuhan Yesus. Firman Tuhan melalui Rasul Paulus mengingatkan orang percaya di Filipi bahwa mereka harus berbeda dengan orang lain yang belum percaya. Beberapa hal telah disampaikan pada ayat 1-4 tentang perlunya mereka sehati sepikir dan mengutamakan kepentingan orang lain. Melalui nas minggu ini kita diberikan beberapa pemikiran pokok lainnya sebagai berikut. 

 

Pertama: Pikiran dan perasaan sesuai Kristus Yesus (ayat 5)

Inkarnasi adalah tindakan pra-keberadaan Anak Allah dengan kerelaan hati menjadi manusia dengan tubuh dan perilaku manusia (band. Yoh 1:1-14; Rm 1:2-5; 2Kor 8:9; 1 Tim 3:16; Ibr 2:14; 1Yoh 1:1-3 tentang penjelasan inkarnasi). Tanpa ”berhenti” sebagai Allah, Anak Allah itu menjadi manusia biasa, yang dinamai dan dipanggil sebagai Yesus. Sebagai manusia biasa, Dia tidak menonjolkan keilahian-Nya, tetapi justru menyampingkan hak untuk dimuliakan dan dihormati sebagai Allah. Di dalam penyerahan-Nya kepada Allah Bapa, Yesus Kristus membuat semua kehidupan-Nya sederhana yakni perihal kuasa dan pelayanan-Nya. Dia hidup sebagai orang Nazaret, kedudukannya disesuaikan menurut tempat, waktu dan berbagai keterbatasan manusiawi lainnya. Justru di dalam kemanusiaan-Nya yang sejati itu, Yesus memperlihatkan kepada kita segala sesuatu tentang sifat-sifat Allah yang dapat difahami dengan istilah dan ungkapan manusia. Hanya yang membuat kemanusiaan-Nya menjadi unik adalah bahwa Ia tidak berdosa dan bebas dari dosa.

Melalui nas yang kita baca beberapa karakter Kristus dinyatakan, seperti:

·         Kristus adalah sama dengan Allah (Yoh 1:1- dab; Kol 1:15-19)

·         Kristus telah ada sejak awal bersama-sama Allah

·         Meski Kristus adalah Allah, Ia menjadi manusia untuk memenuhi kehendak Bapa demi penyelamatan manusia

·         Kristus tidak hanya “nampak” sebagai manusia, tetapi Ia menjadi manusia sejati untuk mengenal dosa-dosa manusia

·         Kristus dengan sukarela menyampingkan hak dan keistimewaan-Nya yang illahi demi untuk kasih kepada Allah Bapa

·         Kristus mati di kayu salib untuk dosa-dosa kita agar kita tidak dihadapkan dengan kematian kekal

·         Allah Bapa memuliakan Kristus sebab Ia setia dan taat sampai mati

·         Allah Bapa membangkitkan Kristus dan mengembalikan-Nya ke kedudukan semula di sebelah kanan Allah Bapa, dan Dia akan berkuasa selama-lamanya sebagai Tuhan dan Hakim

 

Oleh karena itu, bagaimana mungkin kita tidak memuji dan memuliakan Dia sebagai Tuhan? Namun kenyataannya, manusia lebih sering mementingkan diri sendiri, merasa bangga dan terus berbuat jahat dengan justifikasi merasa diri benar bahwa itu adalah haknya. Mereka bisa bebas nyontek demi kelulusan, mereka bisa bebas menggunakan uangnya sebab merasa telah berjerih payah untuk itu, bahkan manusia ada yang merasa bisa melakukan aborsi sebab merasa mereka sendiri yang memiliki tubuhnya. Namun perlu diingat, sebagai orang percaya, kita harus bersikap berbeda, menyampingkan segala hak dan keistimewaan terlebih untuk kepentingan orang lain. Betul bahwa kita berhak atas penghasilan kita dan kita sudah bekerja keras untuk itu, akan tetapi kita juga perlu memahami bahwa kita memiliki tanggungjawab terhadap mereka yang berkekurangan, tanggungjawab untuk mengabarkan Injil, dan tanggungjawab untuk memuji dan memuliakan Tuhan dengan harta kita (Ams 3:9). Kalau kita mengatakan bahwa kita mengikut Yesus, maka kita juga harus berusaha hidup seperti Dia dan menyerahkan diri dalam pelayanan bagi-Nya. Inilah yang dimaksud dengan berperasaan dan berpikiran seperti Kristus yang harus dimiliki oleh orang percaya.

