Friday, November 22, 2024

Khotbah Minggu 26 Januari 2020 - Minggu Efipani III

Khotbah Minggu 26 Januari 2020 - Minggu Efipani III

 

SALIB ADALAH KEKUATAN ALLAH

(1Kor 1: 10-18)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yes 9:1-4; Mzm 27:1, 4-9; Mat 4:12-23

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

 

Nats 1Kor 1: 10-18 selengkapnya dengan judul: Perpecahan dalam jemaat

1:10 Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. 1:11 Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloë tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. 1:12 Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. 1:13 Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus? 1:14 Aku mengucap syukur bahwa tidak ada seorang pun juga di antara kamu yang aku baptis selain Krispus dan Gayus, 1:15 sehingga tidak ada orang yang dapat mengatakan, bahwa kamu dibaptis dalam namaku. 1:16 Juga keluarga Stefanus aku yang membaptisnya. Kecuali mereka aku tidak tahu, entahkah ada lagi orang yang aku baptis. 1:17 Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil; dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia. 1:18 Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.

 

-----------------------------------

 

Pendahuluan

Bacaan di atas merupakan respon Rasul Paulus setelah mendapat laporan dari utusan keluarga Kloë yang mungkin anggota jemaat di Korintus tentang terjadinya perpecahan di antara jemaat. Sebagai orang yang pernah tinggal di sana dan membimbing banyak jemaat, Paulus memberikan nasehat dan ini menjadi pelajaran dan teladan kepada kita, bagaimana potensi-potensi perpecahan dalam gereja perlu dikenali, diungkapkan, dan kemudian diarahkan agar gereja tidak menghabiskan energy hanya untuk mengurusi hal itu. Pusat perhatian gereja hanyalah kepada Tuhan Yesus Kristus, dan kita dipanggil untuk menjadi kekuatan Allah. Melalui nats bacaan ini, kita diberikan pelajaran sebagai berikut.

 

Pertama: Jangan ada perpecahan di jemaat (ayat 10-12)

Ungkapan bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh merupakan pepatah atau adagium yang bisa semua diterima orang. Contoh sapu lidi adalah yang umum untuk menggambarkan itu. Barisan yang teratur dan saling terkait dan menopang, pasti menjadi pertahanan atau benteng yang kuat dan bagus. Kesatuan tembok batu bata atau simpul tali/kawat yang dipilin pasti akan lebih kuat. Demikian pula ungkapan menggapai mimpi itu lebih baik dilakukan berdua/bersama dibandingkan dengan dilakukan sendiri-sendiri. Istilah sinergi adalah istilah generik yang memang manfaatnya tidak bisa terbantahkan. Namun, kalaupun ada yang berpikir bahwa sebuah lidi juga bisa bermanfaat, atau bermimpi juga bisa dilakukan sendirian, atau sinergi juga membawa efek samping, ya semua sah-sah saja. Namun dengan kesatuan dan kebersamaan dalam mencapai tujuan, dipastikan lebih efektip dan hasilnya akan lebih baik.

 

Tetapi mengapa orang tidak mudah bersatu? Mengapa orang mau berselisih dan tidak melihat contoh di atas dan lebih memilih berpisah, bercerai atau perpecahan (schisma)? Orang lebih suka berpisah dan membangun sesuatu yang baru dengan kembali ke titik nol, dibandingkan dengan tetap bersinergi bersama-sama membangun yang sudah ada dan saling mendukung. Sepertinya semua hal itu hanya karena EGO atau EGOISME. Ini sifat yang lebih mementingkan diri sendiri, atau dorongan untuk menguntungkan diri sendiri dibandingkan dengan kepentingan orang lain. Fokus utamanya adalah kepuasan diri sendiri dan bukan menyenangkan orang lain, yang dalam hal ini menyenangkan hati Tuhan juga (Band. Gal 5:20). Mereka melihat dirinya lebih utama dan penting sehingga bertindak lebih baik sendiri, dengan kadang berprinsip lebih baik jadi raja kecil daripada serdadu raja besar. Merasa diri penting sangat berbahaya, seperti kata T.S. Eliot, separuh rasa sakit yang terjadi di dunia ini hanya karena seseorang merasa dirinya penting.