 

Kedua: kesetaraan dan pengosongan diri (ayat 6-7)

Dalam nas kalimat disebutkan, Kristus "tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan", maksudnya adalah kedudukan itu tidak dianggap-Nya sebagai harga yang harus dipertahankan untuk kepentingan diri-Nya sendiri. Ia melepaskan keistimewaan dan kemuliaan-Nya di sorga agar manusia yang sudah tersesat jauh dapat diselamatkan. Ia juga tidak merasa perlu bahwa Ia terus berusaha menjadi sama dengan Allah dalam misi-Nya ke dunia ini. Kesetaraan adalah hal yang nonsense, dan yang utama bagi Yesus adalah manusia dapat diselamatkan. Yesus meninggalkan takhta kedudukan yang mulia di sorga dan mengambil tempat hina sebagai hamba yang menderita, serta taat sampai mati untuk kepentingan orang lain.

Ia juga disebut mengosongkan diri sebab sepanjang masa pelayanan-Nya tiga setengah tahun di dunia, Dia yang sekalipun adalah Allah sejati rela berkorban menjadi manusia dengan segala kelemahannya, dalam pengertian memiliki rasa sakit, lapar, haus, sedih dan lainnya. Pengosongan diri adalah melepas kehebatan dan keistimewaan dengan segala atribut dan predikat yang sebenarnya dimiliki. Pengosongan diri sama seperti kalau kita orang dewasa berbicara kepada anak kecil, maka pola pikir dan sikap kita haruslah seperti anak kecil, agar kita mudah dimengerti dan diikuti. Kalau kita mempertahankan status dan predikat kita sebagai orang dewasa dan menempatkan diri lebih pintar, maka komunikasi tidak akan berjalan baik. Inilah yang dimaksud dengan pengosongan diri. Bahkan pengosongan diri Yesus tidak sekadar secara sukarela melepas hak istimewa ilahi-Nya, tetapi juga kesediaan menderita, menerima perlakuan buruk, kebencian, siksaan, bahkan kematian terkutuk di kayu salib.

Tuhan Yesus dengan rendah hati bersedia sebagai hamba dengan melepas keistimewaan-Nya demi untuk menuruti kehendak Bapa dan penyelamatan manusia. Sebagaimana Kristus, kita juga harus memiliki sikap dan sifat seorang hamba, seorang pelayan, melayani penuh kasih kepada Bapa dan juga kepada sesama, bukan karena rasa bersalah atau perasaan bersalah. Perlu kita ingat, yang menentukan sikap dan sifat kita adalah diri kita sendiri. Kita dapat menjalani kehidupan ini dengan berkeras meminta dilayani dan dipuja-puji dihormati; atau kita mencari kesempatan untuk bisa melayani orang lain (band. Mrk 10:45 tentang sifat-sifat melayani). Inilah sebetulnya yang dimaksudkan nas minggu ini yakni melalui pesan bagi orang percaya di Filipi, agar mereka jangan terus menyombongkan diri sebagai orang Romawi dan tidak mau melayani. Pertanyaannya, apakah perasaan mementingkan diri sendiri itu kita hendak lekatkan terus pada hak-hak pribadi, atau semestinya kita perlu melayani orang lain? Kita diminta mengembangkan sikap dan kerendahan hati untuk melayani, meski kadang upaya dan kerja kita itu tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Tapi Allah mengetahui semua itu.