 

Itulah yang terjadi di jemaat Korintus. Keragaman anggota jemaat membuat adanya kelompok-kelompok, dan masing-masing kelompok ini berpendapat bahwa kelompoknyalah adalah yang terbaik, termasuk adanya kelompok Yahudi dan non Yahudi. Mereka juga mendasarkan kelompoknya pada siapa yang membaptis, karunia apa yang mereka miliki, kaya miskin, sekelompok orang yang masih terlibat dengan masalah moralitas lama, dan sebagainya sehingga menimbulkan perpecahan dalam jemaat. Semua merasa dirinya utama dan penting. Padahal, perpecahan mendatangkan ketidaknyamanan bagi seluruh anggota lainnya, menjadi kelemahan, celaan (Mat 12:26) dan batu sandungan, membawa kepahitan (Ibr 12:15), dan kehancuran (Mat 12:35). Mereka ikut dalam pertempuran di lapangan tetapi sebenarnya mereka tidak bertujuan memenangkan peperangan. Seseorang yang mengutamakan dirinya sendiri sebaiknya melihat dulu dosa-dosa yang sudah dilakukannya, dan bagaimana Yesus telah mati bagi dirinya dengan merendahkan diri dan menerima siksaan yang berat. Bagi Paulus sikap perpecahan ini menyedihkan dan itulah dasar dari suratnya.

 

Kedua: Baptisan dan keutamaan denominasi (ayat 13-16)

Pada masa surat ini ditulis, memang belum ada kitab Perjanjian Baru sebagai sebuah kitab suci referensi bersama. Jadi semua orang sangat tergantung kepada pengajar masing-masing. Ada yang merasa murid Kefas (nama Petrus dalam bahasa Aram) yang merasa rasul paling berwibawa saat itu, ada yang merasa murid Paulus (sebab ia pernah tinggal disana), ada yang merasa murid Apolos dari Aleksandria yang pandai berpidato dan mengeluarkan kata-kata “berhikmat” dan senang pada keanggunan sastra (band. Kis 18:24; 19:1), dan bahkan ada yang merasa murid Kristus langsung. Kemungkinan juga mereka ini dibaptis oleh masing-masing gurunya tersebut sehingga membedakan baptisan-baptisan yang ada dan mereka memiliki karunia-karunia yang berbeda kualitasnya. Dengan demikian mereka menjadikan Kristus yang terbagi-bagi, tidak lagi dalam satu tubuh-Nya.

 

Kristus bagaimana pun tidak dapat terbagi-bagi berdasarkan baptisan dan guru atau pengajar bahkan rasul sekalipun. Namun bagi jemaat Korintus mereka berpikiran adanya hubungan khusus antara yang membaptis dan mereka yang dibaptis. Mereka merasa pembaptislah yang menjadi pemilik hidupnya (karena berlatar belakang pemikiran budak), seolah-olah kewibawaan atau “kebesaran” nama dan kepintaran berpidato oleh orang membaptis itu menjadi sebuah keistimewaan dalam baptisan, semacam memiliki kekuatan rohani yang berbeda. Jelas ini cara berpikir yang salah. Bahkan mereka juga menjelek-jelekkan baptisan orang lain, bahwa baptisan oleh pihak lain itu tidak sah, tidak berwibawa, kurang memiliki Roh yang kuat, dan sebagainya, sementara baptisan mereka adalah yang penuh wibawa, penuh Roh, dan berdasarkan hikmat yang lebih besar, dan sebagainya. Inilah yang membuat mereka menempatkan diri sebagai kelompok eksklusif dan menjadi biang keladi perpecahan jemaat. Padahal, tujuan dibaptis adalah sesuai dengan perintah Kristus dan mencirikan mereka bukan manusia lama, dan mereka yang sudah dibaptis ke dalam Kristus akan menjadi manusia baru (band. Rm 6:1-11).

 

Hal ini juga yang menjadi pergumulan umat Kristen saat ini. Masih banyak gereja-gereja yang mengaku bahwa baptisannya (selam) yang sah dan baptisan orang lain (percik) tidak sah. Ada yang bahkan mengaitkan baptisan (selam) dengan syarat keselamatan sehingga mewajibkan baptisan ulang, yang berarti mengabaikan dan menihilkan baptisan sebelumnya. Mereka ini menyatakan bahwa baptisan kepada bayi dan anak-anak tidak sah. Sikap seperti ini jelas bukan meneladani Kristus dan para rasul yang merendahkan diri demi untuk pelayanan. Hal yang lebih mengkuatirkan juga akibat dari pandangan ini, jemaat masa kini banyak yang menjadi lebih berpihak pada manusia (gembala, pendeta) yang menahbiskannya, bersedia bertengkar demi mengikuti pandangan yang “salah” tersebut, dan bukan berpihak pada Kristus, sumber kuasa Roh dalam baptisan. Ini bahayanya kalau orang hanya mendengar khotbah tanpa membaca ulang firman-Nya, akan ada fanatisme buta. Pesan pengkhotbah tidak lebih utama dan benar dari firman. Kekuatan bukan pada yang bercerita, tetapi pada ceritanya (get the story not the storyteller). Kebanggan kita bukan pada pengkhotbah melainkan pada Tuhan Yesus. Inilah yang ditekankan oleh Firman-Nya melalui Rasul Paulus, agar kita tetap dalam kasih dan kesetiaan kita kepada Allah, berfokus pada Sumbernya yakni Tuhan Yesus, berfokus pada misi-Nya, dan bukan pada orang yang membaptis kita di dunia ini. Firman Tuhan berkata, membanggakan kelompok sesuai baptisan menunjukkan bahwa kamu adalah manusia duniawi yang bukan rohani (1Kor 3:4).