 

Ketiga: merendahkan diri untuk ditinggikan (ayat 8-9)

 

Dengan Allah menjadi manusia, itu bukan penyangkalan atau mengurangi Keilahian-Nya. Demikian juga Yesus, Ia tidak berhenti menjadi Tuhan ketika menjadi manusia. Penjelmaan lebih dimaksudkan kepada sisi kemanusiaannya yang ditampilkan. Alkitab juga mengungkapkan bahwa Yesus selama di dunia tidak pernah menyangkal keilahian-Nya. Ia berulang kali dalam berbagai kesempatan menyatakan dirinya sebagai Tuhan (Mat 16:16-17; Yoh 6:68-69; 8:58; 10:30). Ia sadar memiliki dua hakikat ilahi dan manusiawi yang menyatu dalam satu pribadi: Allah sejati dan manusia sejati. Yesus sebagai Adam terakhir yang berasal dari sorga (1Kor 15:47), merendahkan diri-Nya di dalam ketaatan menerima peran hamba. Sebagai manusia, Yesus dapat berinkarnasi dalam wujud “Raja” atau hal yang kemilau dan kegemilangan yang memancarkan kedahsyatan dan perasaan kekaguman. Akan tetapi Ia tetap taat sebagaimana Allah Bapa menempatkan perjalanan hidup-Nya: sebagai orang miskin yang menderita dan pesan itu yang disampaikan agar kita juga taat kepada tuan kita di dunia ini (Kol 3:22; band. Yes 52:13 dab).

Dalam sistim hukum Romawi, hukuman mati dengan penyaliban adalah hukuman berat yang diberikan kepada penjahat besar. Hukuman ini sangat menyakitkan secara fisik dan juga direndahkan secara manusia, sebab mereka harus dipaku di tangan dan kakinya di kayu salib dan dibiarkan mati perlahan-lahan. Apabila dianggap matinya kelamaan, maka dilakukan penusukan dan kemudian dicek sambil mematahkan kakinya, dengan maksud apakah masih ada reaksi atau tidak. Bagi mereka yang masih sehat tatkala disalibkan, kematian dapat berlangsung beberapa hari menunggu mati lemas, terlebih memikul berat badan dan kesulitan bernafas. Yesus sendiri karena melalui penyiksaan sebelum disalib, maka kematian-Nya menjadi lebih cepat terlebih dengan tusukan di lambung. Sungguh penderitaan yang berat. Yesus disiksa dan mati di kayu salib sebagai orang yang terkutuk (Gal 3:13). Sungguh mengherankan bagaimana Anak Allah yang tidak berdosa harus mati dengan cara seperti itu, untuk menyelamatkan kita dari penghukuman yang kekal.

Inilah yang menjadi teladan bagi kita dalam kehidupan sehari-hari. Adanya kecendrungan manusia untuk lebih senang dipuja-puji dan menyombongkan diri haruslah dibuang dan dihindari. Alkitab menceritakan bagaimana manusia ingin membangun menara Babel. Membangun menara adalah hal yang baik, manusia memiliki kemampuan itu adalah hal yang positip, tapi yang salah adalah motivasi dan tujuan membangun menara tinggi itu yakni kesombongan, terlebih untuk dapat bersaing dengan Tuhan. Mereka yang menyukai kesombongan seperti itu akan tiba saatnya mereka direndahkan dan dihukum. Mereka yang meninggikan diri akan direndahkan dan mereka yang merendahkan dirinya akan ditinggikan (Mat 23:12; Luk 14:11). Yesus telah merendahkan diri-Nya dalam pelayanan-Nya di bumi, dan Allah kemudian meninggikan Yesus dengan mendudukan-Nya di sebelah kanan-Nya. Semangat Kristus melayani dan bukan dilayani, maka demikianlah juga kita, menggelorakan semangat melayani dan bukan dilayani, sehingga kita tidak direndahkan melainkan ditinggikan oleh Bapa di sorga.

 

Keempat: Yesus Kristus adalah Tuhan (ayat 10-11)

Ada beberapa cara membuktikan ke-Allah-an Tuhan Yesus, dalam arti Ia berasal dari Allah dan memiliki kuasa yang sama dengan Allah. Hal ini dimulai dari banyaknya nubuatan pada kitab perjanjian lama yang "match" dengan Pribadinya, sampai kepada peristiwa pra kelahiran melalui kandungan Maria dan kuasa Roh Kudus, kemudian peristiwa kelahiran yang mengagumkan, perkembangan pribadi, hingga pelayanan yang dilakukan selama tiga setengah tahun yang penuh dengan kuasa dan mukjizat. Demikian pula cara mati Yesus, peristiwa pasca kematian, pelayanan setelah kebangkitan dan bahkan kenaikan ke sorga yang disaksikan banyak orang, membuat semua itu tanpa keaguan Yesus adalah dari Allah, Anak Allah dan memiliki kuasa yang sama dengan Allah. Pasca kenaikan yang begitu dahsyat dalam sejarah gereja, mulai dari kebangkitan para rasul, ketekunan dan kegigihan bapak-bapak gereja dan kaum missionaris, sehingga pengikut Yesus adalah umat terbesar di dunia.                         

Perjalanan dan bukti yang demikian kuat itulah yang membuat Allah Bapa mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, dalam arti dengan pengikut terbesar umat beragama yang hampir mencapai 3 milyar (agama kedua terbesar adalah Islam dan ketiga Hindu), tidak ada nama lain yang lebih dikenal oleh banyak orang dari pada nama Yesus di muka bumi ini. Pada akhir zaman nanti sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab (Kis 10:42), Yesus juga akan dilihat dan diakui semua orang sebagai Hakim dan berkuasa atas semua manusia, termasuk mereka yang dihukum dan tidak diselamatkan, dan kitab suci agama lain juga mengakui akan peran Yesus dalam masa penghakiman. Oleh karena itu, benarlah dalam nas ini dikatakan, “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi.” Pengertian di bawah bumi sendiri merupakan penafsiran dunia orang mati pada saat itu (band Kis 5:3, 13).

Semua orang yang telah mendengar kisah dan firman-Nya, dapat memilih untuk tidak mengakui bahwa Dia adalah Tuhan dan Juruselamat manusia. Pengakuan itu sendiri merupakan hal pokok dalam iman Kristen bahwa Yesus adalah Tuhan dan Ia adalah Juruselamat setiap orang percaya (Rm 10:9; 1Kor 12:3; Kol 2:6). Jadi Ia bukan sekedar Rasul, Nabi atau Guru sebagaimana panggilan lainnya dalam Alkitab.  Akan tetapi semua yang sudah mengaku percaya perlu bertindak dengan komitmen untuk mengasihi-Nya. Semua orang percaya memiliki prinsip hidup yang nyata dengan penuh tanggungjawab, sebagai bagian dari gereja untuk memberdayakan setiap orang dan memakai setiap kesempatan untuk meninggikan nama-Nya, yang pasti akan menyenangkan hati Bapa, sehingga semakin banyak dibumi ini yang diselamatkan dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!

 

Penutup

Melalui bacaan minggu ini kembali kita diingatkan pentingnya orang percaya untuk memiliki perasaan dan pikiran yang sama dengan Kristus, dalam arti kata menjadi serupa dengan Dia (Flp 3:10). Dalam nas ini ditekankan tentang bagaimana kita dalam sikap pergaulan keseharian harus bisa mengabaikan kesetaraan dan berusaha mengosongkan diri sebagai wujud kerendahan hati demi untuk tercapainya maksud tujuan pemberi tugas. Mereka yang merendahkan diri pasti akan ditinggikan pada akhirnya, bukan saja di dunia ini melainkan juga di sorga. Sebaliknya mereka yang merasa selalu ingin ditinggikan akan direndahkan dan dipermalukan bahkan mendapat penghukuman. Bagi kita orang percaya tujuan dari pada semua itu adalah agar sebagai pengikut Kristus, melalui kehidupan kita, semua orang dapat melihat hidup Yesus di dalam diri kita, sehingga mereka ikut dan memuji dan memuliakan Yesus, dan semua lidah akan mengaku: Yesus Kristus adalah Tuhan.

Tuhan Yesus memberkati.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 10 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7550950
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
4060
65942
4060
7247234
585812
1386923
7550950

IP Anda: 172.69.165.58
2024-11-24 17:06

Login Form