 

Ketiga: Kita dibaptis untuk diutus (ayat 17)

Meski Paulus menyatakan bahwa dia dipanggil bukan untuk membaptis, baptisan bukan berarti tidak perlu. Tuhan Yesus memerintahkan baptisan (Mat 28:19) dan juga dikhotbahkan oleh para rasul (Kis 2:41). Baptisan sebagai “pengganti” dan sejajar dengan sunat merupakan pemersatu kita dengan Kristus. Pemersatuan itu disimbolkan dengan adanya air, baik itu dalam bentuk percikan maupun dalam bentuk diselamkan. Memang kata baptis berarti diselamkan, akan tetapi diselamkan dalam pengertian diselamkan secara rohani ke dalam Roh, bukan hakekatnya ke dalam air, sebab air itu hanyalah tindakan simbolis saja.  Pengertian dibaptis atau diselamkan dalam hal ini diutamakan dipersatukan ke dalam kematian Tuhan Yesus dan juga ke dalam kebangkitan-Nya. Baptisan juga tidak ada hubungannya dengan pengudusan dan juga dengan keselamatan, sebab keselamatan itu hanya melalui pertobatan, iman, ketaatan, dan kasih karunia saja (band. Kis 2:38). Itu hanya merupakan tanda dipersekutukan dan tidak ada salahnya bila dipakai sebagai persyaratan keanggotaan gereja tertentu, namun bukan pada keselamatan.

 

Rasul Paulus sendiri tidak terlalu berminat dalam membaptis sehingga ia katakan hanya membaptis beberapa orang saja. Tugas itu dia lebih berikan kepada pihak lain yang secara teologis memang siapa saja orang percaya dapat melakukannya, meski aturan gereja kadang menyebutkan harus dilakukan oleh hamba Tuhan yang ditahbiskan (Pendeta). Rasul Paulus lebih menekankan tugas dan pelayanannya dalam pemberitaan Iniil, sebab menurutnya untuk itulah dia dipanggil, bukan dipanggil untuk membaptis. Dalam pandangannya, berdasarkan penjelasan di atas, sepanjang baptisan itu di dalam nama Tuhan Yesus (beserta Allah Bapa dan Roh Kudus) maka semua baptisan itu sudah sah dan mempersatukan kita dengan Dia. Dengan demikian firman Tuhan yang disampaikannya lebih menempatkan kedudukan baptisan pada pengertian yang sebenarnya, bukan diartikan menjadi sesuatu yang membuat perbedaan baik dalam cara maupun dalam kualitas berkat dan karunia yang diterimanya. Oleh karena itu Rasul Paulus sebagai pembimbing mereka, dalam kekecewaannya dengan perpecahan karena baptisan ini sampai mengatakan: "Apakah yang kamu kehendaki? Haruskah aku datang kepadamu dengan cambuk atau dengan kasih dan dengan hati yang lemah lembut'?" (1Kor 4:21).

 

Oleh karena itu seyogianya bagi kita yang diberi karunia berkata-kata dalam hikmat seperti Apolos dalam pengertian pandai berkhotbah, maka jangan melupakan bahwa fokus utama panggilan kita adalah untuk terus memberitakan Injil, bukan dengan membangun gereja yang baru, kelompok baru, menghimpun anggota untuk kepentingan diri sendiri, sehingga tujuan utama pemberitaan Injil menjadi terpinggirkan atau tidak fokus. Itulah sebabnya Rasul Paulus tidak mau terjebak dalam pidato atau khotbah yang menggebu-gebu, berkata-kata dengan bunga rampai hikmat duniawi, melainkan ia mengandalkan kekuatan Roh dalam pemberitaan Injil, agar semakin banyak orang yang bertobat, percaya, dan taat agar menerima kasih karunia itu (1Kor 2:1, 4). Bagi dia, pemberitaan Injil dan Kristus yang disalib dan bangkit kembali merupakan hal yang utama, bukan mempersoalkan baptisan, bukan perbedaan karunia rohani, sebab hal demikian membuat salib Kristus menjadi sia-sia atau kosong kehilangan tujuannya.

 

Keempat: Pemberitaan salib itu kekuatan Allah (ayat 18)

Ada banyak makna salib bagi banyak orang. Ada yang membuat salib sebagai perhiasan di baju, digantungkan di leher; ada yang membuat sebagai hiasan di dinding rumah; ada yang membuat sebagai senjata atau bahkan menjadi tiang jemuran; tapi secara umum salib adalah simbol kekristenan, sebab Yesus mati di kayu salib dan curahan darah-Nya itulah yang menjadi penebusan dosa umat manusia. Alkitab berkata bukan lagi persembahan hewan dan percikan darahnya di bait Allah di Yerusalem yang dapat menghapuskan dosa manusia, melainkan hanya dengan mengakui dan percaya bahwa Yesus menderita dan telah mati bagi dia, kita sudah ditebus oleh-Nya, darah-Nya yang kudus telah menguduskan kita, dan bertobat serta taat akan firman-Nya, maka salib itu memiliki makna khusus dalam hidup kita.

 

Bagi mereka yang mengutamakan penggunaan akal pikiran dalam mencerna penebusan Yesus di salib, itu akan tampak seperti hal yang tidak masuk akal. Kesannya, bagaimana mungkin seseorang mati di kayu salib bisa menggantikan segala dosa-dosa yang kita lakukan. Bagi mereka, yang terus mengutamakan penggunaan akal dan mengandalkan semua logika duniawi, maka itu akan dipandang sebagai kebodohan. Kesombongan intelektual mereka membuat mereka menolak, akan tetapi ketidakpercayaan itulah yang membuat mereka menjadi binasa, sehingga Nats minggu ini mengatakan, pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka. Mereka tidak sadar bahwa justru itulah keunikan dan kekhususan kekristenan, dengan kebenaran pengampunan dan keselamatan hanyalah kasih karunia dan anugerah.

 

Tetapi sebaliknya bagi kita yang percaya pada penebusan Yesus, mengakui salib itu adalah kekuatan Allah. Salib itu adalah tempat dimana Allah memperlihatkan kasih-Nya dengan bersedia menderita dan menerima sikasaan hingga mati demi untuk menebus dosa-dosa yang percaya kepada-Nya. Salib bagi kita bukan (hanya) ornamen, hiasan, atau simbol, melainkan salib sudah menjadi hakekat penebusan. Maka dengan demikian, pemberitaan salib menjadi kekuatan Allah, sebab apabila kita memberitakan penderitaan Tuhan Yesus, yang mati di kayu salib, dan kuasa-Nya berupa kebangkitan dan naik ke sorga, maka itu menjadi kekuatan bagi mereka yang belum mengenal Dia. Pemberitaan salib memberi hikmat dan kebenaran dengan kuasa yang menyertaiNya, menjadi pintu penerimaan bagi mereka yang belum merasa pasti selamat.

 

Penutup

Melalui nats minggu ini, kita diminta untuk terus bersatu dan saling membahu dalam mengabarkan Injil dan salib. Pemberitaan salib adalah kekuatan Allah. Kita tidak perlu berpisah dan menjadi terpecah, berdebat soal baptisan atau karunia-karunia rohani yang terbesar di hadapan Allah. Akan tetapi kita harus sepenuh hati memberikan kontribusi sesuai dengan yang diberikan Allah dalam hidup kita berupa karunia-karunia itu. Rasul Paulus menekankan bukan indahnya kata-kata dalam khotbah, ajaran tertulis yang glamour, akan tetapi kembali ke tugas pokok dengan pertanyaan: apakah diri kita dan gereja kita terus menginjili ke luar? Berjuanglah mendapatkan keharmonisan, jauhkan perdebatan yang tidak perlu dalam kelompok. Kriitus yang utama dan nama ini yang ditekankan berulang-ulang pada surat Paulus ini.

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 710 guests and no members online

Statistik Pengunjung

7430337
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
15095
58357
183103
7204198
465199
1386923
7430337

IP Anda: 162.158.163.248
2024-11-22 07:33

Login Form